“Tidak kusangka, aku menghadiri pesta teh yang sama dengan calon Putri Mahkota sekaligus Ratu Ophelia.”
“Aku sudah sering mendengar beragam kabar tentangmu. Membuatku tidak sabar untuk segera bertemu, tak kusangka akan secepat ini.”
“Nona Gilbert, kuharap kita dapat menjalin hubungan dengan baik untuk ke depannya.”
Ketika Lizzy menghadiri jamuan teh pertama usai resmi bertunangan, respon-respon semacam itulah yang dia dapatkan. Bernada puja-puji, senyum bertebar di mana-mana, dan kalimat-kalimat manis yang berlebihan. Dalam dua jamuan teh, Lizzy merasakan perbedaan yang signifikan antara belum bertunangan dan usai bertunangan.
Sikap manusia ditentukan berdasarkan siapa yang mereka hadapi. Lizzy telah membuktikannya.
“Terima kasih, kalian terlalu memuji. Tolong perlakukan aku seperti bangsawan biasa, lagipula aku belum menjadi anggota keluarga kerajaan,” ujar Lizzy dengan senyum simpul, menyebarkan kesan penuh rendah hati.
“Benar, tapi melihatmu saja sudah terasa sekali perbedaannya. Kau berada di posisi yang jauh dari jangkauan kami. Rasanya mendebarkan,” sahut Elaine McMillan, perempuan paling modis yang dikenal sebagai biang gosip.
Grace Jellavic, teman dekat Elaine, mengangguk setuju lantas menimpali. “Semua orang mengenalmu sebagai pasangan yang dipilih langsung oleh Tuhan. Gereja pun mengakuinya. Berdasarkan fakta itu saja sudah membuktikan betapa berbedanya kita, Nona Gilbert.”
“Tapi, apa yang dikatakan oleh Nona Gilbert ada benarnya. Dia belum menjadi anggota keluarga kerajaan, jadi statusnya tidak berbeda jauh dari kita. Kita tidak perlu memperlakukannya secara berbeda,” sangkal Jasmie Ford membuat Lizzy mengangguk kecil.
“Ya, seperti yang dikatakan Nona Ford, kalian tidak perlu menahan diri denganku. Aku masih sekedar bangsawan biasa,” timpal Lizzy untuk kesekian kalinya meminta gadis-gadis di hadapannya berhenti mengungkit statusnya.
“Baiklah. Maaf jika sedikit menyinggungmu, Nona Gilbert. Aku hanya merasa sangat kagum sejak pertama kali mendengar kabar tentangmu,” ujar Elaine, nyengir.
Ah, ini merepotkan. Lima belas menit belum berlalu sejak Kallista membuka jamuan, tapi mereka sudah menyerudukku tanpa henti, batin Lizzy kesal sambil menyesap teh Darjeeling pertama yang diseduhkan para pelayan.
Sesuai surat Kallista, Lizzy mendapatkan undangan jamuan teh di kediaman Trancy. Jamuan itu diadakan empat hari setelah pertunangan Lizzy. Maka, tidak heran bila saat ini topik seputar pertunangan Lizzy yang mengalir. Mengingat betapa antusiasnya para bangsawan menantikan pertunangan itu terjadi, topik pertunangan tidak akan mereda dalam waktu dekat.
Di acara pertunangan Ian dan Lizzy, seluruh bangsawan Ophelia menghadirinya, kecuali putra-putri mereka yang melajang. Sehingga hanya dihadiri oleh sepasang bangsawan dewasa, tidak ada anak kecil maupun remaja. Ketidakadilan ini membuat para anak kecil dan remaja hanya bisa membicarakannya tanpa henti. Di lain sisi, mereka menunggu kesempatan untuk mendekati Lizzy, berusaha menjalin interaksi dan hubungan demi kepentingan masing-masing.
Kallista sudah memperkirakannya. Dia mengundang sedikit perempuan ke dalam jamuan tehnya. Mayoritas adalah perempuan yang dikenal betul wataknya berdasarkan observasi Kallista. Walau Kallista tidak pernah berinteraksi dengan anak-anak selain dari keluarga Phantomhive dan Gilbert, Kallista tahu watak setiap bangsawan hanya dengan melihatnya. Dengan begini, Kallista sangat membantu Lizzy karena tidak menghadirkan perempuan seperti Alyssa Flow yang sama-sama dibenci oleh Kallista.
Walau tetap saja, Lizzy tidak dapat menghindar dari topik pertunangannya karena semua orang akan setia membicarakannya dalam waktu cukup lama.
“Sudahlah, bagaimana kalau kita berhenti membicarakan pertunangan Nona Gilber sejenak? Aku yakin Nona Gilbert merasa tidak terlalu nyaman bila dibicarakan terus-menerus,” usul Jasmie membuat Lizzy tersenyum cerah.
Elaine menelan kunyahan kue sebelum menyahut. “Aku tidak yakin ada topik menarik selain pertunangan Pangeran Mahkota dan Nona Gilbert. Maksudku, yang mudah dibicarakan di meja teh seperti ini.”
Jadi, pertunanganku sangat mudah dibicarakan, huh. Bahkan mereka tidak ragu-ragu membicarakannya di hadapanku, batin Lizzy sedikit tercubit geram.
Jasmie mengangguk pelan. “Benar juga. Akhir-akhir ini tidak ada hal menarik yang terjadi selain kasus perdagangan dan penculikan anak di Felsham.”
Ucapan Jasmie membuat seisi meja terdiam. Suasana santai yang menyelimuti seketika berganti menjadi mencekam. Tidak ada yang tidak merasa ngeri usai mendengar Jasmie mengungkit kasus yang masih belum terpecahkan itu. Berhubung usia mereka belum menginjak sepuluh tahun, bulu kuduk mereka spontan merinding bila seseorang mengungkit kasus itu di hadapan mereka.
Merasakan kengerian yang nyata bahwa kapan saja mereka bisa menjadi korban selanjutnya.
Grace menghela napas panjang, menjadi orang pertama yang memecah hening. “Nona Ford, topik itu terlalu mengerikan untuk dibicarakan di meja teh.”
“Maafkan aku. Aku hanya mengatakan fakta,” sahut Jasmie dengan wajah menyesal.
Berbeda dari kelima perempuan lain di meja teh, Kallista dan Lizzy tidak merasakan apa-apa. Mereka menangkap dan mengamati rasa takut dari perempuan di sekeliling mereka. Tidak bergeming, tidak merinding, dan tidak ketakutan. Kallista dan Lizzy sama-sama tahu kengerian asli dari kasus tersebut. Hanya dengan seseorang mengungkitnya, tidak lantas membuat mereka takut begitu saja.
“Kasus itu memang mengerikan. Setahuku, sejauh ini korban sudah bertambah sepuluh anak. Tampaknya ini bukan salah pengamanan di Felsham, melainkan pelakunya yang gila. Aku tidak akan kaget bila penculik itu bukan manusia biasa,” ujar Elaine mendapat angguk setuju seisi meja.
“Ya, aku pun menduga demikian. Akan menjadi masuk akal bila seperti itulah pelakunya,” timpal Grace sebelum menyuap sesendok kue.
“Kudengar, kasus itu mulai merambat ke Alterius. Apakah itu benar, Nona Gilbert?” tanya Elena Rudd membuat seluruh pasang mata di meja teh beralih ke Lizzy.
Lizzy, satu-satunya tamu yang tinggal di Alterius, menoleh dengan mata mengerjap polos. “Alterius? Ah, ya, aku sempat mendengar rumornya. Cukup membuatku merinding.”
Hela suara kaget menggema serempak. Kecuali Kallista, para perempuan menatap Lizzy dengan raut horror. Ada juga beberapa yang sedikit bersimpati kepada Lizzy. Rasa takut menguasai diri mereka kala terbesit kemungkinan Lizzy menjadi korban selanjutnya.
Lizzy melambaikan tangan, tersenyum kecil. “Tidak perlu khawatir. Untuk sekarang, Alterius aman. Belum ada kasus serupa terjadi di Alterius.”
Lagi-lagi serempak, para perempuan mengembuskan napas lega. Wajah horror mereka berganti ke raut penuh kelegaan.
“Benar, ceroboh sekali aku melupakan satu fakta. Grand Duke Gilbert tidak mungkin kecolongan seperti Grand Duke Lawshall. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Elaine benar-benar lega, tanpa ada maksud buruk dalam mengkritik Grand Duke Lawshall.
“Tidak akan berlebihan bila seseorang berkata Alterius lebih aman daripada Ophele,” timpal Grace setuju disambut anggukan seisi meja.
Jasmie bertepuk tangan satu kali, menarik perhatian. “Mari kita sudahi topik ini. Di waktu bersantai seperti ini, bukankah lebih menggairahkan untuk membicarakan laki-laki?”
Usulan Jasmie disambut gayung. Sorakan setuju bercampur antusias para perempuan mengisi meja. Selayaknya perempuan pada umumnya, membicarakan laki-laki tidak akan ada matinya. Lebih spesifiknya, perjamuan teh sudah menjadi ajang para perempuan dalam bertukar informasi seputar laki-laki. Selain bertukar informasi, mereka saling bersaing dari belakang dalam memperebutkan laki-laki idamannya.
Ini cukup mengerikan, bagi Lizzy. Dia sering mendengar keantusiasan perjamuan teh berasal dari perbincangan tentang laki-laki. Lizzy, yang tidak pernah keluar dari mansion, tidak memiliki informasi apa-apa seputar laki-laki selain Ian. Dia mulai merasa tidak akan bisa berbaur dalam perbincangan seputar laki-laki.
“Bagaimana dengan Tiga Besar? Selain Pangeran Mahkota, dua lainnya masih lajang, bukan?” tanya Elaine antusias, langsung melempar topik yang tidak Lizzy pahami.
Grace mengusap ekor matanya menggunakan saputangan seolah-olah sedang menangis. “Sangat disayangkan, Pangeran Mahkota sudah resmi bertunangan. Ikan emas itu sudah ditangkap oleh Nona Gilbert. Harapan kita ada di dua lainnya dari Tiga Besar.”
“Tiga Besar?” beo Lizzy polos.
“Sebutan untuk tiga laki-laki idaman teratas para perempuan,” jawab Kallista cuek, tidak tertarik membicarakan laki-laki.
Elena tersenyum cerah. “Benar! Tiga laki-laki itu terdiri dari Yang Mulia Pangeran Ivander, Ashton Phantomhive, dan Eric Armstrong.”
“Tuan Muda Phantomhive selalu memasang wajah datar yang seolah berhati dingin dan tidak memedulikan orang lain. Memang terkesan mengerikan, tapi, kita semua setuju, tidak ada yang bisa menandingi kharismanya yang sangat keren,” celoteh Elaine sumringah sembari membayangkan wajah Ashton. Menyebarkan euphoria ke perempuan-perempuan lain.
Wajah Grace semakin mendramatisir. “Sayang sekali Tuan Muda Phantomhive susah didekati. Aku sangat ingin berbicara dengannya setidaknya satu kali selama hidupku.”
“Dibandingkan Pangeran Mahkota dan Tuan Muda Phantomhive, bukankah Tuan Muda Armstrong bagaikan kebalikan watak dari mereka? Dia mudah didekati karena ramah kepada semua orang,” ujar Amber Chevalier, satu-satunya gadis berwatak tenang nan kalem di antara perempuan yang menghadiri jamuan teh Kallista.
Jasmie mengangguk setuju. “Aku pernah berbicara singkat dengannya. Auranya sungguh memikat. Kharismanya tidak kalah dibandingkan Tuan Muda Phantomhive.”
Mereka belum bertemu pangeran, tapi sudah menjadikannya di urutan pertama sebagai laki-laki idaman. Apa yang akan terjadi jika mereka tahu betapa buruknya sifat pangeran? batin Lizzy maklum.
“Kharisma dan ketampanan Tuan Muda Phantomhive dan Armstrong tidak perlu diragukan lagi. Tapi, membicarakan mereka membuatku semakin penasaran dengan Pangeran Mahkota,” celetuk Grace memecah atmosfer, tidak sadar telah membuat Lizzy terkesiap.
Elena terkekeh pelan. “Benar juga. Kita belum pernah melihat Pangeran Mahkota, tapi sudah memosisikan beliau di urutan pertama.”
Elaine menghela napas panjang. “Karena kita semua tahu Pangeran Mahkota pasti sangat tampan dan berkharisma. Aku bertaruh, pada debut sosial Pangeran Mahkota, kita semua langsung pingsan setelah melihat beliau selama tiga detik.”
Candaan Elaine mengundang tawa sekaligus angguk setuju. Tidak ada yang tidak setuju, pun meragukannya. Daripada bercanda, ucapan Elaine lebih seperti ramalan yang pasti akan terjadi.
“Bagaimana menurutmu, Nona Gilbert? Apakah benar Pangeran Mahkota sangat tampan dan berkharisma?” tanya Amber setelah gelak tawa mereda.
Lizzy langsung menjadi pusat perhatian. Lima perempuan menunggu jawabannya dengan mata berkobar antusias sekaligus semangat. Tidak repot-repot menyembunyikan ketertarikan mereka kepada Ian di hadapan tunangan Ian. Bagi Lizzy, sikap mereka tidak aneh. Hukum alamnya, sudah sewajarnya seorang pangeran menjadi tokoh utama penarik hati seluruh perempuan.
Justru aneh bila ada perempuan yang tidak menyukai pangeran.
Dan perempuan aneh itu ada, yaitu Lizzy.
“Aku setuju. Yang Mulia Pangeran sangat tampan dan berkharisma,” ujar Lizzy membuat lima perempuan semakin sumringah. “Seperti kata Nona MacMillan, pasti tidak ada yang tahan menatapnya lebih dari tiga detik karena ketampanannya sangat menyilaukan. Aku sudah merasakannya.”
Bohong besar.
Lebih seperti, kau tidak akan tahan menatapnya lama-lama karena mata merahnya seolah siap membunuh siapa pun, batin Kallista memahami apa yang sebenarnya Lizzy maksud.
“Sudah kuduga! Ah, semakin tidak sabar menantikan debut sosial Pangeran Mahkota!”
“Nona Gilbert sangat beruntung. Aku akan selalu iri padamu.”
“Jangan terlalu dipikirkan, Nona Jellavic. Masih ada Tuan Muda Phantomhive dan Armstrong!”
“Hei, ini menurutku saja, tapi bukankah Tuan Muda Damarion juga sangat berpotensi?”
Sorak semangat mengalir layaknya sungai di sepanjang perjamuan teh. Membicarakan seluruh laki-laki bangsawan tanpa henti seolah tidak akan pernah bosan membicarakannya setiap hari.
Memangnya aku beruntung? batin Lizzy.
***
“Jadi, maksud ibu, kasus ini tidak dijalankan perseorangan?” tanya Ian dengan alis kanan naik.
“Ya. Karena ini perdagangan manusia, pelaku pasti tidak sendirian. Dia memiliki back up yang cukup berpengaruh di dunia hitam. Aku sudah menghubungi Arthur untuk membicarakan masalah ini. Sisanya, mengerahkan tim Mayor Jenderal Damarion untuk membantu pengamanan di Felsham. Sedangkan, tim Brigadir Jenderal Albern memata-matai mereka,” jawab Victorique kasual.
“Tumben sekali Albern mau menerima tugas semacam itu,” komentar Ian cukup heran.
Victorique menoleh dengan senyum lebar. “Tentu saja dia mau. Daripada kulempar ke perbatasan kerajaan di Selatan, tugas ini lebih mudah, bukan?”
Kita semua tahu Ratu Ophelia yang mungil nan rapuh seperti boneka tidak pantas untuk diremehkan.
“Jadi, masih belum ada yang perlu kulakukan?” tanya Ian.
“Tidak ada. Tunggu informasi dari Arthur dan Albern. Setelah itu, aku akan memikirkan tahap selanjutnya. Mungkin saja saat itu kau sudah mulai kugerakkan.”
Ian mendengus pelan. “Kira-kira, ibu akan menyuruhku apa?”
“Entahlah. Jika kau menanyakannya sekarang, aku masih belum memiliki gambaran. Mungkin menyusup ke markasnya?”
Ian nyaris memasang wajah syok melihat betapa santainya Victorique mengatakan hal gila. Ibu macam apa yang dengan santai menyuruh anaknya lompat ke markas orang jahat?
Victorique terkekeh geli melihat raut putranya. “Ian, kau tahu ibu tidak akan setega itu.”
“Tidak. Aku sangat tahu kadang-kadang ibu setega itu,” sangkal Ian ngeri.
“Sudahlah, masalah ini tidak perlu dibicarakan sekarang karena belum ada informasi apa-apa. Bersantailah sedikit.”
Ian menghela napas pelan. “Ya, aku tahu.”
Victorique bertopang dagu, matanya mengamati Ian dari ujung kepala sampai kaki, membuat Ian was-was. “Hari ini aku merasa ada yang kurang darimu.”
“Aku mengerti. Cincin pertunangan, bukan?” sahut Ian sambil mengeluarkan sebuah kalung yang menggantung di lehernya, memperlihatkannya.
“Oh, kau menjadikannya kalung?” tanya Victorique cukup terkejut.
“Aku merasa tidak nyaman bila memakainya di jari,” jawab Ian kasual, memasukkan kalung itu kembali, lantas mengedikkan pundak. “Tidak masalah, bukan?”
“Tentu saja. Tidak masalah, bagiku. Entahlah bagi Marquis. Mungkin dia akan sedikit mempermasalahkannya.”
Ian mendecak pelan. “Aku memahami kemungkinan itu lebih dari yang lain.”
“Bersabarlah dengannya,” kekeh Victorique membuat Ian mendengus. “Ah, mungkin kau berhak tahu lebih awal tentang rencana pertunangan Noah.”
Ian mengerjap kaget. “Pertunangan Noah?”
“Ya, Marquis berniat menjodohkannya dengan Putri Charlotte dari Kerajaan Douphens. Kau tahu, Marquis sudah memutuskan untuk memberikan tahtanya kepadamu. Jadi, demi menghindarkan Noah dari jangkauan faksi aristokrat, Marquis akan memertunangkannya dengan Putri Charlotte yang berasal dari luar Ophelia. Kurasa itu adalah jalan keluar terbaik.”
Dalam hidup Ian, musuh utamanya adalah faksi aristokrat. Dia paham betapa tidak sukanya faksi aristokrat atas keputusan Marquis memberikan tahta kepada Ian. Mereka tidak setuju Ian naik tahta karena Ian berwatak seperti Marquis. Dan Ian tahu itu. Ian tidak berniat mengubah watak dan metode kepemimpinannya sama sekali karena dirasa itulah yang terbaik bagi kerajaan.
Mengikuti kemauan Marquis, Ian setuju untuk menjauhkan Noah dari jangkauan siapa pun agar tidak memicu perang saudara. Semata-mata demi menghindari perseteruan yang sia-sia.
Tapi, entahlah, apakah ini benar-benar yang terbaik bagi Noah?
TO BE CONTINUED
[Syukurlah, kondisi kesehatanku sudah membaik sehingga dapat kembali melanjutkan The Queen Quality. Kuharap, kalian masih setia setelah tiga hari aku nggak update, huhu. Oh, ya, apakah bab kemarin banyak yang sakit hati karena Ian? Sabar, ya, pelan-pelan kita bikin Ian kena karmanya, hehehe. Have a nice Tuesday, everyone!]