BAB 45

1571 Words
Lizzy melangkah dengan tempo menghentak. Paras cantiknya memasang ekspresi cemberut luar biasa, lengkap dengan bibir manyun. Kedua tangannya mengepal, mengayun cukup keras seolah hendak meninju seseorang. Tidak ada yang berani bertanya. Lebih tepatnya, tidak ada yang kepikiran untuk menenangkan Lizzy karena Lizzy yang sedang ngambek bukannya menakutkan, namun justru menggemaskan. “Ugh, benar-benar…, bagaimana bisa aku memiliki kakak seperti Theodore de Gilbert,” gumam Lizzy super jengkel saat kakinya memasuki mansion utama. “Padahal dia cuma Theodore, Theodore yang benci manusia dan tidak berperasaan. Kenapa aku repot-repot memikirkan ucapan konyolnya.”   Hera menahan senyum geli terukir di wajahnya. “Nona, apakah Anda ingin cemilan sore? Masih ada surat dan undangan yang datang untuk Anda. Bagaimana kalau Anda memeriksanya di ruang teh?” Lizzy mendengus kesal. Kedua pipinya mengembang akibat terisi udara yang sengaja ditahan. “Tidak masalah. Tapi, aku tidak ingin kue.” “Lantas, apa yang Anda inginkan untuk cemilan?” “Muffin dan pudding. Aku juga tidak ingin teh, ganti dengan s**u almond madu.” Ah, nona benar-benar marah. Menggemaskan sekali, batin Hera tidak bisa menahan senyum gelinya lagi. Perutnya tergelitik mengingat Lizzy akan selalu meminta s**u almond madu setiap kali sedang marah. “Baik, akan saya siapkan. Saya akan meminta Ruri untuk membawakan surat dan undangannya. Nona akan menunggu di mana?” “Ruang teh di lantai dua mansion utama.” Hera membungkuk sejenak. “Baik.” Hera pamit pergi dari Lizzy setelah mengantarkan gadis itu ke ruang teh. Ruangan itu adalah ruangan favorit Lizzy di mansion utama. Dia tidak sering datang ke mansion utama. Namun, tiap kali datang, Lizzy selalu mengunjungi ruang teh. Sebab, Lizzy tahu ruangan-ruangan lain di mansion utama seakan melempar larangan tidak tertulis kepadanya untuk tidak dimasuki. Lizzy pun tidak begitu peduli. Kurang lebih dia tahu betapa gelapnya seluruh ruangan di mansion utama, kecuali ruang teh di lantai dua. Ruang teh di lantai dua cukup luas. Terdapat dua rak buku besar, satu set sofa di dekat perapian, dan satu set meja teh di sebelah jendela. Tidak ada balkon di ruang teh sehingga biasanya Lizzy menghabiskan waktu duduk di meja teh. Jendela ruangannya menghadap langsung ke halaman tengah mansion. Halaman tengah mansion terdiri dari sebuah air mancur dengan dikelilingi oleh taman. Sehingga Lizzy tidak begitu bosan melihatnya dari dalam. “Saya sudah merobek amplopnya, nona,” ujar Ruri usai merobek amplop terakhir. Lizzy menoleh, tersenyum simpul. “Terima kasih. Aku akan membacanya. Ruri tunggu di luar, boleh?” Ruri membungkuk sejenak. “Baik, saya mengerti. Jika butuh sesuatu, saya ada di depan pintu.” Bukan apa-apa, Lizzy hanya lebih gemar menghabiskan waktu sendirian tanpa ada seseorang di dekatnya. Memasuki minggu kedua di bulan Januari, undangan teh yang datang untuk Lizzy semakin menumpuk. Terlalu menumpuk hingga totalnya berada di luar akal Lizzy. Secara pribadi, Lizzy tidak begitu menyukai pesta teh. Dia merasa tidak cukup nyaman berinteraksi dengan perempuan bangsawan lain. Kurang lebih karena Lizzy cukup tahu motif mereka berusaha mendekati Lizzy. Mayoritas ingin membangun hubungan ‘pertemanan’ yang tidak berkenan bagi Lizzy. Lizzy sudah nyaman berteman dengan anak-anak dari keluarga Phantomhive dan Trancy. Dia tidak mau memiliki pertemanan penuh kepalsuan. Lebih tepatnya, meladeni keinginan egois perempuan bangsawan lainnya.   Tangan Lizzy berhenti membalik lembar demi lembar amplop saat mata birunya menangkap nama Gideon Weasley. Mengerjap beberapa kali, Lizzy baru ingat bahwa dia belum membaca surat Gideon tahun lalu. “Ah, maafkan aku Gideon. Terlalu banyak hal yang sudah terjadi,” gumam Lizzy sambil meletakkan tumpukan surat dengan memisahkan surat Gideon dari tumpukan tersebut. Lizzy membuka surat Gideon. Dia cukup terkejut melihat tulisan tangan Gideon sangat bagus. Nyaris seperti bukan tulisan tangan laki-laki. Halo, Lizbeth. Ini adalah surat pribadi pertamaku untukmu. Kuharap tidak terkesan tergesa-gesa dan tidak menyinggungmu. Aku mengirimkan ini sebagai bentuk terima kasihku kepadamu karena mau berteman denganku. Sepulang dari jamuan teh Battenberg, aku sangat bahagia dan tidak sabar ingin bertemu denganmu lagi. Aneh, bukan? Padahal hari itu kita bertemu, baru saja terpisah selama beberapa jam, tapi aku sudah ingin menemuimu lagi. Lizbeth, kudengar kau akan bertunangan dengan Pangeran Mahkota tertanggal 1 Januari. Aku sedih karena tidak bisa menghadiri acara pertunanganmu. Aku sangat ingin melihatmu lagi. Tapi, terhalang oleh keadaan. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Lizbeth, kuharap kau bahagia menyambut hari pertunanganmu. Lizzy tersenyum miris, Pada hari itu, aku tidak bahagia sama sekali, Gideon.   Keluargaku telah mengetahui hubungan pertemanan kita. Usai dari pesta teh Battenberg, ayah dan ibuku menginterogasiku seolah aku melakukan kejahatan besar. Tapi, jangan khawatir, itu bukan pertanda buruk. Mereka tidak mempermasalahkan pertemanan kita. Hanya saja bagi mereka terasa sangat mengejutkan melihatku mampu menjalin hubungan dengan calon Ratu Ophelia. Yah, terkadang mereka suka berlebihan. Tidak perlu dipikirkan. Lizbeth, aku mengirimkan beberapa hadiah untukmu bersamaan dengan surat ini. Tidak seberapa, tapi kuharap kau menyukainya. Aku akan senang bila melihatmu memakainya. Akan kutunggu. Ah, tampaknya aku menuliskan terlalu banyak hal. Maafkan aku. Kalau begitu, sampai sini dulu, Lizbeth. Aku akan mengirimkan surat lagi di lain hari. P.s: aku menantikan surat balasanmu. Lizzy jadi merasa bersalah. Gideon mengirimkan surat dan hadiah pada tanggal 22 Desember alias tahun kemarin. Lizzy sudah mengetahuinya, namun dia tidak langsung membacanya karena takut kepada Arthur. Sementara, Lizzy memiliki banyak waktu untuk diam-diam membacanya, tapi tidak juga dilakukan. Membaca postscript di surat Gideon membuat Lizzy dirundung rasa bersalah. “Yah, orang-orang di mansion utama tidak akan tahu bila aku menyuruh Hera mengirimkannya langsung ke kantor pos dengan alibi membelikan roti di pasar,” gumam Lizzy, bertekad mati-matian untuk mengirimkan surat balasan kepada Gideon dari balik pengawasan Arthur. TOK TOK “Nona, saya membawakan cemilan Anda.” Lizzy menoleh ke pintu. “Masuk, Hera.” Pintu terbuka, memersilahkan Hera yang membawa kereta makanan untuk melangkah masuk. Pelayan pribadi Lizzy itu meletakkan sepiring muffin dan dua cup pudding di hadapan Lizzy. Kemudian, menuangkan secangkir s**u almond dan mencampurkannya dengan madu. Wangi muffin dan s**u menyeruak masuk ke hidung Lizzy, berhasil merangsang perut gadis itu untuk segera melahap. Lizzy meraih muffin, sebelum melahapnya, dia berkata kepada Hera, “Hera, aku memiliki permintaan.” “Apa itu, nona?” tanya Hera setelah meletakkan cangkir. “Aku akan mengirimkan surat balasan untuk Gideon Weasley.” Mata Hera membulat. “A—Apa? Weasley?” “Ya, Weasley. Gideon Weasley, kau tidak salah dengar.” Hera langsung maju selangkah mendekati Lizzy membuat Lizzy sedikit kaget. “Nona, apakah nona sudah melupakan perintah Yang Mulia? Hukuman darinya?” “Aku tidak lupa,” jawab Lizzy polos. “Lalu, kenapa nona masih ingin berhubungan dengan anggota keluarga Weasley? Nona, saya tidak berpikir itu adalah hal bagus. Yang Mulia akan menghukum Anda lagi bila ketahuan—“ “Maka, buat agar tidak ketahuan,” sahut Lizzy memotong suara panik Hera diiringi cengiran manis membuat Hera mengerjap cepat. “Semuanya akan baik-baik saja selama tidak ketahuan Kak Arthur, bukan? Mudah!” “Tapi, nona, pengawasan Yang Mulia sangat ketat. Kita tidak tahu siapa saja mata-mata yang beliau miliki. Saya khawatir apa pun cara yang akan digunakan, tetap saja terendus.” Lizzy menggigit muffin, mengunyah, dan menelannya. Wajah polosnya membuat Hera semakin panik sendiri. “Tidak akan ketahuan, Hera. Percayalah padaku. Besok pagi aku akan memberikan surat balasannya padamu. Lalu, kau harus pergi langsung ke kantor pos dengan alasan membelikan makanan untukku atas permintaanku. Dengan begitu, tidak akan ada yang curiga.” Hera masih ragu. Dia percaya tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan Arthur kecuali ada anak buah yang mengkhianatinya dengan menyembunyikan sesuatu—seperti yang Aiden lakukan tahun lalu ketika surat Gideon datang. Hera tidak yakin ada yang akan berperilaku seperti itu lagi mengingat betapa keras dan tegasnya Arthur. Jadi, Hera sangat ingin mencegah Lizzy. Daripada menakuti Arthur, Hera lebih takut melihat Lizzy menanggung hukuman dari Arthur. Hera tidak tega melihatnya. “Hera, ayolah. Sekali ini saja bantu aku, ya?” pinta Lizzy lengkap dengan raut memohon dan mata yang persis mata anak anjing meminta makanan. “Gideon mengirimkan hadiah bersamaan dengan suratnya. Dia sudah memberikannya sejak tahun lalu, tapi lihatlah baru k****a sekarang. Dalam postscript-nya dia bilang bahwa dia menantikan surat balasanku. Hera, apakah kau setega itu?” Di dunia ini, Hera sangat tidak bisa menolak wajah dan mata memohon Lizzy. Selama tujuh tahun merawat Lizzy, Lizzy tidak pernah meminta banyak hal. Ia cenderung anak penurut yang tidak manja. Jadi, Hera tidak mengalami kesusahan yang signifikan selama membesarkan Lizzy. Lantas, bila Lizzy meminta sesuatu, Hera pasti susah menolaknya karena Lizzy tipikal anak tidak manja. Jarang-jarang Lizzy membuat permintaan. Ya, apakah Hera akan setega itu menolak permintaan anak penurut yang tidak pernah meminta sesuatu selama bertahun-tahun? Tentu saja tidak.    “Untuk kali ini saja, nona,” jawab Hera dengan hela napas panjang, sontak membuat Lizzy berseru girang. “Terima kasih, Hera! Aku akan segera menuliskannya. Ingat, jangan beritahu siapa-siapa!” seru Lizzy semangat sebelum kembali melahap muffin di tangannya. Hera tersenyum pasrah. Dia menatap wajah sumringah Lizzy dengan sorot senang. “Apakah nona suka berteman dengan Gideon Weasley?” tanyanya. “Tentu. Dia sangat baik. Kau tahu, dari semua anak-anak di pesta teh Battenberg, Gideonlah yang pertama kali menghampiriku dan mengajak berkenalan. Dia juga tidak menyinggung statusku sebagai calon tunangan pangeran kala itu. Aku benar-benar terkesan dengannya.” “Begitukah? Dia sangat baik.” Lizzy mengangguk setuju. “Benar. Gideon juga sangat perhatian. Berulang kali dia menjagaku dari udara dingin. Mungkin karena dia lebih tua dariku, makanya dia begitu perhatian selayaknya seorang kakak ke adik. Dia juga sangat seru menjadi teman berbincang. Wawasannya sangat luas.” Kalau sudah begini, Hera tidak akan bisa mencegah Lizzy lagi untuk menjauh dari Gideon. Lizzy sangat bersemangat menceritakan segala hal tentang Gideon seolah-olah Gideon adalah sahabat terbaiknya di dunia. Wajah sumringah dan nada riangnya tidak berbohong sama sekali, gamblang menunjukkan sebahagia inilah Lizzy berteman dengan Gideon. Hera hanya bisa berharap semoga suatu saat pertemanan keduanya tidak terhalang apa pun lagi. TO BE CONTINUED[Halo! Spesial double update! Untuk ke depannya mungkin masih diisi oleh alur-alur yang cukup boring sebelum kemudian masuk ke konflik pertama. Kuharap kegemasan Lizzy dapat menghibur kalian melalui alur-alur tersebut]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD