BAB 19

2131 Words
Satu minggu menjelang hari ulang tahun Lizzy, semua masih berjalan normal di kediaman Gilbert. Tidak ada hal menyenangkan. Arthur selalu sibuk bertugas di ruang kerja, Alice lebih sering menghabiskan waktu di ruang billiar, dan Theo selalu tidak tahu di mana eksistensinya. Tersisalah si bungsu, Lizzy, menjalani rutinitas kelasnya setiap hari. Seminggu belakangan, jadwal kelas Lizzy sedikit diperketat materinya guna mengganti satu minggu akhir Desember tidak terjadwal kelas. Sebab minggu terakhir Desember menjadi libur panjang karena hari Natal dan tahun baru. Oleh karena itu, hari ini yang tepat hari kedelapan, Lizzy sungguh lelah. Masih ada tiga hari tersisa sebelum libur, namun gadis itu sudah mencapai batasnya. Alhasil, hari ini Lizzy bangun siang karena kelelahan. Dia benar-benar melupakan ada acara penting yang akan terjadi hari ini. Lizzy yang sempat bangun jam lima pagi, kembali tidur akibat dirundung kantuk dan lelah. Spontan saja pagi ini tepat pukul sembilan, buru-buru Hera ditemani empat pelayan menerjang kamar Lizzy. “Astaga, Nona Elizabeth! Mohon Anda bangun, buka mata Anda! Hari ini Anda memiliki pertemuan penting dengan Yang Mulia!” seru Hera terpaksa menggoyangkan pundak Lizzy. Wajah damai Lizzy terganggu oleh sinar matahari yang menyelinap masuk setelah pelayan menyibak tirai. Gadis itu mengerang pelan tanpa berniat membuka kelopak mata membuat Hera semakin mengguncang pundaknya. “Nona Elizabeth, dua jam lagi Anda harus bertemu Tuan Arthur. Tolong buka mata Anda,” ujar Hera memaksa lagi. Lizzy menggeram kesal sambil menarik selimut menutup tubuhnya dengan sempurna. “Lima menit lagi, Hera….” Hera geleng-geleng kepala, mulai menaikkan kadar paksaannya dengan berusaha menyibak selimut Lizzy. “Tidak bisa begitu, nona. Ayolah, Anda tidak punya banyak waktu lagi untuk bersiap-siap. Bayangkan apa yang akan Tuan Arthur lakukan bila Anda terlambat datang menemuinya.” “Kakak?” gumam Lizzy dari dalam selimut dengan mata masih memejam. Dalam keadaan belum membuka mata, kepala Lizzy mulai mengingat-ingat apa yang seharusnya hari ini ia lakukan. Kemarin Lizzy tidur lebih awal setelah menyelesaikan beberapa PR. Sebelum Lizzy berangkat ke dunia mimpi, Hera sempat mengatakan sesuatu sebelum keluar dari kamar. “Besok Tuan Arthur mengumpulkan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul di ruang keluarga. Ia ingin membicarakan suatu hal penting. Jadi, mohon Anda tidak bangun kesiangan, nona.” Dan Lizzy ingat apa tanggapannya. “Tentu saja.” “ASTAGA!” jerit Lizzy histeris seraya bangkit duduk di kasur. Wajahnya sepenuhnya syok dengan mata melotot dan mulut ternganga lebar. Sukses mengejutkan Hera beserta pelayan lainnya. Buru-buru Lizzy turun dari ranjang. “AH, HERA, AKU AKAN MATI HARI INI!!” jeritnya lagi panik. Hera mengikuti langkah kaki Lizzy menuju kamar mandi, menghela napas panjang. “Itulah sebabnya saya mengingatkan Anda kemarin, nona.” “Aku sangat lelah karena jadwal-jadwal kelas menyebalkan itu tahu!” sahut Lizzy membela diri. “Baik, baik, sekarang mari fokus bersiap-siap.” Hera melepas gaun tidur Lizzy, memastikan suhu air di bak mandi, dan memasukkan tubuh mungil gadis kecil itu ke dalam bak. Dengan sedikit terburu-buru membasuh tubuhnya. “Semalam Tuan Arthur dan Tuan Theodoric sudah kembali dari misi mereka. Saya tidak tahu apa yang ingin Tuan Arthur bahas nanti, kemungkinan besar ada hubungannya dengan pertunangan Anda.” Lizzy mengembuskan napas. “Ya, kemungkinan besar tidak jauh-jauh dari topik itu. Berhubung ulang tahunku akan tiba enam hari lagi.” “Saya harap Anda dapat melaluinya dengan lancar. Sejauh ini, Anda sudah bekerja keras memenuhi standar Tuan Arthur. Kali ini Anda juga pasti bisa melaluinya dengan mudah.” “Terima kasih, Hera,” Lizzy menoleh ke belakang, memberikan senyuman termanisnya kepada Hera, “ah karena aku melewatkan jam sarapan, tolong siapkan sandwich daging dan s**u madu hangat.” “Baik, nona.” Akibat terpepet waktu, durasi mandi Lizzy yang biasanya empat puluh menit, terpangkas menjadi dua puluh menit. Hera lebih menekankan ke dandanan Lizzy yang dirasa lebih penting. Meski ia terpaksa melakukannya, namun mau bagaimana lagi, bukan? “Untuk hari ini, ikat saja rambutku menggunakan pita berwarna hitam. Ikat ekor kuda,” pinta Lizzy di sela para pelayan memakaikan gaun merah muda, “aduh, pita pinggangnya terlalu kencang, Marie.” “Ah, maafkan saya, nona. Saya terlalu panik.” Hera berancang-ancang menata rambut Lizzy. “Nona, tolong sedikit menahan diri. Untuk kali ini saja, saya sedikit terburu-buru untuk menata rambut Anda.” Lizzy mengangguk kaku. “Tentu, keluarkan semua tenagamu. Jangan sungkan-sungkan!” TOK TOK “Nona Elizabeth, saya Charles, mengingatkan Anda bahwa ini sudah—“ “SEBENTAR LAGI!!” jerit Lizzy beserta para pelayan secara kompak membuat jantung Charles hampir melompat keluar. Charles langsung menoleh ke kanan, bertanya kepada Caesar melalui sinyal mata. Pengawal pribadi Lizzy itu pun langsung menjawab, “Nona bangun kesiangan.” “Ah, itu menjelaskan semuanya.” Charles manggut-manggut takzim. “Tapi tumben sekali. Nona tidak pernah bangun kesiangan sebelumnya.” “Seminggu belakangan, jadwal kelas nona diperketat materinya guna mengganti kekosongan jadwal di minggu akhir tahun. Jadi, nona kelelahan.” Charles berdehem paham. Pria tua itu menatap arloji sakunya, lantas hendak mengetuk pintu lagi. Akan tetapi, kecepatan tangannya kalah cepat dengan tangan Lizzy. Gadis kecil itu langsung menyeruduk keluar tanpa aba-aba, mengagetkan Charles dan Caesar. Dengan mengangkat gaunnya, Lizzy berlari keluar tanpa mengatakan apa-apa. Tentu saja tindakan Lizzy membuat Charles dirundung panik. “NONA, JANGAN BERLARI-LARI DI DALAM RUMAH! BERBAHAYA!” Tentu saja Lizzy tidak mendengarkan. Dia sudah dihantui oleh bayang-bayang wajah menyeramkan Arthur. Seumur hidup, Lizzy tidak ingin mencari masalah dengan Arthur. Terlebih sejak momen pertama saat Arthur memarahinya ketika Lizzy jatuh sakit akibat mogok makan. Ah, sudahlah, Lizzy semakin tidak ingin membayangkannya! Napas Lizzy mulai habis ketika sudah melewati empat koridor dan menuruni dua jalur tangga. Berhubung ruang keluarga berada di lantai dua di rumah utama, Lizzy pun harus berlari menyebari jalan penghubung antar dua rumah. Ya, Lizzy menempati area terpisah dari area rumah utama. Dengan tubuh kecilnya, mudah bagi napasnya terserap habis. Ugh, tamatlah riwayatku, tamatlah riwayatku! Semoga aku masih sempat, Tuhan mana pun yang ada, tolong beri aku sedikit belas kasihanmu! rutuk Lizzy merapalkannya di sepanjang jalan. Padahal Lizzy ingat betul betapa teliti dan disiplinnya Arthur terkait penampilan. Bila Lizzy berlarian, keringat akan membasahi keningnya. Tentu mata biru tajam Arthur mudah menyadarinya. Dan tidak butuh waktu lama bagi lidah tajam Arthur untuk mulai memarahi Lizzy dengan segala kalimat terpedas yang pernah ada. Ah, Lizzy mana peduli. Lizzy lebih peduli dirinya tidak datang terlambat. Ketika Lizzy menemui tikungan koridor, langkah kakinya hendak berbelok ke kanan. Akan tetapi, saat itu juga, sepatunya terasa licin hingga membuatnya tergelincir hendak jatuh ke depan. Benak dan batin Lizzy sudah meraung pasrah bersiap menghantam lantai. Dia sudah sangat pasrah penampilannya akan semakin kacau akibat terjatuh. Namun kemudian, mata Lizzy membulat merasakan tubuhnya mendarat di tubuh seseorang. Dia tidak terjerembab ke lantai berkat seseorang tanggap menangkapnya. Beberapa detik terdiam dalam dekapannya, Lizzy perlahan mendongak. Matanya mengerjap kaget melihat paras tampan Arthur berada dekat dengannya. “K—Kakak?” ujarnya pelan. Wajah datar Arthur diam menatap Lizzy. Tubuhnya turun, lututnya menekuk guna menjadi tumpuan demi menangkap tubuh adiknya yang nyaris terjerembab ke lantai. Tangannya terhenti di udara, tidak merengkuh Lizzy. Membiarkan adik bungsunya itu berpegang pada tangannya. “A—Ah, maafkan kecerobohanku, Kak. A—Aku lari karena tidak ingin datang terlambat. Maafkan aku,” cicit Lizzy setelah bangkit berdiri. Kepalanya menunduk dengan tangan saling menyatu, sedikit gemetar tak berani menatap Arthur. Tubuh Arthur yang kini sejajar dengan tinggi Lizzy membuatnya dapat melihat wajah Lizzy lebih dekat. Ia mengerjap beberapa kali, mengamati. Melihat Lizzy lebih dekat menghadirkan penemuan-penemuan baru bagi Arthur. Arthur baru tahu mata adiknya bukan sekedar biru biasa seperti ibunya dan Theo, melainkan ada semacam corak berlian dalam pupil biru tersebut. Arthur juga baru menyadari betapa mungilnya Lizzy. Dalam sudut pandangnya, gadis itu bagaikan seekor bayi kelinci. Mungil, rapuh, dan sangat lemah. Jauh berbeda dibandingkan sosok Alice saat seusia Lizzy. Bagi Arthur yang memiliki adik-adik tidak normal seperti Alice dan Theo, sosok Lizzy benar-benar asing baginya. Arthur tidak tahu bagaimana caranya bersikap pada adik selemah Lizzy.   “Kakak?” panggil Lizzy setelah jeda hening yang cukup lama, sedikit memberanikan diri untuk mendongak. “Aku sungguh minta maaf. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. T—Tolong jangan marah.” Arthur melengos pelan. Tanpa membalas ucapan Lizzy, Arthur meraih tubuhnya. Lizzy yang tidak menduga tindakan Arthur pun terkejut setengah mati merasakan kakinya berhenti menapak lantai. Secara spontan kedua tangannya menyentuh pundak Arthur agar tidak terjatuh. Dalam benak dan batinnya, Lizzy kebingungan, tidak habis pikir sama sekali. Arthur menyamankan posisi Lizzy. Lengannya saling terlipat, menjadi tumpuan p****t Lizzy. Tubuh Lizzy menempel sempurna memeluknya. Dirasa sudah baik-baik saja, kaki Arthur mulai melangkah. Dia benar-benar tidak berniat mengeluarkan sepatah kata kepada Lizzy. Tidak peduli apa yang akan dipikirkan oleh adiknya karena perlakuan mendadaknya. Lizzy pun memilih diam dalam gendongan Arthur. Dia memang kebingungan. Otaknya buntu tidak menemukan dugaan alasan yang tepat atas tindakan kakaknya. Hanya saja, Lizzy sedikit merasakan ada sebuah perasaan mengalir padanya melalui perlakuan Arthur. Entah perasaan apa yang disalurkan oleh Arthur. Namun, sangat jelas terasa nyaman bagi Lizzy.   *** “Kuharap kau tidak akan datang lagi ke sini,” cibir Elesis usai menyesap teh. Mengundang seringai muncul di wajah Ian. “Tak usah khawatir. Memang itulah niatku,” sahut Ian remeh, “sebaiknya kau segera memutuskan untuk bertunangan bila tidak ingin ayahmu melibatkanku dalam hidupmu.” Elesis mengerjap cepat, sedikit melongo tak percaya menatap sikap percaya diri Ian yang setinggi langit. “Siapa kau sampai memiliki kepercayaan diri setinggi itu, huh? Kau menjijikkan.” “Ayolah, kita tidak perlu menyangkalnya lagi,” Ian menyeringai semakin lebar, “sudah jelas ayahmu meninggalkan kita berdua di sini karena ingin menjodohkanmu denganku.” “Jaga mulutmu, Bloich.” Ian meletakkan cangkir, lantas menyandarkan rahangnya pada tangan kanannya. “Kudengar kau tidak kunjung memenuhi keinginan ayahmu untuk bertunangan. Hmm, apa lagi akar masalahnya? Ah, ya, kau tidak berencana naik tahta karena ingin menjadi seorang ksatria.” “Tetap saja bahkan jika memang benar ayahku sengaja menjodohkanku, dia tidak akan mengincarmu karena kau sudah bertunangan!” Ian mendengus pelan. “Aku belum bertunangan.” Elesis melipat tangan, tersenyum sinis. “Jangan bercanda. Kau sudah mengukuhkan pertunanganmu saat kau masih berumur 4 tahun. Semua orang tahu itu.” Ian memilih tidak memberi tanggapan karena dirinya mulai terpancing amarah. Tidak habis pikir. Bahkan ketika ia berada di kerajaan lain, masih ada orang-orang yang membawa masalah pertunangannya. “Ah, dengan siapa lagi kau bertunangan?” Elesis mengedikkan pundak, menyeringai kecil. “Elizabeth de Gilbert? Putri bungsu dari keluarga penguasa dunia hitam Ophelia?” Ian berusaha menahan diri untuk tidak menyemburkan amarahnya. “Untuk apa kau menyinggung pertunanganku. Kembali ke topik awal, bodoh.” “Agar kau menyadari betapa bodohnya tingkat kepercayaan dirimu, idiot.” desis Elesis sama-sama berusaha menahan diri membuat sorot matanya menajam mengarah pada mata merah Ian. “Bahkan jika memang ayahku berniat menjodohkanku denganmu, maaf, kau bukan tipeku.” Ian terkekeh sinis. “Apalagi kau. Kau jauh dari seleraku, Nona Cengeng.” “Aku turut prihatin pada Elizabeth,” tandas Elesis bernada dan berwajah serius membuat kening Ian sempat mengernyit sekilas, “untuk berakhir bertunangan dengan laki-laki egois sepertimu, benar-benar mimpi buruk abadi.” “Untuk ukuran orang yang tidak mengenaliku, kau cukup lancang.” Elesis mendengus geli. “Perlukah? Aku bisa mengatakannya hanya dengan sekali melihatmu, Tuan Arogan.” “Kau tidak punya hak untuk mengkritik hidupku.” “Kau tidak punya hak untuk mengaturku.” “Kalian para perempuan memang merepotkan.” dengus Ian jijik membuat Elesis semakin terpancing. “Kalian selalu mengocehkan hal-hal tidak penting, terutama tentang perasaan-perasaan bodoh semacam cinta. Membual tidak ingin bertunangan dengan orang yang tidak kalian cintai, tapi pada akhirnya kalian juga akan mengambil keuntungan dari hubungan yang awalnya kalian sangkal. Munafik.” Sorot mata Elesis menajam pada pupil merah Ian. Tanpa disadari, tangannya meremas gaun demi menahan diri untuk tidak mengacau. Bagaimanapun juga Elesis adalah tuan rumah, pengganti figur ayahnya dalam menerima tamu kerajaan. Elesis harus lebih dewasa agar masalah memalukan tiga tahun lalu di Kerajaan Ophelia tidak terulang. Hanya saja tampaknya Ian menyadari usaha Elesis sehingga berusaha memancing kemarahan gadis itu secara terang-terangan. Elesis sudah sering mendengar desas-desus betapa menyebalkannya Ivander de Bloich. Ia juga sudah merasakannya secara langsung tiga tahun lalu. Namun kini sifat Pangeran Mahkota itu semakin menjadi-jadi karena tidak ada seorangpun berani menentangnya. Terlebih karakter Raja Marquis sama seperti putranya. “Untuk saat ini, mulutmu bebas mengatakan apapun. Menghina perempuan, mengkritik kami, dan menganggap kami selancang apa pun yang terlintas dalam otak kecilmu,” Elesis tersenyum iblis, “berhati-hatilah dengan perputaran takdir. Aku tidak yakin apakah mulutmu akan selamanya bebas mengatakan apapun. Saat masa itu tiba, kupastikan akulah yang menertawakanmu, Ivander de Bloich.” Bagi Ian yang tidak berpendirian kuat, peringatan Elesis tidak lebih dari sekedar bualan. Harga diri dan kepercayaan dirinya membuat Ian tidak gentar, lantas menanggap dengan santai, “Aku menantikannya, Elesis Cassie Cosby.” TO BE CONTINUE [Jujur aja, aku pun gemes bikin karakter Ian semacam itu. Pengen tak hiiihhh]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD