Halo, Gideon.
Pertama-tama, maafkan aku atas keterlambatan membalas surat pertama darimu. Akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, ada banyak hal yang telah terjadi sehingga aku sangat terlambat membaca surat pribadi darimu. Kuharap kau memakluminya, terima kasih.
Baiklah, ini adalah surat pribadi pertamaku untukmu. Aku sangat senang menerima surat pribadimu, tidak apa-apa, aku menyukainya. Kurasa itu adalah hal yang wajar untukmu. Aku mengerti. Aku pun merasakannya. Aku sangat senang karena kau mau berteman denganku, kaulah orang pertama yang mengajakku berkenalan dan berteman di jamuan teh Battenberg. Kaulah orang pertama yang berani mendekatiku tanpa memandang statusku.
Aku senang, Gideon.
Sesuai per tanggal aku menuliskan surat balasan ini, aku telah resmi bertunangan dengan Pangeran Mahkota. Aku berharap kau dapat datang menyaksikan acara pertunangan kami, sayang sekali, tapi aku mengerti keadaanmu. Andaikata aku membaca suratmu lebih awal, suratmu pasti akan menjadi penyemangat bagiku di hari pertunanganku, Gideon. Aku menyesalinya. Tapi sekali lagi, terima kasih banyak, Gideon.
Tidak perlu khawatir, aku bahagia.
Kondisi keluargaku tidak berbeda denganmu. Saudara-saudariku memertanyakan pertemanan kita. Bahkan, mereka cukup menolaknya. Tapi, tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha agar mereka mengizinkanku berteman denganmu. Aku akan terus berusaha walau harus memohon dalam waktu lama. Sebab, aku menyukaimu, Gideon.
Kau baik dan ramah, aku tahu kau bukan orang jahat. Kau tidak ada kaitannya dengan pendahulumu. Aku percaya itu.
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, Gideon. Aku menerima hadiahmu, aku menyukainya. Aku cukup kagum kau memberiku pita satin berwarna merah muda, warna kesukaanku. Aku sempat bertanya-tanya bagaimana bisa kau mengetahui warna kesukaanku. Mungkinkah hanya kebetulan?
Sampai sini dahulu, Gideon. Kuharap aku tidak menyinggungmu.
P.s: aku juga menantikan kesempatan untuk bertemu denganmu lagi.
Gideon Weasley tersenyum lebar usai membaca surat balasan dari Lizzy. Laki-laki berambut hitam legam itu menyandarkan rahangnya ke tangan kanannya yang bertumpu pada sandaran tangan kursi. Mata ambernya menatap lembar surat balasan Lizzy dengan sorot puas sekaligus lega. Tak henti-hentinya Gideon membaca postscript yang tercantum dalam surat tersebut.
“Begitu, kau juga menantikannya. Sama sepertiku, hm,” gumam Gideon puas seiring senyum lebar hangatnya berubah menjadi seringai dalam sekejap mata.
Tak dapat dielakkan, otak Gideon memutar adegan pertemuan serta interaksi pertamanya dengan Lizzy tempo lalu selayaknya film. Wajah rupawan, suara lembut, dan senyuman manis gadis itu langsung memenuhi kepala Gideon. Bahkan Gideon ingat aroma vanila yang menguar dari tubuh Lizzy. Aroma yang sangat khas hingga mustahil untuk dilupakan.
Gideon menghirup lembaran surat dari Lizzy. Secara intens rongga hidungnya menghirup aroma lembaran tersebut, memastikan apakah memiliki aroma seperti Lizzy. Usai menghirup beberapa kali, seringai Gideon sedikit melebar.
“Yeah, vanila bercampur tinta. Tapi, secara mayoritas vanila mendominasi kertas ini,” ujar Gideon senang.
Gideon melipat surat Lizzy lalu memasukkannya kembali ke dalam amplop. Dia merapikannya ke bentuk semula. Usai membaca nama Lizzy yang tertera di amplop, Gideon memasukkan surat itu ke dalam laci nakas. Dirasa telah cukup untuk menyimpannya, Gideon melangkah menuju jendela. Kini memerhatikan salju yang mulai menghujani bumi.
Secara pribadi, Gideon tidak menyukai musim dingin. Dia benci musim dingin. Musim itu menambah dingin dalam mansion Weasley. Mansion yang selalu dingin sepanjang tahun menjadi bertambah dingin ketika melalui musim dingin. Dan Gideon tidak menyukainya. Mengingatkan pada kenangan-kenangan yang tidak perlu.
Akan tetapi, musim dingin tahun lalu telah membawa perubahan besar dalam hidup Gideon. Musim yang paling dia benci itu membawanya bertemu dengan Elizabeth de Gilbert. Putri bungsu keluarga Gilbert yang telah fenomenal sebelum kelahirannya ke dunia. Seorang perempuan yang menggemparkan seisi kerajaan karena dipilih langsung oleh Tuhan untuk menjadi Ratu Ophelia. Mengukir sejarah langka sepanjang masa.
Pertemuan yang tidak diduga terjadi di musim dingin. Membawa Gideon untuk tidak terlalu membenci musim yang identik berwarna suci tersebut. Dan, ya, Gideon jadi tidak begitu membencinya lagi.
“Tampaknya kau sedang dalam suasana hati yang bagus.”
Celetukan suara seseorang membuyarkan angan Gideon. Mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Lizzy, menghancurkan fantasinya. Gideon mendecak kecil seraya melirik ke belakang, tidak begitu berminat untuk menengok si pengganggu. Dari suaranya saja Gideon tahu siapa yang telah lancang memasuki kamarnya tanpa permisi sekaligus mengusik kedamaiannya.
“Dan kau berhasil menghancurkannya lagi,” sahut Gideon sinis membuat sang pengganggu terkekeh lembut bak orang tak bersalah.
“Ah, mohon maafkan aku, adikku tersayang. Kau tahu aku tidak bermaksud begitu, bukan?”
“Hentikan basa-basimu. Apa maumu, Esther?”
Esther Weasley, anak keempat dari lima bersaudara Weasley, menyeringai lebar menatap si bungsu, Gideon. “Oh, tenanglah. Aku berada di pihakmu, Gideon. Aku mendukungmu bersama si manis Elizabeth.”
Gideon mendengus cukup kasar, membuang jauh-jauh ucapan manis Esther. “Aku tidak butuh dukunganmu. Walau kau memang mendukungnya, aku tidak mau tahu.”
Seringai Esther melebar. Gadis yang berusia dua tahun di atas Gideon itu menghampiri Gideon. Dalam langkahnya, iris hitam kelam Esther tidak teralih dari punggung adiknya sama sekali. Rasa senang meletup dalam dadanya melihat adik kecilnya telah tumbuh menjadi pribadi yang Esther inginkan.
Esther berhenti melangkah tepat di belakang Gideon. Gadis berambut cokelat bergelombang itu memeluk tubuh Gideon dari belakang. Menyusupkan kedua lengannya melalui pinggang adiknya dan merengkuh tubuhnya seutuhnya. Gideon tidak menolak, ia diam menerima segala perlakuan kakaknya.
“Jadi, bagaimana balasan Elizabeth? Apakah dia menyukaimu?” tanya Esther pelan, nyaris seperti bisikan.
Gideon menumpukan kedua tangannya ke bingkai jendela, lelah berdiri. “Ya, dia menyukaiku.”
“Bukankah itu bagus? Aku turut senang untukmu, adikku. Jadi, selanjutnya kau akan merampas gadis malang itu dari pangeran, kah?”
Gideon menyeringai geli. “Gadis malang?”
Esther ikut menyeringai geli. “Ya, gadis malang. Dia sangat malang, takdirnya sungguh menyedihkan. Dia dipermainkan sedemikian rupa oleh Tuhan.”
“Entahlah,” dengus Gideon sedikit tidak setuju atau merasa sedikit ragu pula.
“Kenapa? Kau tidak setuju?”
“Dia bahagia. Dia bilang, dia bahagia bertunangan dengan putra Raja i***t itu.”
“Oh, adikku tercinta,” ujar Esther bernada prihatin.
Esther berhenti memeluk adiknya. Dia merayap masuk ke hadapan Gideon usai memasuki celah di bawah lengannya. Esther mendudukkan diri di kerangka jendela, kini berhadapan langsung dengan Gideon dalam jarak sangat dekat. Kedua tangan Esther menyentuh pipi Gideon penuh kasih. Pupil hitam kelamnya menusuk intens ke pupil amber Gideon.
Dan lagi-lagi Gideon tidak menolak perlakuan Esther. Wajahnya tak berekspresi, tak ada seringai lagi. Dia membalas tatapan seduktif Esther dengan kedataran nyata.
“Kau tidak akan pernah bisa memahami hati seorang perempuan, Gideon. Si manis Elizabeth berkata dia bahagia, tapi apa jaminannya bahwa itu bukan kebohongan, hmm?” ujar Esther sambil mengelus pipi Gideon menggunakan ibu jarinya.
Gideon mendengus pelan, tersenyum miring meremehkan Esther. “Lalu, apakah kau bisa menjamin pernyataannya adalah omong kosong belaka?”
Esther tersenyum lebar. “Orang tuanya mati melindunginya. Dia hanya merasakan kasih sayang mereka selama tujuh jam. Tujuh jam yang membuat hidupnya berubah drastis. Seolah Tuhan menemukan mainan baru, Dia memilih Elizabeth untuk dimainkan. Memasangkannya dengan anak dari pembunuh yang merampas nyawa orang tuanya. Bukankah ini sangat bagus untuk ditampilkan di panggung opera?”
Senyuman miring Gideon melebar, kini terkesan menyetujui Esther. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya kepada kakaknya hingga mau tak mau ia mengalah, memundurkan punggung. Dalam belenggu tubuh adiknya, Esther tidak memutus kontak matanya dengan Gideon. Ia juga masih menyentuh pipi Gideon.
“Lalu, apa yang membuatmu yakin aku mampu merampas Lizbeth dari pangeran i***t itu, hmm?” tanya Gideon tepat di depan bibir Esther.
Esther mendengus angkuh. Dia menipiskan jarak wajahnya dengan wajah Gideon hingga tersisa beberapa inci. “Gadis itu putus asa melihat pangeran berkudanya tidak menerimanya. Gideon, kau pun dapat mengetahuinya dalam sekali pandang, bukan? Ini tidak sulit bagimu. Bidik mangsamu dengan baik, jerat dia, dan jadikan milikmu seutuhnya. Kau tahu apa yang akan dikatakan ayah dan kakak-kakak kita jika kau berhasil menjerat putri Gilbert, bukan?”
“Kau pandai menghasut orang, bakatmu tidak pernah menumpul, huh.”
Esther mencuri kecup di pipi kanan Gideon. “Ayolah, aku sedang menyemangatimu. Bukan menghasut. Perjuangkan cintamu, adik tersayangku.”
Gideon berhenti membelenggu kakaknya. Punggungnya menegak lurus seraya menatap hujan salju di luar. “Diam dan lihat saja. Ini permainan yang mudah.”
***
Restoran yang menyajikan parfait terbaik di Ophele bernama Mayfair Garden. Restoran bintang tiga dengan reputasi dan kualitas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Berdiri sejak lama dan resep turun-temurun, Mayfair Garden menjadi salah satu restoran yang wajib dikunjungi di ibu kota. Selain parfait, mereka juga memiliki menu-menu andalan lain yang tidak kalah lezat.
Lizzy telah memiliki kesempatan mencicipi parfait di Mayfair Garden bersama Hera. Usai kunjungan pertamanya di istana, Lizzy rela menunggu giliran mendapat meja kosong di Mayfair Garden demi mencicipi parfait legendarisnya. Dia tidak menyesal menunggu lama. Parfaitnya sungguh memuaskan hingga Lizzy melupakan betapa lelahnya menunggu selama satu jam demi mendapatkan tempat di dalam restoran.
Hari ini, Lizzy memiliki kesempatan kedua untuk mengunjungi Mayfair Garden. Kali ini bersama tunangannya, Ian. Tidak berbeda dari pengalaman pertamanya, Mayfair Garden selalu dipenuhi pengunjung dan sibuk menerima antrian. Beruntungnya, Ian dan Lizzy langsung mendapatkan meja kosong sesaat setelah memasuki Mayfair Garden. Sehingga tidak perlu menunggu terlalu lama.
Lizzy mengamati buku menu lamat-lamat. Memindai beragam parfait yang tetap saja menggugah seleranya hingga susah untuk memilih salah satu. “Semuanya lezat, terlalu lezat sampai aku tidak sanggup memilih satu.” gumamnya bingung.
“Pilih sesukamu,” sahut Ian datar, sembari menopang rahang dia menatap tunangannya menguasai buku menu.
Lizzy mendongak, teralih dari buku menu ke muka datar Ian. “Apa maksudmu “pilih sesukamu”, huh? Untuk segelas parfait, harganya cukup mahal. Belum ditambah dengan menu makan siang.”
Ian mendengus remeh. “Semahal apa, sih? Pesan semua yang kau mau.”
Lizzy mengernyit, cukup kaget melihat kesombongan Ian. “Kau yakin?”
Ian berdehem seadanya.
Lizzy meletakkan buku menu, baru tersadar. Dia mulai berkeringat dingin menatap kedataran Ian. “Omong-omong, berapa uang yang kau bawa, Ivander? Sebelumnya cukup banyak jajanan yang kita beli di kota, a—apakah aman?”
“Lebih baik kau tidak perlu tahu, bukan?” sahut Ian cuek membuat Lizzy sedikit membulatkan mata karena kesal dirundung panik. “Jika aku tidak aman, aku tidak akan menantangmu untuk memesan semua yang kau inginkan di restoran bintang tiga.”
Tubuh Lizzy sedikit maju. Dia menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya agar suaranya tidak terdengar oleh pengunjung lain, berbisik. “Tolong katakan padaku bahwa kau tidak menggunakan uang kerajaan.”
Ian menyeringai lebar, langsung membuat Lizzy panik dan semakin dibasahi keringat dingin. “Aku terkesan kau dapat menebaknya dengan tepat, Elizabeth.”
Lizzy semakin mencondong maju, melotot penuh emosi. “Apa yang kau pikirkan menggunakan uang kerajaan untuk kepentingan pribadi?!”
Ian mendengus geli, sungguh tergelitik melihat betapa paniknya Lizzy sekarang. Ian menyandarkan punggungnya, bersedekap, dan melipat kaki. Seringai angkuhnya melebar tanpa gentar. Sesantai itu di hadapan Lizzy agar gadis itu semakin emosi.
“Jika aku menggunakan uangku sendiri, Johan akan mengetahui rencana menyelinap keluar istana secara diam-diam ini. Jadi, aku meminjam uang kerajaan dahulu,” ujar Ian santai.
Lizzy berusaha menelan ludah, kini dirundung rasa takut dan tidak percaya. Dia hampir tidak percaya bahwa sedari awal dirinya ikut andil menyalagunakan kas kerajaan, salah satu tindak kriminal tertinggi di Ophelia. Tanpa Lizzy sadari, seluruh jajanan yang telah bersarang dalam lambungnya dibeli menggunakan uang rakyat Ophelia.
Elizabeth de Gilbert tidak pernah mengira akan menjadi seorang kriminal dalam sepanjang hidupnya.
“Tetap saja kau tidak bisa melanggar peraturan seenaknya sendiri, Ivander. Sungguh, a—apa yang kau pikirkan selama menghamburkan uang kerajaan untuk membeli jajanan…,” cicit Lizzy pasrah, sepenuhnya pasrah karena apa yang terjadi telah terjadi, tak bisa ditarik kembali.
“Kau berlebihan. Sepulang ke istana, aku akan menggantinya,” sahut Ian cuek.
Lizzy kembali duduk, kepalanya menunduk. “Bukan itu masalahnya. Jika ketahuan, hukumannya—“
Ian menyeringai lebar bak iblis. “Pikul hukumannya bersamaku. Semua jajanan yang kau makan di kota menggunakan uang rakyat. Begitu juga dengan parfait dan makan siang. Jika kau diam, tidak ada yang akan terjadi.”
Lizzy menghela napas pendek. Tangannya kembali meraih buku menu, membuka dan menegakkannya untuk menutupi wajahnya dari tatapan Ian. “Baiklah, aku mengerti. Akan kubawa kriminalitas ini sampai ke pemakaman terakhirku.”
Kepanikan Lizzy mereda. Dalam sekejap mata, dia kembali riang seperti biasa. Mengamati deretan menu parfait tanpa beban seolah tidak ada yang terjadi. Bak orang polos tak tahu apa-apa, Lizzy kembali ke urusannya memilih parfait dan menu makan siang.
Saking fokusnya kepada buku menu, Lizzy tidak menyadari sorot intens Ian menatapnya lamat-lamat. Tidak teralihkan kemana-mana seolah Lizzy adalah objek terindah di dunia. Tidak hanya sorot mata, seringai angkuhnya juga menyiratkan sesuatu selama mengamati Lizzy.
Ian dapat membayangkan, jika saja Lizzy menyadari dirinya menjadi objek fokus matanya, paras jelita gadis itu pasti akan semerah tomat.
Dan Ian menyukainya karena menggemaskan.
TO BE CONTINUED Fix, si bujang Pangeran Mahkota nggak ada akhlak :')