BAB 44

1803 Words
“Aku ingat bahwa orang yang mengundangku ke tempat menyesakkan ini adalah Victorique, bukan kau.” Marquis tertawa puas, meledek. “Memangnya aku akan membiarkan istriku didekati bocah tengik semacam dirimu? Tidak akan pernah terjadi.” “Seharusnya kau sadar betapa menjijikannya dirimu,” balas Arthur tajam, namun tidak berhasil membungkam tawa menyebalkan Marquis. “Aku tidak percaya aku harus selalu berurusan dengan pria tua yang cemburuan.” Seringai menghiasi wajah Marquis. “Kau tidak perlu marah, bocah. Lagipula, kau juga memiliki urusan denganku, bukan?” Arthur mendengus cukup kasar seraya melipat kaki. Punggungnya bersandar pada sofa, tangannya bersedekap. Ada sedikit gurat lelah di wajahnya, namun itu tidak terlalu merusak ketampanannya. Sebuah pemandangan yang jarang ditemui oleh Marquis karena selama ini Arthur tampak tidak memiliki beban apa pun. Melihat wajah putra sulung Eugene itu sedikit realistis membuat Marquis semakin menyeringai. “Tawanan nomor 001? Dia masih tidak waras, sebentar lagi kewarasannya akan meledak. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan atau dinegosiasikan dengannya. Menyerah saja,” ujar Arthur bernada lelah. Marquis tersenyum cerah. “Begitukah? Lalu, kau sudah menyuruh Robert untuk mengeksekusinya?” “Dia sudah mati setelah mulut kotornya menyumpahi keluargaku.” “Sayang sekali. Padahal dia seorang raja, tapi martabatnya nihil,” ledek Marquis santai seraya merebahkan diri di sofa dalam kondisi masih berhadapan dengan Arthur. “Jika kau ingin menyandera putranya, kesempatanmu untuk menguasai Kerajaan Bara semakin besar.” Marquis melirik dengan kesan tidak suka membuat Arthur ingin mencekiknya karena kesal. “Apa-apaan kau? Jahat sekali. Aku bukan raja serakah yang mudah memiliki niat menguasai kerajaan lain.” “Omong kosong apa yang kau bicarakan, orang tua,” hujat Arthur sinis. “jika kau sebaik itu, sejak dulu tidak akan ada perang kudeta dan faksi bodoh.” “Bukankah itu hal yang wajar?” Marquis merenggangkan tubuhnya guna melepas penat yang menggerogoti seluruh tubuhnya. “Manusia adalah makhluk serakah. Mereka tidak akan pernah puas dan aku tidak punya kewajiban untuk memuaskan keserakahan mereka.” “Apakah kepala bodohmu itu sudah melupakan kesepakatan yang kau buat sendiri?” “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah mengingkari janji.” Mata biru Arthur menyipit. “Sekali saja kau kecolongan, aku tidak akan menyerahkan Lizzy padamu.” “Baik, baik, lakukan sesukamu. Pada akhirnya, Lizzy akan tetap menjadi menantuku.” “Aku tidak akan pernah mengerti dengan jalan pikiranmu.” Marquis menoleh ke kanan, membalas tatapan Arthur. “Tampaknya kau harus mulai memercayai Tuhan. Tidakkah terlalu suram bagimu untuk menjadi seorang atheis? Lihat apa yang Tuhan lakukan pada adikmu.” “Aku percaya. Tuhan memang ada, tapi tidak berguna. Dia hanya berlagak di singgasananya, memperhatikan penderitaan manusia, dan mempermainkan hidup semena-mena. Tanpa perlu kau beritahu, aku ingat apa saja yang Dia lakukan pada keluargaku.” Marquis menyeringai kecil. “Kalimat yang terlalu kasar.” “Perhatikan lidahmu, Raja Bodoh. Kau sendiri tidak pernah menyembah Tuhan, tapi sekarang kau sok-sokan memenuhi perintah-Nya untuk perjodohan konyol.” Tubuh Marquis bergerak, memiringkan tubuhnya ke kanan. Tangan kanannya bertumpu guna menyangga kepalanya. “Bukankah kau sudah tahu mengapa aku bersih keras menjodohkan Ian dan Lizzy?” Arthur mendelik tajam, sangat membenci mengatakan, “Aku tahu.” “Bahkan jika Tuhan tidak menurunkan perintah semacam itu, aku akan tetap menjodohkan mereka,” Marquis terkekeh pelan, “tidak ada yang lebih pantas menduduki tahta Ratu selain Lizzy.” “Artinya, kau menutup mata dari penderitaan yang akan Lizzy rasakan ke depannya.” “Aku tidak buta. Untuk itulah aku menjanjikan perlindungan penuh padamu, bukan? Aku sangat tahu apa yang akan faksi bodoh itu lakukan demi melengserkan Lizzy.” Arthur mengembuskan napas pelan. “Black Guild sudah menyinggung rencana yang akan dijalankan oleh faksi itu. Kusarankan agar kau segera memertunangkan Noah agar semakin jauh dari jangkauan mereka.” “Aku sudah merencanakannya. Dia akan kutunangkan dengan Putri Charlotte dari Douphens. Mereka akan menikah sebelum Ian naik tahta. Setelah itu Noah akan menjadi Duke of Ophele. Akhir yang bahagia, bukan?” Alis Arthur naik sebelah, heran. “Putri Charlotte? Maksudmu, si putri egois dan sombong itu?” “Ya, yang itu. Kau punya keluhan?” “Bagaimana bisa kau memilihkan perempuan buruk untuk anakmu sendiri. Putri egois itu lebih cocok dengan bocah tengikmu daripada Noah.” Marquis mendengus kasar. “Siapa yang kau panggil bocah tengik, huh?” “Siapa lagi? Pangeran Mahkota bodohmu,” hujat Arthur membuat wajah Marquis mengeruh. Seolah menyiram minyak ke dalam kobaran api, Arthur menambahkan. “Mereka cocok dalam segala aspek. Sombong dan tidak tahu diri. Daripada bocah itu bersama Lizzy yang sangat bersih, Charlotte lebih pantas untuknya. Jika kau memertunangkan Lizzy kepada Noah, aku tidak akan komplain.” Wajah keruh Marquis semakin bertambah buruk. Dia mencomot biskuit sambil membalas, “Wah, apa-apaan ini? Kau memerintahku?” “Entahlah. Kau pikir begitu?” “Harusnya kau paham saat menyebut sifat Charlotte. Mana mungkin aku membiarkan perempuan semacam itu menjadi Ratu, huh.” Arthur menghela napas panjang seraya bangkit berdiri. Menyudahi perbincangannya dengan Marquis yang terasa menyebalkan. “Sudahlah, urusan utamaku ke sini bukan untuk meladeni ocehanmu.” “Ingat aturannya, lima—“ “Lima meter dari Victorique,” sahut Arthur sewot memotong suara Marquis. Marquis mengacungkan jempol dengan wajah datar. “Anak pintar.” Kendalikan dirimu, Arthuria de Gilbert. Tidak ada gunanya meladeni orang bodoh ini, batin Arthur mati-matian menahan emosi. Arthur menyingkir dari hadapan Marquis. Kakinya melangkah keluar dari ruang kerja sang Raja, berniat menemui sang Ratu sesuai kesepakatannya dengan wanita itu. Dari awal, Arthur datang ke istana hanya untuk memenuhi permintaan pertemuan dengan Victorique, bukan Marquis. Namun seperti yang sudah-sudah, selalu ada saja cara Marquis untuk mengganggu Arthur sehingga memperlambat pria itu dalam menemui Victorique. Ketika Arthur berpikir tidak ada yang akan mengganggunya lagi, langkah kakinya terhalang oleh Ian, sang Pangeran Mahkota. Putra pertama Marquis yang mewarisi seluruh gen pria merepotkan itu. Tidak hanya gen fisik, tapi juga tiap sifatnya. Mungkin inilah alasan Arthur membenci Ian. Menghadapi Ian tidak ada bedanya dengan menghadapi Marquis. Menjengkelkan. Sikap Arthur kepada keluarga kerajaan tidak membeda-bedakan siapa pun. Tidak ada anggota keluarga yang menerima perlakuan baik dari Arthur. Semata-mata menunjukkan betapa tidak ikhlasnya Arthur menjadi Anjing Penjaga Kerajaan. Bahkan Arthur bersikap buruk kepada Noah meski Noah begitu hormat kepadanya. Jadi, tidak ada alasan bagi Ian untuk meladeni Arthur ketika Arthur sendiri tidak mau meladeninya. Tanpa berkata-kata, Arthur bergeser, lalu melangkah pergi. Tidak memberi salam, tidak pula menatap. Seolah dia tidak sedang berpapasan dengan seorang Pangeran Mahkota, calon Raja. Ian tidak memermasalahkannya. Dia tidak mau lompat ke dalam urusan merepotkan hanya karena seseorang tidak menghormatinya. Dia cukup mengerti mengapa Arthur memperlakukan keluarganya secara buruk. Lagipula, Ian memiliki sudut pandang lain. Aku memperlakukan adiknya dengan buruk, untuk apa aku memintanya bersikap semestinya padaku, batin Ian sebelum memasuki ruang kerja ayahnya. *** “Sudah kubilang, jangan membuat arahnya miring saat menarik panah.” Bibir Lizzy mengerucut sebal. “Aku tahu. Ini bukan kemauanku untuk membuatnya miring.” “Cepat tembakkan. Kau membuang waktuku.” Lizzy semakin cemberut mendengar omelan Theo. Secara ogah-ogahan, Lizzy melesatkan anak panah tanpa keseriusan penuh. Panah itu melesat cepat menuju lingkar bidik. Lizzy kira tembakannya akan membaik, sayangnya tidak. Panah kembali meleset dari bidik utama. Malah menancap di luar lingkaran bidik. Theo mendengus. “Sudah kubilang, kau tidak memiliki bakat.” Lizzy memutar badan ke kiri untuk menghadap Theo dengan wajah luar biasa jengkel. “Ini latihan pertamaku. Sudah jelas hasil pertama tidak bagus! Siapa anak tujuh tahun yang langsung pandai memanah di percobaan awal?!” “Aku, Arthur, dan Alice,” jawab Theo santai dengan wajah dan tatapan datar membuat Lizzy melongo syok. “Sungguh?” tanya Lizzy tak percaya. Theo bersedekap. “Apa gunanya membohongi bocah ingusan sepertimu?” Seharusnya Lizzy tidak perlu heran. Kakak-kakaknya tidak normal. Mereka sudah menggeluti dunia hitam sejak kecil karena didikan Eugene. Mereka mewarisi bakat membunuh dari Eugene. Maka, sudah sewajarnya Arthur, Alice, dan Theo akrab dengan persenjataan. Apa yang dikatakan Theo memang benar. Lizzy tidak berbakat, si bungsu yang tidak mewarisi bakat sang ayah.   Ya, Lizzy tidak berbakat. Tapi, Lizzy harus mulai mengasahnya sejak dini demi perlindungan diri. “Padahal ada ratusan orang yang rela memberikan nyawanya untuk melindungimu. Kenapa kau repot-repot berlatih dan menghabiskan waktuku, huh?” tanya Theo masih dengan sikap yang sama, datar dan meremehkan. Mata Lizzy mengerjap cepat, kesadarannya tertarik kembali ke dunia nyata. Dia melihat kakak ketiganya yang menatapnya penuh tidak minat seolah tidak sedang berhadapan dengan adik kandung sendiri. Sesaat kemudian, Lizzy menundukkan kepala, kedua tangannya saling menaut dan memainkan jemari. Diam-diam Lizzy menggigit bibir seiring keringat dingin mulai membasahi keningnya. Entah kenapa, Lizzy merasa takut walau tidak sedang terancam oleh apa pun. Dia aman di dalam wilayah kediaman Gilbert. Tidak ada yang akan melukainya. Keamanannya sangat terjamin. Namun, Lizzy tidak tahu apa yang bisa saja terjadi selama dirinya berada di luar kediaman Gilbert. Sebagai tunangan Pangeran Mahkota, Lizzy harus selalu berpikir panjang demi menghindari beragam celaka. Bisa saja celaka akibat pembunuh bayaran atau pelayan suruhan musuh. Tidak ada yang bisa menebaknya, begitu juga dengan Lizzy. Maka, Lizzy berusaha menajamkan insting pikirannya untuk lebih terbuka pada seluruh kemungkinan yang ada. Setelah usaha awal, Lizzy berpikir bahwa melatih bela diri adalah jalan pertama yang harus dia lakukan. Seperti yang pernah Lizzy katakan kepada Cecilia, setidaknya dirinya harus mampu melindungi diri sendiri di situasi tergenting. Lantas, Lizzy meminta bantuan Theo berhubung hanya ada Theo di mansion. Lizzy sudah senang Theo mau membantunya, namun seolah menghempaskannya begitu saja, lidah Theo sangat mudah menghujat. “Aku harus lebih kuat demi diriku sendiri,” jawab Lizzy setelah lama terdiam tanpa mendongakkan kepala. Tidak mau membalas mata biru Theo. “Setidaknya, aku harus bisa melindungi diri ketika diserang oleh bandit atau pembunuh bayaran. Tidak ada yang tahu apa yang bisa saja terjadi, bukan?” “Bodoh,” ledek Theo sungguh blak-blakan, tidak memedulikan perangai sedih adiknya, “kau kira ksatria Gilbert selemah itu? Sembilan belas tahun yang lalu Arthur menyeleksi ksatria dan pelayan Gilbert secara ketat, benar-benar ketat. Kau pikir tujuh tahun hidupmu yang damai itu ada berkat siapa?” “Aku tahu. Maksudku, mulai sejak aku resmi bertunangan dengan pangeran, aku harus terbuka pada semua kemungkinan. Aku hanya berusaha menyelamatkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk.” Theo mendengus pelan. “Kau berusaha sejauh ini demi bocah tengik itu?” Lizzy mendongak, mengerjap bingung. “Bocah tengik?” “Tunangan bodohmu,” Theo sedikit membungkuk seiring tatapan datarnya berubah tajam dan tersirat sinis. “Kau benar-benar ingin menjadi Ratu Ophelia?” Lizzy mengernyit, alisnya nyaris menaut. “Kenapa kakak berpikir seperti itu? Aku hanya berusaha menghindar dari semua resiko. Ini bukan demi pangeran, tapi aku.” “Kukatakan padamu, sebenarnya kau punya pilihan untuk tidak menuruti kemauan Tuhan.” Lizzy terdiam. Mengerjap sesaat sebelum membulatkan mata. Dia kehabisan kata-kata akibat efek kejut. “Kau bisa memilih lari dan tidak akan ada yang menghujatmu. Jika kau mengatakannya sekarang kepada Arthur, dia akan sangat setuju,” ujar Theo kasual sebelum menegakkan leher dan melangkah pergi begitu saja. “Itu pun jika kau tidak ingin menjadi Ratu.” Theo pergi meninggalkan Lizzy. Pria itu menelantarkan latihan panah Lizzy begitu saja setelah Lizzy mencoba memanah sebanyak lima kali. Seolah secara tersirat Theo melempar penolakan dalam mengajarkan Lizzy memanah. Theo juga seolah sengaja mendistraksi pikiran Lizzy dengan mengatakan hal aneh agar tidak berpikir untuk memanah lagi. Lizzy menoleh ke belakang, menatap lingkar bidik yang tertancap lima anak panah hasil tembakannya. Tidak ada satu pun panah yang berhasil membidik titik merah. Semuanya meleset. Lantas, Lizzy mulai meragukan diri sendiri. Apakah usaha ini semata hanya untuk menghindari celaka atau justru mempertahankan posisinya agar aman sampai menduduki tahta? Jika memang Lizzy punya pilihan untuk lari, apakah benar bisa dipilih? TO BE CONTINUED[Punya tubuh nggak sehat tuh nggak enak banget. Jadi, kalian selalu jaga kesehatan, ya!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD