BAB 63

2697 Words
Sejak Arthur menjadi kepala keluarga dan mendapatkan gelar Grand Duke, dia telah berjasa besar dalam memerluas perusahaan keluarga; Phantom dan Gilbert Group. Bergerak di berbagai bidang mulai dari perusahaan manufaktur dan perusahaan jasa. Phantom dan Gilbert Group melebarkan sayapnya seiring dipimpin oleh Arthur. Salah satu cabang perusahaan berada di Kerajaan Pennsylvania. Pabrik tekstil dan pabrik keju yang dinaungi Gilbert Group berjaya di Pennsylvania selama sepuluh tahun. Di antara seluruh pabriknya, dua pabrik itulah yang memberikan pemasukan terbesar. Mengingat era semakin maju, kebutuhan pakaian dan keju tidak pernah surut. Terutama kain sutra dan olahan keju yang selalu menjadi komoditas dengan permintaan tertinggi. Kali ini, Arthur hanya ingin mengecek pabrik tersebut. Setelah sekian lama dia tidak menginjakkan kaki di Pennsylvania karena malas, kini mau tidak mau dia harus memaksakan diri demi kewajiban belaka. “Anda ingin mampir ke Black Crown?” tanya Charles ketika menyadari jalan yang ditempuh oleh mobil tidak mengarah ke pabrik. Arthur hanya berdehem seadanya, mengiyakan. “Dimengerti, Yang Mulia,” tanggap Charles tidak banyak bertanya lagi. Walau cukup aneh melihat Arthur ingin pergi ke kasino saat matahari masih tinggi di langit. Biasanya Arthur lebih suka pergi ke kasino ketika dunia malam dimulai. Pada momen itu, segalanya menjadi lebih menyenangkan. Orang-orang kaya menghamburkan uang ditemani wanita cantik yang bersedia memanjakan. Hidup menjadi sangat bebas mengamati beragam orang dalam kasino. Dari yang berdompet tebal dan memiliki banyak keberuntungan serta yang berdompet tebal dan tertimpa kesialan tiada henti. Arthur tidak begitu peduli. Orang-orang itu bersedia membuang uang di kasino miliknya, sementara Arthur akan mengamati sambil duduk santai ditemani wanita penghibur kelas tinggi.   Ya, Arthur lebih suka kasino dalam dunia malam. Namun kini pria itu mengunjunginya saat matahari masih tinggi. Aneh. Kasino Black Crown berada di Houndswarth, ibu kota Kerajaan Pennsylvania. Berdiri di wilayah padat penduduk yang tidak pernah memiliki jam tidur. Dalam waktu singkat, Black Crown mendulang kesuksesan sebagai kasino terbesar di Pennsylvania. Keputusan Eugene dan Cecilia memang tepat untuk membangun cabang Black Crown di kerajaan-kerajaan lain. Ketika memasuki lobi Black Crown, Arthur disambut oleh Evegenia—resepsionis Black Crown. Evegenia tentu mengenali Arthur, sang pemilik Black Crown. Wanita cantik dengan lekuk tubuh sempurna itu langsung mengantarkan Arthur ke area VVIP tanpa perlu menunggu perintah Arthur. Arthur mengikuti tanpa bersuara sama sekali, tahu bahwa Evegenia telah memahaminya. “Sudah lama sekali Anda tidak ke Pennsylvania, Yang Mulia,” ujar Evegenia dalam langkah menuju lantai VVIP. Arthur mengembuskan asap cerutu dari sela bibirnya. “Ada urusan.”   “Saya mengerti. Saya selalu mengharapkan keberhasilan Anda.” “Tidak ada yang terjadi di sini?” “Syukurlah tidak ada, Yang Mulia. Black Crown berjalan dengan lancar.” Arthur melengos pelan, kembali mengisap asap dari pipa porselennya. Kurang lebih sudah menduga. Satu-satunya Black Crown yang tidak pernah mengalami kendala adalah Black Crown cabang Pennsylvania. Sejak mulai dibuka hingga detik ini, Black Crown cabang Pennsylvania tidak pernah terkendala. Sungguh damai dan menenangkan. Berbeda jauh dengan Black Crown pusat di Alterius. Selalu ada saja masalah di sana, terutama ricuh kudeta dari pihak-pihak yang ingin menguasai Black Crown. Arthur dan Evegenia berbelok di ujung lorong. Hendak menaiki satu-satunya lift yang hanya boleh digunakan oleh Arthur. Lift itu berada di area tersudut dalam kasino sehingga tidak ada siapa pun yang mengetahui keberadaannya. Area itu pun juga selalu tenang karena jauh dari jangkauan keramaian. Arthur kira demikian. Namun detik ini sebuah keramaian tertangkap oleh gendang telinga Arthur. Mengalihkan perhatiannya dari lift. Kepalanya menoleh ke kanan. Merasakan sumber keramaian itu berasal dari balik tikungan koridor tak jauh darinya. Evegenia mendengar keramaian itu juga. Dia menoleh ke arah yang sama dengan Arthur. “Oh?” Sorot mata hijau Arthur menajam menatap ujung koridor seiring pendengarannya ikut menajam. Berusaha mengetahui keramaian apa di sana. Dari suaranya, Arthur mengetahui ada empat pria dan satu wanita. Empat pria itu mengganggu sang wanita yang seorang diri. Wanita itu pun membela diri sekuat tenaga, namun tak mampu adu otot melawan empat pria sendirian. Ketika Arthur yakin Black Crown cabang Pennsylvania tidak pernah mengalami kerusuhan, kini prestasi tersebut dipatahkan dalam sekejap. Arthur menghela napas panjang. Otomatis mengembuskan sisa-sisa asap cerutu keluar dari paru-parunya. “Apa yang akan kita lakukan, Yang Mulia?” tanya Evegenia bertepatan dengan pintu lift terbuka. “APAKAH KALIAN TIDAK PUNYA RASA MALU MENGEROYOK SEORANG WANITA?!” “APA KATAMU, JALANG?! TAMPAKNYA KAU TIDAK MENGERTI SITUASIMU SEKARANG, HUH?!!” Arthur mendecak pelan mendengar seruan menggelegar itu datang dari ujung koridor. Tampaknya dalam beberapa detik lagi, keramaian itu akan berubah menjadi kericuhan besar. “Panggil penjaga untuk menendang pria-pria itu keluar. Masukkan nama mereka ke buku hitam tamu,” perintah Arthur seraya melangkah menuju ujung koridor, terpaksa menunda diri pergi ke lantai VVIP. Evegenia membungkuk patuh. “Dimengerti, Yang Mulia.” Arthur dan Evegenia berpisah jalan. Arthur lurus menuju ujung koridor, sementara Evegenia belok kiri untuk menuju lobi. Ekor bibir kanan Arthur menggigit pipa porselen hitamnya yang masih sedikit menyala. Tidak ada raut terpasang di wajah tampannya. Sorot hijaunya menyorot kesal ke tikungan ujung koridor seiring kericuhan di sana semakin terdengar jelas. “Untuk apa aku meminta maaf kepada pria bodoh seperti kalian? Seharusnya kalian yang berkaca, otak udik.” Langkah Arthur otomatis berhenti mendengar hujatan wanita tersebut. Nada suaranya sungguh tajam dan dingin lebih dari siapa pun. Bahkan melebihi Alice. Arthur cukup terpukau mengetahui ada wanita lain yang mengalahkan kengerian Alice. “Jalang, kaulah yang telah berani-beraninya menipu kami! Kau mengelabuhi kami untuk memasang taruhan tinggi di craps dengan memberikan pinjaman tinggi tanpa perlu membayarnya kembali padamu!” “Ya dan aku telah memberikan pinjaman seratus juta dollar kepada kalian. Lalu, apa masalahnya, huh?” “Itulah masalahnya, jalang b******n! Kau memengaruhi kami agar langsung memasang taruhan tinggi di craps dan berkata kami tidak perlu membayarmu kembali, tapi setelah kami kalah kau langsung mencatat nama kami dan minta uang-uang sialanmu dikembalikan!” Ah, pria i***t macam apa yang gampang tertipu wanita, hujat Arthur sambil merenggangkan sendi lehernya. “Aku tidak memengaruhimu, Sir William Halle, pejudi terbaik Pennsylvania. Kaulah yang terlalu percaya diri atas keberuntunganmu. Lagipula, orang i***t mana yang meminjamkan seratus juta dollar secara sukarela, huh? Jangan membuatku tertawa.” “KAU b******n—“ “Ini adalah dunia kasino. Yang tertipulah yang salah, Sir Halle si legenda pejudi Pennsylvania. Aku hampir tidak bisa menahan tawa melihatmu melompat bebas ke dalam jebakan kecil.” Bibir kiri Arthur langsung naik tinggi mendengar kelicikan wanita bernyali besar itu. Dia juga hampir tidak bisa menahan tawa mengetahui pria yang memojokkannya adalah William Halle, legenda pejudi Pennsylvania yang selalu beruntung dalam dunia penjudian. William Halle selalu menjadi penguasa kasino karena keberuntungannya sangat besar, seolah-olah Dewi Fortuna selalu menduduki pundaknya. Secara pribadi, Arthur tidak memiliki masalah dengan William. Arthur hanya cukup tahu reputasi pria itu sebagai pejudi terbaik Pennsylvania selama bertahun-tahun. Asalkan pria itu tidak menimbulkan kekacauan di Black Crown, Arthur tidak akan memersalahkan keberuntungan besarnya dalam berjudi. Kini pria itu telah membuat kericuhan hanya karena kebodohannya sendiri. Arthur tidak akan diam. Begini-begini, Arthur memedulikan reputasi tinggi Black Crown. Dia tidak akan membiarkan siapa pun merusak reputasi Black Crown sebagai salah satu kasino terbaik di dunia. Suara tinjuan ke tembok menggema nyaring. Dari tempat Arthur berdiri, dia mengetahui pria-pria itu telah kehabisan kesabaran. Tinjuan ke tembok merupakan ancaman nyata bahwa selanjutnya mereka akan meninju wanita yang telah menipu mereka. Arthur sedang malas mengeluarkan energi. Walau mudah-mudah saja baginya untuk menghajar empat pria sendirian, Arthur terlalu malas. Lagipula kedatangannya ke Black Crown karena ingin mengistirahatkan diri. Bukan malah mengurus masalah. Ada-ada saja masalah yang dibawa ke hidupku, dumel Arthur kesal. Kaki Arthur melangkah menuju tong sampah di ujung koridor. Membuatnya keluar dari balik tikungan koridor. Kini ditatap langsung oleh lima orang yang akan membuat reputasi Black Crown tercoreng. Tanpa peduli, Arthur membuang sisa bubuk cerutu ke tong sampah. Usai membuang sisa-sisa bubuk, Arthur memasukkan bubuk cerutu yang baru ke lubang pipa porselen. Arthuria de Gilbert sepenuhnya berlagak tidak mau tahu dengan urusan empat pria yang menjadi korban penipuan seorang wanita. Bahkan dia tidak menoleh sedikit pun ke mereka seolah dia adalah orang asing yang kebetulan lewat. Tidak mendengar perdebatan apa pun dan tidak peduli, begitulah kesannya. Arthur balik badan usai mengisi ulang pipa porselennya. Asap-asap cerutu kembali memenuhi rongga paru-parunya. Menenangkan jiwa dan batin Arthur yang penat. Pria jangkung itu melirik lima orang yang sedari tadi menatapnya terang-terangan. Dari sini, Arthur dapat melihat penampilan mereka. Wanita yang dipojokkan empat pria ke dinding itu memiliki paras rupawan. Rambutnya berwarna cokelat kemerahan, jatuh lurus sampai ke pinggang rampingnya. Iris matanya berwarna sehijau iris Arthur, namun sedikit pucat. Kulitnya seputih salju, hidung mancung kecil, bibir tipis ranum, dan rahang lembut namun tegas nan tajam. Lekuk tubuhnya sempurna dan mungil bila dibandingkan dengan tubuh Arthur. Arthur tidak mengenal wanita rupawan itu. Walaupun kenal, Arthur tidak memiliki kewajiban untuk menolongnya. Dia sungguh sedang malas berbuat baik sekarang. “Apa yang kau lihat, huh?” sentak salah satu pria yang paling jangkung di antara lainnya kepada Arthur. Lengkap dengan pelototan dan raut penuh emosi. “Tidak ada,” Arthur mengembuskan asap cerutu, “aku hanya kebetulan lewat. Lanjutkan saja urusan kalian.” William mengamati Arthur secara seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gejolak emosinya sempat mereda karena melihat penampilan Arthur yang entah mengapa mengantarkan perasaan merinding. Padahal Arthur hanya merokok, tidak menggenggam senjata apa pun, dan tidak memasang kesan peduli terhadap urusan William. Tapi, William seolah melihat Arthur sangat siap membunuhnya kapan saja. Sama seperti William, tiga rekannya merasakan hal yang sama. Mereka terganggu oleh aura yang memancar dari Arthur. Berkali-kali mereka mengamati Arthur. Memastikan ketiadaan senjata dalam tubuh pria itu. Sangat was-was memikirkan kemungkinan adanya bahaya datang dari Arthur. “Halle, sebaiknya kita tidak perlu meladeninya. Kita harus segera menghajar wanita sialan ini,” bisik Rick Max kepada William. “Entah kenapa, dia berbahaya,” timpal Otto setuju. Alis William menaut tajam, tidak ingin mengakuinya tapi apa yang dia lihat pun sama seperti yang dikatakan Otto. “Ya, urusan kita hanya dengan wanita tak tahu diri itu. Bawa dia pergi.” Bisik perintah William terdengar oleh wanita yang dia sandera. Wanita itu menggeram menatap Arthur. Tidak percaya melihat manusia tidak berperasaan yang tidak mau membantu orang lain. “Hei, kau!” bentaknya nyaring kepada Arthur, mengagetkan seisi koridor. Arthur menoleh, membalas sorot emosi wanita itu dengan datarnya. “Aku?” “Ya, kau!” wanita bergaun cream itu mengacungkan telunjuknya kepada Arthur tanpa gentar. “Aku tahu kau dan aku tidak saling kenal, tapi tidakkah kau punya sedikit nalar untuk membantu wanita yang dikeroyok empat laki-laki?! Aku tidak habis pikir melihat krisis moralmu!” Arthur tidak jadi menghisap asap cerutu usai mendengar hujatan wanita asing itu. Dia menatap raut emosi yang tiada ketakutan di paras cantiknya. Alih-alih memohon bantuan dan belas kasihan, wanita itu lebih memilih mengeluarkan tenaganya untuk menghujat orang asing yang bisa saja membantunya keluar. Ia tidak merasa takut sama sekali. Ia memiliki kesempatan untuk meminta bantuan orang lain, tapi ia membuangnya begitu saja. Menarik sekali, batin Arthur diiringi seringai tercipta di wajah tampannya. “Hei, jalang! Kau diam saja!” bentak Rick sambil mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan wanita itu. “Lepaskan tangan kotormu dariku, bodoh!” Arthur sepenuhnya menghadap gerombolan William. Dengan santai mengembuskan asap cerutu. “Krisis moral bukan kata yang tepat, Lady. Aku tidak punya moral dan tidak ingin memupuknya.” “Aku tidak mau tahu,” sahut wanita itu tajam. “Lagipula, bukankah kau cukup kasar untuk seorang Lady? Begitukah caramu meminta bantuan orang lain?” “Aku tidak pernah meminta bantuanmu, Lord Tak Bermoral.” Arthur mendengus geli. “Baiklah, aku pun tidak berniat membantumu.” “Apa lagi yang kalian tunggu?! Bawa dia pergi!” sentak William kepada tiga rekannya, dirundung sedikit panik hanya karena melihat seringai lebar Arthur. Rick langsung mengangkat tubuh sang wanita di pundaknya. Tidak ada kelembutan sama sekali. Wanita rupawan itu diperlakukan selayaknya karung beras tak berharga. Ia memberontak sekuat tenaga dalam belenggu Rick, tapi tidak membuahkan hasil. Ia sudah menggunakan beragam cara dan tidak ada yang berhasil. Rick terlalu kuat atau ia yang terlalu lemah. Kelompok William menyingkir dari hadapan Arthur dengan membawa wanita yang telah menipu mereka. Arthur memberikan jalan. Masih santai dan tidak peduli terhadap nasib wanita malang itu. Arthur memerhatikannya yang mulai kehabisan tenaga karena terlalu banyak melawan. Ketika jarak Arthur dengan kelompok itu sedikit jauh, wanita itu tiba-tiba mengangkat punggungnya agar tegak. Dia menatap Arthur dengan gejolak amarah yang tetap membara. “Aku tidak akan melupakan wajah sintingmu! Jika aku mati, aku akan menghantuimu sampai kau mengikutiku ke neraka!!” Bahkan dia sudah siap mati, dia sangat menjunjung harga dirinya, huh, batin Arthur tergelitik. Semakin merasa tertarik dengan wanita cantik dengan karakter teraneh itu. Kaki Arthur melangkah santai tanpa membalas seruan sumpah wanita itu. Tangan kanannya merogoh saku, mengeluarkan pisau kecil. Bersamaan dengan mengembuskan asap, tangan kanannya melayang melesatkan pisau tersebut. Pisau kecil itu membidik lurus membelah angin. Lantas, menancap sangat dalam di betis kanan Rick, menimbulkan jerit kesakitan menggema nyaring di koridor yang sepi. Tubuh Rick oleng merasakan rasa panas menyakitkan menjalar dari betis ke seluruh tubuhnya. William, Otto, dan Daniel terkejut melihat kaki Rick tertusuk pisau. Mereka langsung menoleh ke belakang, menemukan figur Arthur melangkah santai menghampiri mereka. “A—Apa-apaan ini, sialan!” sentak William mulai dilanda panik, menyadari bahwa Arthur-lah pelakunya. “Kau b******n! Kau bilang tidak akan mencampuri urusan kami!” Wanita yang disandera Rick meloloskan diri dari belenggunya. Dia berusaha kabur, namun pergelangan kakinya diraih oleh Daniel. Menyebabkannya jatuh terjerembab. Dia menggeram kesal seraya menendangkan kakinya untuk menghalau cengkraman Daniel. Tapi kemudian kaki satunya ikut terbelenggu oleh Otto. William mengumpat kasar sambil mengacungkan pistol kepada Arthur. “Berhenti, b******n!” “Yeah, aku memang tidak berniat mencampuri urusan kalian. Tapi, ini adalah wilayahku,” sahut Arthur datar. William terlalu panik melihat Arthur tiba-tiba sudah berada di hadapannya dalam sekejap mata. Jemarinya langsung menekan pelatuk. Tapi, tidak ada peluru yang keluar. Menyebabkan William semakin panik. Arthur menyeringai lebar. “Seharusnya kau klik senapanmu dulu agar silindernya berputar. Kau memakai revolver, bukan semi otomatis, Sir William Halle.” “Halle, apa yang kau lakukan?! Cepat tembak b******n itu!” William menggeram seraya menekan hammer agar silinder pelurunya berputar. Kini, pistol revolvernya siap menembakkan peluru tepat di jantung Arthur. Tapi, Arthur masih sama saja, tidak gentar walau pistol itu telah siap menembakkan peluru. Ini memicu gangguan mental bagi William. Pria itu semakin terintimidasi oleh Arthur yang masih saja tidak takut padanya. Arthur melirik ke depan untuk melihat kondisi wanita yang telah berani-beraninya menghujat dan bersumpah akan membawanya ke neraka. Wanita itu masih tersungkur tidak berdaya di lantai karena cengkraman Daniel dan Otto. Sepertinya telah kehabisan tenaga hingga tak mampu memberontak lagi. “Dengar, Lady, aku tidak pernah memercayai hantu. Jika kau mati, mati saja dan pergilah ke neraka,” celetuk Arthur dingin membuat wanita berambut cokelat kemerahan itu mengumpat. “HALLE, BUNUH DIA, SIALAN!” teriak Otto kehabisan kesabaran. DOR! Tembakan nyaring revolver menggema di koridor. Mengagetkan seisi koridor di sekitar. Daniel, Otto, dan Rick menatap tajam ke Arthur dan William. Tidak ada yang berani bergerak. Mereka terpaku di tempat menantikan apakah peluru itu berhasil membunuh Arthur atau tidak. Sepersekian detik berikutnya, tubuh William oleng tak berdaya. Tak butuh waktu lama hingga pria itu tersungkur di lantai dingin. Mengejutkan ketiga rekannya. Arthur menendang tubuh William agar berbaring di lantai. Mata Daniel, Otto, dan Rick melotot melihat sebuah pisau telah menancap di leher William. Sangat dalam hingga setengah gagang pisau tenggelam masuk ke dalam lehernya. Arthur membungkuk, menarik pisau dari leher William tanpa ragu-ragu tepat di depan mata tiga rekan pria itu. Koyakan pisau semakin menghancurkan leher William. Langsung menghabisi nyawanya. Arthur melangkah maju bersamaan dengan petugas keamanan Black Crown datang. Tanpa menunggu perintah Arthur, mereka sigap meringkus tiga rekan William. Cengkraman mereka pada kaki si wanita sandera pun terlepas. Wanita itu bernapas lega merasakan tubuhnya telah bebas. Tapi kemudian dia tersentak melihat Arthur membungkuk di hadapannya. Pria itu menyeringai angkuh seraya mengarahkan ujung pisau penuh darah William ke bawah dagunya. Memaksanya mendongak untuk menatapnya. “Lihat, kau tidak jadi mati,” ledek Arthur puas. “Jauhkan pisau menjijikkan itu dariku,” sentak sang wanita seraya menjauhkan kepalanya dari ujung pisau.  Arthur kembali menempelkannya. “Oh, tidak ada kata terima kasih? Kau menjunjung harga dirimu lebih tinggi dari yang kukira, huh.” “Kau tuli, huh? Berhenti menempelkan pisau itu!” “Yang Mulia, kami akan segera mengatasinya dengan baik. Karena tiap dinding ruangan hiburan Black Crown kedap suara, tidak ada tamu yang ricuh akibat tembakan revolver,” lapor Evegenia di belakang Arthur. “Yang Mulia?” beo sang wanita tak percaya. Arthur mendengus geli, lurus menatap iris hijau pucat wanita itu. “Evegenia, siapa nama Lady yang malang ini?” “Anna, Yang Mulia.” “Tidak ada nama keluarga?” “Tidak.” “Apa maumu, sialan? Aku tidak akan membalas budi padamu,” sentak Anna tak takut. Menarik sekali, batin Arthur puas menikmati betapa tajamnya sorot mata hijau pucat Anna. TO BE CONTINUED Ayo, Arthur, kamu harus dijinakkan dulu biar kepalanya adem nggak dendam sama Marquis :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD