Sore hari pukul tiga, saatnya keluarga Gilbert berangkat menuju ibukota. Kembali menginjakkan kaki di istana kerajaan. Bertemu dengan keluarga kerajaan yang bagi mereka tidak ada wibawa-wibawanya sama sekali, terutama sang raja.
Berbeda dari pertemuan sebelumnya, Arthur harus memaksa Theo untuk ikut. Berhubung di antara mereka, Theo-lah yang paling benci menginjakkan kaki di istana kerajaan. Menyilaukan, katanya. Selain itu, Theo tidak suka berpapasan dengan instansi kerajaan maupun faksi aristokrat yang kerap kali mondar-mandir di istana. Menahan diri untuk tidak membunuh mereka rasanya merepotkan, kata Theo.
“Lizzy, kau naik mobil kedua,” perintah Arthur sembari melangkah mendekat, orang terakhir yang keluar dari mansion utama. “Pastikan kau benar-benar telah menyesal atas kesalahanmu kemarin.”
Lizzy mengangguk, tersenyum cerah. “Tentu saja, aku sangat menyesali perbuatanku kemarin.”
Sebuah kebohongan besar pertama yang diucapkan oleh Lizzy.
“Apakah bibi akan ikut juga?” tanya Lizzy membelok topik.
“Ya, dia ikut,” jawab Arthur, “bagaimanapun juga, dia adik angkat ayah.”
Terdengar suara decakan kesal dari samping Lizzy, sedikit menginterupsi. Arthur dan Lizzy spontan melirik, mendapati Alice bersedekap dengan wajah kesal. Sudah dipastikan, gadis berambut pirang dan bermata hijau itulah yang barusan mendecak. Tidak pernah terima dengan fakta Cecilia de Gilbert merupakan bibinya.
Tapi sekarang bukan itu yang dipermasalahkan oleh Lizzy. Melainkan, Alice yang masih marah kepadanya.
Gadis pengguna jarum racun itu masih mendiamkan Lizzy. Sejak Lizzy dibebaskan dari hukuman kurungannya hingga kini hendak berangkat ke ibukota, Alice tidak mau berbicara maupun bertemu tatap dengan Lizzy. Sikapnya sedikit melukai hati Lizzy. Lizzy paham mengapa Alice marah, namun ia tidak menyangka akan selama itu Alice mendiamkannya.
Hanya Theo yang tidak bereaksi apa-apa terhadap Lizzy. Lelaki itu cuek, seperti biasa. Selalu mengutamakan dirinya sendiri dibanding orang lain. Jadi, apa pun yang Lizzy lakukan, Theo tidak peduli.
Pukul setengah empat sore, empat mobil keluarga Gilbert berangkat menuju ibukota. Diikuti oleh puluhan ksatria Gilbert dari belakang dengan menunggangi kuda. Sore itu, untuk pertama kalinya, rakyat Alterius melihat keluarga Gilbert di jalan utama. Walau tidak langsung melihat wajah mereka, mereka tahu siapa orang yang memiliki mobil di Alterius. Hanya keluarga Gilbert.
“Hera, kau membawa saputangannya, bukan?” tanya Lizzy memastikan.
“Ya, saya membawanya, nona,” jawab Hera seraya menunjukkan saputangan hitam yang ditemukan Lizzy tempo lalu di taman Istana Ratu.
Lizzy mengambil alih saputangan tersebut. Menatapnya, menerka-nerka kembali siapa pemiliknya. “Aku lupa menceritakan ini padamu, Hera.”
Ini yang ditunggu oleh Hera. Apa yang telah menimpa Lizzy saat menengok taman bunga di Istana Ratu.
“Ada apa, nona?” tanya Hera sigap menegakkan telinga.
Ibu jari Lizzy mengelus saputangan dengan perlahan. Mata birunya mulai sendu seiring benaknya mengingat apa yang telah terjadi di taman yang indah itu. “Mungkin hanya halusinasiku saja. Tapi, itu tampak nyata sekali di depan mataku. Aku benar-benar bingung.”
Kening Hera mengerut bingung, tidak mengerti maksud Lizzy.
“Saat aku melihat Yang Mulia Ratu untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit aneh. Entah kenapa, wajah beliau tidak begitu asing dengan seseorang. Anehnya, seseorang itu belum pernah kutemui. Tapi, aku merasa tidak asing.”
“Bisakah nona menjabarkan penampilan seseorang yang Anda maksud?”
Lizzy menoleh, menatap Hera dengan raut kebingungan dan sedikit takut. “Kukira hanya halusinasi. Tiba-tiba saja saat di taman Istana Ratu, bayang-bayang orang itu muncul di gazebo, tepat di depan mataku. Lalu saat aku melihatnya, wajah Yang Mulia Ratu langsung muncul dalam kepalaku.”
Hera nyaris membelalak. “Bayang-bayang?”
“Ya, bayang-bayang. Orang itu tidak nyata.”
“Maksud Anda…, hantu?”
Raut takut langsung menguasai wajah cantik Lizzy. Dia mulai menciut merinding. “H—Hera, aku berusaha mati-matian untuk tidak menyimpulkan ke arah sana. Jangan membuat akal sehat dan logikaku dikalahkan oleh halusinasi.”
Hera mengangguk dan tersenyum canggung. “T—Tentu saja itu hanya lelucon belaka. Tidak ada hantu di dunia ini. Mari kita kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah Anda mengingat penampilan ‘orang’ itu?”
“Samar-samar, berhubung dia tiba-tiba muncul secara abstrak di hadapanku. Tapi, aku cukup melihatnya dengan jelas,” Lizzy menarik dan mengembuskan napas perlahan, “seorang wanita, mungkin wanita bangsawan karena penampilannya molek. Rambutnya pirang, panjang lurus-bergelombang sampai kaki, matanya… mungkin biru, kulitnya putih bersih, dan tinggi badannya kurang lebih seperti Yang Mulia Ra—“
Saat itulah otak Lizzy tersadar.
“Ibu, huh? Dia ‘kembarannya’ Ratu Victorique.”
“Jika kau ingin melihat ibu, kau harus melihat Ratu Ophelia. Dia sama dengan ibu, hanya berbeda warna rambut dan mata.”
“Nona? Ada apa?” tanya Hera sedikit khawatir melihat Lizzy tiba-tiba terdiam, tidak menyelesaikan ucapannya diikuti wajah pias.
“Hera, apakah Yang Mulia Ratu dan ibuku memiliki hubungan?” tanya Lizzy sedikit buru-buru.
Hera mengerjap bingung. “Nyonya? Ya, mereka bersahabat dekat selama empat belas tahun. Nyonya adalah satu-satunya teman sekaligus sahabat yang dimiliki oleh Yang Mulia Ratu.”
Tidak mungkin, batin Lizzy, wajahnya pias melesu. Itu kau, ibu?
Lizzy memang selalu berharap dapat bertemu langsung dengan orang tuanya. Selama ini dia hanya mengetahui rupa mereka dari bingkai foto. Tentu saja itu tidak dapat memuaskan Lizzy. Tidak hanya ingin bertemu, namun juga berpelukan dan berbagi kehangatan. Terlebih, semakin hari Lizzy merasa semakin banyak beban di pundaknya. Lizzy butuh sosok orang tua.
Tidak disangka, Lizzy benar-benar bertemu ibunya. Walau ibunya berwujud abstrak.
Lizzy percaya sosok itu adalah ibunya? Tentu saja.
***
Keluarga Gilbert sampai di istana kerajaan tepat pukul enam sore, satu jam sebelum perjamuan makan. Sore itu, istana kerajaan berkilau disinari lampu. Didominasi oleh warna putih dan emas, istana tampak jauh berbeda dibandingkan istana di pagi sampai sore hari. Seolah bukan istana yang sama.
Lizzy kembali takjub meski ini kedua kalinya dia menginjakkan kaki di istana. Kedatangan pertamanya tempo lalu berakhir di sore hari, jadi Lizzy tidak tahu bagaimana rupa istana di malam hari. Wajar baginya untuk kagum.
“Kita harus menyapa orang bodoh itu, huh?” keluh Theo sesaat setelah keluar dari mobil, sangat ahli dalam memperburuk suasana.
Arthur memperbaiki jasnya seraya menyahut. “Tidak ada pilihan lain, Theodoric. Kendalikan dirimu.”
“Lagipula untuk apa mereka mengadakan omong kosong ini.”
“Merayakan ulang tahun Lizzy.”
Theo mendengus pelan. “Aku yakin bukan itu niat mereka. Mereka pasti akan komplain tentang kebodohan bocah ini.”
Lizzy melirik Theo kesal, tahu bahwa seseorang yang disebut bocah adalah dirinya.
“Jamuan ini sudah direncanakan jauh hari sebelum pesta teh Battenberg. Berhenti menuduh aneh-aneh,” sangkal Arthur sebelum menoleh ke Alice. “Alice, berhenti mengabaikan adikmu sendiri.”
Alice mengernyit. “Aku tidak mengabaikan Lizzy.”
Theo menoleh ke Alice. “Kau melantur? Jelas-jelas kau mengabaikan Lizzy selama dua hari penuh.”
“Aku tidak mengabaikannya. Aku hanya marah kepada bocah Weasley itu, berani-beraninya dia mendekati Lizzy,” sangkal Alice membuat para saudaranya melongo kaget, tidak menyangka. Melihat wajah mereka, Alice ikut bingung, “Apa? Aku berkata apa adanya.”
“Kak Alice tidak membenciku?” tanya Lizzy.
Alis Alice naik sebelah, heran. “Mana ada aku membencimu.”
Arthur lupa, terkadang raut dan aura Alice sangat dramatis hingga menipu orang-orang tertipu.
Tidak ingin memperpanjang perkara Alice dan Lizzy, Arthur segera memimpin mereka memasuki istana kerajaan. Berhubung cuaca di luar semakin dingin, Arthur ingat kondisi tubuh Lizzy sangat lemah terhadap cuaca dingin. Jadi, dia harus segera membawa mereka masuk.
Ronald sudah menunggu keluarga Gilbert di ujung tangga utama istana. Penasihat Raja itu mengantarkan mereka ke Marquis dan Victorique yang telah menunggu di ruang pertemuan. Ruangan yang sama dengan pertemuan tempo lalu. Berhubung jamuan makan masih akan dimulai satu jam lagi, jadi mereka menunggu di sana, bercengkrama ringan.
Jantung Lizzy berdebar seiring melangkah maju. Kurang lebih, dia tidak begitu siap kembali bertemu keluarga kerajaan. Pertemuan terakhir mereka tidak berjalan buruk, tidak berkesan buruk juga. Tapi, Lizzy mengingat bayang-bayang ibunya di taman Istana Ratu. Penampilan ibunya dan Victorique sama, jika Lizzy melihat Victorique, dia pasti akan langsung mengingat kejadian di taman.
Lizzy masih tidak tahu bagaimana harus bersikap jika mengingat hal itu.
“Wah, lihatlah rombongan pelayat pemakaman ini,” ledek Marquis setelah keluarga Gilbert memasuki ruang pertemuan. Wajah menyebalkan Marquis langsung berbinar cerah kala melihat Lizzy di samping Arthur. “Lizzy, putri kecilku! Kemarilah, ayah merindukanmu.”
Lizzy tersenyum canggung, sungguh berusaha untuk bersikap tidak formal. “Halo, ayah. Aku juga merindukan ayah, apakah ayah dan ibu baik-baik saja?”
“Kami sangat sehat dan baik-baik saja, setelah melihat Lizzy, perasaanku jauh lebih membaik,” jawab Marquis terkesan penuh semangat, membuat tiga kakak Lizzy menatapnya jijik.
“Jujur saja, berhenti bersikap selayaknya ayah, kau menjijikkan,” hujat Arthur seraya berjalan menuju sofa diikuti adik-adiknya.
Marquis menatap Arthur penuh kesinisan. “Apa urusannya denganmu? Aku melakukannya hanya kepada Lizzy, berhentilah merusak kebahagiaanku.”
Mengabaikan keributan Marquis dan Arthur, Lizzy duduk di sebelah Alice. Berhadapan dengan Victorique dan Noah. Seperti yang sudah Lizzy duga, dia langsung mengingat sosok ibunya di taman. Dia mencocokkannya, lantas sedikit miris melihat betapa miripnya mereka.
Bagi Lizzy, itu bukan hal buruk. Victorique mirip Elliana, ibu kandungnya, sementara Victorique merupakan calon ibu mertuanya yang sudah memintanya untuk dipanggil ibu. Bukankah hal bagus?
“Senang bertemu denganmu lagi, Lizzy. Apa kabarmu?” sapa Victorique tersenyum hangat, memilih mengabaikan keributan suaminya.
Lizzy tersenyum. “Aku baik-baik saja, terima kasih atas perhatian ibu. Kuharap ibu juga dalam kondisi yang baik.”
“Tentu. Melihatmu sudah membuatku jauh lebih baik.”
“Syukurlah.”
Alice melipat kaki dan bersedekap. “Bocah itu belum datang, huh?”
“Dia menyiapkan ruang makan,” jawab Victorique, mengerti siapa yang dimaksud Alice.
Alice mendengus pelan, lantas menoleh ke Noah. “Kau sudah besar, pangeran kecil.”
“Senang bertemu denganmu, Nona Gilbert,” sahut Noah lengkap dengan aura berkilau sewajarnya seorang pangeran. Nyaris membutakan Alice dan Lizzy. Tiba-tiba saja Noah menoleh ke Lizzy, tersenyum lagi. “Kau juga, Nona Gilbert.”
Kaget mendapat sapaan Noah, buru-buru Lizzy membalas. “Ah, maaf aku sedikit lancang, Pangeran Noah.”
“Tidak apa-apa, itu bukan masalah.”
Mau dilihat berapa kali pun, Lizzy masih saja takjub melihat mata abu-abu Noah. Mata langka yang dikagumi seisi kerajaan bersama mata merah milik Ian. Berbeda dari Ian, mata abu-abu Noah penuh aura misterius seolah menyembunyikan banyak hal di balik keindahannya. Beda jauh dengan mata merah Ian, mata itu seolah siap menghunus siapa pun yang berani menatapnya.
Penyebab utama Lizzy selalu takut dan tidak berani menatap Ian terlalu lama.
“Hari ini adalah hari ulang tahunmu, bukan, Lizzy? Selamat ulang tahun, sayang. Kami sudah menyiapkan banyak hadiah untukmu,” ujar Victorique disambut Lizzy dengan wajah kaget bercampur bahagia.
“B—Benarkah? Astaga, aku merepotkan kalian. Tapi, terima kasih banyak. Aku khawatir, aku tidak pantas menerimanya,” sahut Lizzy dengan wajah memerah.
“Mana mungkin kau tidak pantas menerima, kau pantas menerimanya, Lizzy. Jangan sungkan pada kami. Lagipula sebentar lagi kita akan menjadi keluarga,” sangkal Victorique. Dia menyentuh pundak Noah, tersenyum geli. “Omong-omong, Noah menyiapkan hadiah yang menggemaskan untukmu.”
Noah dan Lizzy kompak membelalak kepada Victorique. Wajah Noah spontan memerah dan melayangkan protes. “Ibu, kenapa kau memberitahunya.”
“Tidak bolehkah? Apakah itu sebuah kejutan?” Victorique menutup mulut, terkejut sendiri. “Ah, maafkan ibu, sayang. Ibu tidak tahu. Habisnya, kau benar-benar menggemaskan selama membuat—“
Noah membekap mulut Victorique. “Ah! Sudahlah, jangan semakin membeberkannya!”
Dia sangat tenang dan pendiam, aku tidak menyangka ada sisi semacam ini juga, batin Lizzy sedikit tergelitik melihat Noah berusaha menyembunyikan wajah malunya. Lizzy menunduk, menatap tas kain di pangkuannya, aku tidak yakin apakah dia akan menerimanya.
“Hei, kalian tidak bisa diam? Arthur, kita ke sini bukan untuk membuat keributan.”
“Tidak perlu memberitahuku, aku sudah tahu, Alice. Lebih baik kau ajarkan apa yang perlu Raja Bodoh ini ketahui.”
“Seperti biasa, kau selalu lancang padaku. Perlukah aku mengedukasimu lagi tentang etika dan tata krama, huh?”
“Tidak salah? Kaulah yang butuh edukasi ulang.”
“Jujur saja, sejak dulu kau tidak ada wibawa sebagai raja.”
“Theodoric, berpihak pada kakakmu itu sebuah kesalahan besar.”
Victorique memutar bola mata, jengah. “Marquis, hentikan sikap kekanakanmu. Kau tidak punya rasa malu pada Lizzy.”
Lizzy teringat saputangan temuannya di taman Istana Ratu. Meski sedikit tidak sopan untuk menginterupsi, Lizzy terpaksa melakukannya agar tidak lupa lagi. “Em…, ibu, ada yang ingin kubicarakan.”
“Apa, sayang?” tanya Victorique, langsung memasang senyum.
Lizzy merogoh saputangan hitam di saku gaunnya. Lantas, hendak menyodorkannya kepada Victorique. Namun sebuah suara tiba-tiba menginterupsi seisi ruangan. Cukup mengagetkan mereka.
“Elizabeth.”
Seketika, seluruh kepala menoleh ke pintu, menemukan figur sang Pangeran Mahkota berdiri di sana. Bahkan Arthur dan Marquis yang telah siap adu panco dibuat menoleh karena suara Ian. Pikiran mereka sama dengan tubuh sama-sama terpaku di tempat.
Barusan, Ian memanggil Lizzy.
Laki-laki yang benci perempuan itu baru saja memanggil Lizzy.
Demi Tuhan mana pun yang ada di dunia ini, apakah Kalian telah membukakan hati nurani anak bodoh itu, batin Marquis mulai terharu.
Victorique menatap Ian bangga. Apakah sekarang dia memutuskan untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan sebagai tunangan Lizzy? Ellie, aku tidak menyangka putra-putri kita akan seperti ini.
Berbeda dari Raja dan Ratu, Lizzy bingung mengapa Ian tiba-tiba memanggilnya. Jantungnya berdebar kencang memikirkan beragam alasan. Tentu saja alasan yang terpikirkan olehnya adalah alasan-alasan mengerikan. Didukung karena Ian tidak menyukai Lizzy. Jika lelaki itu memanggilnya, pasti karena hal-hal buruk, bukan?
Berusaha menguasai diri, Lizzy turun dari sofa. Dia berdiri di samping sofa, bersebelahan dengan Arthur. Tidak lupa tersenyum, Lizzy menatap Ian. “Selamat sore, Yang Mulia Pangeran. Ada yang bisa saya bantu?” ujarnya penuh keformalan.
“Lizzy, kau tidak perlu formal pada anak bodoh itu,” tegur Marquis sedikit sewot membuat Ian meliriknya kesal.
“Diam kau, ayah—“
“Benar, Lizzy. Kau tidak perlu formal pada Ian,” timpal Victorique sebelum menyeruput teh.
Ian mendecak pelan. Berada di dekat ayahnya selalu berujung menyulut emosi. Apalagi jika ibunya berpihak ke ayahnya. Ian tidak bisa apa-apa lagi. Jadi, Ian mengabaikan orang tuanya dengan kembali memusatkan matanya pada Lizzy.
“Ikut aku,” perintah Ian bernada dan berwajah datar kepada Lizzy.
Ucapan Ian nyaris membuat Arthur dan Theo tersedak teh. Alice yang hendak menyuap kue pun langsung menjatuhkan sendoknya. Sedangkan Marquis dan Victorique sangat tenang menyesap teh, diam-diam tersenyum bangga penuh keharuan. Noah? Pangeran kecil itu hanya tersenyum senang melihat interaksi kakaknya dengan calon kakak iparnya.
Lizzy semakin tidak karuan. Tidak siap kembali berdua dengan Ian. Momen terakhir mereka sungguh buruk hingga cukup membuat Lizzy sedikit dendam. Lantas ditambah ini, ah, Lizzy tidak mau!
“Pergilah, Lizzy. Kita akan melanjutkan pembicaraan tadi setelah kalian selesai,” ujar Victorique, tanpa sadar telah menyudutkan Lizzy.
Astaga, aku tidak mau! jerit Lizzy sengsara.
“Baiklah,” dan itulah yang Lizzy ucapkan, berbanding terbalik.
TO BE CONTINUED[Cie digantung lagi, hehehehehehe. Eits, jangan pundung dulu, ayo geser ke next chapter!]