BAB 38

2691 Words
Lizzy menyesali keputusannya. Seharusnya, Lizzy bersikap tenang dengan kepala dingin. Seperti yang diajarkan oleh Mrs. Bellogia maupun kakak-kakaknya, dalam situasi apa pun, Lizzy harus berkepala dingin. Bahkan jika Lizzy terjebak dalam kondisi di antara hidup dan mati. Untuk malam ini, semua yang telah mereka ajarkan, berakhir sia-sia. Setelah tiga tahun bersikap sangat tenang dan penuh keanggunan, malam ini Lizzy gagal mempertahankannya. Gara-gara Ivander de Bloich, calon tunangan Elizabeth de Gilbert. Bukankah lorong ini sudah kulewati? rutuk Lizzy kesal untuk kesekian kalinya ketika sampai di salah satu lorong istana. Astaga, sebenarnya jalan mana yang benar?! Kenapa pangeran bodoh itu diam saja di belakangku?! Lizzy sangat kesal. Selayaknya orang luar istana, dia tidak tahu denah istana kerajaan. Dia hendak kembali ke ruang pertemuan. Kaki Lizzy sudah melangkah menyusuri beragam lorong dan koridor, namun tidak kunjung sampai ke ruangan tersebut. Yang ada Lizzy semakin bingung karena merasa telah berkali-kali melewati lorong dan koridor yang sama. Seolah ingin membuat Lizzy semakin sengsara, Ian hanya diam mengikutinya dari belakang. Seperti yang sudah diketahui, laki-laki itu ditinggal pergi oleh Lizzy. Lizzy-lah yang ambil langkah seribu meninggalkannya tanpa sopan santun. Membuat Ian berada di belakangnya, menyusul. Akan tetapi, sepertinya lelaki itu tidak berniat menuntun Lizzy ke jalan yang benar. Buktinya, sudah puluhan kali Lizzy tersesat, Ian sangat tidak acuh. Pangeran itu hanya mengikuti kaki Lizzy seolah sama-sama tidak tahunya. Membuat Lizzy kesal bukan main. Lizzy mendecak pelan. Padahal ini ulahnya. Dia yang membawaku pergi dari ruang pertemuan. Sekarang dia pura-pura buta. Lizzy menyentuh lengan kirinya, mencoba menghalau udara dingin. Hatinya memanjatkan doa setiap kali selesai melewati lorong dan memasuki lorong lainnya. Berharap dia segera menemukan jalan yang benar. Situasi akan menjadi gawat bila tubuh Lizzy sudah mencapai batasnya dalam menghalau udara dingin. Ian, tetap menjadi laki-laki tidak berakhlak seperti yang sudah-sudah, menyeringai kecil menatap punggung Lizzy. Dia merogoh arloji sakunya, melihat jarum pendek jam telah tepat menunjuk angka tujuh. Menandakan jamuan makan malam harus segera dimulai. Selaku penyelenggara, Ian harus pergi ke ruang makan sekarang juga. Begitu juga dengan Lizzy. Tapi, aku masih belum puas, batin Ian geli mendengar bisik gerutuan kesal Lizzy.   Ian sangat terhibur melihat Lizzy kesal. Ya, singkatnya, Ian sengaja tidak membantu Lizzy. Dia membalas perbuatan Lizzy yang meninggalkannya tanpa sopan santun beberapa menit lalu. Ian sangat paham inilah yang akan terjadi jika dia tidak menuntun perempuan itu. Secara tidak langsung, Ian menunjukkan kebodohan Lizzy. Lizzy pasti sadar dan merasa frustasi sekarang. Siapa suruh meninggalkanku, ledek Ian penuh kemenangan.   Seperti yang diduga oleh Lizzy, dia telah melewati lorong dan koridor yang sama selama lima kali sebelum menemukan jalan baru. Setelah menemukan jalan baru, terjadi hal yang sama, dilewati nyaris sepuluh kali sebelum menemukan jalan lainnya. Tentu saja tidak ada yang memberitahu perempuan mungil itu. Ian sungguh diam-diam saja mengikuti kaki Lizzy.      “Astaga, di mana lagi ini,” gumam Lizzy lelah, tak tahu gumamannya terdengar oleh telinga Ian. Apakah aku harus meminta bantuannya? Tapi, dia sengaja diam untuk menjahiliku, bukan? Meminta bantuannya akan membuatnya sombong dalam sekejap, rutuk Lizzy mulai putus asa. Kini, kedua tangan Lizzy memeluk tubuhnya. Merasa akan mencapai batasnya dalam menghalau udara dingin. Benaknya masih berpikir positif bahwa sebentar lagi akan sampai di tujuan. Lizzy tidak mau dijahili lagi oleh Ian. Bahkan dia sudah bisa membayangkan wajah menyebalkan Ian bila Lizzy meminta bantuannya. “Dasar bodoh.” Mata biru bercorak kristal milik Lizzy mengerjap ketika merasakan pundak dan lehernya tertutup. Gadis itu menunduk, menengok kanan-kiri, menemukan tubuhnya terbalut jubah panjang berwarna merah tua. Lizzy sedikit membelalak, tidak percaya. Dia mengenal jubah itu. “Sudah waktunya, aku harus segera membuka perjamuan. Kau lambat,” ujar Ian datar dan tanpa permisi meraih tangan kanan Lizzy, menggandengnya. Lalu, sedikit mempercepat langkahnya. Lizzy tidak bisa menolak. Tidak punya pilihan lain. Inilah yang dia tunggu-tunggu, Ian menuntun jalan. Lizzy harus tetap tenang dan menguasai diri sepenuhnya. Bergandengan tangan dengan Ian bukanlah masalah besar, bukan juga ketidaksopanan. Lagipula, satu minggu lagi mereka akan resmi bertunangan. Jadi, hal-hal semacam ini merupakan situasi yang wajar. Tapi, jantung dan wajah Lizzy ingin kembali meledak karena rasa malu! Bibir Lizzy menipis seiring arah matanya turun dari punggung Ian. Bersamaan dengan itu, hidungnya menangkap aroma chamomile dari jubah Ian. Tak dapat dihindari, membuat wajah Lizzy semakin memerah. Aroma itu seolah semakin menyadarkan Lizzy bahwa jubah yang tersampir di pundaknya sekarang memang milik Ian. Apa-apaan? Kenapa dia tiba-tiba baik? Beberapa menit lalu, bahkan terakhir kali bertemu, dia menatapku penuh benci. Kenapa sekarang…, rutuk Lizzy kebingungan sendiri sebelum matanya menatap tangannya yang digenggam erat oleh Ian. Padahal kami memakai sarung tangan yang cukup tebal hingga membuat tangan kami hampir mati rasa. Tapi, entah kenapa, terasa hangat. Tanpa Lizzy sadari, dia membalas genggaman Ian sama eratnya. Pergerakan itu disadari oleh Ian. Tanpa Lizzy ketahui, Ian tersenyum sangat tipis. Lalu, mengeratkan genggamannya lagi seolah membalas Lizzy. Aku tahu. Memang terasa hangat, batin Ian. Lizzy tersenyum kecil menatap Ian. Senyuman yang otomatis tersungging tanpa niat Lizzy seolah dia mengetahui apa yang baru saja Ian pikirkan. *** “Apakah kita harus memundurkan perjamuan ini?” tanya Marquis secara terbuka di meja makan, membuat dirinya ditatap oleh keluarganya beserta keluarga Gilbert. Theo mendecak pelan. “Lalu membuatku harus berlama-lama di istana menyebalkan ini?” Marquis melirik sinis. “Memangnya apa bedanya istana ini dengan mansion Gilbert di puncak gunung, huh?” “Di sana lebih menyenangkan daripada istana ini, penuh drama omong kosong.” “Kau menantangku, bocah?” “Coba saja, Raja Idiot.” Alice mendecak, menengok Theo. “Berhenti membuatku harus menegurmu, pria kurus.” “Mereka pergi cukup lama,” celetuk Arthur sangat tenang, tidak memedulikan keributan yang barusan hendak terjadi. Sepuluh menit sebelum pukul tujuh, ruang makan telah diisi oleh keluarga kerajaan dan keluarga Gilbert. Sesuai waktu yang telah ditentukan, mereka sudah duduk rapi di meja makan. Akan tetapi, perjamuan belum dibuka berhubung Ian selaku penyelenggara belum hadir bersama Lizzy, si bintang utama perjamuan. Mengingat perjamuan ini sekaligus menjadi perayaan ulang tahun Lizzy. Lima belas menit telah berlalu, Ian dan Lizzy masih belum menampakkan batang hidung. Akhirnya, keluarlah celetukan Marquis barusan. Victorique menengok ke kiri untuk berbicara dengan Johan. “Apakah sebelumnya Ian tidak memberitahumu ke mana dia akan pergi bersama Lizzy?” Johan menghela napas pendek. “Sayangnya, tidak, Yang Mulia. Yang Mulia Pangeran langsung pergi tanpa memberitahu saya. Beliau juga tidak menyinggung apa-apa sebelum kami pergi ke ruang pertemuan.” “Ini cukup merepotkan,” gumam Victorique seraya kembali menoleh ke depan, berhenti berbicara dengan Johan. “Aku tidak menyangka pangeran kecil itu akan segera menaruh matanya kepada Lizzy. Aku cukup senang.” celetuk Cecilia dengan senyum lebar. Mengalihkan pikiran Victorique. “Bukankah ini hal yang bagus, Yang Mulia Ratu?” “Ya, sangat bagus,” sahut Victorique setuju, walau wajahnya masih sedikit khawatir menerka keberadaan Ian dan Lizzy sekarang. “Aku bertaruh bocah itu sedang merundung Lizzy karena rumor yang beredar belakangan,” tuduh Theo membuat belasan mata melotot kepadanya. Arthur menoleh, menghunus tatapan tertajamnya. “Bicara apa kau.” Wah, kakinya langsung berhenti bergerak, batin Alice, diam-diam menahan senyum geli melihat Arthur diam-diam cemas. Marquis menyeringai remeh ke arah Theo. “Maksudmu rumor kedekatan Lizzy dengan bocah Weasley? Anak bodohku tidak akan mudah terpancing.” Mohon maaf, Anda salah, Yang Mulia. Pangeran sangat terpancing dengan rumor itu, batin Johan, merasa sangat bersalah melihat wajah Marquis penuh kepercayaan diri. “Oh, ya? Kudengar anak bodohmu itu memberikan ratusan kado untuk Lizzy, namun di antaranya tidak ada satu pun Royal Treasure,” ujar Theo mulai berargumen, keras kepala. Marquis gigit bibir, membenarkan argumen Theo. Dia pun tahu bahwa putranya memborong seluruh produk katalog dari tiga butik ternama. Gaun, sepatu, topi, perhiasan, dan aksesoris memenuhi ruang kerja Ian sejak kemarin. Ratusan kado yang Ian siapkan untuk Lizzy. Hanya itu, tidak ada perhiasan Royal Treasure. Seperti yang sudah diketahui sejak lama, perhiasan Royal Treasure merupakan perhiasan langka milik keluarga kerajaan. Perhiasan itu turun-temurun diwariskan dalam keluarga kerajaan. Tradisinya, para Raja dan Pangeran Mahkota memberikan Royal Treasure kepada calon pendamping mereka. Perhiasan super langka itu tidak boleh diberikan secara sembarangan. Tapi di era Marquis, putranya sendiri memberikan Royal Treasure kepada perempuan selain calon tunangannya sendiri. Jika saja Marquis tidak takut kepada Victorique, sudah dari awal dia mengguncangkan kepala Ian. Sejak dulu, insting Marquis telah merasa bahwa otak putranya pasti sedikit bergeser dari tempatnya. Dan dia tidak bisa melakukan apa-apa karena Ian adalah putra kesayangan istrinya! “Untuk apa buru-buru? Akan ada saatnya anak bodoh itu akan memberikan Royal Treasure kepada Lizzy,” ujar Marquis, sangat terpaksa untuk membela martabat putranya sendiri. Mengejutkan Marquis, Victorique menimpal setuju. “Mereka masih sangat muda. Jalan mereka begitu panjang. Kita para orang dewasa tidak perlu buru-buru.” Marquis sungguh terharu. Victorique berpihak padanya adalah sebuah kejadian langka. Bagaimana Marquis tidak semakin tenggelam dalam pesona Victorique? Ah, aku ingin melihat Victorique kecil berlari kesana-kemari di istana, batin Marquis mulai mengharapkan sesuatu yang melewati batas. “Yang Mulia Pangeran Mahkota Ivander dan Nona Elizabeth hadir!” Laporan ksatria kudus di balik pintu ruang makan membuat suasana ruang makan merekah. Usai pintu dibuka, seisi ruang makan tercengang melihat pemandangan Ian menggandeng tangan Lizzy. Tidak hanya itu, jubah merah tua yang selalu dipakai Ian, kini membalut tubuh Lizzy. Wajah datar Ian dan wajah memerah Lizzy membuat mereka kehabisan kata-kata, tidak bisa menerka apa yang telah terjadi di antara keduanya. Ian melangkah masuk tanpa melepaskan genggamannya di tangan Lizzy. Seakan tidak terjadi apa-apa, dengan santai Ian sedikit membungkuk kepada seluruh pengisi tempat duduk di meja makan. “Maafkan keterlambatan saya dalam membuka perjamuan makan malam. Saya paham kesalahan ini cukup tidak berkenan, namun saya harap kalian dapat memakluminya. Terima kasih.” Tidak ada yang menanggapi Ian, saking terlalu tercengang atas apa yang mereka lihat. Padahal Ian hanya menggandeng Lizzy, calon tunangannya sendiri. Bukan hal yang aneh, bukan? Ian menegakkan punggung, lalu menengok ke Lizzy, berbisik, “Jika kulepaskan, kau tidak akan sedih, bukan?” Bisa-bisanya kau menjahiliku di saat seperti ini, omel Lizzy kesal, tak bisa mengutarakannya. “Sebenarnya, saya tidak memerlukannya. Saya diam karena berpikir Anda kedinginan. Jadi, Anda tidak perlu khawatir. Terima kasih atas perhatian Anda,” balas Lizzy sama-sama berbisik diiringi senyum manis dan sarkastis. Ian menyeringai geli. “Bohong.” “Tidak,” sangkal Lizzy. “Bohong.” “Yang Mulia, berhenti—“ Lizzy melotot merasakan tangannya ditarik karena kaki Ian tiba-tiba melangkah. Ian membawanya ke kursi kosong yang diapit oleh Arthur dan Cecilia. Ketika sampai, Ian melepas genggamannya, lantas menarik kursi tersebut. Lirikan mata merahnya kepada Lizzy membuat Lizzy membungkuk canggung kepadanya, paham bahwa Ian mempersilahkannya duduk. Jujur saja, alih-alih merasa tersanjung, justru Lizzy merasa bulu kuduknya merinding menerima segala perlakuan manis Ian. Marquis menyeringai bangga melihat perlakuan Ian kepada Lizzy. Tampaknya, perkara Royal Treasure dengan Putri Elesis bisa dibicarakan baik-baik. Pintu hati nurani anak bodohku telah terbuka untuk Lizzy. Ketika Ian hendak melangkah ke kursinya, Lizzy mencegahnya. “Yang Mulia, jubah Anda.” “Tidak masalah, pakai saja dulu,” tolak Ian sembari tersenyum tipis. Lagi-lagi sukses membuat Lizzy memerah dan berdebar. Bocah sialan, hujat Arthur tidak kuasa menahan diri untuk tidak memerhatikan interaksi adiknya dengan Ian. Dasar ular, hujat Theo sambil membuang pandangan. Pembohong besar, benar-benar pembohong, hujat Alice kurang lebih sama seperti kembarannya. Punggung Ian terasa sangat dingin selama dia melangkah menuju kursinya yang berseberangan langsung dengan Lizzy. Tidak perlu bertanya-tanya, Ian tahu penyebabnya. Dia sudah menduga hal itu akan terjadi, jadi dia tidak begitu terkejut. Ya, hanya Gilbert. Tidak perlu kaget, Ivander, rutuk Ian sembari duduk di kursinya. Ian menyerahkan tas tangan pemberian Lizzy kepada Johan sebelum berkata, “Terlepas dari keterlambatan saya, saya harap jamuan makan malam hari ini tetap berjalan lancar dan berkesan bagi kita. Jamuan ini sekaligus untuk merayakan bertambahnya usia Elizabeth de Gilbert, calon tunangan saya. Saya harap perayaan pertama yang kita selenggarakan bersama ini diberkahi oleh Tuhan.” Sambutan singkat Ian menjadi pembuka perjamuan makan. Para pelayan segera menghidangkan makanan di meja. Meja yang tadinya kosong, mulai dipenuhi beragam menu berkualitas tinggi pilihan Ian. Lizzy, tidak perlu diragukan lagi seorang bangsawan, terpana melihat makanan-makanan yang tersaji. Padahal tidak berbeda jauh dari yang biasa ia makan, namun tetap saja Lizzy terpana seolah pertama kali melihatnya. Ketika seisi meja hendak menggenggam pisau dan garpu masing-masing, suara Ian menginterupsi. “Ah, tunggu dulu, kenapa kalian langsung makan begitu saja.” Komplain Ian membuat yang lain mengernyit bingung. “Ada apa, Ian?” tanya Victorique. “Bukankah sudah kubilang ini sekaligus perayaan ulang tahun Elizabeth,” jawab Ian dengan seringai kecil sebelum memerintahkan pelayan, “bawa masuk.” Para pelayan sigap menjalankan perintah Ian. Mereka berbondong-bondong keluar untuk membawakan apa yang diminta oleh Ian. Ini menimbulkan kebingungan bagi dua keluarga di meja makan. Menerka-nerka apa niat Ian. Memang benar jamuan ini sekaligus menjadi perayaan ulang tahun Lizzy, akan tetapi keluarga kerajaan tidak tahu apa yang Ian rencanakan. Sebab, acara ini sepenuhnya diselenggarakan oleh Ian tanpa campur tangan Marquis dan Victorique. Ketika Johan masuk dengan mendorong kereta makanan, seisi ruang makan dibuat terperangah karena melihat sebuah kue yang cukup besar berada di kereta tersebut. Kue keju dua tingkat dengan lilin di atasnya itu membuat Lizzy tersentuh. Benar-benar tidak menyangka Ian akan menyiapkan kue ulang tahun. “Astaga, manis sekali,” puji Cecilia, terkekeh lembut melihat wajah terharu Lizzy. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Marquis melongo. “Kau menyiapkannya?” Ian menyeringai bangga. “Tentu saja.” Victorique seolah akan menangis saking terharu dan bangganya melihat putra berhati dinginnya itu bersikap sangat manis kepada Lizzy. Sementara, Noah menepuk pundak ibunya demi mencegahnya menangis terharu. Berbeda dari keluarga kerajaan, keluarga Gilbert lebih cepat dalam mengendalikan ekspresi. Ya, mereka tercengang, namun tidak lebih dari lima belas detik. Terkesan seperti mereka mencurigai atau tidak mempercayai perlakuan manis Ian. Ya, nyatanya seperti itu. Ian turun dari kursi, berlari kecil memutari meja untuk menghampiri Johan yang berhenti di belakang kursi Lizzy. Hal itu membuat Lizzy ikut turun guna menghadap Ian. Mengerti apa niat lelaki itu. Johan menyalakan lilin-lilin yang tertancap rapi di atas kue. Dengan sigap, Ian mengambil alih kue itu, menyodorkannya ke Lizzy. “Selamat ulang tahun, Elizabeth de Gilbert. Buat harapanmu sebelum meniup lilin.” Pemandangan kecil yang sungguh manis, namun tidak berlaku bagi keluarga Gilbert. Secara kompak, Arthur dan Theo bersedekap tanpa mau menengok Lizzy. Sama-sama tidak mau merekam pemandangan manis Ian dan Lizzy. Sedangkan, Alice dan Cecilia memaksakan senyum di wajah mereka. Sama-sama pula memaksakan diri untuk melihat momen manis pertama Ian dan Lizzy. Lizzy, si gadis polos, memejamkan kedua matanya dengan tangan saling bertaut. Memanjatkan doa dan harapan. Kuharap ayah dan ibu bahagia di surga tanpa perlu mengkhawatirkan aku dan kakak-kakak. Harapanku hanyalah kesehatan dan umur panjang bagi keluarga Gilbert dan keluarga kerajaan. Semoga segalanya berjalan dengan baik untuk ke depannya. Ketika Lizzy selesai membuat permohonannya, Ian sedikit mendekatkan kue kepada gadis itu. “Tiup lilinnya.” Tepuk tangan menggema di ruang makan usai Lizzy meniup api lilin. Untuk pertama kalinya, gadis itu tersenyum tulus kepada Ian. Mengucapkan rasa terima kasihnya kepada laki-laki itu. Walau, Lizzy meragukan perlakuan manis Ian sekarang tidak lebih dari sekedar akting belaka. Rasa-rasanya dia tidak mau peduli. Akting atau tidak, Ian berhasil membuatnya senang. “Terima kasih banyak, Yang Mulia. Saya tidak tahu bagaimana untuk membalasnya. Saya tidak pantas menerima ini,” ujar Lizzy benar-benar jujur dari lubuk hatinya. Ian meletakkan kue di kereta makanan. Dia menerima sebuah kotak beludru berwarna merah dari Johan, lantas kembali menghadap Lizzy. “Bukan masalah. Sudah sewajarnya aku melakukan ini, bukan? Kau pantas menerimanya.” “Tapi—“ “Hadiah dariku,” ujar Ian langsung memotong suara Lizzy, menyodorkan kotak beludru tersebut kepada Lizzy. Canggung dan sungkan, Lizzy menerimanya. Matanya membelalak usai membuka kotak itu, terpampang sebuah kalung permata sapphire dengan ornamen dan ukiran berkualitas tinggi. Tidak perlu diragukan lagi, itu adalah salah satu perhiasan Royal Treasure. “Sudah kubilang, kita tidak perlu buru-buru. Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri, Nak,” celetuk Marquis tidak bisa membendung rasa bangganya lagi hingga berujung sombong kepada Theo. Theo mendecak. “Berisik.” Arthur dan Alice menghela napas pelan, memilih tidak berkomentar. Membiarkan apa yang terjadi di hadapan mereka. Lizzy, kehabisan kata-kata, hanya bisa menatap Ian dengan mata mulai berkaca-kaca. Merasa sangat tidak pantas untuk menerima Royal Treasure. Tangannya sedikit maju seolah berkata tidak bisa menerima perhiasan tinggi tersebut. Namun, alih-alih meladeni penolakan Lizzy, Ian mengambil tangan kanan gadis itu. Tanpa aba-aba, Ian mencium ringan punggung tangan Lizzy. Semakin membuat Lizzy tidak bisa berkutik. “Kau pantas menerimanya,” ujar Ian seolah dapat membaca pikiran Lizzy. Dan Lizzy masih tidak mampu bersuara seakan tidak percaya ini adalah kenyataan. Dengan begini, ayah dan ibu tidak akan komplain untuk beberapa tahun ke depan, batin Ian puas dengan bakat aktingnya. Masih menggenggam jemari Lizzy, Ian tersenyum kecil menatap wajah bahagia gadis itu. Setidaknya, rasa bahagiamu bukan sebuah kebohongan, Elizabeth. TO BE CONTINUED[Sekalinya momen sama elu, langsung dibabat dua BAB sekaligus dan masing-masing hampir 3000 word. Kurang spesial apa lagi kau, hey, anaknya bapak Marquis?! T____T]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD