Ini adalah hari yang biasa bagi Victorique de Bloich. Ratu Ophelia itu masih disibukkan oleh sederet tugas dan jadwal yang menyesakkan tanpa jeda. Tidak ada hal menarik yang terjadi selain mengetahui putranya sangat akur dengan tunangannya. Kabar kecil yang membahagiakan itu sudah cukup untuk meletupkan rasa bahagia dalam diri Victorique di sela kesibukannya. Setidaknya, dia akan sedikit melupakan beban akibat kesibukan padatnya karena rasa bahagia.
Untuk hari ini, Victorique dibuat bahagia lagi oleh putra sulungnya. Beberapa menit lalu, dia mendengar kerusuhan di seluruh penjuru istana. Para pelayan, ksatria, dan pekerja istana lainnya kasak-kusuk mengitari istana mencari sesuatu. Walaupun mereka telah berusaha setenang mungkin, Victorique tetap mampu mengendus gelagat panik mereka. Lantas, dayang Victorique pun menginformasikan apa yang telah terjadi.
“Yang Mulia Pangeran Ivander dan Nona Gilbert tidak ada di istana, Yang Mulia,” ujar Hazel, dayang Victorique.
Kening Victorique mengernyit. Perhatiannya langsung teralihkan dari dokumen yang menyiksanya. “Tidak ada di istana?”
Hazel mengangguk kecil. “Kronologinya, pangeran mengajak nona pergi usai sarapan. Pangeran meminta untuk tidak dikawal, secara spesifik pangeran berkata ingin menikmati waktu berdua bersama nona. Kami mematuhinya. Tapi kemudian, para pelayan mulai menyadari bahwa tidak ada dari mereka yang berpapasan dengan pangeran dan nona.
“Akhirnya, setelah tiga jam sepeninggalnya pangeran dan nona, Lord Asteria memerintahkan untuk mencari keberadaan mereka. Tampaknya, pangeran dan nona telah menyelinap keluar dari istana.”
Kerutan di kening Victorique sirna. Wajah seriusnya berubah pasrah diiringi helaan napas berat. Dia menyandarkan punggung ke kursi. Kelopak matanya menutup menyembunyikan sepasang iris hitam. Tangan kirinya bersedekap di perutnya, sementara tangan kanannya menyentuh pelipisnya. Tak dapat dielakkan lagi, pening langsung menyerang kepala Victorique.
Victorique mendecak pelan sambil memijat pelipisnya secara perlahan. “Apa yang dia lakukan, demi Tuhan.”
Victorique akui dia bahagia mendengar Ian dan Lizzy semakin dekat. Tidak ada yang salah, justru itu sebuah kemajuan pesat yang disyukuri oleh Victorique. Victorique mengharapkannya setiap hari tanpa absen, jadi mana ada dia menentangnya. Hanya saja, Victorique menyayangkan kecerobohan putranya.
Victorique merasa pening mendengar Ian membawa Lizzy ke kota tanpa pengawalan. Tepat di tengah situasi kerajaan sedang ditimpa teror penculikan anak.
Victorique mensyukuri tindakan manis Ian yang membawa tunangannya jalan-jalan menyusuri kota. Tapi, alangkah baiknya jika Ian tidak bertindak ceroboh semacam itu. Victorique jadi bingung, ingin merasa bahagia atau menangisi kebodohan putranya.
“Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja? Haruskah saya memanggil Dokter Dama—“
Victorique melambaikan tangan kanannya. Kelopak matanya masih menutup. “Tidak, tidak perlu. Aku baik-baik saja.”
“Untuk saat ini, seluruh pekerja istana masih menyusuri istana untuk lebih memastikan lagi. Setelah itu, kami akan pergi menyusuri kota.”
Victorique membuka mata, lelah menghiasi wajah awet mudanya. “Tidak, tidak. Sekarang juga perintahkan ksatria untuk menyusuri ibu kota. Cari mereka dan bawa mereka kembali dengan cara apa pun. Aku tidak mau tahu.”
Hazel membungkuk kecil. “Dimengerti, Yang Mulia.”
Hazel segera berbalik badan, angkat kaki dari ruang kerja Victorique untuk menyampaikan perintah sang Ratu. Dayang Victorique sejak Victorique menginjakkan kaki di istana kerajaan itu berhenti bergerak karena interupsi dari Victorique. Hazel berbalik badan, kembali menghadap sang Ratu.
“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Hazel tenang.
“Marquis tahu kelakuan putranya?” tanya Victorique seraya kembali memijat pelipisnya.
Hazel memikirkannya sejenak selama beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Maafkan saya, saya kurang tahu terkait Yang Mulia Raja. Apakah Anda ingin bertemu dengan—“
Victorique melambaikan tangan lagi. “Tidak perlu.”
Hazel membungkuk pamit. “Baiklah, saya permisi.”
Tidak ada lagi yang menghalangi Hazel. Wanita itu sepenuhnya pergi dari ruang kerja Victorique. Meninggalkan Victorique sendirian di ruang kerjanya yang luas. Mengabdi sebagai dayangnya selama 29 tahun telah membuat Hazel memahami karakteristik Victorique tanpa cela. Bagi Hazel, Victorique hanya butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Jadi, dia sangat tenang meninggalkan Victorique dalam kondisi dilanda pening.
Victorique sangat memahami Ian. Dia rasa, wajar bagi Ian untuk meminta tanpa pengawalan akibat dirundung kecemburuan. Rasa cemburu yang tidak disadari oleh Ian telah mendorongnya untuk berpikir di luar kekritisan nalarnya. Victorique dengar, Noah tiba-tiba mengajak Lizzy pergi ke toko seni di Ophele tepat di depan mata Ian. Jadi, Victorique yakin itulah pemicu besar dalam tindak mendadak Ian membawa Lizzy pergi ke Ophele hari ini.
Harga diri Ian sangat tinggi. Dia pasti tidak mau Noah menjadi orang pertama yang membawa Lizzy ke ibu kota.
Ya, Victorique paham.
Yang tidak Victorique pahami adalah putra keduanya, Noah. Victorique memahami tindakan Noah yang tiba-tiba saja melanggar aturan demi menjenguk Lizzy karena khawatir. Victorique memakluminya dan tidak berpikir macam-macam. Namun semua berubah ketika mendengar Noah mengajak Lizzy pergi ke ibu kota. Itu cukup tidak wajar.
Noah yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada luar istana, kini tiba-tiba menunjukkannya dengan cara mengajak Lizzy pergi ke toko seni.
Mungkin dia sampai pada titik jenuhnya. Berbeda dengan Ian, Noah tidak diperbolehkan pergi ke luar istana, bahkan dibatasi keluar dari Istana Sapphire. Tapi… apakah hanya sebatas itu? batin Victorique serius memikirkan segala kejanggalan yang mulai muncul.
Dalam situasi seperti ini, Victorique menyayangkan segala hal. Menyayangkan terbatasnya waktu bersama Noah karena beberapa alasan. Victorique tidak begitu dekat dengan Noah. Pun tidak merawat Noah. Dia hanya diperbolehkan merawat putra keduanya selama lima bulan. Selepas itu, Noah diambil alih oleh Samantha.
Hasilnya, sepenuhnya berkebalikan dari Ian. Victorique tidak begitu dekat maupun memahami karakteristik Noah. Akhirnya, ada jarak dan dinding yang memisahkan mereka. Ini cukup membuat Victorique gelisah memikirkan masa depan.
Kuharap apa yang kukhawatirkan tidak akan pernah terjadi, batin Victorique pasrah.
***
Berbeda dari hari-hari sebelumnya, siang ini badai salju turun di Ophele. Tidak hanya sekedar hujan salju biasa, melainkan sebuah badai. Lebih parah dari hujan dan lebih mengancam Lizzy. Ian menyadari itu lebih dari siapa pun sesaat setelah badai mulai menerjang. Hal pertama yang Ian pikirkan adalah membawa Lizzy kembali ke istana secepat mungkin.
Ian tidak menduga akan turunnya badai. Pagi cerah tidak menjamin apa pun, Ian harus mulai mengingatnya. Ian juga harus mengingat untuk lebih kritis lagi dalam berpikir. Dia mulai menyadari mengajak Lizzy pergi ke ibu kota tanpa pengawal merupakan sebuah kebodohan. Jika saja situasi kerajaan tidak sedang diteror kasus penculikan anak, apa yang Ian lakukan hari ini tidaklah salah. Sayangnya, situasinya berbeda dan Ian melupakan fakta itu.
Ian yakin setiba di istana ibunya akan memarahi habis-habisan.
“Pilih mantel yang tebal,” ujar Ian di samping Lizzy.
Lizzy mengangguk. “Aku mengerti. Kau juga, Ivander.”
“Tidak usah pikirkan aku. Pikirkan dirimu dahulu.”
Lizzy tersenyum kecil kepada Ian sebelum fokus memilih mantel. Ian tidak punya waktu santai sekarang. Dia cukup dikejar waktu dan dipepet situasi. Di luar sana, Ian tahu ada lima orang yang masih setia mengikuti serta mengamati. Padahal Ian sudah cukup gesit membawa Lizzy pergi dari Mayfair Garden, tapi orang-orang itu masih mampu menyusul. Tidak perlu diragukan lagi, mereka pasti memiliki niat buruk kepada Ian dan Lizzy.
Untuk saat ini, Ian masih mengesampingkan kemungkinan terburuk. Bahwa orang-orang itu adalah antek-antek dalam kasus Felsham. Ian berusaha berpikir positif. Mungkin saja mereka hanya berniat menyergap untuk mengancam pihak istana demi memeras uang tebusan. Ian meyakini sisi tersebut. Berharap dengan serius mereka tidak terkait dengan kasus Felsham.
Ian menatap ke luar toko pakaian, memerhatikan badai menerpa kuat. Salju-salju langsung menggunung. Angin sigap menurunkan suhu udara. Langit pun gelap, sangat gelap. Tidak ada kehangatan di luar. Saking gelapnya kondisi langit, lampu-lampu jalan dinyalakan demi menerangi perkotaan. Membantu siapa pun yang masih terjebak di luar.
Ian mendecak pelan. Mulai terhimpit situasi. Dia dan Lizzy tidak mungkin bertahan lama di toko pakaian. Cepat atau lambat mereka harus segera pergi mencari tempat perlindungan lain. Akan tetapi, di luar toko ada pihak yang selalu siap menangkap.
Tidak ada pilihan lain.
“Madame Walter,” panggil Ian kepada manajer toko pakaian, Joe Walter.
Joe menoleh, tersenyum lebar. “Ah, ada yang bisa saya bantu?”
“Mungkin ini terdengar egois, tapi bisakah kami menumpang sejenak di toko Anda selama badai?” tanya Ian datar, mengejutkan Joe. “Kami akan segera pergi usai badai. Bisakah?”
Joe tidak langsung memberikan jawaban kepada Ian. Wanita berumur tiga puluhan itu menoleh ke Lizzy yang sedang memilih mantel. Tampak tidak tahu-menahu soal Ian yang meminta tumpangan meneduh ke manajer toko. Joe melirik kondisi buruk di luar. Sangat buruk hingga tidak mungkin bagi dua anak kecil untuk menerjangnya sendirian.
Joe kembali menatap Ian yang tidak berekspresi. Dia tersenyum. “Boleh, Nak. Silahkan berteduh di sini sampai badai usai.”
Jujur saja, Ian cukup terkejut melihat Joe menyetujui permintaannya. “Terima kasih banyak, Madame Walter. Saya tidak akan melupakan kebaikan hati Anda.”
Ian harus mengingat nama toko pakaian milik Joe dengan baik, Jolie Clothing.
Lizzy menghampiri Ian sembari membawa dua mantel dalam pelukannya. “Ivander, aku sudah memilih mantel yang cocok.”
Alis Ian naik sebelah. “Dua?”
“Ah, yang ini kupilihkan untukmu berhubung kau belum memilih mantel.”
Ian mengambil alih mantel hitam dari genggaman Lizzy. Mata merahnya mengamati mantel itu secara seksama. Memerhatikan kelebihan dan kekurangannya secara kritis sembari memertimbangkan banyak hal. Setelah badai usai, Ian tahu betul apa yang telah menanti di luar sana. Jadi, dia harus memilih mantel yang menguntungkan.
Tentu saja Lizzy tidak memahami maksud Ian. Sorot tajam Ian terhadap mantel pilihan Lizzy membuat gadis kecil itu khawatir sekaligus ragu.
“Jika… kau tidak suka, maafkan aku,” ujar Lizzy pelan membuyarkan pikiran Ian.
“Tidak, aku suka.”
Lizzy mendongak, matanya berbinar. “Sungguh? Syukurlah.”
Ian berdehem seadanya lalu menyerahkan mantel hitamnya kepada Joe. “Kami ambil ini.”
Joe menerima mantel Ian dan Lizzy. “Tentu. Ah, temuilah Emma Jasper. Katakan padanya bahwa kalian adalah tamuku, nanti dia akan membawa kalian ke ruang tamu khusus.”
Lizzy mengerjap polos, tidak paham. Sementara, Ian mengangguk kecil.
“Emma Jasper, bukan? Wanita semacam apa dia?”
Lizzy menoleh ke Ian, mengernyit. “Kau paham, Ivander?”
“Dia pegawai toko yang mengenakan gaun kuning. Berambut pendek dan berkacamata. Kau akan mudah menemukannya karena hari ini hanya dia yang bekerja di toko,” jawab Joe.
Ian menggandeng tangan kanan Lizzy. “Saya mengerti. Terima kasih, Madame Walter.”
Tanpa menunggu sahutan Joe, Ian membawa Lizzy pergi. Ian juga tidak mau menjelaskan apa-apa kepada Lizzy. Yang dia pikirkan adalah segera membawa Lizzy ke tempat hangat. Walau pun area toko cukup hangat, cepat atau lambat udara dingin badai akan memengaruhi suhunya. Ian tidak mau memertaruhkan kesehatan Lizzy.
Lizzy menatap Ian yang memimpin di depan. Dia tidak mengerti maksud perkataan Joe dan Ian. Ian tidak membicarakan apa-apa padanya selain niat mereka ke toko pakaian adalah membeli mantel. Mantel mereka telah selesai, lalu apa lagi yang harus dilakukan? Ian tidak memberitahu.
“Ivander, kita mau ke mana—“
Ian menoleh ke kanan, menatap seseorang. “Permisi, apakah Anda yang bernama Emma Jasper?”
Lizzy ikut menoleh ke arah yang dituju Ian. Dalam lorong rak pakaian, berdiri seorang wanita bergaun kuning. Wanita itu menoleh, menunjukkan wajah cantiknya dihiasi oleh kacamata bulat. Perawakannya sesuai dengan yang dikatakan oleh Joe.
Emma menghampiri Ian dan Lizzy sembari memberikan senyuman ramah. “Benar sekali. Apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Kami adalah tamu Madame Walter, Madame bilang untuk menemuimu selagi beliau mengurus pembayaran pembelian kami,” jawab Ian lugas, semakin membingungkan Lizzy.
Tamu? Tunggu, tamu apa? Sejak kapan kita memutuskan untuk bertamu di sini? batin Lizzy berkecamuk menatap Ian dan Emma bergantian.
Emma mengangguk kecil. “Baiklah, mari saya antar ke ruang tamu.”
Pikiran Lizzy kosong. Tidak memahami situasi sama sekali. Dia sangat ingin bertanya kepada Ian, tetapi dia paham ini bukan waktu yang tepat. Mereka melangkah di belakang Emma untuk diantarkan ke ruang tamu. Lantas, jika Lizzy bertanya ke Ian, entah apa reaksi Emma jika mendengarnya. Entahlah, Lizzy pikir wanita itu akan curiga, mungkin.
Ruang tamu khusus yang dibicarakan oleh Joe berada di lantai tiga. Ruangannya cukup luas diisi oleh satu set sofa dan rak buku memenuhi dua dinding. Beberapa tanaman menghiasi sudut ruangan. Terdapat cukup banyak pigora berisi sertifikat dan penghargaan yang diraih oleh Jolie Clothing. Api perapian di sebelah sofa telah menyala menghangatkan ruangan.
Lizzy cukup kagum melihat sertifikat dan penghargaan di pigora. Untuk sejenak dia melupakan kebingungannya.
“Silahkan bersantai di sini, saya akan membawakan teh,” ujar Emma ramah, mengagetkan Lizzy.
Ian tidak merespon sama sekali. Lelaki itu langsung menarik Lizzy ke sofa. Lizzy memelototi Ian, menegurnya untuk merespon Emma terlebih dahulu. Tapi, Ian tidak menggubris. Akhirnya, Lizzy berusaha membungkuk hormat kepada Emma selama diseret oleh Ian.
Emma terkekeh pelan melihat Lizzy. Dia melambaikan tangan sebagai balasan sebelum keluar dari ruang tamu. Meninggalkan tamu-tamu kecil atasannya untuk membawakan teh.
“Ivander, apa maksudnya ini? Tadi seharusnya kau merespon nona itu dahulu, kau tidak sopan,” omel Lizzy tak mampu membendung kebingungan dan emosinya lagi kepada Ian.
Ian menyandarkan punggung di sofa, wajahnya menengadah ke atas, bernapas lega. “Duduklah dulu.”
Lizzy bersedekap, cemberut. “Jelaskan padaku.”
“Aku meminta tumpangan untuk meneduh kepada Madame Walter.”
Lizzy tersentak. “Huh?”
“Di luar sedang badai. Tidak mungkin bagi kita untuk menerjang badai, terutama kau yang memiliki kondisi tertentu.”
Mata Lizzy mengerjap pelan menatap tunangannya. Letup bahagia meletus dalam dadanya. Ada perasaan aneh yang menggelitik perutnya, entah apa. Lizzy pun tidak paham mengapa dia merasa bahagia.
“Setelah badai reda, kita harus segera kembali ke istana. Aku yakin orang-orang itu masih menunggu kita di luar, entah di sudut mana.”
Lizzy tersadar. “Benar juga. Orang-orang aneh itu….”
Ian menoleh ke Lizzy. “Kita akan langsung menemui ksatria kerajaan. Untuk sekarang, kita berteduh di sini.”
Lizzy mengangguk kecil, paham. Gadis itu tersenyum kecil kepada Ian sebelum berusaha naik ke sofa. Sofa di ruangan ini sama seperti sofa di istana kerajaan, kaki-kakinya tinggi. Cukup tinggi hingga sulit untuk diduduki oleh Lizzy. Ini membuat Ian terpaksa gigit bibir demi menahan tawa. Wajah cemberut Lizzy sungguh menggelitik perutnya.
Ian ingin membiarkan Lizzy berusaha sendiri. Tetapi ketika gadis itu hampir terpeleset, Ian menyerah. Dia maju menyelusupkan lengannya ke tubuh Lizzy. Tindakannya mengagetkan gadis kecil itu, tubuhnya langsung kaku. Bahkan Lizzy tidak sempat untuk memberikan protes. Lidahnya kelu akibat merasakan tubuh hangat Ian tiba-tiba menempel padanya.
Dia pasti semerah tomat sekarang, batin Ian geli seraya mengangkat tubuh Lizzy ke atas sofa, mendudukkan gadis itu di sebelahnya.
Ian mengakhiri rengkuhannya. Iris delimanya menatap wajah merah Lizzy yang hampir semerah tomat. Gadis itu tidak berkedip menatap Ian. Tubuhnya pun masih kaku walau Ian telah berhenti merengkuhnya.
Ian meraih dagu Lizzy lalu mengangkatnya guna menutup mulutnya yang sedikit terbuka. “Hei, kembalilah ke bumi, Elizabeth.”
Terkena efek sentuhan kulit pada wajahnya, Lizzy kembali ke kesadarannya. Mata birunya mengerjap cepat seraya menggeleng kuat-kuat. Panik menerjangnya.
Ian mendengus geli, tersenyum miring, puas melihat Lizzy merona sampai ke telinga. “Jangan berlebihan. Itu bukan pertama kalinya kau dipeluk laki-laki, bukan?”
Lizzy menutup muka meronanya menggunakan telapak tangannya. Tidak mau Ian melihat rona di mukanya semakin merah. “Y—Ya, tapi kau….”
“Aku apa?”
“Kau itu… aish, sudahlah lupakan.”
Diam-diam Ian mempersempit jaraknya dengan Lizzy. “Katakan atau aku akan menurunkanmu dari sofa.”
Lizzy mendecak cukup keras. Jari telunjuk kirinya bergerak mundur agar ekor matanya dapat melirik Ian. “Iblis.”
“Tidak ada yang berkata aku bagaikan malaikat,” dengus Ian terkesan bangga sambil menyeka rambutnya ke belakang. Menambah kadar ketampanannya. “Beritahu tunanganmu, Elizabeth de Gilbert. Tidak ada rahasia di antara sepasang tunangan.”
Entah kenapa, ucapan Ian membuatnya emosi. Ucapan itu jelas-jelas berkebalikan dari prinsip yang dikatakan oleh Ian di hari pertunangan mereka.
“Aku tidak akan mencampuri urusanmu dan kau tidak berhak mencampuri urusanku.”
Bahkan intonasi suaranya masih teringat jelas oleh Lizzy!
Lizzy berhenti menutupi wajahnya. Wajah rupawannya memasang kekesalan kepada Ian. “Maafkan aku, tapi bukankah itu berbeda dari yang kau katakan—KYA!”
“Terserah jika kau tidak ingin memberitahuku,” tukas Ian santai sambil mengeratkan rengkuhannya pada tubuh mungil Lizzy. Dia sedikit bergerak untuk menyamankan posisi sebelum benar-benar diam. Dia sepenuhnya mengabaikan Lizzy.
Lizzy panik. Aroma chamomile langsung memenuhi rongga hidungnya. Aroma itu sudah jelas datang dari tubuh Ian. Aromanya sungguh intens seolah kelenjar kulit Ian memproduksi aroma itu secara alami. Lizzy seolah sedang dihadapkan dengan segelas teh chamomile hangat. Jantung Lizzy ingin meledak.
“Apa… yang kau lakukan, Ivander?” tanya Lizzy, mencicit bak tikus. Tatapannya jatuh ke lengan Ian yang melingkari perutnya. Tak elak, rona wajahnya semakin parah.
“Agar kau tidak kedinginan,” jawab Ian pelan, cukup pelan.
“Eh?”
Wajah Ian menyelusup ke rambut pirang madu Lizzy. Napasnya tertarik dalam menghirup aroma vanila menguar dari rambut tunangannya. “Kau memiliki kondisi tubuh tertentu. Akan menjadi masalah jika kau pingsan.”
Oh, tidak. Jantung Lizzy sungguh akan meledak.
TO BE CONTINUED Hallo semua! Long time no see! Kemarin aku sedang weekend trip sehingga tidak bisa update. Maaf banget ya Ian dan Lizzy absen menemani weekend kalian. Semoga bab panjang ini mampu mengobati kalian yang kangen dua anak piyik ini, hehe