BAB 39

1910 Words
Lima hari telah berlalu sejak hari ulang tahun Lizzy. Hari ulang tahun terindah yang pernah Lizzy lalui. Terlepas dari segala harapan kekanakannya yang sempat ingin memiliki pesta perayaan, Lizzy tidak menyangka bahwa Ian-lah yang mengabulkan permintaan tersebut. Padahal Lizzy sudah menyerah berharap karena kakak-kakaknya tidak akan sempat mengadakan perayaan ulang tahun. Namun, tidak disangka, tepat di usia ketujuh, keinginan kekanakan Lizzy terkabul berkat Ian. Pangeran Mahkota yang dulu ditakuti oleh Lizzy. Ya, sekarang pun rasa takut itu masih ada. Bedanya, tidak sebesar dahulu.    Bagaimana bisa Lizzy tetap membenci Ian setelah lelaki itu menyiapkan pesta dan memberikan Royal Treasure sebagai kado? Ah, jangan terlalu berharap, Lizzy. Seluruh sikap manis dan perlakuan itu sepenuhnya palsu, rutuk Lizzy di sela lamunannya. Untuk kesekian kalinya, membuyarkan angan-angannya dengan realita. Pada malam itu, memang benar Lizzy merasa sangat bahagia atas segala perlakuan manis Ian. Bahkan mata biru Lizzy berkaca-kaca, saking terharunya. Seluruh sisi dalam tubuhnya pun tidak berbohong. Jantungnya berdebar, perutnya tergelitik karena sensasi aneh, dan hati Lizzy terasa hangat. Semua itu nyata. Tidak ada satu pun organ tubuh Lizzy yang berbohong. Akan tetapi, otak Lizzy masih berjalan. Dia menangkap dengan benar bahwa segala perlakuan Ian adalah akting. Lizzy tidak melupakan pertemuan pertamanya dengan Ian. Sorot dingin Ian membekas jelas dalam benak Lizzy, menjadi patokan gadis itu. Tanpa perlu mendapat penjelasan dari Ian, Lizzy paham bahwa Ian tidak menyukainya. Lantas, tidak mungkin perangai Ian tiba-tiba berubah kurang dari dua minggu tanpa alasan. Alasan itu dapat berupa cinta atau alibi. Ian tidak mungkin tiba-tiba mencintai Lizzy setelah apa yang mereka lalui di taman Istana Ratu. Jadi, sudah jelas, semua perlakuan itu hanyalah alibi untuk suatu alasan yang tidak Lizzy ketahui. Lizzy tidak berharap lebih, pun mengikuti permainan Ian. Jangan pernah berekspektasi dan mengharapkan apa pun dari orang lain, batin Lizzy menyetujui nasihat Alice. “Nona, Anda mendapatkan beberapa surat,” lapor Hera sesaat setelah memasuki kamar tidur Lizzy. Tangannya menggenggam nampan kecil berisi tiga surat. Lizzy menoleh, perhatiannya teralih. “Dari siapa? Apakah itu surat pribadi?” “Benar, ketiganya merupakan surat pribadi. Dari Kallista Trancy, Asher Phantomhive, dan Gideon Weasley.” Mendengar nama Gideon membuat mata Lizzy otomatis membulat. Buru-buru dia berlari kecil menghampiri Hera. Tangannya menyambar surat di nampan, lalu menyembunyikannya di belakang punggungnya. Raut panik terpasang di paras cantiknya diikuti sedikit getar takut. “H—Hera, kakak-kakakku belum kembali dari misi mereka, bukan?” tanya Lizzy sedikit gemetar menatap Hera. Hera tersenyum cerah. “Belum, nona. Anda tidak perlu khawatir, tidak ada yang tahu selain Tuan Aiden.” Lizzy tersentak kecil. “Aiden ada di mansion utama?” “Iya, nona. Mulai sekarang, Tuan Aiden ditugaskan mengisi kedudukan Tuan Charles setiap kali Tuan Charles pergi bersama Yang Mulia.” Sepengetahuan Lizzy, Aiden sangat berkompeten dan loyal kepada Arthur. Lelaki itu telah bekerja selama empat belas tahun. Cekatan, cerdas, dan loyal. Tidak diragukan lagi, Aiden adalah kandidat terkuat penerus Charles. Lizzy nyaris tidak pernah bertemu muka dengan Aiden. Berhubung dia tinggal di kediaman yang terpisah dari mansion utama. Jadi, Lizzy tidak begitu mengenal watak Aiden. Itulah masalahnya. Lizzy tidak mengenal watak Aiden, namun dia sangat tahu keloyalan pria itu. Keloyalan Aiden kepada Arthur bukan main-main. Kalau Aiden memberitahu Kak Arthur perkara surat Gideon, situasi akan menjadi lebih gawat dari sebelumnya, batin Lizzy mulai frustasi. “Ada apa, nona? Kenapa bersedih?” tanya Hera khawatir melihat wajah murung Lizzy. “Aiden pasti akan memberitahu segala hal kepada Kak Arthur,” ujar Lizzy pelan, lebih seperti berbicara kepada dirinya sendiri, “surat-surat ini juga. Dia pasti akan memberitahu Kak Arthur. Lalu, Kak Arthur akan tahu dan kembali menghukumku.” Hera mengerjap sejenak sebelum kembali menyunggingkan senyum hangat. Mengagetkan Lizzy. “Anda tidak perlu mengkhawatirkannya. Tuan Aiden tidak akan memberitahu Yang Mulia.” “Huh? Kenapa?” tanya Lizzy kaget. “Katakan saja bahwa Tuan Aiden sedikit memihak Anda hari ini sebagai hadiah ulang tahun Anda.” Wajah Lizzy merekah senang. “Sungguh? Dia melakukannya?” “Benar, nona. Jadi Anda tidak perlu khawatir. Mari segera membaca surat-surat pertama Anda.” Aiden harus menjadi kepala pelayan selanjutnya. Aiden, kau mendapatkan dukungan dan persetujuanku, sorak Lizzy seraya melangkah kembali ke meja teh di samping jendela kamar. Dari tiga surat, surat pertama yang Lizzy pilih untuk dibaca adalah surat Kallista. Dia cukup antusias dengan apa yang gadis tomboy itu tulis kepadanya. Perkenalan dan interaksi mereka berjalan singkat, namun sangat berkesan. Di antara seluruh perempuan bangsawan, Kallista yang paling Lizzy sukai. Halo, ini merupakan surat pribadi pertamaku kepadamu. Kuharap, tidak terlalu buruk dan tidak terkesan terburu-buru. Singkat saja, aku mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Tujuh tahun, bukan? Sebentar lagi kau akan bertunangan, huh? Lucu sekali, kuharap kau bisa melaluinya dengan baik. Aku mengirimkan hadiah untukmu bersamaan dengan surat ini. Darren juga menyampaikan ucapan untukmu. Kuharap hadiahku berkenan untukmu. Langsung saja, terkait masalah anak rahasia keluarga Battenberg, kami belum menemukannya. Asher dan Ashton sudah mengitari seluruh mansion. Sementara aku dan Darren memeriksa area yang di luar prediksi kami. Hasilnya nihil, kami tidak menemukan petunjuk apa-apa. Tapi, satu hal yang pasti, anak itu benar-benar ada. Sesudah aku melaporkan hasil pencarian ini kepada ayahku, ayahku memuji kerja keras kami dan meyakinkan kami di percobaan selanjutnya. Tampaknya, ayahku mulai berniat membongkar rahasia gelap keluarga Battenberg itu. Jadi, pencarian ini akan berjalan lebih menarik. Oleh sebab itu, kurasa tak lama lagi Grand Duke Gilbert juga akan turun tangan. Cepat atau lambat, seseorang akan membongkarnya. Dan seperti yang sudah-sudah, pasti kakakmulah yang melakukannya. Jadi, Lizzy, jika dia tampak sedikit tidak biasa, cobalah untuk mengganggunya. Ps: tanggal 5 Januari, kediaman Trancy akan mengadakan pesta teh. Keluarga Gilbert dipastikan mendapatkan undangannya. Lizzy cukup kecewa mengetahui usaha teman-temannya tidak berbuah apa-apa. Dia memiliki sedikit ekspektasi dan harapan kepada mereka. Sebab, Lizzy cukup penasaran juga, entah mengapa. Dia tidak pernah mendengar adanya rumor tentang anak yang disembunyikan dalam keluarga Battenberg. Karena mereka adalah Battenberg, rumor itu pasti akan langsung menggemparkan seisi kerajaan jika saja tersebar bebas. Tidak berbeda jauh dengan keluarga Gilbert, Battenberg memegang kekuasaan dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Bangsawan setinggi itu juga memiliki banyak musuh untuk dihindari. Lizzy tertarik bukan karena ingin menjatuhkan keluarga Battenberg, melainkan penasaran belaka. Jika benar Irene Battenberg bukan anak tunggal, lantas bagaimana rupa saudaranya? Mengapa dia disembunyikan dari publik? Laki-laki atau perempuan? Ah, Lizzy baru ingat! “Hera,” panggil Lizzy seraya menolehkan kepala. Menatap Hera dengan raut sedikit kesal. “Ada apa, nona?” tanya Hera. “Kau tahu siapa Irina Battenberg?” Mata Hera membulat kaget. “Irina Battenberg?” “Ya, Irina Battenberg. Aku bertemu dengannya di perjamuan teh. Siapa dia?” Hera menipiskan bibir, menghela napas pelan. “Irina Battenberg merupakan adik kandung Duke Battenberg. Beliau dikenal sebagai Kupu-Kupu Sosialita sejak belasan tahun lalu. Kini, dia hanya sebatas Nona Battenberg karena tidak kunjung menikah.” “Tidak kunjung menikah?” “Ya. Nona Battenberg…, memiliki perasaan kepada Tuan Gilbert belasan tahun silam.” Lizzy melongo. “Maksudmu ayahku?” Hera mengangguk. “Benar. Sejak Tuan Gilbert mendapatkan gelar bangsawannya, Nona Battenberg langsung jatuh cinta kepadanya. Dia mengejar cinta Tuan Gilbert selama tiga tahun dengan memaksa ayahnya mengajukan pertunangan. Pengajuan itu ditolak berkali-kali sampai pada akhirnya Tuan Gilbert menikahi nyonya.” Tanpa diundang, d**a Lizzy berdenyut perih seolah seseorang telah membidiknya. Rasa nyeri itu cukup menyakitkan hingga membuat Lizzy terdiam di tempat. Tidak sanggup menanggapi penjelasan Hera. Ini seolah berusaha memberitahu Lizzy bahwa dia akan menjalani takdir yang sama dengan Irina. Lizzy bersimpati. Tidak, tidak, mana mungkin. Aku tidak mencintai pangeran. Pertunangan kami juga resmi dilakukan. Situasiku tidak seburuk Irina Battenberg, batin Lizzy mencoba berpikir positif. Namun sia-sia, batinnya kembali berceletuk, bukankah itu artinya takdir yang akan kujalani jauh lebih buruk darinya? Tidak ada yang bisa menjamin aku akan mendapatkan akhir yang bahagia hanya dengan tidak mengganggu pangeran dan menuruti segalanya. “Lalu, kenapa sebelumnya kau tidak memberitahuku? Jika saja tidak ada Gideon bersamaku, aku benar-benar akan mengabaikan keberadaan beliau akibat tidak tahu apa-apa,” omel Lizzy sedikit kesal membuat Hera membungkuk. “Saya tidak mengira dia akan muncul di tengah-tengah pesta. Selama ini, Irina Battenberg tidak pernah menghadiri pesta apa pun dan memilih menyembunyikan diri. Jadi, menurut saya, Anda tidak perlu mengingatnya. Di luar dugaan saya, situasinya berbanding terbalik.” Bibir Lizzy sedikit mengerucut. “Lalu, apakah kau pernah mendengar rumor tentang anak keluarga Battenberg yang disembunyikan?” “Saya baru mendengarnya, nona,” jawab Hera, mengernyit bingung. Lizzy manggut-manggut sebelum kemudian merebahkan kepalanya di meja. Entah mengapa, merasa lelah meski hari ini dia tidak produktif. Kelasnya telah diliburkan karena pergantian tahun. Satu-satunya kegiatan Lizzy tersebut tiada, jadi Lizzy menganggur sampai tahun depan. Tapi anehnya, tubuhnya terasa pegal. Bahkan mood Lizzy tersapu bersih. Tidak tertarik lagi untuk menengok surat pribadi lainnya dari Asher dan Gideon. Sekarang yang tiba-tiba mengambil alih benak Lizzy justru laki-laki yang menyelamatkan jarinya dari paruh burung parkit, Peter. Bayangan sosok Peter muncul begitu saja. Mengacak-acak benak Lizzy dan berhasil menguasainya dalam sekejap. Lancang sekali. Lizzy tidak berniat memikirkannya, tapi Peter menyerobot masuk. Kira-kira, apa yang sedang dia lakukan sekarang? batin Lizzy bertanya-tanya, menerawang jauh. *** “Jadi, apa yang harus kulakukan?” Ian menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. “Karena ayah memiliki banyak tugas yang lebih merepotkan, jadi aku mengajukan ini kepada ibu.” Victorique, sang Ratu, berusia lima puluh tahun namun berpenampilan fisik seutuhnya anak lima belas tahun, mendengus pelan. “Masalah kriminal semacam ini berada di luar jangkauanku. Jadi, aku tidak bisa membantumu. Aku hanya bisa mendukungmu dari segi lain, itu pun cukup terbatas.” “Tidak bisa juga, huh,” gumam Ian mengeluh, menghela napas berat, “aku tidak suka menumpuk tugas terlalu lama. Tugas begini seharusnya dikerjakan oleh ayah, tapi justru berada di meja kerjaku.” Victorique bertopang dagu, menatap wajah putranya sama lelahnya. “Mungkin akan lebih baik bila kau meminta Marquis memberikan beberapa hak dan wewenang khusus demi menyelesaikan kasus itu. Kau tidak bisa segera menyelesaikannya karena kurang wewenang, bukan?” “Bukan seperti itu. Jujur saja, aku sangat tidak mau mengatasi masalah kriminal. Merepotkan.” “Memang.” “Tapi, ini tergeletak begitu saja di meja kerjaku. Mau tidak mau aku harus melakukannya.” “Tampaknya, kau harus sedikit mempercepat langkahmu. Kudengar kasus penculikan itu semakin meningkat seiring waktu.” Ian mendecak pelan. “Aku tahu.” “Asal kau tahu saja, aku memaksamu untuk gerak cepat. Felsham berseberangan dengan Alterius. Aku tidak ingin mendengar kabar Lizzy terlibat kasus merepotkan itu.” “Astaga, siapa sebenarnya anak ayah dan ibu,” gerutu Ian sedikit tidak suka. Victorique menyeringai kecil. “Jangan kau kira aku tidak mencurigaimu, Ivander de Bloich.” Aku tahu itu. Ibu memang tidak mudah ditipu. Dia mencurigaiku, setidaknya hanya sedikit, rutuk Ian menahan decakan. Bagi Victorique yang sudah membesarkan Ian dengan tangannya sendiri, dia sangat mengenal karakteristik Ian tanpa cela. Sewajarnya seorang ibu, Victorique sampai di level dapat menebak jalan pikiran Ian dengan mudah. Jadi, ketika kemarin Victorique merasa terharu melihat perlakuan manis Ian, satu sisi dalam dirinya juga mencurigai tindakan itu. Walau harus Victorique akui, Ian nyaris berhasil menipunya. “Aku punya penawaran,” celetuk Victorique memecah hening, membuyarkan angan-angan Ian juga. Ian mengernyit. “Penawaran?” “Aku akan mengerjakan tugas permasalahan kriminal itu secara penuh dengan kau sebagai perantara. Kau hanya perlu bertindak seolah-olah kau yang mengerjakannya di hadapan semua orang, tidak lebih. Kau tidak perlu memutar otakmu karena akulah yang akan mengerjakannya,” jelas Victorique membuat Ian sedikit membulatkan mata, “sebagai gantinya, jawab satu pertanyaanku secara jujur.” Ian percaya bahwa satu-satunya orang di dunia ini yang tidak akan mengkhianatinya adalah ibunya sendiri, Victorique. Jadi, tanpa berpikir dua kali, Ian mengangguk dan menjawab. “Sepakat.” Victorique tersenyum lebar. “Jabarkan Lizzy dalam satu kalimat sesuai penilaianmu terhadapnya.” “Dia sangat naif dan terlalu berperasaan, tapi itu tidak masalah bagiku,” jawab Ian tanpa menunggu jeda, langsung menjawab begitu saja. “Baiklah, sesuai kesepakatan,” tanggap Victorique tanpa melepas senyuman lebarnya. Tidak masalah bagimu, huh? Baiklah, kita lihat sejauh mana kau berhasil berpaling dari Lizzy, batin Victorique sudah merasa antusias duluan. TO BE CONTINUED[Kadang-kadang, aku lupa kalau Ian-Lizzy ini masih anak ayam, anak kecil. Kira-kira kemarin momen uwu mereka pantas2 aja nggak sih buat anak 7 dan 11 tahun? :" ]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD