“Kenapa kau masih tidak bisa tidur? Yang kau perlukan hanya menggenggam tanganku, bukan?” tanya Ian mulai kehabisan kesabaran melihat Lizzy masih tidak tertarik ke alam mimpi meski sudah menggenggam tangannya selama tiga puluh menit.
Lizzy mendengus kesal. “Mana kutahu, duh. Biasanya aku langsung tertidur setelah menggenggam tangan Hera. Mungkin karena beda orang.”
Ian mendecak. “Maaf saja karena aku terlahir sebagai laki-laki.”
“Apa hubungannya dengan jenis kelamin?”
“Perlukah aku memanggil dayangmu itu, huh?”
Tanpa sengaja, Lizzy meremas tangan Ian kuat-kuat, sedikit membuat laki-laki itu meringis. “Tidak perlu! Diamlah, mungkin aku akan segera tidur!”
Ian menghela napas panjang merasakan genggaman Lizzy melonggar. Lega merasakan nyeri di tangannya memudar. Ian harus hati-hati. Jika gadis itu mau, dia sungguh bisa meremukkan tangan Ian. Ian harus mengingatnya baik-baik. Terlalu banyak hal tentang Lizzy yang dia remehkan.
Ian melirik Lizzy yang kembali memejamkan mata. Masih berwajah cemberut, Lizzy berusaha menidurkan diri. Napas memburunya mulai turun teratur. Genggaman tangan gadis itu cukup erat pada Ian. Ian dapat merasakan suhu hangat Lizzy dari tangan kecilnya. Membuatnya tersenyum tipis.
Jujur saja, lengan Ian mulai terasa kaku karena Lizzy memosisikan telapak tangannya secara tidak nyaman bagi Ian.
Mata Ian berhenti melirik Lizzy, beralih ke buku filsafat dalam pangkuannya. Lebih tepatnya, novel filsafat. Ian bukan penggemar buku fiksi, pun bukan orang yang gemar membaca fiksi meski iseng-iseng. Tapi, “Sophie’s World” karya Jostein Gaarder berhasil menarik perhatian Ian. Meruntuhkan pendiriannya sebagai orang yang tidak menggemari karya fiksi.
“Sophie’s World” mengisahkan gadis berusia 14 tahun bernama Sophie Amundsend. Umurnya masih belia. Era bagi manusia untuk mencari tahu segalanya, gemar bertanya-tanya. Sophie sangat penasaran dengan banyak hal, bahkan hal sepele seperti, apakah dirinya akan menjadi orang lain bila dirinya tidak dinamai Sophie Amundsend? Sangat acak-acak sekali selayaknya manusia yang baru memasuki usia yang gemar mencari tahu.
Akan tetapi, Ian tidak membenci karakter Sophie. Sophie memang kekanakan dan memiliki jalan pikir asal-asalan, tetapi gadis itu paham bahwa kehidupan tidak ada yang abadi. Sophie paham bahwa segala hal akan berakhir sesuai takdirnya, entah dengan cara bagaimana. Bahkan sebelum Sophie menerima surat aneh yang berisi sekian pertanyaan aneh dan mulai mencari jawabannya, Sophie telah memahami aturan dunia. Ya, bahwa tiap kehidupan tidak ada yang abadi.
Begitupula dengan kehidupan yang dimiliki oleh Eugene dan Elliana. Mereka tidak abadi, mereka mati dalam misteri yang tak terpecahkan selama tujuh tahun. Tidak ada yang tahu siapa yang telah berhasil merenggut nyawa mereka. Kematian sepasang pemimpin Alterius itu meninggalkan banyak pertanyaan dan kebingungan. Tidak hanya itu, kematian Eugene de Gilbert seakan menjadi pengingat keras bahwa tidak ada manusia kuat yang abadi di dunia.
Di abad dua puluh yang mulai memasuki revolusi industri ini, tidak ada yang sebenar-benarnya kawan di kehidupan bangsawan. Ian memahami itu lebih dari yang lain selaku Pangeran Mahkota Kerajaan. Ian akan memberikan tepuk tangan bila menemukan bangsawan yang tulus berteman. Dan tentu saja, mustahil itu terjadi.
Dengan begitu, Ian mulai berkenan memikirkan ucapan Arthur.
“Ayahmu telah membunuh anjingnya sendiri.”
Karena pada dasarnya, tidak ada yang benar-benar berkawan di kehidupan bangsawan. Tuduhan Arthur tidaklah mustahil, bahkan sangat mungkin terjadi. Secara pribadi, Ian mulai berpikir bahwa itulah yang sesungguhnya terjadi di balik kematian Eugene de Gilbert, Sang Prajurit Kematian, Pahlawan Perang, Anjing Penjaga Kerajaan, Penguasa Dunia Hitam Ophelia.
Banyak sekali kedudukan dan kekuatan yang dimiliki oleh Eugene, namun pria itu mati dalam tanda tanya besar bersama istrinya.
Jika memang ayah yang membunuhnya, apa alasannya? Mereka berkawan lama sejak masa peperangan. Secara spesifik, Eugene de Gilbert memiliki andil besar dalam membantu ayah menduduki tahta. Kemenangannya dalam perang membuat citra ayah sangat bagus. Setelah itu dia mengabdi sebagai anjing dan terus membantu ayah melalui banyak hal. Lalu, apa? batin Ian bingung.
Ian tidak pernah memikirkan keluarga Gilbert. Dia mengenali mereka sebagai salah satu anggota sindikat gelap yang dibentuk oleh ayahnya. Diberitahu bahwa mereka termasuk keluarga berbahaya yang tidak boleh didekati sembarangan. Lantas, sudah, tak ada lagi yang Ian pikirkan. Bahkan Ian tidak memikirkan penyebab nyawa Eugene dan Elliana terenggut. Pikirannya teralihkan oleh pertunangannya dengan putri mereka, Elizabeth.
Memikirkannya sekarang membuat Ian merasakan banyaknya keanehan dalam kematian orang tua tunangannya.
Haruskah kuselidiki sendiri? Ayah dan ibu tidak tahu dan tidak berusaha mencaritahu. Mereka menyerahkan penyelidikan penuh ke Arthuria. Setelah tujuh tahun, pria itu mengklaim ayah sebagai pelaku pun pasti ada alasan kuat di baliknya, batin Ian seraya menutup buku, sudah tidak bisa konsentrasi membaca.
“Kau tidak akan membacanya?” tanya Lizzy mengagetkan Ian.
Ian menoleh, mengernyit dalam-dalam. “Dan di sinilah kau masih belum juga tidur.”
“Maafkan aku tapi ini juga bukan kemauanku,” balas Lizzy sarkastis.
Ian hanya melengos lelah. Dia sedikit berdiri untuk mengubah posisi kursi agar menghadap ke ranjang. Usai mengubah posisi kursi, Ian kembali duduk. Kini laki-laki itu sepenuhnya menghadap Lizzy. Tampaknya dia tidak akan berkutat pada buku bacaannya lagi.
“Kulihat kau bukan tipe orang kaku yang menjauhkan diri dari karya fiksi,” ujar Lizzy menyinggung novel filsafat yang baru saja Ian abaikan.
“Aku adalah orang kaku yang menjauhkan diri dari karya fiksi, tapi karya Jostein mendapatkan pengecualianku,” sahut Ian membuat Lizzy tersenyum geli.
“Bagaimana pendapatmu? Bukankah Sophie Amundsend sangat cerdas?”
“Ya. Kulihat dia memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal-hal sepele.”
“Dia tidak berpetualang, tapi pikirannya telah mengelilingi dunia.”
“Jadi, sekarang kita sepakat untuk berbincang di saat seharusnya kau pergi ke dunia mimpi?”
Lizzy mengerucutkan bibir. “Kau merusak suasana.”
Ian mendengus pelan. “Maaf saja, orang-orang menganggapku kaku bukan tanpa alasan.”
“Aku tidak perlu tidur sebanyak itu. Lagipula sebelumnya aku sudah tidur selama empat jam. Itu sudah lebih dari cukup.”
Pembelaan Lizzy membuat Ian kembali mendengus, tetap bersikukuh pada pendiriannya bahwa gadis itu harus kembali tidur. Ian mulai berpikir untuk membawa gadis itu ke dalam perdebatan sepele. Namun kemudian melihat wajah cemberut Lizzy membuat niatnya terhalangi. Ian menghela napas pendek, memutuskan bahwa mengajaknya berdebat pun tidak akan membuatnya menang.
Telapak tangan kanan Ian menyentuh kening Lizzy, merasakan suhu gadis itu masih hangat. Tetapi, tidak sehangat pagi tadi. Tampaknya sebentar lagi ia akan sembuh. Maka, Ian melupakan pendiriannya.
“Baiklah, mari berbincang,” cetus Ian menyerah membuat Lizzy tersenyum senang.
“Aku juga membaca buku itu. Hera membawakannya padaku tepat setelah aku mengeluhkan filsafat adalah neraka,” ujar Lizzy mulai bercerita. Ian mendengarkan, jadi Lizzy melanjutkan, “bagi perempuan, mereka tidak seharusnya memelajari filsafat, bukan? Perempuan hanya menari dan menyulam. Satu-satunya pelajaran yang dipelajari adalah puisi. Jadi, aku mengeluhkan filsafat sejak aku mengingat bahwa aku berbeda dari mereka. Sophie Amundsend membuatku akrab dengan filsafat.”
“Kau menyukai gadis itu?” tanya Ian.
“Dia perempuan biasa, bukan bangsawan. Dia sangat bebas dan bisa ke mana saja. Dia tidak punya kewajiban untuk belajar seperti laki-laki. Tapi, pemikirannya sangat jauh di atas perempuan bangsawan biasa, bahkan dariku. Aku menyukainya, bagaimana denganmu?”
“Biasa saja,” jawab Ian datar membuat wajah antusias Lizzy sedikit meredup. Lantas Ian melanjutkan, “tapi, kuakui dia cerdas. Sebelum dia menerima surat aneh itu, dia memang sudah cerdas. Surat aneh itu membantunya untuk lebih cerdas lagi.”
Penilaian Ian tentang Sophie membuat Lizzy kembali berbinar. “Benar. Aku pernah berharap akan menerima surat-surat aneh itu seperti Sophie Amundsend. Mungkin terasa menyebalkan karena pengirim surat itu menanyakan hal-hal aneh yang mustahil dijawab anak 14 tahun, tapi Sophie tetap mencaritahu jawabannya dan menemukan banyak hal baru.”
“Kau berpikir seperti itu karena saat itu kau masih ditahan di dalam wilayah Gilbert.”
Lizzy mengangguk. “Benar. Tertebak sekali, ya?”
“Kau terlalu banyak berkhayal.”
Lizzy mendengus sebal. “Apa salahnya berharap? Aku tahu itu tidak akan terjadi, tapi aku tetap merasa bahagia hanya dengan mengharapkannya.”
“Kau juga harus tahu batasan dalam mengharapkan sesuatu,” dengus Ian, “terlalu mengharapkan banyak hal hanya akan membunuhmu perlahan.”
“Kau benar-benar orang kaku.”
“Maaf karena aku terlahir kaku.”
Terjadi hening. Lizzy memutuskan tatapannya dengan Ian. Mata birunya lurus menatap tangannya yang masih menggenggam tangan Ian. Ian tidak berusaha membawanya kembali berbincang. Tampaknya Lizzy sedikit ngambek karena kekakuan Ian. Seperti yang Ian duga, dirinya memang tidak cocok menjadi teman mengobrol.
“Hei,” panggil Lizzy membuat Ian menunduk untuk menatapnya.
“Apa?” sahut Ian datar.
“Bagian mana yang kau sukai dalam novel itu?”
Ian diam, memikirkannya sejenak. Setelah satu menit, dia bersuara. “Aku menyukai fakta bahwa Sophie sudah memahami aturan dunia sebelum surat itu sampai padanya.”
Lizzy menoleh ke Ian, mengerjap bingung. “Aturan dunia?”
“Tidak ada kehidupan yang abadi.”
Jawaban Ian sedikit menyentakkan Lizzy. Gadis itu tidak langsung memberi balasan. Sebaliknya, dia menatap Ian tanpa berkedip. Sorot bingungnya berganti menjadi terkejut. Ian tidak mengerti mengapa Lizzy seterkejut itu sampai terdiam.
“Sangat jarang ada anak 14 tahun yang memahami aturan itu. Sophie tetap menjalani kesehariannya seriang anak-anak lain, tapi dia tetap tidak bisa melupakan bahwa suatu saat hidupnya akan berakhir. Dia tetap mengkhawatirkan hal itu, bagiku itu bijak,” tutur Ian menjelaskan.
Wajah terkejut Lizzy berganti ke semula, penuh dengan binar kemanisan lengkap dengan senyum cantik. “Ya, kau benar. Aku juga menyukai fakta itu. Ya, tidak ada kehidupan yang abadi. Aku sudah merasakannya sejak kecil.”
Genggaman Lizzy sedikit mengerat membuat Ian sadar bahwa dirinya telah menginjak ranjau.
“Mereka tidak akan kesepian. Mereka memiliki satu sama lain,” ujar Ian membuat Lizzy mengangguk kecil.
“Ya, mereka memiliki satu sama lain. Ada Tuhan dan malaikat juga yang menemani mereka.”
Ian ikut mengangguk. “Ya.”
“Hei, apakah kau pernah bertemu dengan orang tuaku?”
Pertanyaan Lizzy cukup menyentakkan Ian. Ian jadi kembali mengingat ucapan Arthur tadi pagi. Suara Arthur berputar lagi dalam kepala Ian bagaikan kaset rusak. Kini diperparah dengan wajah dan pertanyaan polos Lizzy. Tanpa disadari oleh gadis itu, ia telah membuat lubang rasa bersalah dalam d**a Ian meski tuduhan Arthur masih tidak jelas kebenarannya.
Dalam sekejap, Ian seakan sedang bermain peran di panggung opera. Dia memerankan anak seorang pembunuh dan Lizzy sebagai anak korbannya. Lizzy tidak tahu Ian adalah anak dari pembunuh yang membunuh orang tuanya. Lizzy menganggapnya teman dan secara polos menanyakan pertanyaan itu. Dan di situlah posisi Ian, terjebak dalam dilema karena mengetahui sesuatu yang pasti menyakitkan untuk Lizzy ketahui.
“Ya, aku pernah bertemu dengan Eugene de Gilbert,” jawab Ian kemudian, membuat Lizzy terperangah.
“Sungguh? Kapan? Bagaimana ayahku? Apakah ayahku saja? Tidak dengan ibuku?” tanya Lizzy penasaran.
Tidak mungkin Ian memberitahu insiden teraneh yang mereka alami tujuh tahun lalu, jadi Ian mengangguk. “Hanya ayahmu. Ketika aku berusia tiga tahun.”
“Apakah ayahku semengerikan yang kabar dan orang-orang katakan?”
“Ya. Mantan Jenderal Kerajaan, Prajurit Kematian, Pahlawan Perang, Penguasa Terbaik Alterius, Anjing Penjaga Kerajaan, dan sebagainya. Orang dengan julukan dan kekuatan sebanyak itu pasti selalu menyeramkan, bukan?”
Lizzy tersenyum tipis. “Aku hanya melihatnya dari foto. Ya, dia sangat gagah dan berwibawa. Auranya sampai padaku meski hanya melalui foto. Aku sangat ingin menemui mereka, terutama ibuku.”
Ian tidak tahu bagaimana menanggapi topik tentang Elliana de Gilbert. Melihat Lizzy menyinggung wanita itu membuat Ian teringat insiden aneh tujuh tahun silam di taman bunga Istana Ratu. Insiden teraneh yang membuat mata Ian terbuka dengan keberadaan roh.
“Kau tahu, kadang-kadang aku bermimpi aneh,” cetus Lizzy membuatnya bertatapan kembali dengan Ian, “dalam mimpi itu, ada seorang wanita berambut panjang berwarna emas. Dia selalu mengenakan gaun hitam, membawa payung merah, dan bertopi floppy berpita biru muda. Aku tidak mengenalinya karena wajahnya selalu tertutup topi. Tapi, aku dapat melihat senyuman hangatnya selalu tertuju padaku.”
Itukah kau Grand Duchess Elliana de Gilbert? batin Ian mulai terasa sesak.
“Dia tidak pernah berkata padaku. Dia selalu datang dalam mimpiku setiap kali menjelang ulang tahunku. Tahun kemarin, dia datang.”
“Dia tidak bermaksud buruk,” tanggap Ian.
Lizzy tersenyum manis. “Ya, aku tahu. Setiap kali dia datang, aku selalu merasakan kehangatan yang begitu nyaman. Aku mulai berharap bahwa dia adalah ibuku, Elliana de Gilbert. Tapi, aku tidak berani mengharapkannya.”
“Kenapa?”
“Karena terlalu banyak berharap akan membunuhmu perlahan. Kau juga mengatakannya.”
Ian seakan tertampar oleh tangan tak kasat mata. Kini mulai menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia memberitahu Lizzy tentang pertemuannya dengan roh Elliana tujuh tahun silam. Dari deskripsi perawakan Lizzy, Ian yakin wanita itu adalah Elliana. Namun kemudian, apakah Lizzy akan senang bila mengetahui dahulu ia pernah didekap oleh ibunya di istana? Apakah Lizzy akan mudah memercayai keanehan itu?
Apakah Lizzy berharap untuk mengetahuinya?
“Omong-omong, Yang Mulia,” celetuk Lizzy membuyarkan dilema Ian. Membuat mereka kembali bertatapan. “Terima kasih banyak. Kau telah banyak membantuku selama aku sakit, aku pasti merepotkanmu.”
“Kau tidak perlu berterimakasih,” sahut Ian datar seperti biasa.
Lizzy menggeleng. “Kau pantas mendapatkannya. Lagipula aku memang seperti itu. Bahkan aku meminta hal yang memalukan.”
Ian mendengus pelan seraya mengeratkan genggamannya, mengejutkan Lizzy. “Kukatakan satu rahasia besar, sampai aku berumur empat tahun, aku masih tidur sambil menggenggam tangan ibuku.”
Lizzy melongo kaget. “Sungguh? Ah, maksudku…, tidak apa-apa. Lagipula kau masih kecil, tidak ada larangan yang menyebutkan Pangeran Mahkota tidak boleh manja—ah, bukan, maksudku—“
“Barusan kau bilang aku “manja”, huh?” tandas Ian sewot membuat Lizzy menciut takut.
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku salah bicara,” elak Lizzy panik.
Tangan kanan Ian langsung mencubit hidung mancung Lizzy. Membuat gadis itu mengerang kesakitan. Spontan saja Lizzy merengek. “Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa kau tega menyakiti orang sakit?!”
Ian menyeringai puas melihat hidung Lizzy memerah. “Tidak usah berlebihan. Aku hanya sedikit mencubitnya.”
“Sesakit ini kau bilang “sedikit”?!”
Siang itu dihabiskan dengan pertengkaran Ian dan Lizzy. Tanpa keduanya sadari suara mereka terdengar sampai ke luar. Membuat pengawal cilik Ian, Caesar, Hera, dan Johan dapat mendengarkan pertengkaran tersebut. Tidak menganggap sebagai sesuatu yang bermasalah, mereka pun membiarkan. Sama-sama mensyukuri betapa lancarnya hubungan Ian dan Lizzy.
TO BE CONTINUED
Selamat menikmati keuwuan mereka. UWU-UWU dahulu sebelum lanjut ke masalah yang siap menerjang, HEHE