BAB 18

1951 Words
Selama 19 tahun sejak Perang Kudeta yang dikomando oleh Alfredo Weasley dunia mengalami perkembangan teknologi yang pesat. Beragam penemuan mutakhir mulai ditemukan dan dikembangkan secara intensif. Satu per satu mulai muncul para penemu dengan beragam penemuan cemerlangnya. Dunia menyambut mereka dengan baik sehingga kemajuan teknologi pun terjadi.  Kerajaan Ophelia memiliki campur tangan besar dalam perkembangan teknologi tersebut. Selama 19 tahun, pihak Kerajaan Ophelia sudah mempatenkan hak cipta transportasi baru berupa mobil. Dalam bidang komunikasi, Ophelia menjadi pelopor terciptanya telepon pertama di dunia. Walau masih dikembangkan, gagasan penemuan itu sudah dipatenkan oleh pihak peneliti Ophelia.  Perkembangan teknologi ini sangat disyukuri oleh Ivander de Bloich yang tidak suka berlama-lama menaiki kereta kuda. Selain memakan waktu lama, biaya pemeliharaan kereta dan kuda tidaklah murah. Terlebih ada banyak situasi serta kondisi perjalanan yang tidak dapat dilalui oleh kereta kuda. Jadi, Ian sangat mensyukurinya. Ian tidak perlu melalui perjalanan berhari-hari ke wilayah mana pun. Dengan adanya mobil, waktu perjalanan menjadi terpangkas banyak. Secara pribadi, Ian menyukai eksistensi mobil berkat manfaatnya. Hanya saja untuk kali ini, Ian benci menaiki mobil. Sebab, tujuan mobil yang ditumpanginya bukanlah tujuan yang ingin Ian singgahi. “Yang Mulia, sebentar lagi kita akan memasuki wilayah Kerajaan Pennsylvania. Jadi, tolong untuk memerbaiki raut wajah Anda.” Ian mendecak kasar. “Jangan memberiku perintah.” “Yang Mulia, dengan segala hormat dan rendah diri, saya hanya ingin citra Anda sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Ophelia tetap baik dan terus meningkat di hadapan para keluarga kerajaan tetangga,” ujar Johan membela diri membuat Ian semakin dirundung kesal. “Ini bukan kemauanku untuk datang ke Pennsylvania,” cibir Ian sambil melipat tangan, “Raja Pintar itu benar-benar tahu bagaimana cara membuat emosiku naik.” Johan berdehem pelan bermaksud menegur cibiran Ian terkait Marquis. “Yang Mulia Raja mengirimkan Anda ke Pennsylvania demi memerbaiki hubungan antar kerajaan yang dahulu hampir terancam, Yang Mulia. Tolong dimengerti.” “Itu sudah terjadi tiga tahun lalu, sialan.” “Yang Mulia, saya sarankan agar Anda tidak mengeluarkan kata-kata umpatan itu di hadapan Yang Mulia Raja,” ujar Nicholas Battenberg, Kepala Kedutaan Kerajaan Ophelia, sedikit terkekeh dari bangku depan samping sopir. “Memangnya aku berniat mengumpat di hadapannya, huh?” sahut Ian sewot membuat Nicholas tersenyum geli. “Aku tidak mengerti kenapa raja gila itu baru mengirimku sekarang setelah tiga tahun berlalu.” Nicholas melipat tangan, mulai berpikir. “Bila dipikir-pikir, ada benarnya juga. Jeda waktu tiga tahun itu cukup lama.” “Dia hanya berniat membuatku kesal karena mengajaknya berdebat,” dengus Ian menuduh, “harga diri setinggi langit dan sifat gilanya memang menakjubkan.” “Atau mungkin Yang Mulia memikirkan perasaan Putri Elesis,” tukas Nicholas membuat Ian sedikit melongo tidak habis pikir. “Raja gila itu? Raja gila dan bodoh yang takut pada istrinya itu?” Ian terkekeh sinis. “Kau mulai tertular gilanya, Tuan Battenberg.” “Yang Mulia, Anda tidak boleh mencibir ayah Anda sendiri,” tegur Johan dengan helaan napas berat. Sudah lelah mencoba meluruskan sikap jelek Ian yang sangat suka mencibir Marquis. Nicholas tertawa, pria empat puluhan itu menoleh ke belakang, menampilkan wajah cerah khasnya. “Maksud saya, coba Anda bayangkan sejenak. Jika Yang Mulia langsung mengirimkan Anda ke Kerajaan Pennsylvania, Putri Elesis pasti tidak akan menerima kedatangan Anda. Usaha untuk memperbaiki hubungan kekerajaan pun akan menjadi sia-sia. Itu sebabnya Anda baru dikirim sekarang.” “Itu memang terdengar masuk akal, tapi sayangnya tidak seperti itu. Dia tidak pernah berniat memikirkan hal semacam ini.” Ian mendengus seraya menyandarkan punggungnya diikuti kaki terlipat. “Sebentar lagi Kerajaan Pennsylvania akan memiliki hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Li dari benua Asia. Ayahku hanya ingin membuat Raja Garrold tidak melupakan hubungannya dengan Ophelia.” Nicholas manggut-manggut, kembali ke posisi duduknya, menatap jalanan. “Ah, semacam itu. Rupanya berita itu sudah sampai ke telinga Anda, Yang Mulia.” Ian mendengus pelan. “Sudah jelas dia mengirimku karena terlalu malas untuk pergi.” “Bukankah bagus untuk Anda karena dapat menemui Putri Elesis lagi? Saya yakin Tuan Putri sudah memaafkan Anda.” “Jangan bercanda. Perempuan itu merepotkan.” Nicholas mengerjap, cukup terkejut. “Putri Elesis merepotkan?” “Ya. Begitu juga seluruh perempuan lainnya.” “Saya sarankan Anda menyimpan opini itu untuk Anda sendiri, Yang Mulia,” Nicholas menghela napas panjang, “bayangkan betapa sedihnya Nona Elizabeth bila mengetahuinya.” Lagi-lagi Ian mendecakkan lidah. “Tidak kau juga, Tuan Battenberg.” “Hm? Apakah ada yang salah?” “Berhenti menyangkutpautkan segalanya dengan anak itu.” “Anak?” “Bocah Gilbert itu.” Nicholas menghela napas. “Yang Mulia, Nona Elizabeth memang masih muda, tapi jangan lupakan umur Anda yang juga belum di atas 15 tahun.” “Benar, Yang Mulia. Bagaimanapun juga, sebentar lagi Anda akan bertunangan secara resmi dengan Nona Elizabeth.” timpal Johan menyetujui. Dalam sudut pandang Ian, ia tidak menyangka waktu berjalan secepat itu. Rasa-rasanya baru kemarin Ian bertemu Elizabeth yang masih mungil dan tidur di kereta bayi. Baru pula bertemu sosok Elliana de Gilbert yang telah wafat. Dan baru pula melalui acara pengukuhan pertunangan. Namun kini Elizabeth akan berusia tujuh tahun sehingga mereka akan menghadapi pertunangan resmi. Benar-benar tak terasa. “Tolong jaga putri saya, Elizabeth.” Ian menghela napas lelah seiring kelopak matanya memejam. “Bila itu Yang Mulia Pangeran, saya dapat memercayakannya dengan tenang.” Wajah, nada suara, dan kalimatnya masih membekas jelas dalam ingatan Ian. Terkadang ingatan itu akan muncul tanpa diminta di sela rutinitasnya. Mayoritas muncul kala Ian hendak tidur. Awalnya Ian tidak peduli, tetapi lama-lama mulai sedikit menjengkelkan. Seolah-olah kalimat itu merupakan mantra yang dirapalkan agar Ian patuh. Efek psikologis yang ditimbulkan dari kalimat sederhananya benar-benar merepotkan. Namun, Ian cukup mengerti. Sudah sewajarnya seorang ibu mengatakan hal semacam itu kepada laki-laki yang diikatkan dengan putrinya. “Yang Mulia, kita telah sampai.” Teguran Johan membawa Ian kembali dari benak pikirannya. Pintu mobil telah dibukakan oleh Johan tanpa Ian sadari. Asistennya itu pasti telah menunggunya beberapa menit akibat Ian melamun. Terserahlah. Lakukan apa yang perlu kau lakukan, Ivander, batin Ian saat bergerak keluar dari dalam mobil. Bersiap memasuki istana Kerajaan Pennsylvania. *** “Salam untuk sang cahaya Pennsylvania, Yang Mulia Raja Garrold Harriah Cosby. Salam untuk sang berkah Pennsylvania, Tuan Putri Elesis Cassie Cosby.” Sang Raja Pennsylvania tersenyum. “Kau bisa berdiri, Pangeran Mahkota.” Ian, Nicholas, dan Johan bangkit berdiri setelah memberikan salam hormat kepada Garrold, Raja Pennsylvania. Di hadapan mereka Garrold sedang duduk di sebuah bangku yang terletak di tengah-tengah taman istana. Pelayan sudah meletakkan kudapan dan cangkir-cangkir teh di meja. Garrold pun tidak sendirian, ada putrinya yang menemani, berdiri di sebelah beliau. Berbeda dari tiga tahun lalu, Putri Elesis Cassie Cosby telah tumbuh menjadi putri yang anggun dan jelita. Cukup mampu membuat Ian mengerjap sejenak karena tidak mengenali penampilan Elesis saat tiba menghadap Garrold. “Kau pasti lelah melalui perjalanan panjang ke Pennsylvania. Temani orang tua ini minum teh.” ujar Garrold memersilahkan Ian bergabung ke meja teh. Pria yang sudah beruban penuh itu pun menoleh ke Elesis. “Kau juga, Elesis. Duduklah.” Ian membungkuk hormat dengan tangan kanan menyentuh d**a kirinya. “Sebuah kehormatan bagi saya untuk menemani Anda, Yang Mulia. Saya harap saya tidak akan membuat Anda bosan.” Garrold terkekeh hangat. “Tentu. Kau juga tidak perlu terlalu formal denganku, pangeran.” Nicholas membungkuk diikuti Johan. “Dengan begitu, kami undur diri, Yang Mulia.” “Ah, Nicholas, bila tidak keberatan, temanilah Warren. Beberapa hari yang lalu dia sempat mengutarakan ingin membahas gagasan kebijakan baru denganmu,” sahut Garrold. “Bila Anda tidak keberatan dengan saya, dengan senang hati saya menerimanya, Yang Mulia.” Dengan begitu Nicholas, Johan beserta para pelayan menjauh dari area bangku taman. Menyisakan Garrold, Ian dan Elesis. Ian dan Elesis duduk berdampingan di hadapan Garrold. Bentuk meja yang kotak membuat jarak antar keduanya cukup dekat. Mulai menimbulkan kecanggungan yang berusaha mereka tutupi dengan ekspresi datar dan sikap tenang masing-masing. “Apa kabar Raja Marquis dan Ratu Victorique, nak? Kudengar Ophelia sedang sibuk mengatasi negosiasi untuk menduduki wilayah Britania,” tanya Garrold membuka topik pembicaraan. “Mereka baik-baik saja, terima kasih atas perhatian Anda.” Ian menyunggingkan senyum simpul. “Terkait wilayah Britania, cukup banyak yang harus kami kerjakan sehingga akhir-akhir ini kami bekerja keras lebih dari biasanya. Ayah tidak ingin berlama-lama larut dalam proses menduduki wilayah tersebut.” Garrold mengangguk paham. “Tentu saja, nak. Britania merupakan tanah yang sangat diberkati. Kaya dengan sumber daya alamnya, terutama minyak bumi. Semakin cepat Marquis mendudukinya, semakin cepat sumber daya itu diolah.” “Benar, Yang Mulia. Bila berjalan sesuai rencana, sekitar bulan Mei tahun ini Ophelia akan mengirimkan pasokan minyak bumi kepada Pennsylvania.” “Kami sangat berterimakasih atas hal itu, nak. Minyak bumi menjadi komoditas yang cukup langka di Pennsylvania.” Garrold menyesap tehnya. “Sampaikan salam dan ucapan terima kasihku kepada Marquis.” Ian tersenyum formal. “Tentu, akan saya sampaikan, Yang Mulia.” Garrold mengembuskan napas lega setelah menyesap teh. Pria tua itu menoleh kepada putrinya yang sedari awal diam memerhatikan. “Elesis, kau tidak menyukai kuenya?” “Tidak, aku menyukainya, ayah,” jawab Elesis sedikit tertangkap kegugupannya. “Baguslah, makanlah selagi masih hangat.” Garrold menoleh ke Ian. “Kau juga, Pangeran Ivander. Untuk hari ini, koki istana menyiapkan kue-kue manis khas Pennsylvania. Kuharap memenuhi seleramu.” “Terima kasih, Yang Mulia. Saya selalu mendengar kue manis khas Pennsylvania merupakan salah satu kue yang tidak boleh dilewatkan untuk dicicipi. Saya senang dapat menikmatinya hari ini.” Garrold terkekeh ramah. “Astaga, kau terlalu memuji.” “Ah, tidak, saya bersungguh-sungguh.” Garrold meletakkan cangkirnya, kedua sikunya bertumpu di meja dengan kedua jemari saling menyatu. Mata tuanya menatap Ian dan Elesis bergantian. “Tidak kusangka waktu cepat sekali berlalu. Saat kita pertama kali bertemu, kau masih sangat kecil, pangeran.” “Benar, saya setuju, Yang Mulia,” balas Ian seadanya tanpa memudarkan senyum formalnya. Garrold manggut-manggut. “Ya, rasa-rasanya baru kemarin kau membuat putriku menangis dan cemberut satu hari penuh. Sekarang kalian sudah di atas 10 tahun. Cepat sekali.” Ian dan Elesis terkesiap melihat Garrold tiba-tiba membawa masalah tiga tahun lalu di Kerajaan Ophelia tersebut. Mereka yang memasang sikap tenang sedari awal pun sedikit terpancing. Kegugupan dan kecanggungan itu keluar dari topeng tenang mereka. Gelagat itu tentu tertangkap sorot mata tua Garrold, cukup menghibur baginya. Ian sedikit menegakkan punggung, berusaha kembali tenang. “Untuk masalah itu, saya menyampaikan permintaan maaf sedalam-dalamnya. Saya melewati batas hingga membuat Tuan Putri menangis. Saya harap Yang Mulia menerima permintaan maaf kecil saya.” Tangan Garrold melambai santai. “Ah, kau tidak perlu menangkapnya terlalu serius, Pangeran Ivander. Aku sudah memaafkanmu sejak saat itu, aku cukup mengerti situasinya. Saat itu Elesis memang masih cengeng.” “Ayah,” panggil Elesis memprotes membuat Garrold tertawa. “Terima kasih banyak atas pengertian Anda, Yang Mulia.” Ian turun dari kursi, lantas sedikit membungkuk kepada Elesis. “Saya harap Tuan Putri Elesis menerima permintaan maaf saya.” “Tentu, Pangeran Ivander. Saya sudah memaafkan Anda sejak awal, Anda tidak perlu memikirkannya.” Melihat situasi berjalan mulus, Garrold bangkit berdiri. Sang Raja yang sudah tua itu berdehem beberapa kali sebelum bersuara, “Baiklah, anak-anak, izinkan orang tua ini pamit untuk mengurus beberapa hal. Silahkan kalian menikmati teh dan camilannya.” Tindakan tiba-tiba Garrold mengundang kekagetan Ian dan Elesis. Keduanya sama-sama tidak menyangka akan ditinggalkan berdua seperti itu. “Tunggu, ayah, kenapa tiba-tiba sekali? Bukankah sekarang pertemuan ayah dengan Pangeran Ivander untuk membahas beberapa hal penting?” tanya Elesis sambil bangkit berdiri. “Hal itu bisa dilakukan nanti. Untuk sekarang ada yang harus kuurus terkait kebijakan baru yang sedang dibahas oleh Warren dan Nicholas.” jawab Garrold santai, lantas menoleh kepada Ian. “Tidak akan menjadi masalah, bukan, pangeran? Kuharap kau tidak keberatan menemani putriku sejenak.” Orang ini sangat sengaja, huh? batin Ian curiga. Ian tersenyum. “Tentu saja, Yang Mulia. Tidak perlu mengkhawatirkan saya, pembahasan itu bisa kita lakukan setelah urusan Anda selesai.” Garrold manggut-manggut, berganti menoleh ke Elesis. “Elesis, temani pangeran sebagai tuan rumah di sini. Kuharap kau tidak akan menangis lagi, hm.” “Ayah!” Garrold pergi dengan tawa renyahnya, meninggalkan Ian dan Elesis berdua di bangku taman. Tentu saja dengan kepergiannya membuat atmosfer di antara Ian dan Elesis semakin canggung. Bukan mengapa, hanya saja keduanya sama-sama tahu betapa berbohongnya lawan sebayanya itu. “Kau benar-benar berbakat dalam berakting, huh?” cibir Elesis, melipat tangan. Ian menoleh masih dengan senyum formal khasnya. “Kau pun juga memiliki bakat itu, Elesis si Cengeng.” TO BE CONTINUE [Fun Fact: ide cerita dan inspirasi The Queen Quality muncul tiap kali aku dengerin lagu Zayn Malik - Dusk Till Dawn. Lagu itu bener-bener jadi lagu tema TQQ dan sumber inspirasi tiap bab muncul karena lagu itu, hehe. Have a nice sunday, everyone!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD