BAB 37

2589 Words
Lizzy sepenuhnya pergi bersama Ian. Menyingkir dari ruang pertemuan. Lizzy mengikuti Ian dari belakang dengan tenang. Tanpa bertanya tujuan kaki mereka melangkah seolah percaya Ian tidak akan membahayakannya. Maksud Lizzy, walau Ian tidak menyukainya, Ian tidak akan melewati batasnya. Walau Ian berada di tingkat membenci Lizzy, Ian tidak akan sejahat itu, bukan? Jemari Lizzy mengerat menggenggam tali tas. Mata birunya menatap punggung Ian di hadapannya, mulai menerka tujuan kaki mereka. Sejak pergi dari ruang pertemuan, Lizzy sudah melewati banyak koridor dan lorong. Tiga taman telah dilewati, begitu pula dengan puluhan pintu. Namun, kaki Ian masih melangkah. Lelaki itu juga tidak bersuara. Tampaknya tidak berniat memberitahu Lizzy. Apa yang dia pikirkan sekarang? batin Lizzy mulai menganalisis niat dan tujuan Ian. Dia datang paling terakhir, lalu tiba-tiba membawaku pergi tepat saat aku akan memberitahu Yang Mulia Ratu tentang saputangan hitam. Apakah sifatnya selalu arogan seperti ini? Lizzy memang telah mendengar banyak hal tentang Ian sejak kecil. Betapa tampan, jenius, berkharisma, dan kejamnya. Lizzy juga sudah merasakan sendiri bagaimana buruknya sifat Ian. Hanya saja dia belum sepenuhnya mengenal Ian. Masih banyak kabar simpang siur tentangnya yang perlu Lizzy buktikan. BUK “Astaga,” gumam Lizzy terlonjak kaget merasakan tubuhnya menabrak punggung Ian. Kening Lizzy sukses membentur punggung Ian, perlahan memerah. Terjadi juga di hidungnya. Mata Lizzy membulat syok melihat dirinya baru saja menabrak Ian. Dia sepenuhnya panik dan mulai ketakutan. Buru-buru, Lizzy mundur satu meter dari Ian sebelum terkena semburan amarah laki-laki itu. Genggamannya pada tali tas tangan berubah menjadi mencengkram. Jantungnya mulai berpacu diiringi keringat dingin membasahi kening. Bisa-bisanya Lizzy melamun hingga menabrak tubuh Ian. Aku tidak menyangka aku akan sebodoh ini di luar kediaman Gilbert. Tuhan, tolong berikan belas kasihan-Mu padaku, rutuk Lizzy ketakutan. Ketika tubuh Ian memutar ke belakang, Lizzy langsung membungkuk sedalam-dalamnya. “Maafkan kecerobohan dan kelancangan saya. Saya sepenuhnya tidak sopan kepada Anda, Yang Mulia.” Ian tidak bersuara. Dia diam menatap Lizzy membungkuk sangat dalam kepadanya, nyaris melebihi sembilan puluh derajat. Bagi Ian yang tidak pernah membungkuk lebih dari tiga puluh lima derajat, dia cukup tertarik melihat Lizzy membungkuk begitu dalam untuk kedua kalinya. Bungkuk pertama gadis itu lakukan di taman Istana Ratu dan Ian membiarkannya cukup lama. Bukan bermaksud menghukum Lizzy, melainkan itu adalah pemandangan menarik yang pernah Ian lihat. Ian kejam? Ian sudah mendengarnya berulang kali dari para pelayan dan ksatria. Telinga Ian sudah tebal mendengar penilaian diri semacam itu. Ian menghela napas pendek. Jika aku tidak datang tepat waktu, dia akan menyerahkannya ke ibu dan ibu akan meledekku habis-habisan. “Berdiri,” perintah Ian bernada datar. Takut-takut, punggung Lizzy menegak. Kepalanya mendongak sedikit demi sedikit. Tampak jelas sekali bahwa dia merasa takut kepada Ian. Selain takut, Lizzy juga bingung. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia mudah sekali dibaca, batin Ian. Sepenuhnya bukan kesalahan Lizzy. Memang pada dasarnya Ianlah yang terkesan tidak jelas sedari awal. Mata semerah batu ruby dan mata sebiru batu sapphire kembali bertemu tatap. Hanya kontak mata. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Dengan jarak satu meter, Ian masih dapat melihat betapa berkilaunya mata Lizzy yang seolah benar-benar batu sapphire karena ada corak di pupilnya. Mata yang sangat polos, cocok dengan pemiliknya. Ini adalah pertemuan ketiga, bagi Ian. Sedangkan bagi Lizzy, ini adalah pertemuan kedua. Tidak ada yang memberitahunya bahwa dia telah bertemu dengan Ian ketika berusia tiga bulan. Mata itu menjengkelkan, batin Ian sedikit kesal, entah atas dasar apa. “Apa yang akan kau berikan kepada ibuku?” tanya Ian, akhirnya memecah keheningan. Lizzy tersentak kecil mendengar Ian tiba-tiba bersuara. “Sebuah saputangan. Saya menemukannya di taman Istana Ratu tempo lalu. Saya berpikir saputangan itu milik Yang Mulia Ratu, jadi saya berniat mengembalikannya.” “Ibu tidak punya saputangan berwarna hitam.” “Ah, saya mengerti. Lantas, milik orang lain.” Alis kanan Ian sedikit naik. “Kenapa kau berpikir itu milik orang istana?” Lizzy mengerjap polos. “Karena berada di taman Istana Ratu. Taman itu merupakan area pribadi keluarga kerajaan. Jadi, pemilik saputangan pasti salah satu orang istana.” Alis kanan Ian sepenuhnya naik, merasa heran. Ternyata dia tipe yang telat mikir, huh?   Dia sepenuhnya tahu aku akan memberikan saputangan ke Yang Mulia Ratu. Jadi, kenapa dia tiba-tiba membawaku ke sini? Dia sengaja? batin Lizzy bingung. Melihat Ian tidak kunjung bersuara, Lizzy memberanikan diri. Dia mengeluarkan saputangan tersebut dari saku gaun, lalu menyodorkannya ke Ian. “Em…, maaf jika saya lancang, jika Anda berkenan, apakah Anda tahu siapa pemiliknya?” “Kenapa kau berusaha mengembalikan benda itu?” tanya Ian balik dengan gestur yang terkesan sombong dan merendahkan. Membuat Lizzy menciut. “Pemiliknya pun pasti sudah tidak memedulikan atau tidak sadar telah kehilangan saputangan. Kenapa kau merepotkan diri sejauh itu?” “Mungkin perkataan Anda benar. Ini hanya sekedar saputangan biasa. Dari bahan dan kualitasnya, saya yakin pemiliknya bukan orang sembarangan. Beliau bisa memiliki saputangan lain setelah saputangan ini lepas dari genggamannya,” jeda, Lizzy tersenyum kecil dengan tatapan turun dari arah mata Ian, “tapi, saya tidak tahu apakah dia benar-benar bertindak seperti itu. Mungkin saja saputangan ini berharga untuknya. Mungkin saja beliau sudah membeli saputangan baru, namun masih tidak merelakan saputangan ini. Saya mengesampingkan segala kemungkinan. Sebab, saya hanya ingin mengembalikan apa yang telah menjadi miliknya.” Bodoh sekali. Bodoh dan naif. Dua kata yang langsung tercetak dalam kepala Ian. Bagi Ian yang tidak pernah memikirkan orang lain, alasan Lizzy sungguh bodoh sekaligus naif. Perempuan itu berusaha sejauh itu hanya untuk sebuah saputangan biasa. Bahkan ia tahu mungkin saja pemilik saputangan tidak peduli dan sudah memiliki saputangan lain, tapi ia tidak berhenti begitu saja. Hanya untuk sebuah saputangan biasa, Lizzy berusaha sejauh itu. Memangnya apa yang akan Lizzy dapatkan setelah berhasil mengembalikannya? Tidak ada. Perempuan itu bergerak atas keinginan naifnya sendiri. Dari sini, Ian sudah bisa menyimpulkan, calon tunangannya tidak cocok menjadi seorang Ratu. Seorang Ratu yang terlalu berperasaan tidak akan cocok memimpin kerajaan. Kelak dia hanya akan menjadi bebanku. “Nona Elizabeth dekat dengan putra bungsu keluarga Weasley.” Bahkan dia bersimpati pada anggota keluarga kriminal kerajaan. Dia terlalu melewati batas logika, hujat Ian bersamaan dengan wajahnya mendingin menatap Lizzy. “Berhenti mencari pemilik saputangan itu,” perintah Ian membuat Lizzy kembali menatapnya. “Maaf?” sahut Lizzy tidak mengerti. Tanpa aba-aba, kaki Ian melangkah mendekati Lizzy. Pergerakan yang tiba-tiba mengikis jarak di antara mereka itu membuat Lizzy mengerjap cepat, sedikit panik dan bingung. Lizzy tidak bisa menyuarakan pertanyaan karena wajah dingin Ian. Takut salah tindakan lagi seperti yang sudah-sudah. Lizzy baru menyadari dirinya selalu membuat kesalahan setiap kali berada di dekat Ian. Jadi, Lizzy tidak ingin mengulanginya lagi. Hanya saja Lizzy pun punya batas kesabarannya sendiri. Sejak awal dia bertemu Ian, sikap Ian tidak pernah jelas kepadanya. Seolah Ian sengaja membuat Lizzy tampak seperti orang bodoh karena selalu bingung di hadapannya. Membuat Lizzy tidak bisa menebak jalan pikirannya, lantas tiba-tiba memicu tindakan-tindakan konyol. Lizzy tidak ingin menilai Ian semacam itu, tapi Ian sungguh menguji kesabarannya. Ian berhenti di hadapan Lizzy. Mengikis jarak satu meter menjadi sepuluh sentimeter. Jarak terdekat pertama yang terjadi di antara mereka. Lizzy berdiri kaku di hadapan Ian, terpaksa mempertahankan dongaknya demi membalas tatapan Ian. Sementara, Ian menunduk dengan wajah tanpa ekspresi yang khas. Semakin membingungkan Lizzy. “A—Ada apa, Yang Mulia?” tanya Lizzy nyaris seperti sedang berbisik, mati-matian memberanikan diri. “Kubilang, berhenti mencari pemilik saputangan itu,” kata Ian mengulang kalimat yang barusan tidak didengarkan dengan benar oleh Lizzy. “jangan membuatku semakin muak padamu.” Wajah Lizzy pias memucat, kini suaranya benar-benar berbisik akibat syok, “Muak?” “Kukatakan padamu, pemilik saputangan tidak peduli sama sekali setelah kehilangan saputangan lusuh itu. Bahkan jika kau mengembalikannya, dia tidak akan merasa tersanjung atas kebaikan naifmu. Simpan saja tenagamu untuk melakukan hal-hal yang lebih berlogika.” H—Huh? Dia tahu siapa pemiliknya? Kenapa dia sangat yakin sekali si pemilik merasa seperti itu? batin Lizzy tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ian. “Tapi, Yang Mulia—“ “Atau kau berusaha bertemu dengannya karena ingin melihat apakah dia tampan atau tidak,” tuduh Ian memotong suara Lizzy. Lizzy sedikit tersentak mendengar tuduhan Ian. Tidak terima, ekspresi sopan santunnya mulai sedikit berubah menjadi kesal. “Apa maksud Anda?” “Dari warnanya, sudah jelas pemilik saputangan itu seorang laki-laki. Aku tidak yakin apakah alasanmu berusaha mengembalikannya itu benar atau sekedar bualan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya manusia pikirkan, terutama perempuan.” Lizzy langsung kehabisan kata saking tidak habis pikir lagi dengan jalan pikiran dan karakter Ian yang begitu labil. Ada apa dengan laki-laki ini, Tuhan? Dia benar-benar… terlalu tidak jelas! “Permisi, apakah maksud Anda adalah saya tidak benar-benar berniat mengembalikan saputangan, melainkan sekedar alasan untuk bertemu dengan pemiliknya hanya karena pemiliknya seorang laki-laki?” Ian mengedikkan bahu tak acuh. “Entahlah. Apakah itu yang kau tangkap dari ucapanku?” “Entahlah,” Lizzy membalas sikap Ian dengan ikut mengedikkan bahu, “mungkin kesimpulan saya terlalu berlebihan atau kalimat Anda yang terlalu kompleks hingga membuat saya sedikit salah paham.” Balasan Lizzy membuat Ian nyaris hendak mengerjap cepat karena kaget. Sepenuhnya tidak menyangka keberanian Lizzy. Beberapa menit lalu, Lizzy bersikap bodoh dan penuh kenaifan hingga membuat Ian muak. Bahkan Ian sudah mengklaim ketidakpantasan Lizzy menjadi calon tunangannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja karakter Lizzy berubah 180 derajat menjadi Lizzy yang sepenuhnya berbeda. Ian langsung mengingat pertemuan pertamanya dengan Lizzy. Kala itu Lizzy sangat penakut dan lemah lembut. Beberapa menit lalu, Lizzy masih bersikap semacam itu. Tiba-tiba saja Lizzy si penakut lemah lembut berubah menjadi Lizzy si pemberani dan sarkastis. Dia terlalu tidak jelas, batin Ian tidak percaya. Bagaimanapun, Ian memiliki harga diri setinggi langit. Melihat Lizzy berani bersikap lancang dan melontarkan sarkas menimbulkan luka pada harga diri Ian. Maka, laki-laki dengan tinggi 158 cm itu tidak mau kalah begitu saja. Ian menyeringai kecil. “Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja mengatakannya, berhubung tiba-tiba saja aku mengingat beberapa rumor menarik belakangan ini.” Maksudnya, rumor tentangku dan Gideon? batin Lizzy langsung terhubung ke spekulasi tersebut. “Ah, saya tidak tahu bahwa Yang Mulia cukup tertarik mendengar rumor. Saya pikir, Anda tidak memiliki cukup waktu untuk mendengarkan rumor kecil karena selalu disibukkan dengan tugas-tugas Anda,” balas Lizzy lagi-lagi sarkastis, tidak lupa menyunggingkan senyum simpul. Kepala Ian maju, dia sedikit membungkuk membuat jarak wajahnya dengan wajah Lizzy menipis sekian inci. “Maaf-maaf saja karena tidak sesuai dengan ekspektasimu. Aku selalu memiliki waktu untuk memberi peduli pada pergaulan sosial.” Jujur saja, Lizzy mulai gentar melihat Ian semakin mengikis jarak. Namun, dia berusaha mempertahankan sikap tenangnya. “Baguslah, saya cukup khawatir mendengar hidup Anda berjalan ditemani setumpuk tugas yang pasti merepotkan. Syukurlah, Anda tidak begitu sibuk hingga masih bisa perhatian dengan pergaulan sosial, terutama rumor-rumor.” “Ya. Dari sekian rumor yang sudah-sudah, aku mendengar rumor yang sangat menarik.” “Jika Anda tidak keberatan, maukah Anda memperdengarkan saya rumor semacam apa yang telah berhasil menarik perhatian Anda, Yang Mulia?” Ian menyeringai lebar. Sepersekian detik, wajahnya menyelusup ke sisi kanan kepala Lizzy dengan tangan kanan Ian menggenggam pergelangan tangan kanan Lizzy. Jarak mereka sepenuhnya terkikis. Wajah Ian sedikit menghadap kepala Lizzy agar bibirnya berada tepat di telinga Lizzy. Posisi itu membuat telinga dan leher Lizzy tergelitik sekaligus merinding karena merasakan deru napas Ian. Sensasinya sangat terasa akibat dari rambut Lizzy disanggul, sepenuhnya memamerkan telinga dan lehernya.   Dapat Ian rasakan, calon tunangannya itu membeku di tempat. Dan Ian merasa puas.   “Kudengar, calon tunanganku dekat dengan seorang laki-laki,” bisik Ian dengan nada sedikit seduktif, semakin memicu bulu kuduk Lizzy berdiri. “Siapa namanya? Ah, ya, Gideon Weasley.” “Y—Yang… Mulia?” gumam Lizzy kehabisan kata-kata. Terlalu terkejut hingga tak mampu untuk menguasai diri akibat perlakuan Ian. “Aku yakin kakakmu sudah memberitahu bahwa rumor itu telah sampai di istana. Kau pikir, aku tidak mengetahuinya, hm?” Mata Lizzy segera mengerjap setelah merasa sedikit perih karena tidak kunjung mengedip, saking syoknya. “Y—Ya, Kak Arthur telah memberitahu saya. Saya sangat was-was dengan rumor itu. Yang Mulia, saya dan Tuan Weasley tidak lebih dari teman.” “Kau sepenuhnya sadar siapa dirimu?” Dia serius menyuruhku mengucapkannya terang-terangan? rutuk Lizzy dengan wajah memerah padam. “Ca—calon tunangan Anda,” gumam Lizzy nyaris tanpa suara. “Setelah menjadi tunanganku, kau siapa?” “Calon Putri Mahkota sekaligus Ratu Ophelia.” Ian menyeringai kecil, lantas sengaja mengembuskan napas panjang dari hidungnya agar mengenai telinga merah Lizzy. “Lantas, bagaimana pengaruh dari rumor kedekatanmu dengan laki-laki lain, hm?” Lizzy gigit bibir, semakin merinding serta malu merasakan napas Ian. “Sangat buruk.” “Asal kau tahu saja, aku benci terlibat hal-hal merepotkan. Rumor semacam itu membuatku terlibat dan aku sangat benci untuk mengurusnya. Kuharap, kau lebih memperhatikan dirimu di luar sana,” Ian mendekatkan bibirnya ke daun telinga Lizzy. Menyeringai lagi usai merasakan bibirnya sedikit menyentuh daun telinga tersebut, lantas membisikkan kata terakhir, “calon tunanganku.” Lizzy kehabisan kata-kata. Lidahnya sudah terlalu kelu untuk menanggapi Ian. Seluruh tenaganya seolah habis tersedot meski dia hanya berdiri diam. Jantungnya berdetak terlalu kencang, sangat kencang hingga terasa akan melompat keluar. Perut Lizzy mulai terasa aneh, seperti hendak mual akibat terlalu gugup atau terasa menggelitik karena sensasi aneh yang tidak pernah dia rasakan. Lizzy tidak tahu. Pikirannya benar-benar kosong. Dia tidak bisa mengetahui segala sensasi yang dia rasakan sekarang. Ian menjauh dari Lizzy. Dia melepas genggamannya. Kakinya mundur satu langkah. Seringai lebar itu masih terpasang di wajah tampannya. Semakin lebar seringai itu tersungging setelah melihat betapa kaku dan memerahnya Lizzy. Perempuan itu hampir menyerupai patung, saking kaku dan tidak bersuara. Wajah Lizzy merah padam sampai ke telinga. Nyaris menyerupai warna merah di gaunnya. A—Apa yang baru saja terjadi, Tuhan? Apakah tadi telingaku… telingaku… dicium oleh pangeran bodoh ini? Astaga, Tuhan, batin Lizzy tidak mampu mencerna situasi. Mungkin aku sedikit berlebihan, batin Ian sedikit merasa bersalah karena Lizzy tidak kunjung bersuara. Meski begitu, Ian mendengus geli menatap wajah Lizzy. Dia sangat memerah. Jika saja sekarang Ian dan Lizzy tidak berada di koridor luar istana, Ian tidak akan dapat melihat wajah memerah Lizzy dengan jelas. Sinar bulan sangat membantu penglihatan Ian. Selain itu, sedikit membuat wajah Lizzy memancarkan kilau yang khas. Tidak kuasa Ian menahan diri untuk tidak bermain-main dengan ekspresi wajah Lizzy. Ingin melihat ekspresi-ekspresi wajah Lizzy lainnya sehingga menggodainya. Tak disangka, sungguh menghibur Ian. “Sudah jam segini,” celetuk Ian merogoh arloji sakunya, memecah keheningan sekaligus mengisi pikiran kosong Lizzy, menyadarkannya. “Kita harus kembali.” Wajah datar yang sangat santai seolah tidak terjadi apa-apa itu membuat Lizzy menggigit bibir, menahan emosi dan ratusan pertanyaan yang hendak meledak dalam kepalanya. Jika Lizzy menyemburkannya, Ian akan menganggap Lizzy aneh dan pasti mengecapnya berlebihan. Tapi, Lizzy merasa apa yang dilakukan Ian tidak benar! “Hei, mau sampai kapan kau ingin berdiri di sini?” tegur Ian santai, semakin membuat Lizzy gemas ingin meluapkan kekesalannya. Secara kasar, Lizzy menyodorkan tas tangan yang sedari awal berada dalam genggamannya. Ian sigap menerimanya, meski cukup terkejut dengan tindakan Lizzy. Lelaki itu mengerjap bingung menatap Lizzy dan tas bergantian. Sebelum Ian bertanya, suara Lizzy menyerobotnya. “Terima kasih atas teguran dan nasihat Anda, Yang Mulia Pangeran Mahkota. Saya sangat menyesal karena telah membuat Anda terganggu dengan rumor itu. Sebagai permintaan maaf sekaligus bukti bahwa saya benar-benar merenungkan kesalahan saya, saya membuatkan Anda beberapa biskuit dan kookies. “Saya harap sesuai dengan selera Anda, walau saya tahu itu tidak seberapa dan tidak sebanding dengan kualitas koki. Jika Anda tidak berkenan menerimanya, Anda berhak membuangnya. Terima kasih,” ujar Lizzy tanpa menatap mata Ian dalam tempo sedikit menggebu. Selanjutnya, Lizzy balik badan dan ambil langkah seribu. Tanpa membungkuk kepada Ian maupun menunggu Ian, perempuan itu pergi begitu saja. Meninggalkan Ian tanpa menoleh ke belakang, sungguh berani. Ian tersenyum miring, sangat terhibur melihat Lizzy tenggelam dalam rasa malu. Mata merahnya melihat Lizzy memasukkan saputangan hitam ke dalam saku gaun, lantas berganti menatap tas berisi sekantung biskuit dan kookies rumahan buatan Lizzy di tangannya. “Mungkin perkataan Anda benar. Ini hanya sekedar saputangan biasa. Dari bahan dan kualitasnya, saya yakin pemiliknya bukan orang sembarangan. Beliau bisa memiliki saputangan lain setelah saputangan ini lepas dari genggamannya.”     Ian mendengus geli, mulai melangkah menyusul Lizzy. Batinnya tergelitik mengingat ucapan Lizzy. Lantas menggumam pelan, “Sebagai gantinya, aku mendapatkan biskuit dan kookies yang tidak cantik sama sekali.” TO BE CONTINUED[Meratap dan menyadari bahwa aku nggak pernah punya momen uwu T_______T]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD