BAB 21

1411 Words
Berbeda dari pagi sebelumnya, pagi ini salju turun cukup deras, bagaikan hujan. Matahari tidak bisa memancarkan sinarnya karena terhalangi oleh awan gelap. Angin pun berhembus seolah mendukung hujan salju untuk menurunkan suhu lebih ekstrim. Situasi semacam ini bukan hal aneh lagi, tapi memang cukup menyebalkan bagi beberapa orang. Ian salah satu orang yang terganggu. Hidup Ian yang sudah cukup suram, tentu tidak ingin bertambah suram lagi. Dia tipikal orang yang tidak memedulikan apa-apa selain tugas dan tanggung jawabnya, jadi sekedar cuaca buruk pun tidak akan dipedulikan juga olehnya. Hanya saja Ian akan lebih senang bila cuaca tidak memburuk. Pagi yang cerah dan hangat akan membuat Ian sempat lupa betapa suram hidupnya. Sisi karakter itu menjadi satu-satunya bukti bahwa Ian masih memiliki sisi manusiawi. Namun kini, cuaca buruk melanda di pagi hari. Mengundang suasana hati Ian tercubit kesal. Seolah belum cukup, Ronald datang membawakan pesan yang semakin mencubit hati Ian. “Yang Mulia meminta kehadiran Anda usai sarapan, Pangeran Ivander,” ujar Ronald ketika Ian masih dipakaikan pakaian oleh para pelayan. “Ini masih pagi dan dia sudah siap mengajakku berdebat lagi,” cibir Ian dengan suara rendah agar Ronald dan Johan tidak bisa mendengarnya. Johan berdehem. “Yang Mulia, ingat apa yang saya katakan tentang berhenti mencibir ayah Anda.” Ian mendecak, memangnya dia punya telinga kelinci, huh? “Anda perlu melaporkan kunjungan Anda di Kerajaan Pennsylvania kemarin. Jadi, sudah sewajarnya Yang Mulia meminta kehadiran Anda,” tutur Ronald mencoba menjelaskan agar Ian bisa diajak kompromi. Ian berbalik badan ketika para pelayan selesai menyiapkan penampilannya. Laki-laki sebelas tahunan itu tidak memberi sahutan apa-apa. Kakinya mulai melangkah menuju pintu, hendak keluar. Dalam pikiran Ian, apa pun yang terjadi, dirinya harus tetap bersikap tenang. Cuaca pagi sudah begitu buruk, jangan biarkan suasana hatinya semakin memburuk hanya karena hal-hal kecil. “Yang Mulia, Anda tidak pergi ke ruang makan?” tanya Johan dari belakang, melangkah mengikuti Ian. “Kulakukan setelah selesai menemui ayahku,” jawab Ian seadanya. “Baik. Untuk hari ini, menu sarapan apa yang Anda inginkan?” “Roti panggang dengan salmon asap dan telur. Teh Earl Grey tanpa s**u, sedikit gula. Dua potong pisang dan tiga potong apel.” “Baik, Yang Mulia.” “Yang Mulia, bagaimana kunjungan Anda di Kerajaan Pennsylvania? Menyenangkan?” tanya Ben riang dari dekat Ian. Ian mendengus pelan. “Tidak ada yang menarik.” “Benarkah? Saya dengar Kerajaan Pennsylvania berbatasan dengan lautan samudera sehingga pemandangan laut di sana sangat indah. Sayang sekali kami tidak bisa ikut mengawal Anda.” “Mereka hanya bagus di pemandangan laut, tidak ada kelebihan apa-apa lagi.” “Lalu, bagaimana dengan keadaan Tuan Putri Elesis?” celetuk Chloe spontan membuat ketiga rekan beserta Ronald dan Johan melotot panik menatap gadis itu. Memang benar empat pengawal pribadi Ian memiliki hubungan seerat persahabatan sehingga interaksi di antara mereka jauh lebih intens dan kasual. Terlebih mereka sudah tumbuh bersama-sama sejak masih kecil, kedekatan mereka tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja dalam beberapa situasi, ada kondisi yang harus mereka ingat-ingat agar tidak menyinggung Ian. Seperti saat ini contohnya! Astaga perempuan tomboy ini! jerit Dale emosi. Sudahlah, memangnya apa yang kuharapkan dari Chloe? Ah, ujung-ujung selalu aku yang berakhir menyelesaikan kekacauan mereka, rutuk Chester dengan senyum palsu. Ben melirik ketiga rekannya bergantian, mengirimkan sinyal, ingat, ya, aku tidak terlibat! Aku polos, aku tidak akan terlibat! “Elesis?” beo Ian, tanpa sadar membuat pengawal—kecuali Chloe—dan asisten di belakangnya menegang. “Dia sehat-sehat saja, masih jelek.” Tanpa disadari pula oleh Ian, tiga pengawal dan asisten bernapas lega. “Anda masih saja berlidah seperti itu. Tidak baik, Yang Mulia,” tegur Chloe dengan santainya, lagi-lagi membuat yang lain gemetar panik, “sebentar lagi Anda akan bertunangan, Anda harus mulai lebih sensitif dalam memerlakukan perempuan.” “Ch—Chloe!” bisik Dale panik di sebelah Chloe, namun tidak digubris oleh Chloe. Ian mengernyit kecil, tidak suka. “Aku tidak punya kewajiban untuk memerlakukan tunanganku dengan baik, bukan karakterku.” “Saya sarankan Anda untuk mempertimbangkannya dengan hati-hati. Jika Anda menyinggung Nona Elizabeth, tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Grand Duke Gilbert setelahnya.” CHLOEEE!! raung Ben, Chester dan Dale dalam hati. “Benar juga,” gumam Ian setuju membuat tiga pengawalnya mengerjap bingung bercampur napas lega, “tapi, apa peduliku, huh? Lagipula, Chloe, tidak biasanya kau ikut campur hal-hal semacam ini.” “Benar, saya memang tidak pernah ikut campur. Namun untuk kali ini, saya murni hanya ingin menuntun Anda agar terhindar dari masalah dengan Grand Duke Gilbert.” Aku belum pernah bertemu dengan Arthuria de Gilbert sejak hari pengukuhan pertunangan. Setelah dia menjadi Grand Duke, sudah beredar banyak kabar dan rumor tentangnya. Tidak terhitung lagi seberapa jasanya memenuhi mandatnya sebagai anjing ayahku, aku ragu aku bisa tahan menghadapi orang semacam itu, batin Ian sedikit menyetujui Chloe. “Chloe, kau terlalu berlebihan. Yang Mulia pasti bisa menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk semacam itu,” ujar Dale penuh percaya diri, lantas menoleh ke Johan dan Ronald, “bukankah begitu?” Johan mengangguk dengan senyum canggung. “Benar sekali. Saya yakin Yang Mulia bisa melaluinya dengan mudah.” Ian menyeringai. “Sebelum menghadapi hal semacam itu, ada hal merepotkan pertama yang harus kulalui.” “Pangeran Mahkota Ivander datang menghadap!” lapor salah satu ksatria kudus yang berjaga di pintu ruang kerja Marquis. Terdengar perintah dari dalam ruangan. “Masuk.” Ian menghela napas pendek kala pintu dibuka, mempersilahkannya. Dia masuk diikuti Johan dan Ronald. Di dalam, Marquis duduk di kursi, berkutat pada tumpukan kertas yang memenuhi seluruh mejanya. Pria yang tampak tidak menua itu melirik Ian sejenak sebelum meletakkan pena. Tubuhnya bersandar, tangannya menopang rahang, mata hitamnya menghunus putranya dengan wajah datar. Tidak jauh berbeda, mata merah Ian membalas tatapan tajam ayahnya. Laki-laki kecil itu berdiri beberapa meter dari meja Marquis. “Kau datang,” ujar Marquis terkesan tidak minat. “Salam kepada Sang Berkat Matahari Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Raja Marquis,” salam Ian terpaksa penuh hormat, menahan diri untuk tidak menyebutnya dengan sebutan Raja Marquis Pintar de Cerdas Bloich. Marquis menyeringai kecil. “Tidak perlu banyak basa-basi, perdengarkan laporanmu terkait kunjungan kemarin. Cukup banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu selain hal itu.” Banyak hal? batin Ian sedikit bingung. “Semua berjalan lancar. Raja Garrold dan Putri Elesis baik-baik saja, kemarin aku tidak bertemu Pangeran Mahkota Jake jadi aku tidak tahu kabarnya. Pennsylvania tidak mengalami masalah yang signifikan selain berencana untuk mulai mengolah sumber daya laut mereka menjadi lebih baik lagi. Mereka sudah mulai membahas kebijakan baru atas kerja sama pertukaran komoditas dengan Ophelia. “Mereka juga sudah mulai mempertimbangkan untuk mengajukan kerja sama untuk pembangunan pabrik minyak bumi, berhubung mereka berseberangan dengan laut. Itu saja.” lapor Ian seadanya. Alis Marquis naik sebelah. “Kenapa tidak ada yang menarik?” Ah, inilah dia, melempar umpan, cibir Ian. “Apa maksud ayah?” tanya Ian berusaha bersikap lebih dewasa untuk tidak meladeni sifat kekanakan ayahnya. “Kau bertemu Putri Elesis, bukan? Kau sudah meminta maaf padanya?” tanya Marquis. “Sudah.” “Dengan cara apa kau meminta maaf?” “Memberikan beberapa perhiasan dan satu kalung Royal Treasure.” Marquis mengernyit tidak suka. “Bisa-bisanya kau memberikan perhiasan Royal Treasure kepada perempuan yang bukan tunanganmu?” “Aku bersikap penuh tanggung jawab dengan memberikan perhiasan Royal Treasure demi memperbaiki citraku di hadapan Raja Garrold. Apa masalahnya, huh?” “Kau sudah memiliki tunangan dan memang belum bertemu secara resmi. Tapi bukan berarti kau bisa seenaknya bersikap dengan perempuan lain.” Ian mendecak pelan. “Kau berlebihan.” “Aku tidak berlebihan. Kau yang tidak sensitif.” “Bisakah ‘percakapan’ ini berjalan dengan lebih normal?” Marquis mendengus kasar. “Besok kau akan bertemu dengan keluarga Gilbert.” Alis Ian menaut tajam, cukup terkejut. “Aku yakin besok tanggal 22 Desember, bukan 25 Desember.” “Memang. Besok pertemuan untuk membahas tanggal pertunangan resmimu dengan Elizabeth.” “Kenapa mendadak sekali?” “Tidak mendadak. Arthur sudah menetapkan tanggal itu dalam surat balasannya tiga hari lalu.” Ian mendecak pelan. “Dan kau baru memberitahukannya padaku sehari sebelum acara itu. Kau pikir aku tidak memiliki kehidupan lain yang perlu kuurus?” “Memangnya urusan apa yang lebih penting dari pertunanganmu, huh? Kau mulai berlebihan.” “Besok aku harus membahas banyak hal dengan Tuan Holloway dan Tuan Lapepuff yang padahal itu seharusnya menjadi tugasmu.” Marquis mengerjap pelan. “Ah, masalah perpajakan dan biaya rekonstruksi jalanan?” Ian hanya mendengus pelan. “Itu tidak penting. Bisa dilakukan setelah acara pertemuan selesai.” “Bisa-bisanya kau lebih mementingkan pertunangan bodoh dibanding masalah kerajaanmu sendiri.” “Memangnya urusan pertunanganmu bukan masalah kerajaan? Jika kau bukan Pangeran Mahkota, aku tidak akan repot-repot mengurus hal sepele ini.” “Lalu apa? Aku bisa bertunangan saat aku sudah melakukan debutku.” Marquis menyeringai remeh. “Memangnya faksi aristokrat akan duduk diam minum teh saat mengetahui kau baru bertunangan setelah debut? Kusarankan kau untuk diam dan menuruti semua keputusanku, kau masih kurang berpengalaman.” Ian mendecak kesal, tidak tahan lagi untuk menghadapi ayah super kekanakannya. Dia berbalik badan dan melangkah pergi setelah berkata, “Terserah kau saja, Raja Pintar!” Lantas Marquis membalas dengan, “Anak pintar, Pangeran Bodoh!”  TO BE CONTINUED [Terima kasih atas keantusiasan kemarin! Akan kuusahakan untuk terus meningkatkan kualitas The Queen Quality!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD