Hari yang ditakutkan oleh Lizzy telah hadir di depan matanya. Yang dahulunya menjadi mimpi indah, selalu dinantikan dengan bahagia, lantas berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap. Kebahagiaan naif itu menghilang, berganti menjadi ketakutan terbesar dalam hidup Lizzy. Pada akhirnya, Lizzy harus berani menghadapinya. Setidaknya bila bukan demi nama baik keluarga, Lizzy harus berani demi dirinya sendiri.
Usai diberitahu akan hendak pergi ke ibu kota, kurang lebih Lizzy sudah mendengar semua detail tentang Pangeran Mahkota dari Hera. Hera menjelaskannya sedetail mungkin sesuai yang ia ketahui. Sebagai bekal bagi Lizzy agar mampu menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk saat menghadapi keluarga kerajaan.
Pukul tujuh pagi, Lizzy telah berangkat menuju ibu kota, Ophele. Sesuai kesepakatan, Lizzy ditemani oleh Arthur. Akan tetapi, keberangkatan mereka berbeda. Arthur sudah berangkat lebih awal dengan menaiki mobil. Sementara, Lizzy berangkat setelahnya dengan menaiki kereta kuda diiringi puluhan ksatria Alterius. Hal ini murni prosedur dasar keluarga Gilbert demi menghindari berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika mereka berada dalam satu transportasi.
Di dalam kereta kuda, Lizzy tidak sendirian, ada Hera menemaninya. Pelayan wanita berumur 39 tahun itu sangat siaga dalam menjaga suasana hati nona ciliknya. Hera tidak ingin pertemuan pertama Pangeran Mahkota dengan Lizzy berada dalam atmosfer buruk karena suasana hati Lizzy buruk. Walau Hera pun tahu betapa tidak inginnya Lizzy bertemu Ian, setidaknya gadis itu sudah mengutarakan keputusannya semalam.
“Aku memang tidak ingin terlibat, aku ingin lari dan pergi menjalani kehidupan yang bebas. Tapi, memangnya aku bisa apa? Beginilah akhirnya, jadi setidaknya aku harus berusaha keras demi diriku sendiri, bukan nama baik keluarga. Mungkin dengan begitu aku dapat lebih mampu dan menerima segalanya dengan lapang dada.”
Memasang wajah optimis dan senyum lebar penuh ketegaran, ekspresi itu membekas segar dalam ingatan Hera.
Sejak Lizzy kecil, Hera sudah menyadari bahwa Lizzy berbeda dari tiga kakaknya. Gadis itu sangat lemah lembut dan penuh perasaan seperti ibunya. Terkadang karakteristiknya dapat bertindak tidak rasional karena dia lebih condong mengutamakan hati nurani. Jangankan merenggut nyawa, menegur pelayan saja Lizzy tidak berani. Dia akan lebih mengutamakan memberi maaf dan memaklumi meski dirinya mendapat perlakuan buruk.
Berbeda dari tiga kakak Lizzy yang sudah menunjukkan ketidaknormalan sejak kecil. Mereka tidak berperasaan, berhati dingin, sangat dominan, dan tidak memiliki rasa takut. Ketimpangan yang sangat jauh ini membuat Lizzy menjadi titik kelemahan dalam keluarga Gilbert. Oleh sebab itu, Lizzy tidak pernah diizinkan keluar dari wilayah kediaman Gilbert. Menyebabkan Lizzy terlambat berbaur ke kehidupan sosial bangsawan.
Hera takut memikirkan kemungkinan Lizzy terlampau terkejut setelah memasuki kehidupan kelas atas itu.
“Hera, kita sudah sampai di Ophele?!” tanya Lizzy penuh gumam takjub. Dia menatap ke luar jendela, memerhatikan keramaian Ophele. “Wah, ramai sekali!”
Hera tersenyum geli. “Hati-hati, jangan mengeluarkan kepala Anda.”
“Ini menakjubkan. Aku tidak menyangka suasananya seramai ini. Apakah akan ada festival di Ophele?”
“Tidak, nona. Suasana Ophele selalu seperti ini berhubung Ophele adalah ibu kota kerajaan.”
Lizzy mendecak kagum, matanya membulat berbinar. “Wah, aku tidak percaya. Bayangkan jika ada festival, maka akan lebih ramai lagi.”
Hera sangat memaklumi reaksi Lizzy. Bagi anak perempuan yang tidak pernah keluar dari rumah, pemandangan perkotaan dan dunia luar tentu sangat menakjubkan. Dari deskripsi yang hanya bisa dibaca dan dibayangkan, kini terpampang nyata di hadapannya, wajar bagi Lizzy untuk takjub.
“Hera, itu toko apa?” tanya Lizzy ketika kereta kuda melewati sebuah toko yang memajang gambar awan tusuk warna-warni.
“Itu toko gulali, permen kapas,” jawab Hera, “Nona Alicia pernah membawakan gulali untuk Anda, bukan?”
Lizzy mengangguk kecil, bergumam paham. “Aku ingat. Rasanya sangat manis, bentuknya seperti awan dan teksturnya seperti kapas. Tadi toko itu ramai sekali.”
“Bila Anda ingin, kita bisa membeli apa pun yang Anda inginkan sepulang dari istana kerajaan.”
Kepala Lizzy langsung menoleh, wajahnya semakin berbinar bahagia. “Benarkah?! Kita bisa melakukannya?!”
Hera mengangguk. “Tentu. Tuan Arthur pasti akan mengizinkan Anda, mengingat Anda sudah diperbolehkan keluar dari kediaman.”
“Ah, kalau begitu aku ingin membeli gulali, kue manis, dan beragam jajanan pasar! Aku pernah membacanya di buku bahwa jajanan pasar itu banyak sekali macamnya dan rasanya enak, terutama sate barbeque, kita harus membeli sate barbeque! Lalu aku juga melihat macam-macam restoran yang menjual kudapan manis, aku tertarik pada parfait!”
Nona Elizabeth tidak pernah sesenang dan seantusias ini sebelumnya, batin Hera diikuti senyuman hangatnya melebar, memilih mengamati dan mendengarkan seluruh celotehan Lizzy.
“Baik, sesuai keinginan Anda, nona.” ujar Hera setelah Lizzy mengutarakan seluruh keinginannya, bertepatan dengan kereta kuda berhenti berjalan, pertanda telah sampai di tujuan. “Ah, kita sudah sampai.”
Wajah riang Lizzy spontan berganti menjadi lebih tenang dan penuh elegan. Gadis kecil itu merapikan penampilannya selama Hera turun terlebih dahulu dari kereta. Lizzy menarik napas dan mengembuskannya perlahan sebanyak tiga kali. Dia menyentuhnya dadanya, merasakan detak jantungnya mulai berdebar kencang. Usai menepuk pipinya, Lizzy memantapkan niat, siap untuk turun.
Pemandangan pertama yang Lizzy tangkap adalah bangunan istana yang sangat megah. Berwarna putih tanpa cela. Para ksatria kerajaan berdiri rapi berjejer di sepanjang tepi tangga masuk istana. Tangga itu menjulang tinggi dengan dilapisi karpet merah pada bagian tengahnya, jalur yang dilalui oleh para bangsawan dan tamu kerajaan.
Bagi Lizzy yang baru pertama kali menginjakkan kaki di istana, dia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Aku sudah mendengar kemegahannya bukan main-main, tapi sekarang aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, ini sungguh menakjubkan.
“Kau sudah datang.”
Lizzy terlonjak kecil mendengar suara Arthur. Kepalanya menoleh ke anak tangga, bertemu tatap dengan Arthur yang melangkah mendekat. Gadis itu segera memberi hormat kala menyadari ada seseorang yang mengikuti Arthur dari belakang. Lizzy asumsikan orang itu adalah pegawai kerajaan sehingga dia harus memberi kesan pertama yang menakjubkan.
Arthur berhenti di hadapan Lizzy. “Kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, kakak.” jawab Lizzy dengan senyum formal, mata biru berliannya beralih ke pegawai kerajaan di belakang Arthur, lantas kembali membungkuk. “Selamat siang, nama saya Elizabeth de Gilbert, sebuah kehormatan bagi saya untuk berkesempatan hadir di istana kerajaan.”
Ronald, asisten pribadi Marquis, membungkuk lebih dalam kepada Lizzy. “Selamat siang, Nona Elizabeth. Nama saya Ronald Wishelton, asisten pribadi Yang Mulia Raja. Saya akan menemani Anda selama berada di istana, Anda tidak perlu formal pada saya. Senang bertemu dengan Anda, Nona Elizabeth.”
Lizzy tersenyum. “Terima kasih, Tuan Wilshelton. Saya akan berada dalam bimbingan Anda.”
“Tampaknya pertemuan ini akan sangat terlambat, jadi puaskan dirimu untuk beristirahat sejenak,” ujar Arthur seraya menggandeng tangan Lizzy.
Lizzy menoleh, terkejut. “Benarkah? Apakah ada masalah?”
“Tidak ada, nona. Sangat disayangkan untuk dibicarakan, Pangeran Ivander memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan hingga ia tidak ingin menundanya sama sekali. Mohon maaf atas masalah ini,” jawab Ronald diikuti bungkuk sedalam-dalamnya membuat Lizzy sedikit membelalak, tidak terbiasa menerima perlakuan sehormat itu.
“Ah, tidak apa-apa, bukan masalah besar, Tuan Wilshelton. Saya paham Pangeran Ivander memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Ophelia.”
Ronald tersenyum. “Terima kasih atas pengertian Anda, Nona Elizabeth. Baiklah, mari saya antarkan.”
Jenderal Raymond dan Caesar segera bersiaga dengan sang Jenderal berdiri di samping Arthur dan Caesar di samping Lizzy. Charles dan Hera berdiri di belakang tuan dan nona muda mereka, diikuti oleh belasan ksatria Alterius. Dipimpin oleh Ronald, mereka siap memasuki area istana.
Baiklah, Lizzy, inilah saatnya. Tidak ada kesempatan lagi untuk mundur, batin Lizzy menyemangati diri.
Siang itu, tepat pukul dua belas, Lizzy menginjakkan kaki pertamanya di lantai istana kerajaan. Wilayah yang dahulu hanya bisa dibayangkan, kini telah terinvasi oleh Lizzy. Seiring langkahnya menaiki anak tangga, semakin jauh pula kesempatan Lizzy untuk mundur. Sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk berpaling. Takdirnya sudah berputar.
Sebelumnya Lizzy selalu takut. Seperti seorang pengecut, Lizzy selalu ingin melarikan diri dari kehidupannya. Lizzy tidak pernah berani memikirkan kemungkinan untuk berani menghadapinya. Namun semua berubah setelah Lizzy mendengar kepercayaan Arthur padanya. Semuanya meluruh, nyaris tidak tersisa. Rasa percaya diri untuk bangkit menghadapi segalanya mulai muncul dalam diri Lizzy.
Lizzy pun mulai mempercayainya juga.
Kini, Lizzy tidak takut apa pun. Dia merasakan genggaman hangat Arthur, mengantarkannya memasuki istana kerajaan yang dahulu ditakuti Lizzy. Rasa hangat itu mengusir segala ketakutannya. Dan Lizzy bersyukur.
“Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu telah menunggu di ruang pertemuan. Sebentar lagi kita sampai.” tutur Ronald ketika beberapa langkah sampai di ruang pertemuan yang dia maksud.
Arthur menoleh ke Lizzy. “Kau lelah?”
Lizzy tidak menoleh. Kepalanya lurus menatap jalan. Tidak berpikir pertanyaan Arthur ditujukan kepadanya.
“Lizzy,” panggil Arthur kemudian, membuat adiknya menoleh kaget, “kau lelah?”
Lizzy menggeleng kecil, tidak lupa tersenyum. “Tidak, aku baik-baik saja.”
“Kau hanya perlu bersikap seperti biasanya, tidak perlu terlalu memikirkannya, kau paham?”
Lizzy mengangguk sedikit semangat agar Arthur yakin. “Aku mengerti, kakak. Kakak tidak perlu khawatir, aku akan melakukannya dengan baik.”
Jawaban Lizzy tentu merupakan jawaban yang ingin Arthur dengarkan. Lelaki itu memalingkan wajah setelahnya. Bertepatan dengan mereka telah sampai di ruang pertemuan.
“Grand Duke of Alterius, Arthuria de Gilbert, dan Nona Elizabeth de Gilbert, datang menghadap!”
Lizzy mengembuskan napas panjang, Mari kita mulai permainan takdir ini.
Sesaat setelah pintu dibuka, Lizzy dapat mencium aroma bunga sweet pea menyeruak keluar. Hal ini cukup mengundang kerutan di kening Lizzy. Sejauh yang dia tahu, bunga tersebut melambangkan perpisahan. Wanginya sangat kuat dan menyenangkan, namun makna bunga itu berbanding terbalik, cukup menyedihkan.
Tak elak benak Lizzy mulai berpikir berlebihan, apakah ini pertanda keluarga kerajaan ingin ‘mengusirnya’?
Buru-buru Lizzy menggeleng kecil demi menyingkirkan asumsi berlebihannya. Mata bulatnya menemukan figur Marquis dan Victorique duduk di sofa, sedang menatapnya dengan wajah tersenyum tipis. Spontan saja Lizzy menyadari kebodohannya yang tidak segera memberi salam hormat.
“Salam untuk Sang Berkat Matahari Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Raja Marquis, dan Sang Berkah Suci Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Ratu Victorique. Nama saya Elizabeth de Gilbert. Sebuah kehormatan bagi saya untuk berkesempatan bertemu langsung dengan Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu,” salam Lizzy penuh etiket di hadapan Marquis dan Victorique.
“Kau bisa berdiri.” sahut Marquis menerima salam Lizzy. “Duduklah, pasti cukup melelahkan melalui perjalanan panjang dari Alterius.”
Lizzy berdiri tegak, menyunggingkan senyum termanisnya. “Terima kasih atas perhatian Yang Mulia. Saya baik-baik saja.”
Marquis menyeringai kecil, berganti menatap Arthur yang sama sekali tidak memberikan salam kepadanya. “Nak, kau seharusnya merasa sedikit malu melihat adikmu sangat penuh etika padaku.”
“Seolah aku sudi melakukannya,” cibir Arthur begitu saja sebelum bergerak ambil duduk di sofa, berhadapan dengan Marquis dan Victorique.
Lizzy nyaris membelalak panik melihat sikap lancang kakaknya. Sudah tidak memberi salam hormat, melawan ucapan Raja, sekarang tanpa permisi ambil duduk di hadapan Raja dan Ratu. Dengan tiga pelanggaran itu, Arthur sangat pantas mendapat hukuman penggal publik!
Kak Arthur, kau ingin mati?! jerit Lizzy mulai berkeringat dingin.
“Lizzy, apa yang kau lakukan di situ? Duduk,” perintah Arthur setelah menolehkan kepala ke Lizzy yang masih berdiri kaku. Sepenuhnya tidak menyadari kepanikan adiknya.
Senyuman manis Lizzy mulai bergetar canggung. “Eh, tapi… itu….”
“Bergabunglah, Nak. Aku tidak akan menghukum kakakmu, tenang saja. Mulai sekarang kau bisa bersikap lebih santai di sini,” celetuk Marquis santai, melempar senyum tampannya agar Lizzy percaya.
Lizzy sedikit membungkuk. “Baiklah jika begitu. Terima kasih, Yang Mulia.”
Arthur bergeser, dia mengangkat adiknya, mendudukkannya di sofa. Kemudian, dengan santai melipat kaki. Dia meraih secangkir teh yang telah disiapkan untuknya, lantas menyesap tanpa perlu repot-repot memikirkan eksistensi Marquis dan Victorique. Sementara, sepasang pemimpin Ophelia itu juga tidak komplain, mereka ikut menyesap teh masing-masing.
Kepala Lizzy langsung terasa kosong. Antara bingung dan syok bercampur aduk. Tidak menyangka dan tidak habis pikir. Selama ini Arthur selalu disiplin tentang tata krama dan etiket, kini pria itu malah bersikap lancang di hadapan Raja dan Ratu!
Lizzy mulai memupuk dendam.
“Aku sangat senang dapat bertemu denganmu, Elizabeth. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatmu,” ujar Victorique membuka topik membuat Lizzy mengalihkan perhatiannya kepada Sang Ratu.
Mata Lizzy sempat mengerjap dengan sorot sedikit terkejut sebelum membalas, “Saya juga sangat senang dapat bertemu dengan Anda, Yang Mulia. Saya bersyukur Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu berada dalam kondisi sehat.”
Kenapa wajah Ratu Victorique cukup familiar? batin Lizzy bingung. Tanpa sadar sedikit mengamati penampilan Victorique. Ya, wajahnya familiar. Siapa, ya?
“Saat itu kau masih sangat kecil, berusia tiga bulan. Tidak terasa sebentar lagi kau akan berusia tujuh tahun,” timpal Marquis setuju, “bagaimana perasaanmu mendatangi istana?”
Lizzy tersenyum formal. “Sangat mengesankan, Yang Mulia. Sesuai dengan kabarnya, istana kerajaan sangat megah dan menakjubkan, benar-benar menggambarkan Kerajaan Ophelia.”
“Sesuai kabarnya, kau benar-benar jenius. Aku senang kau-lah yang menjadi tunangan Ian.” Marquis menyeringai sesaat setelah tiba-tiba menyenggol topik sensitif membuatnya mendapatkan lirikan tajam dari Arthur. “Ah, tentang bocah itu, dia akan terlambat. Maafkan sikap buruknya, dia sangat keras kepala bila terkait tugas kerajaan.”
“Anda harus selalu ingat, Raja Marquis memiliki karakteristik blak-blakan dan tidak suka basa-basi. Anda harus selalu siap dalam bersikap menanggapi tiap kalimatnya.”
Sekarang aku paham, Hera. Terima kasih, rutuk Lizzy.
“Tentu saja, bukan masalah besar, Yang Mulia. Saya paham Pangeran Ivander harus menyelesaikan banyak tugas selaku Pangeran Mahkota. Menunggu tidak akan menjadi masalah,” tanggap Lizzy lancar berkat sudah menyiapkan diri sebaik mungkin selama dalam perjalanan menuju istana kerajaan.
Victorique meletakkan cangkir. “Tapi, tentu akan menjadi hal membosankan jika kau hanya menunggu di sini bersama kami. Apakah kau ingin menikmati waktumu berkeliling istana?”
“Eh?” gumam Lizzy kaget, menatap Victorique. “Tidak perlu, Yang Mulia. Saya akan menunggu di sini. Tidak akan lama lagi Pangeran Ivander pasti akan datang, lantas akan menjadi tidak sopan bagi saya bila tidak ada saat pangeran datang.”
Marquis mendecak pelan berkali-kali, menyangkal. “Dia tidak akan secepat itu. Saran Victorique benar, pergilah menikmati waktumu berkeliling istana.”
“Kukira jadwal hari ini adalah acara pertemuan untuk menentukan tanggal pertunangan? Kenapa berubah menjadi karya wisata istana kerajaan?” celetuk Arthur super sewot membuat Marquis dan Lizzy menoleh. “Lancang sekali bocah itu mengulur waktu di acara sepenting ini. Menjadi Pangeran Mahkota membuatnya tidak tahu diri.”
Lizzy spontan menyentuh lengan Arthur, panik. “Kakak, jangan berbicara seperti itu—“
“Kau sangat benar, aku lelah memiliki anak seperti itu. Sungguh, dari mana dia mendapatkan sifat buruk itu,” timpal Marquis justru setuju membuat Lizzy kembali melongo.
Victorique melengos pelan. “Tentu saja darimu, siapa lagi, huh?”
Huh? Bagaimana bisa menjadi seperti ini? Sedekat itukah hubungan kalian? Kenapa Hera tidak menyebutkan apa-apa soal ini?! batin Lizzy semakin kebingungan.
“Ronald, antarkan Nona Elizabeth berkeliling istana. Khususnya taman bunga di Istana Ratu,” perintah Victorique begitu saja tanpa persetujuan Lizzy membuat gadis kecil itu kelabakan. “Tidak apa-apa, pergi nikmati waktumu.”
Lizzy mengerjap bingung, melirik Arthur. Menangkap sinyal mata Lizzy, Arthur mengangguk kecil. Dengan begitu Ronald menurunkan tubuh Lizzy, membawanya keluar dari ruang pertemuan.
***
Istana kerajaan sudah pasti megah dan luas. Arsitektur dan ornamennya tidak perlu diragukan lagi. Tiap sudutnya tanpa cela, tertata sempurna. Kesempurnaan semacam itu sudah menjadi bukan hal asing lagi bagi Lizzy, sebab kediaman Gilbert tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanyalah penampilan atmosfernya. Istana kerajaan penuh cahaya, sangat terang. Sedangkan kediaman Gilbert sangat tertutup, jarang dipenuhi cahaya.
Namun bagaimanapun juga, Lizzy kecil tetap kagum. Matanya senantiasa berbinar tiap kali melewati pemandangan luar istana. Beragam taman telah dilewati olehnya. Kini, Ronald mengantarkannya ke taman bunga di Istana Ratu seperti perintah Victorique. Yang jujur saja, cukup Lizzy bingungkan karena setahunya area Istana Ratu merupakan area pribadi yang hanya boleh dikunjungi oleh keluarga kerajaan.
Apakah karena aku menjadi calon tunangan Pangeran Ivander sehingga diperbolehkan? batin Lizzy bertanya-tanya.
“Nona Elizabeth, kita telah sampai.”
Lizzy menoleh ke kanan, menangkap hamparan taman bunga tertutupi oleh salju. Ada sebuah gazebo beton di bawah pohon besar, menyatu dengan taman bunga dan kolam yang cukup besar. Berbeda dari taman-taman sebelumnya, taman Istana Ratu sangat luas dan indah, meski kini tertutup oleh salju. Lizzy tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“Taman ini merupakan area favorit Yang Mulia Ratu dan Pangeran Ivander. Setiap sore mereka bercengkrama di sini,” ujar Ronald membuat Lizzy menoleh ke arah gazebo yang menaungi satu set meja teh.
Ketika Lizzy menatap gazebo tersebut, entah mengapa, muncul sebuah perasaan aneh dalam dirinya. Perasaan itu seolah menariknya tubuhnya untuk menghampiri gazebo. Jantung Lizzy pun mulai menderu cepat dipacu bingung. Lizzy tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, jadi dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
Tapi Lizzy tahu, perasaan aneh itu benar-benar menariknya untuk mendekati gazebo. Tidak, tidak, aku tidak boleh selancang itu. Ini area pribadi keluarga kerajaan. Bagaimanapun juga, aku belum resmi bertunangan dengan pangeran.
“Anda boleh menghampiri taman, nona.”
Lizzy menoleh, terkejut. “A—Apa?”
Ronald tersenyum. “Saya yakin Anda ingin mengamati taman lebih dekat.”
“Eh?” Lizzy spontan memalingkan muka, batinnya meraung, Masa terlihat sejelas itu di wajahku?! Aish, memalukan!
“Silahkan, nona. Saya akan menunggu Anda dari sini berhubung area taman ini merupakan area pribadi keluarga kerajaan. Tanpa persetujuan mereka, siapa pun tidak diizinkan masuk.”
“T—Tapi Anda mempersilahkan saya ke sana.”
“Yang Mulia Ratu memberikan perintahnya untuk membawa Anda ke sini, nona. Nona mengingatnya, bukan?”
Ah, benar juga, timpal Lizzy dalam hati, yah, baiklah, jika seperti itu. Aku tidak akan menahan diri.
Lizzy menoleh pada Ronald, tersenyum. “Baiklah, saya akan pergi. Terima kasih, Ronald.”
Ronald membungkuk. “Berhati-hatilah, nona.”
Kaki kecil Lizzy melangkah memasuki taman bunga Istana Ratu. Senyum cerah terpasang di wajahnya seiring langkahnya semakin mendekati gazebo. Gaun biru mudanya terbang diterpa angin diikuti pula oleh rambut pirang cerahnya. Lizzy tidak memikirkan apa-apa selain keantusiasannya menghampiri gazebo. Segala kecemasan dan beban berat di pundaknya meluruh.
Ketika Lizzy sampai di gazebo, dia berdiri mengamati meja dan kursi teh. Berwarna putih bersih, terbuat dari bahan kayu terbaik. Dia menggumam takjub melihat pemandangan taman dari sudut pandang gazebo tampak lebih menakjubkan. Rasanya seolah melihat taman yang benar-benar baru, bukan taman Istana Ratu.
“Aku mengerti mengapa Yang Mulia Ratu dan Pangeran Ivander suka bercengkrama di sini. Memang benar-benar indah,” gumam Lizzy seraya melangkah memutari gazebo.
Langkah kaki Lizzy terhenti saat matanya bertemu tatap dengan pohon besar yang menaungi gazebo. Pohon itu berada tepat di samping gazebo. Tumbuh besar menjulang dengan dedaunan lebat, Lizzy bisa menyimpulkannya meski kini hanya tersisa ranting akibat musim dingin melanda. Hal aneh terjadi kembali, perasaan aneh yang menarik tubuh Lizzy untuk menghampiri gazebo, kini semakin kuat setelah menatap pohon.
“Apa ini?” gumam Lizzy bingung, menyentuh letak jantungnya berada.
Secara tiba-tiba bayang-bayang wajah Victorique muncul dalam benak Lizzy bersamaan dengan mata birunya menatap ke salah satu sudut di gazebo. Denyut nyeri langsung menyerang kepala gadis kecil itu. Dia mulai linglung.
Apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa wajah Ratu Victorique tiba-tiba muncul?
“Elizabeth.”
Kepala Lizzy spontan menoleh. Tubuhnya kaku, hatinya mencelos, lidahnya kelu tak mampu bersuara.
“Pangeran?”
TO BE CONTINUED[Literally, bab terpanjang yang kuupload, tapi Lizzy-Ian malah digantungin. HEHEHEHEHE]