BAB 67

1601 Words
Sesuai kesepakatan, Lizzy memutuskan untuk diam atas tindakan bodoh Ian yang menggunakan kas kerajaan untuk kepetingan pribadi. Lizzy akan pura-pura tidak tahu, lebih tepatnya berusaha berpura-pura tidak tahu. Walau rasanya sulit karena semuanya jadi terasa tidak nyaman bagi Lizzy. Mengetahui bahwa parfait dan pasta yang menjadi makan siangnya saat ini dibeli menggunakan uang rakyat Ophelia, Lizzy jadi susah untuk tidak peduli akibat dirundung rasa bersalah. Berbeda dengan Ian. Pelaku kejahatan penyalahgunaan uang kerajaan itu melahap makan siangnya tanpa banyak peduli. Dia sangat santai menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Lizzy mulai khawatir aksi kejahatan mereka terendus oleh Marquis dan Victorique. Ia tidak bisa membayangkan akan semarah apa Raja dan Ratu nantinya. Tidak, lupakan saja, Lizzy. Jangan membayangkannya, jangan membayangkannya. Fokus saja pada makan siangmu, rutuk Lizzy berusaha mengusir jauh-jauh bayangan kemungkinan terburuk tersebut sembari menyendok carbonara. Lizzy mengunyah carbonara sembari memerhatikan jalanan di luar. Berhubung meja yang Ian dan Lizzy tempati bersebelahan dengan dinding kaca, mereka bersebelahan dengan jalanan luar restoran. Dapat Lizzy amati betapa ramainya orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Walaupun salju mulai turun, tidak ada yang tampak kesusahan. Baru kali ini Lizzy mengamati suasana ibu kota secara seksama. Di kesempatan yang lalu, Lizzy terlalu fokus membeli segala kebutuhannya akibat dikejar waktu. Dia jadi tidak memiliki banyak kesempatan untuk menikmati suasana Ophele lebih mendalam. Lizzy jadi bertanya-tanya apakah sekarang Ian merasa senang menyusuri ibu kota. Lizzy mengalihkan kepalanya dari dinding kaca ke Ian. Gadis kecil itu menatap tunangannya sedang fokus menyantap lasagna tanpa menoleh kemana-mana. Seperti sewajarnya Ian yang selalu tidak memedulikan sekitarnya. Lizzy jadi sedikit sebal. Padahal ada banyak hal bagus yang perlu Ian lihat setidaknya sekali dalam seumur hidup. Terlebih, kesempatan menyusuri perkotaan secara bebas ini tidak sering hadir dalam hidupnya. Seharusnya Ian memanfaatkannya secara baik. Tunggu, apakah Lizzy yang terlalu bersemangat menyusuri ibu kota? Apakah hanya Lizzy yang merasa jalan-jalan ini menyenangkan? Benar, Ian tidak menyukai keramaian. Pangeran Mahkota itu pasti tidak merasa terkesan sama sekali selama menyusuri kota. “Ivander,” panggil Lizzy memberanikan diri. Ian menoleh usai menyesap teh. “Apa?” Nyali Lizzy untuk bertanya langsung menciut sesaat setelah iris merah delima Ian membalas tatapannya. Mungkin sikap Ian tidak seburuk dahulu hingga interaksi di antaranya dengan Lizzy membaik. Tetapi, bukan berarti rasa takut Lizzy terhadap Ian sepenuhnya menghilang. Detik ini pun Lizzy masih sangat ragu untuk memulai percakapan. Angan Lizzy teringat kalimat menyakitkan Ian di hari pertunangan mereka. Rasa luka dan sakit itu masih terasa nyata dalam hati Lizzy. Mustahil untuk melupakannya dalam sekejap. Lizzy mengembuskan napas pendek, lantas menundukkan kepala. “Tidak apa-apa. Maaf mengganggu makan siangmu.” Sikap aneh Lizzy membuat Ian bingung. Dalam sekali pandang saja Ian dapat mengetahui gadis itu ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Sejauh yang Ian tahu, Lizzy bukanlah tipe perempuan yang gemar membicarakan hal-hal tidak penting bila situasinya tidak cocok. Jadi, Ian yakin barusan Lizzy ingin membicarakan sesuatu yang cukup penting. Ian akan menangguhkannya sejenak. Dia bisa membicarakannya kapan saja bersama Lizzy. Tidak ada gunanya memaksa gadis itu. Lagipula, Ian juga memiliki hal penting yang harus diketahui oleh Lizzy sebelum semuanya terlambat. Usai menghabiskan carbonara, Lizzy menyantap parfait sebagai hidangan penutup. Rasa sedihnya karena teringat luka dan sakit hati atas kalimat menyakitkan Ian langsung memudar. Wajah murungnya berganti menjadi riang. Untuk sesaat, Lizzy ikut melupakan rasa penasarannya terhadap perasaan Ian atas jalan-jalan ini. Ketika asyik mengunyah stroberi, Lizzy menoleh mengamati seisi restoran yang ramai. Saat itulah dia baru menyadari banyak pengunjung yang melirik maupun menatap ke arahnya dan Ian. Baik secara diam-diam dan terang-terangan, entah atas alasan apa. Mereka… menatapku? Ah, atau mungkin menatap Ivander? batin Lizzy bingung saat matanya bertemu pandang dengan salah satu orang yang memerhatikannya lalu langsung mengalihkan pandangannya, seolah maling tertangkap basah. Lizzy melirik orang-orang lain. Sama seperti sebelumnya, mereka langsung mengalihkan mata ketika hendak bertemu tatap dengan Lizzy. Ini membuat Lizzy heran. Dia mengamati penampilannya yang mungkin aneh, tapi tidak ada masalah apa pun. Lizzy juga meraba kepala dan rambutnya yang mungkin tersangkut sesuatu. Tapi hasilnya sama, tidak ada yang aneh. Kepala Lizzy sedikit miring ke kanan dengan raut bingung seiring matanya masih menangkap basah beberapa orang menatapnya, atau mungkin menatap Ian. “Ada apa, ya?” gumamnya pelan. “Kau menyadarinya?” celetuk Ian mengagetkan Lizzy. Lizzy menoleh ke Ian. “Apa?” “Ada beberapa orang yang mengamati kita.” Lizzy terperangah melihat Ian menyadari keanehan itu padahal tidak menoleh kemana-mana sejak memasuki restoran. “Kau tahu?” “Ya,” Ian mendengus lelah, “Aku tidak tahu apa urusan mereka, tapi itu cukup menyebalkan.” Lizzy menipiskan bibir, cemas. “Apakah menurutmu mereka menyadari identitasmu?” “Tidak mungkin.” “Kenapa?” Ian menumpukan siku kanannya di meja guna menopang rahangnya. “Mereka orang biasa. Tidak mungkin mereka menyadari identitasku.” Lizzy melengos pelan, rasa cemasnya tidak mereda. “Tapi, mungkin saja ksatria kerajaan mulai mencari kita dan menanyakan orang-orang. Contohnya, “apakah kalian melihat dua anak-anak berjalan sendirian di kota? Satu laki-laki, berambut hitam dan bermata merah. Satunya lagi seorang perempuan, berambut pirang dan bermata biru” begitu. Makanya, ada yang mengamati kita.” “Mustahil. Ksatria kerajaan tidak akan berani menanyakan dan menyebut ciri fisikku ke orang lain secara sembarangan,” Ian melengos seraya tangan kirinya mengaduk sendok teh, “terlebih di kondisi maraknya kasus penculikan anak meneror kerajaan.” Wajah Lizzy kembali murung. Tatapannya cemas menatap gelas parfait yang masih terisi penuh. “Lalu, mengapa?” Ian menatap Lizzy serius. “Elizabeth.” Lizzy mendongak, membalas tatapan Ian. “Ya?” “Ini hanya kemungkinan terburuknya, dengarkan aku dan jangan bereaksi berlebihan.” Nada serius Ian membuat Lizzy tersentak. Tidak hanya serius, Ian juga sedikit memelankan suaranya seolah tidak ingin ada orang lain yang mendengarkannya. Wajah tampan Ian juga menjadi lebih serius dari biasanya. Rahang lelaki itu mengeras dan sorot matanya sangat tajam. Ini membuat Lizzy mengucurkan keringat dingin, mulai merasa ada yang tidak beres. Lizzy menelan ludah, mata birunya mengerjap cepat. Dia berusaha menenangkan diri. Kepalanya mengangguk kecil usai merasa siap. “Aku mengerti.” “Sejak awal kita memasuki perkotaan, sudah ada beberapa orang yang mengamati kita,” ujar Ian memulai perbincangan serius ini. Dia memberi jeda, menunggu reaksi Lizzy. Dirasa gadis itu mampu bersikap tenang, Ian melanjutkan, “Tampaknya, ada lima orang yang mengamati kita selama menyusuri kota sampai di sini. Orang-orang yang kau pergoki barusan sepertinya orang yang sama yang mengikuti kita menyusuri kota.” Tubuh Lizzy menegang kaku. Bulu kuduknya berdiri membayangkan selama jalan-jalan di kota ada yang mengikutinya tanpa dia sadari. “Sejak masuk perkotaan… apakah itu berarti mereka melihat kita datang dari hutan?” “Entahlah. Kuanggap begitu. Kalau mereka melihat kita keluar dari hutan dan mengikuti kita, artinya mereka berpikir aku adalah pangeran yang diam-diam keluar dari istana.” “Cukup masuk akal. Tapi, belum tentu juga demikian, bukan?” “Ya. Kalau seperti dugaan tadi, tujuan mereka mengikuti kita pasti tidak jauh dari hal-hal buruk. Antara menyergap kita untuk memeras pihak istana atau menangkap kita untuk dikembalikan ke istana demi imbalan. Dua dugaan itu sama-sama bertujuan memeras Raja dan Ratu.” Napas Lizzy tercekat. “Kalau begitu kita tidak boleh pergi ke tempat yang sepi. Kita harus terus berada di tengah kota. Entah di trotoar pertokoan, taman kota, atau apa pun itu yang ramai.” Ian melengos. “Kemudian, tinggal masalah waktu sampai ksatria kerajaan memergoki kita.” “Lebih baik seperti itu. Orang-orang itu tidak akan berani mendekat saat kita telah dipergoki dan dihampiri oleh ksatria kerajaan.” “Kurasa tidak akan semudah itu.” Lizzy mengerjap pelan. “Apa maksudmu?” Ian berhenti menopang rahangnya. “Kurasa orang-orang itu adalah anak buah dari tersangka kasus penculikan anak di Felsham.” Mata biru bercorak milik Lizzy membulat syok. Gadis itu sampai tidak mampu bersuara saking terlalu syok. Berbanding terbalik dari Ian yang tetap tenang bahkan usai mengutarakan dugaan mengerikan itu. “Sejauh yang kutahu, anak-anak yang diculik memiliki ciri fisik yang mencolok. Mereka memiliki nilai dalam diri mereka, lebih tepatnya anggota tubuh mereka. Tidak ada anak-anak yang jelek dalam daftar korban. Jadi, jika dugaanku benar, orang-orang itu berniat menculik kita,” tutur Ian semakin mengejutkan Lizzy. “Tapi… bagaimana bisa? Aku tidak pernah mendengar penculikan itu menyebar sampai di ibu kota. Justru rumornya mereka mulai singgah di Alterius.” “Kemungkinan itu hanya pengalih perhatian. Anak-anak Felsham yang diculik itu akan dijual di pelelangan dalam dunia bawah. Pelelangan illegal selalu dihadiri oleh orang-orang penting dan berpengaruh. Itulah sebabnya anak-anak yang diculik hanya yang berpenampilan bagus, bukan anak-anak sembarangan. Jika ingin mencari anak-anak seperti itu, ibu kota-lah sarangnya, bukan?” Lizzy menggigit bibir cukup dalam. Kedua tangannya mencengkram gaunnya erat-erat. Tidak dapat dipungkiri, dia ketakutan. Dia tidak pernah menyangka hal seperti ini akan menimpanya. Lizzy pikir segalanya akan berjalan menyenangkan seperti pengalaman pertamanya menyusuri Ophele bersama Caesar dan Hera. Lizzy tidak pernah menduga akan diikuti oleh orang-orang mencurigakan. Alih-alih menduga, bahkan Lizzy tidak pernah menyadari sedari awal bahwa dirinya telah diikuti serta diamati. Mata biru Lizzy mulai berkaca-kaca. Air matanya mulai menyeruak ingin meloloskan diri. “Jangan menangis,” tegur Ian cukup tegas guna menyadarkan Lizzy untuk segera mengusapnya. Lizzy menatap Ian, menunjukkan matanya yang telah dibasahi oleh air mata. Ekor matanya telah siap membiarkan air matanya tumpah. “Jangan menangis. Aku punya rencana untuk kabur dari pengawasan mereka,” ujar Ian dengan nada sedikit lembut. “Sungguh?” tanya Lizzy. “Ya. Usai dari sini, kita pergi ke toko pakaian.” Lizzy menyeka butiran air mata yang bergumul di ekor mata kirinya. Dia menghela napas panjang. “Baiklah, aku mengerti. Aku percaya padamu.” Ian tersenyum tipis. “Ya. Percayalah padaku.”      Dari sini, Lizzy menyadari bahwa tidak ada rasa senang yang dirasakan oleh Ian dalam pengalaman pertamanya menyusuri ibu kota. Wajar-wajar saja bagi Ian untuk tidak mengamati sekitar. Sebab, tidak ada kenyamanan sedikit pun akibat diuntit oleh orang-orang mencurigakan. Salah tindakan sedikit saja, orang-orang itu akan menyadari Ian telah memergoki mereka. Lalu, entah hal buruk apa yang akan mereka lakukan jika itu terjadi. Sorot mata Lizzy sendu menatap Ian. Sementara, lelaki itu tetap menatapnya datar. Yang Mulia, pasti sulit bagimu. TO BE CONTINUED wah akhirnya bisa update. Maaf banget ya, guys. Jadwal hari ini sibuk banget sampai nggak sempet buat update pagi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD