Lizzy tidak kaget ketika mengetahui dirinya menaiki kereta kuda bersama Ian. Dia sudah diinformasikan oleh Hera sebelum berangkat ke istana kerajaan. Kurang lebih, Lizzy sudah menyiapkan beragam skenario yang akan dia lakukan selama bersama Ian di kereta kuda. Sesuai informasi pula, tiga jam adalah patokan waktu yang akan Lizzy habiskan bersama Ian. Jadi, mental Lizzy sudah cukup siap.
Namun kemudian, semua persiapan itu hancur dalam sekejap kala Lizzy mengetahui gaun yang dia pakai sekarang adalah pilihan Ian. Setelan pasangan yang Ian pilih dari desain khusus Madam Red, desainer favorit Lizzy. Hanya alasan sepele, tapi mampu memporak-porandakan mental yang susah payah Lizzy bangun.
Lain kali, Lizzy harus mempertimbangkan untuk mengajukan sesi cek rutin kesehatan mental dengan Dokter Augustus. Tampaknya, Lizzy butuh melatih mentalnya agar lebih kuat setiap menghadapi Ian.
“Kue buatanmu,” celetuk Ian tiba-tiba setelah tiga puluh menit perjalanan berlalu, sukses mengejutkan Lizzy.
Lizzy menoleh, mengerjap cepat. “Ya? Ada apa, Yang Mulia?”
Ian tidak menoleh. Lelaki itu setia memandang ke luar jendela. “Kue buatanmu terlalu manis. Aku tidak menyukainya.”
“Maafkan kecerobohan saya. Kue-kue itu… adalah masakan pertama saya. Saya harap Anda memakluminya,” Lizzy sedikit menunduk dengan maksud meminta maaf, diam-diam sekaligus menyembunyikan wajah sedihnya.
“Tidak ada yang memberitahumu bahwa aku tidak suka makanan manis?”
“Sayangnya, tidak. Saya baru mendengarnya hari ini. Maaf, lain kali saya tidak akan mengulanginya lagi.”
Tepat sesuai dugaan Ian. Lizzy tidak tahu fakta penting tentangnya. Bagi perempuan yang dikurung di mansion selama enam tahun, hal semacam itu tidaklah janggal. Informasi yang Lizzy dapatkan sangat kecil dan tidak terbukti. Mungkin saja satu-satunya sumber informasi Lizzy adalah buku dan pelayan pribadinya. Jadi, Ian tidak memermasalahkannya.
Untuk apa memarahi Lizzy setelah Ian menghabiskan biskuit dan cookies rumahan itu? Malah jadi konyol.
Memang benar Ian sedikit sensitif bila menyangkut perempuan. Dilandaskan oleh mindset buruk tentang perempuan, terkadang Ian lebih condong tidak berlogika. Akan tetapi, Ian tidak pernah melewati batasnya. Dia tahu mana yang beralasan dan tidak beralasan. Contoh kecilnya adalah kesalahan Lizzy dalam membuatkan biskuit serta cookies terlalu manis. Ian paham itu ada alasan rasionalnya, jadi dia tidak terlalu memperpanjangnya.
Tampak seperti Ian tidak terlalu masalah bila hidupnya dicampuri oleh perempuan. Padahal Ian benar-benar tidak suka. Memikirkan orang lain tidak pernah, pun perempuan. Pertunangannya dengan Lizzy memaksa hidup Ian berubah seratus delapan puluh derajat karena diharuskan selalu memikirkan orang lain; Lizzy.
Sudahlah, tidak ada jalan keluar lain bagi Ian. Satu-satunya cara agar hidupnya terasa nyaman setelah bertunangan adalah melempar fakta kepada Lizzy.
“Elizabeth,” panggil Ian seraya menoleh, berhenti menatap ke luar jendela. Memasang wajah datar tanpa berhenti menopang rahang, Ian kembali bersuara usai Lizzy menoleh. “Aku yakin kau sudah tahu apa-apa yang akan terjadi setelah kita bertunangan. Tapi, akan kuperjelas lagi.”
Akhirnya, dia mau membicarakannya. Sesuai dugaanku, batin Lizzy sedikit lega.
Lizzy mengangguk satu kali, berwajah sama datarnya. “Saya tahu dan memahaminya. Jika ada yang—“
“Berhenti formal padaku. Aku tahu formalitasmu sangat terpaksa.”
Lizzy tersenyum tipis. “Baiklah, sesuai permintaanmu. Aku tidak akan formal.”
“Langsung saja ke intinya,” Ian melirik pemandangan luar sejenak. Napasnya terambil dan terembus dalam waktu singkat seolah mempersiapkan diri menyampaikan kabar buruk. “Aku tidak akan mencintaimu.”
Di situasi ini, hati perempuan akan tertusuk pisau tak kasat mata. Jantung mereka akan mulai berpacu cepat seiring bola mata mereka memanas karena hendak menumpahkan bulir air. Seolah tidak cukup, pikiran para perempuan akan kosong karena serangan kejut mendadak. Mental mereka melemah.
Ya, perempuan mana yang tetap teguh usai menerima penolakan perasaan dari laki-laki? Jika memang ada, maka sesungguhnya perempuan itu telah mengikhlaskan perasaannya secara damai atau perempuan itu tidak pernah mencintai.
Lizzy berada di pilihan kedua. Dia tidak mencintai Ian. Jadi, situasi ini tidak membuatnya sakit hati.
“Ya. Aku juga tidak akan mencintaimu,” sahut Lizzy amat ringan tanpa keraguan.
“Aku tidak peduli alasan yang mendasari kau terpilih menjadi calon Ratu Ophelia. Pun tidak mau tahu. Aku menerima pertunangan ini secara terpaksa. Tapi, bukan berarti aku akan menerimamu begitu saja. Setelah pertunangan, keberadaanmu dalam hidupku tidak berubah; perempuan bangsawan merepotkan.
“Aku tidak akan mencampuri urusanmu dan kau tidak berhak mencampuri urusanku. Tapi, aku dan kau paham pihak mana yang paling gencar mengganggu hubungan ini. Jangan karena aku tidak mencampuri urusanmu sehingga kau bisa bersikap bebas di pergaulan sosial. Kau mengerti?”
Lizzy mengangguk kecil. “Aku mengerti. Tanpa kau menjelaskannya pun itu semua adalah niatku sejak awal. Aku tidak berencana menganggap hubungan di antara kita berubah menjadi serius setelah resmi bertunangan. Itu… tidak ada artinya, tidak mengubah apa pun.”
“Yang perlu kau lakukan hanya bersikap baik di depan semua orang selayaknya tunangan Pangeran Mahkota. Jika rasanya sehina itu, jaga saja citra baikmu sebagai bangsawan dari keluarga Gilbert. Aku tidak ingin terlibat apa pun tentangmu, terutama rumor. Aku bisa memberimu segalanya kecuali perasaan merepotkan yang disebut cinta itu, asalkan kau tidak melewati batasmu.”
Entah kenapa, terasa miris. Bila diingat-ingat, ini adalah perbincangan terpanjang Ian dan Lizzy. Perbincangan panjang yang lebih serius dibanding sebelum-sebelumnya. Sayangnya, bukan tentang membicarakan keseriusan masa depan mereka. Namun membicarakan ‘kesepakatan’ yang seharusnya tidak terjadi antar dua sejoli yang hendak bertunangan.
Lizzy paham bahwa inilah yang akan terjadi di jalan yang dipaksakan untuk dipijaknya. Penuh curam, terjal, dan lonjakan. Benar-benar jalan yang tidak ingin Lizzy tempuh, namun dia harus melakukannya. Baik itu menjadi Ratu Ophelia maupun tunangan Pangeran Mahkota, keduanya sama-sama berat. Terlalu berat.
“Ya, aku mengerti. Kejadian tempo lalu, aku tidak akan mengulanginya lagi. Maaf mengganggumu dengan rumor konyol. Padahal aku baru melakukan debut sosial, tapi dunia tidak sebaik itu padaku hingga langsung menimbulkan masalah,” ujar Lizzy, tersenyum tipis, sangat tipis.
Ian mendengus pelan. “Baguslah jika kau menyadari kesalahanmu.”
Kalau aku adalah aku di umur lima tahun, berdekatan dan bertatapan langsung dengan pangeran ini akan membuatku sangat bahagia. Terlalu bahagia hingga buta dengan apa yang sebenarnya kuhadapi, batin Lizzy merasa miris. Aku yang dulu sangat menantikan ini, memikirkan apa, ya, saat itu? Aku sangat buta.
“Jika aku boleh bertanya, apa yang akan kau lakukan selanjutnya terkait calon istrimu?” tanya Lizzy seraya menaikkan tingkat senyumannya menjadi senyum simpul.
Ian menoleh ke kiri, kembali menatap ke luar. “Untuk sekarang aku tidak minat memikirkannya. Ayahku sangat tegas atas pertunangan ini, jadi percuma saja memikirkannya sekarang.”
“Bila diasumsikan, apakah itu artinya kau memiliki niat untuk mencari pasangan idealmu sendiri?”
“Anggap saja seperti itu.”
“Jika tidak berhasil?”
Ian melirik Lizzy. “Aku akan menikahimu dan menceraikanmu setelah kau melahirkan penerus tahta untukku.”
Tepat seperti dugaanku, huh, batin Lizzy tercabik habis, Aku dilahirkan hanya untuk menjadi alat bagi Ivander.
***
Tidak ada kenyataan seindah cerita dongeng. Pangeran tampan baik hati menikahi perempuan cantik yang tidak kalah baik, lantas hidup bahagia selamanya. Dongeng anak-anak yang sangat klise itu tidak lebih dari janji omong kosong yang diciptakan oleh orang dewasa. Sebuah kebahagiaan dan impian kosong untuk anak-anak yang berujung luka.
Tidak ada pangeran baik hati. Yang ada adalah pangeran dengan dua sisi seperti koin. Bisa jahat, bisa baik. Awalnya jahat, tiba-tiba baik. Begitu pun sebaliknya. Tidak ada juga perempuan cantik yang tidak kalah baik. Perempuan semacam itu selalu memiliki akhir menjadi manusia yang mudah ditipu dan dimanfaatkan.
Semua itu adalah omong kosong.
Lizzy telah membuktikannya secara nyata. Pangeran yang menjadi tunangannya adalah pangeran iblis yang hatinya telah mengeras. Sementara, pangeran satunya masih tampak baik dan tidak bermasalah. Namun, siapa yang bisa menjamin Noah tidak seperti Ian?
“Aku akan menikahimu dan menceraikanmu setelah kau melahirkan penerus tahta untukku.”
“Sudah siap?” tanya Ian bertepatan dengan kalimat lelaki itu berputar dalam benak Lizzy.
Lizzy menoleh, sedikit menunduk. Matanya menatap lengan kirinya mengamit siku kanan Ian. Tidak ada jarak di antara mereka. Tidak tahan melihat kontak fisik tersebut, kepala Lizzy kembali ke posisi semula, menatap ke depan. Berhadapan dengan pintu utama gereja yang masih ditutup.
Aku tahu, aku hanya alat bagimu. Dari awal, tidak ada alasan jelas mengapa aku yang terpilih. Semuanya abu-abu dan ambigu. Jadi, apa lagi yang kuharapkan? rutuk Lizzy berusaha menguatkan diri.
“Kupikir kita sudah sepakat,” ujar Ian membuyarkan lamunan Lizzy, membuat gadis itu meliriknya, “jadi, kenapa kau berwajah seperti itu? Kau ingin bangsawan-bangsawan bodoh itu berpikir aku telah memperlakukanmu secara buruk?”
Bukankah itu faktanya? sahut batin Lizzy tak mampu menyuarakannya.
Lizzy memasang senyum secerah mungkin. “Maafkan aku. Aku hanya sedikit gugup.”
Kebohongan besar.
“Yang Mulia Pangeran Mahkota Ivander dan Nona Gilbert memasuki aula!” seru seorang pendeta memberi aba-aba bagi Ian dan Lizzy untuk melangkah memasuki gereja.
Pintu terbuka, menampakkan seisi gereja yang dipenuhi para bangsawan. Dengan ornamen-ornamen klasik yang sangat tua berpadu warna biru dan putih, gereja St. Church sangat hidup. Usia bangunannya tidak ditunjukkan oleh kerapuhan tonggak bangunan, melainkan ornamen klasiknya.
Ian dan Lizzy melangkah menyusuri karpet merah yang membelah aula. Lurus menuju altar, tempat Kepala Uskup Benedictus menanti mereka bagaikan acara pernikahan. Di sisi kanan belakang altar, ditempati oleh Marquis dan Victorique. Sementara, sisi kiri belakang altar ditempati oleh Arthur dan Alice. Mereka sama-sama menanti Ian dan Lizzy sampai di altar.
Bohong bila Lizzy berkata dia tidak gugup. Alibinya kepada Ian sebelum memasuki gereja tidak sepenuhnya berbohong. Lizzy tidak menyangka situasi gereja setegang ini. Semua orang sedang menatapnya, mencari cela. Tidak hanya mencari cela Lizzy, mereka juga mencari cela Ian. Wajar saja, ini adalah momen pertama para bangsawan bertemu dengan Ian, sang penerus tahta.
Kepala Uskup Benedictus memberikan salam penghormatan sesaat setelah Ian dan Lizzy sampai di hadapannya. Pria yang sudah sangat tua itu menyunggingkan senyum hangat yang tidak pernah berubah di mata Ian. Senyum penuh aura kebapakan yang sungguh menyebalkan, bagi Ian.
“Senang bertemu kembali dengan Anda, Yang Mulia. Saya bersyukur karena Anda selalu dilimpahi berkah dan kesehatan hingga dapat tumbuh dengan baik,” sapa Kepala Uskup sebelum beralih ke Lizzy. “Senang bertemu kembali dengan Anda juga, Nona Gilbert. Anda tumbuh menjadi perempuan yang sangat rupawan.”
“Simpan saja tenagamu, kakek tua. Segera selesaikan ini,” bisik Ian ketus membuat Lizzy reflek menarik lengan kanan yang dia apit. Terkejut dengan pergerakan Lizzy, Ian menoleh dengan tampang sedikit melongo. “Apa yang kau lakukan?”
Lizzy menggeram kecil. “Itu pertanyaanku. Apa yang kau lakukan kepada Kepala Uskup. Tolong kendalikan dirimu dalam menghadapi orang lain.”
Ian mendecak kecil, memalingkan lirikannya dari Lizzy. Tidak memilih untuk meladeni omelan Lizzy.
Dengan begitu, acara pertunangan dimulai. Tidak banyak prosedur yang harus dilalui. Pengimplementasiannya sama seperti pernikahan, perbedaannya terletak pada sumpah mempelai. Prosedur itu dihilangkan, diganti dengan penandatanganan dokumen resmi yang berisi pernyataan kesanggupan dan terima atas pertunangan.
Di sepanjang sesi pemberkatan dan pemanjatan puja-puji kepada Tuhan, Lizzy tidak bisa fokus sama sekali. Pikirannya dikuasai oleh segala hal yang akan terjadi setelah ini. Lebih tepatnya, setelah resmi bertunangan. Jika segalanya berjalan sesuai keinginan Ian, Lizzy tidak akan menjadi Ratu. Tahta itu akan berganti ke perempuan pilihan Ian. Lantas, Lizzy akan tersingkir begitu saja selayaknya bidak catur yang tidak berguna lagi di medan perang.
Namun, jika skenario terburuklah yang terjadi, maka Lizzy berakhir menikahi Ian hanya untuk melahirkan penerus tahta sebelum kemudian diceraikan. Lizzy tidak perlu menjadi Ratu sampai akhir hayatnya. Dia hanya perlu melahirkan penerus tahta, lalu pergi. Lagi-lagi, selayaknya bidak catur.
Kehidupan yang semacam itu, apakah jauh lebih baik bagi Lizzy? Hidup hanya untuk menjadi alat untuk Ian. Dibuang setelah tidak berguna.
“Nona Gilbert, giliran Anda,” ujar Kepala Uskup menegur lamunan Lizzy.
Lizzy mendongak, menatap dokumen resmi yang harus ditandatangani. Mata biru berlian Lizzy menemukan kotak di sudut kiri dokumen telah tertera tanda tangan Ian.
Tidak ada jalan keluar, rutuk Lizzy mulai merasakan nyeri menghujam dadanya.
Sedikit gemetar, tangan Lizzy meraih pena. Mati-matian gadis itu berusaha mengendalikan gejolak kesedihannya. Walau dia sudah memperkirakan hal inilah yang terjadi, nyatanya dia tetap tidak mampu melaluinya. Terlalu sakit hingga membuat Lizzy susah bernapas.
“Dengan begini, Yang Mulia Pangeran Mahkota, Ivander de Bloich, dan putri keluarga Gilbert, Elizabeth de Gilbert, resmi bertunangan.”
Inilah kenyataannya. Tidak ada yang lebih buruk dari dilahirkan hanya untuk menjadi alat, Lizzy hanya bisa membatin pedih.
TO BE CONTINUED
[Yap, inilah kenyataannya, guys. Ian memang setega itu dan Lizzy semellow itu]