BAB 35

1397 Words
Lizzy mengerang dan berteriak kesal sambil berguling-guling di ranjang. Kakinya menendang tak tentu arah, semakin mengacaukan ranjangnya. Sesekali dia berhenti bergerak, tidur terlentang menatap langit-langit, kemudian kembali merajuk. Matanya sudah kering meneteskan air mata. Pita suaranya pun sudah lelah bersuara. Elizabeth de Gilbert lelah. “Kenapa aku harus diperlakukan seperti ini?!” jerit Lizzy sangat ngambek, mencebik menatap foto orang tuanya terpajang besar di dekat perapian kamarnya. “Ayah! Ibu! Lihatlah, aku diperlakukan tidak adil oleh kakak-kakak!” Walau sia-sia saja mengadu ke orang tuanya, mereka tidak akan bisa membantu Lizzy. Lizzy tahu, tapi mereka sedikit membantu dalam menjadi tempat pelampiasan amarah Lizzy. Semua ini berawal dari perjamuan teh Battenberg lusa kemarin. Seperti yang telah Lizzy duga, Alice marah kepadanya. Kemarahan gadis remaja itu sampai di tingkat mendiamkan dan mengabaikan Lizzy. Perjalanan pulang dari kediaman Battenberg berubah menjadi situasi uji mental bagi Lizzy. Kekakuan udara dan aura dingin di mobil benar-benar mencekik Lizzy. Sepenuhnya, Alice mengabaikan Lizzy dan Lizzy tidak berani bersuara. Dia takut semakin memicu kemarahan Alice. Jadi, Lizzy berpikir untuk membiarkannya tenang terlebih dahulu sebelum membahas apa pun tentang Gideon. Begitulah pikiran Lizzy. Namun ternyata, sesudah sampai di kediaman Gilbert, Alice seolah menganggap Lizzy tidak ada. Alice langsung pergi meninggalkan Lizzy tanpa berucap apa-apa. Dari detik itu, Lizzy mulai panas dingin, sangat was-was. Tampaknya kesalahan Lizzy lebih besar dari yang ia kira.  “Elizabeth de Gilbert.”   Lizzy yang telah berganti pakaian dan siap-siap pergi ke ruang makan, dikejutkan oleh kedatangan Arthur. Tubuh jangkung Arthur tiba-tiba saja sudah di depan pintu kamar Lizzy, bersedekap dengan mata tajam. Saat itu, Lizzy tahu, pengadilan telah datang padanya. “Selamat malam, kakak. A—Ada apa sampai kakak jauh-jauh ke rumahku?” tanya Lizzy nyaris gagap karena aura gelap Arthur menyeruduknya terang-terangan. “Apa yang baru saja kau lakukan di debut sosialmu?” tanya Arthur cukup tajam membuat Lizzy langsung kaku di tempat. “A—Aku berteman dengan anak-anak keluarga Trancy dan Phantomhive. Kami berjanji untuk saling mengirim surat dan sesekali bermain bersama di kediaman mereka,” jawab Lizzy berusaha tetap tenang.  Alis Arthur naik sebelah, mata birunya menatap semakin tajam. “Oh? Apakah hanya Trancy dan Phantomhive?” Tamatlah riwayatku, rutuk Lizzy ingin menangis. “Tidak, aku juga berteman dengan… G—Gideon Weasley,” jawab Lizzy sepelan siulan burung kenari yang dia beli dari pasar Ophele tempo lalu. “Bocah itu mendekatimu, duduk bersamamu, berani menyentuhmu, dan memanggilmu dengan nama kecil buatannya sendiri,” ujar Arthur dingin. Lizzy mengerjap kaget. “Dia tidak menyentuhku.” “Membenarkan syal, dia menyentuhmu.” “Y—Ya, itu benar. Tapi, hanya sekedar syal. Gideon tidak—“ “Bahkan sekarang kau menyebut bocah itu dengan nama kecilnya di hadapanku.”   Lizzy menciut takut. “Maaf.” “Apa yang kukatakan—Alice katakan—tentang keluarga Weasley, hmm?” Lizzy menunduk, tidak berani lagi menatap Arthur. “Aku harus waspada dengan mereka.” “Alasannya?” “Karena mereka adalah keluarga Alfredo Weasley, tersangka pemicu perang kudeta belasan tahun lalu. Keluarga yang berpotensi memusuhi keluarga kerajaan.” “Siapa kau?” “Elizabeth de Gilbert, calon tunangan Pangeran Mahkota Ivander dan calon Ratu Ophelia.” “Kesimpulannya?” Lizzy menipiskan bibir. “Karena aku adalah calon Ratu Ophelia, maka aku harus menjaga jarak dari keluarga Weasley demi menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk.” “Lantas, apa yang telah kau lakukan hari ini sesuai dengan logika itu?” Lizzy menggeleng kecil. “Tidak.” Ya, Lizzy sepenuhnya sadar dan paham alasan kakak-kakaknya menyuruhnya menjaga jarak dari keluarga Weasley. Lizzy pun tidak mempermasalahkannya. Niat mereka adalah melindungi Lizzy, hanya itu. Jadi, Lizzy mengerti. Hanya saja apa yang terjadi di realita tidak sesuai dengan niat Lizzy. Lizzy tidak bisa menolak Gideon. Hati lembut Lizzy bersimpati pada Gideon Weasley. Arthur pun paham. Lizzy tidak akan melanggar perintahnya jika bukan karena hati penuh perasaannya. Entah cara apa yang dipakai oleh Gideon, yang jelas Arthur cukup tidak menyukainya. Sudah sejak dulu Arthur berpesan pada Alice dan Theo untuk selalu menjauh dari keluarga Weasley di pergaulan sosial. Mereka mematuhinya tanpa kendala karena hati mereka sudah mati. Beda cerita jika itu adalah Lizzy. Si bungsu itu sangat mudah bersimpati dan terlalu berperasaan. Arthur tidak bisa apa-apa selain harus menegaskan Lizzy. “Lusa, kita akan pergi ke istana kerajaan atas undangan perjamuan makan malam,” ujar Arthur tanpa mengubah nada bicara. Lizzy mendongak, mata biru dengan corak berlian di pupilnya itu berbinar kaget. “Eh?” “Kabar kedekatanmu dengan bocah Weasley pasti sudah sampai ke istana kerajaan. Kau harus merenungkan perbuatanmu,” tandas Arthur tegas. “A—Apa?” Arthur berbalik badan, menatap Hera dan para pelayan di rumah Lizzy. “Dia tidak diperbolehkan keluar dari kamarnya sampai lusa. Apapun alasan yang dia buat, tanpa mendapat izin dariku, tetap dilarang keluar dari kamarnya.” Lizzy membelalak tidak percaya. “Kakak, apa yang kakak lakukan—“ “Caesar, perketat penjagaan di sekitar kamar Lizzy. Aku tidak ingin mendengar perempuan merepotkan ini berhasil kabur maupun membuat masalah lain lagi,” perintah Arthur mengabaikan protes Lizzy. “Baik, Yang Mulia.” tanggap Caesar dan para pelayan. Lizzy tidak bisa menahan syok dan amarahnya. Dia menarik jubah hitam Arthur, menghalanginya untuk ambil langkah pergi. “Kakak! Kakak tidak bisa memperlakukanku seperti ini! A—Aku akan menerima hukuman apa pun selain dikurung. Aku—“ Bagi Lizzy, tidak bisa keluar dari kamar bagaikan neraka menyeramkan. Sudah cukup ruang lingkup Lizzy hanya di rumah kedua yang terpisah dari rumah utama. Jangan semakin berkurang dengan mengurungnya di kamar. Ucapan Lizzy berhenti karena tiba-tiba Arthur mengangkat tubuhnya. Kedua tangan besar pria itu menyusup ke ketiak Lizzy, lantas mengangkat tubuh mungil gadis itu tinggi-tinggi selayaknya memegang boneka. Arthur mensejajarkan wajah Lizzy dengannya. Membuat tatapan mata mereka kembali bertemu dengan lebih intens. “Adikku, apa kau tahu apa yang paling kubenci?” tanya Arthur datar. Lizzy gigit bibir, tidak tahu jawabannya. Namun karena dia harus tetap menjawab, ragu-ragu Lizzy menyebut, “Orang-orang merepotkan?” “Barusan aku menyebutmu apa?” Wajah Lizzy pias. “Perempuan merepotkan….” Arthur tidak bersuara lagi. Lelaki itu maju selangkah, menurunkan Lizzy satu langkah dari pintu kamarnya. Wajah Lizzy sedih menatap Arthur berbalik badan, keluar dari kamarnya, dan begitulah pintu kamar ditutup oleh Hera. Suara kunci di engsel pintu menyadarkan Lizzy bahwa dia benar-benar dikurung oleh Arthur. Tidak sempat lagi baginya untuk protes. Dua hari telah berlalu. Hari ini adalah hari ulang tahun Lizzy. Hari yang seharusnya membahagiakan, justru menjadi suram. Lizzy resmi menginjak umur tujuh tahun. Menunggu satu minggu lagi, Lizzy resmi bertunangan dengan Ian.    Seolah membuat perasaannya semakin memburuk, Lizzy benar-benar dikurung selama dua hari. Dikurung sebelum pergi ke istana kerajaan. Dia akan kembali bertemu dengan keluarga kerajaan. Terutama, bertemu Ian, calon tunangan yang tidak suka dengannya. Kurang suram apa lagi hidup Lizzy? Lizzy tidak bisa berkata-kata lagi. “Nona Elizabeth, Anda sudah diperbolehkan keluar.” Suara Hera dari balik pintu membuat Lizzy spontan bangkit, terduduk di ranjang dengan menatap pintu. Wajah cemberutnya berubah dalam sekejap, kini penuh binar bahagia. “Benarkah? Kalau begitu, aku akan keluar untuk menemui Pete!” seru Lizzy menyebut nama burung parkit miliknya sembari hendak turun dari ranjang, namun gerakannya terinterupsi oleh tanggapan Hera. “Namun, ada syaratnya, nona.” Lizzy menoleh kembali ke pintu. “Syarat?” “Yang Mulia meminta bukti bahwa Anda benar-benar telah merenungkan kesalahan nona.” “Huh?” Jujur saja, Lizzy tidak menyesal sama sekali. Selama mendekam di kamar, Lizzy hanya mengomel, mengeluh, berguling kesana-kemari, meratapi usianya telah bertambah, dan mendumal tidak ingin pergi ke istana kerajaan. Tidak ada satupun detik dipakai untuk merenung oleh Lizzy.   Jika sudah begini alurnya, tamat riwayat Lizzy. “He—Hera, kakak menyebut contoh bukti semacam apa yang dia inginkan, tidak?” tanya Lizzy mulai takut membayangkan wajah menyeramkan Arthur bila tahu dirinya tidak merenungkan kesalahannya sama sekali. “Sayangnya, tidak, nona,” jawaban Hera membuat Lizzy gigit bibir. Lizzy mencoba mengingat ucapan Arthur dua hari lalu. Mencernanya baik-baik, mungkin saja dapat membantu Lizzy mencari jalan keluar. Sudah cukup baginya untuk dikurung dua hari di kamar. Tidak ada yang tahu apa yang akan Arthur perintahkan lagi bila Lizzy kembali membuat masalah. Intinya, Kak Arthur menegaskan untuk tidak dekat-dekat dengan Gideon. Secara kebetulan, dua hari setelah pesta teh Battenberg, keluarga kerajaan mengundang kami untuk perjamuan makan malam. Tampaknya undangan itu sampai ke kediaman Gilbert sebelum rumor tentangku dan Gideon beredar, batin Lizzy berpikir keras. “Lusa, kita akan pergi ke istana kerajaan atas undangan perjamuan makan malam.”    Lizzy terdiam mengingat kalimat Arthur. Keningnya yang mengerut, mulai mengendur. Apakah rumornya beredar secepat itu? Di hari itu juga, istana kerajaan sudah mendengar rumornya? Apakah itu sebabnya mereka tiba-tiba mengadakan jamuan makan malam? Tapi, tidak mungkin. Jamuan itu pasti direncanakan jauh sebelum pesta teh.   “Kabar kedekatanmu dengan bocah Weasley pasti sudah sampai ke istana kerajaan. Kau harus merenungkan perbuatanmu.”  Mata Lizzy mengerjap, benaknya buyar. Senyum simpul terbit di wajahnya seiring tubuhnya bergerak turun dari ranjang. Aura positif yang telah lama minggat darinya selama dua hari, kini kembali. Aku tahu apa yang cocok, sorak Lizzy penuh kepercayaan diri. TO BE CONTINUED  [Cieee digantungin. Kabur, ah :"" ]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD