Lizzy melahap bubur dan sup sayur usai membersihkan diri. Dokter Damaresh telah memeriksanya beberapa menit lalu. Pria berusia setengah abad itu meninggalkan anjuran dan obat usai memeriksa Lizzy. Lalu, meninggalkannya sendirian. Mengizinkan Lizzy untuk segera mengisi tenaga.
Hera dan Chloe menemani Lizzy. Keduanya berdiri di samping pintu, memerhatikan Lizzy dengan siap siaga. Tidak ada yang bersuara. Begitu pula Lizzy. Ia fokus menghabiskan sarapannya agar dapat segera meminum obat. Ia juga ingin segera membaringkan tubuhnya. Semakin cepat sarapannya habis, semakin cepat Lizzy dapat kembali berbaring.
Sejauh ini, belum ada yang menjenguk Lizzy. Hera adalah satu-satunya orang dari mansion Gilbert yang menemui Lizzy. Gadis kecil itu cukup mengherankannya. Dia bertanya-tanya apakah kakak-kakaknya tidak menjenguknya. Dia ingin menanyakannya ke Hera namun merasa terlalu malas untuk bertanya. Lizzy menduga kakak-kakaknya tidak sepeduli itu untuk repot-repot menjenguknya.
Kak Alice pergi ke Pennsylvania. Kak Theo pergi ke Astana. Kak Arthur… entahlah, aku tidak tahu. Ya, wajar saja jika mereka tidak mengunjungiku. Mereka selalu bepergian jauh, batin Lizzy sambil menyendokkan bubur ke mulutnya.
Pintu kamar terbuka, memersilahkan Ian melangkah masuk. Dengan penampilan luar biasa tampan yang khas, Ian memerintahkan Hera dan Chloe untuk keluar. Seorang pelayan melangkah di belakangnya sambil mendorong kereta makanan, membawakan sarapan Ian. Ian duduk di kursi samping Lizzy tanpa bersuara.
Usai pelayan meletakkan sarapan Ian di meja, dia undur diri. Menyisakan Ian dan Lizzy berdua. Lizzy tidak kaget sama sekali. Sudah sewajarnya Ian kembali mengunjunginya. Sewajarnya seorang lelaki yang mengkhawatirkan tunangannya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Ian membuka percakapan.
Lizzy menoleh. “Baik. Dokter berkata tidak ada masalah serius. Setelah minum obat dan istirahat, aku akan membaik.”
“Baguslah.”
Lizzy mengerjap pelan, sedikit bingung mendengar nada suara Ian. Nadanya datar seperti biasa. Namun, entah mengapa, telinga Lizzy sedikit menangkap keanehan dalam suara tersebut. Walau didominasi datar, ada secuil nada yang menunjukkan perasaan tidak tenang. Telah terjadi sesuatu pada Ian.
Lizzy mencoba tidak peduli. Dia tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam kehidupan Ian. Sayangnya, Lizzy bukanlah tipe orang yang mudah tidak peduli. Hatinya sangat lembut dan berperasaan bahkan ke orang yang telah memerlakukannya dengan buruk.
“Kau tidak makan? Makanlah sebelum dingin, Yang Mulia,” tegur Lizzy membuyarkan lamunan Ian. Matanya seketika membulat melihat segores luka di pipi kiri Ian. "Yang Mulia, pipimu. Apa yang telah terjadi?"
Mata ruby Ian beralih ke Lizzy. Angannya terpecah karena suara lembut bercampur khawatir Lizzy yang penuh perhatian. Gadis itu menatapnya khawatir. Membuat Ian merasa heran sendiri. Padahal tunangannya itu masih demam, tapi ia masih sempat memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri.
“Aku juga tidak akan menyerahkan Elizabeth kepadamu.”
Suara Arthur kembali menghantui pikiran Ian bagaikan teror. Ian mendecak dalam rongga mulutnya dengan mata berpaling dari Lizzy. Merasa tidak kuasa untuk menatap gadis itu karena menyebabkan suara Arthur menggema semakin keras dalam pikirannya.
“Yang Mulia? Tolong katakan sesuatu,” panggil Lizzy bingung melihat Ian berpaling tanpa menanggapi tegurannya.
“Daripada kau, adikku lebih pantas bersama Noah.”
Ck, b******n. Apa maunya sampai-sampai membawa Noah. Setelah bertahun-tahun tidak memedulikan Noah, tiba-tiba mengklaim omong kosong semacam itu. Jika saja dia tidak semengerikan itu, rutuk Ian nyaris dirundung putus asa, mengingat ‘perbincangannya’ dengan Arthur.
“Ketika adikku menginjak umur delapan belas tahun, aku akan—“
“Yang Mulia.”
Ian sedikit tersentak mendengar panggilan Lizzy mengeras. Ian menoleh ke Lizzy, bertemu tatap dengan sorot khawatir tunangannya. Lizzy sungguh mengkhawatirkannya hingga menunda makannya. Padahal gadis itu harus segera minum obat dan kembali beristirahat, tapi dia lebih mengkhawatirkan orang lain.
“Kau baik-baik saja? Apakah jangan-jangan kau tertular demamku? Pertama-tama, apa yang telah terjadi padamu? Pipimu terluka!” tanya Lizzy cemas.
Padahal Lizzy belum pulih, tapi dia masih mencemaskan orang lain. Ah, sungguh.
“Elizabeth,” panggil Ian dengan wajah datar, tidak menjawab pertanyaan sama sekali.
“Ya?” sahut Lizzy polos.
Tangan kanan Ian terangkat ke wajah Lizzy. Lelaki luar biasa tampan itu menutup kedua mata Lizzy menggunakan tangannya. Sukses membuat Lizzy kaget setengah mati dan nyaris meloncat syok.
“A—Apa yang kau lakukan?” tanya Lizzy syok seraya bergerak memundurkan kepalanya, namun terhalang oleh tangan kiri Ian yang menyentuh belakang kepalanya.
“Diamlah, dengarkan aku,” perintah Ian sedikit tegas.
Bibir Lizzy menipis, sedikit takut dan ragu-ragu. “Ada apa? Tidak bisakah kita berbicara secara lebih normal?”
“Hanya sebentar. Aku tidak akan aneh-aneh.”
Lizzy melengos pelan. “Baiklah.”
Ian menarik tangan kirinya, berhenti menyentuh belakang kepala Lizzy. Percaya bahwa Lizzy tidak akan memberontak lagi. Ian menarik napas panjang beberapa kali. Menciptakan jeda hening yang cukup menyebalkan bagi Lizzy. Walau Ian berkata tidak akan melakukan hal aneh, tetap saja Lizzy merasa sebal karena terasa tidak nyaman terjebak dalam kegelapan.
“Maafkan aku,” ujar Ian sedikit lebih pelan dari nada bicaranya yang biasanya.
Lizzy sedikit mengernyit, terkejut. Lagi-lagi dibuat terperangah dengan sikap aneh Ian. “Untuk apa?”
“Membentakmu.”
Butuh waktu sekian detik bagi Lizzy untuk mencerna kelakuan dan ucapan Ian. Terlalu banyak hal aneh yang pangeran itu lakukan sejak Lizzy kembali ke kesadarannya. Lizzy kira semua itu hanya akting, makanya dia tidak mau memikirkannya lebih jauh. Lizzy belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa semua sikap baik Ian terhadapnya hanya sekedar akting.
Maka, sikap perhatian Ian hari ini termasuk akting juga. Ian yang menemaninya semalaman, merawatnya, dan memerhatikannya, semua itu adalah akting. Lizzy sepakat demikian. Akan tetapi, sekarang Ian meminta maaf kepadanya. Meminta maaf karena telah membentaknya. Lizzy nyaris tidak percaya.
Untuk apa Ian meminta maaf? Ivander de Bloich yang egois dan berhati dingin tiba-tiba meminta maaf? Mustahil!
“Apakah telah terjadi sesuatu?” tanya Lizzy setelah jeda yang cukup lama.
“Tidak ada,” jawab Ian datar.
“Lalu, kenapa kau minta maaf?”
Ian tersenyum geli. “Salahkah?”
“Ini bukan sepertimu. Aku takut.”
“Memangnya aku seperti apa?”
Lizzy mengerjap beberapa kali. Membuat telapak tangan Ian dapat merasakan sapuan bulu mata letiknya. “Kau bukan orang yang meminta maaf, tapi memberikannya. Bahkan jika kau berada dalam posisi yang salah, kau tidak akan minta maaf.”
Alis Ian sedikit menaut, wajahnya langsung cemberut. “Hei, kenapa itu terdengar seperti aku seorang psikopat?”
“Salahkah? Aku… mengutip dari beragam kabar dan rumor tentangmu.”
Ian melengos pelan. “Jangan menganggapku seperti yang orang-orang anggap. Kau adalah tunanganku, seharusnya kau mengenal sifatku lebih baik daripada mereka.”
Bibir Lizzy mengerucut sebal. “Tapi, apa yang mereka bicarakan tidak sepenuhnya salah.”
“Apa buktinya?”
“Kau menganggapku sebagai mesin penghasil keturunan.”
Astaga, bahkan perumpamaannya sama seperti kakaknya, batin Ian lelah.
“Perumpamaanmu berlebihan,” sangkal Ian membuat bibir Lizzy semakin mengerucut. “Aku mengajukan rencana itu karena aku memikirkan segalanya.”
“Huh?”
Ian mendecak pelan. “Kesampingkan hal itu. Kau tidak perlu memikirkannya.”
“Aku tidak memikirkannya. Aku hanya menjawab pertanyaanmu.”
“Dasar bodoh,” ledek Ian seraya menarik tangannya, berhenti menutup mata biru Lizzy.
Lizzy cemberut. “Apa-apaan? Padahal kau—“
Suara Lizzy terinterupsi oleh sendok bubur yang tiba-tiba masuk ke mulutnya. Gadis berbibir tipis itu melotot kesal kepada Ian yang berwajah tak berdosa. Lelaki itu menyuapinya dengan cukup kasar. Beruntunglah Lizzy tidak tersedak.
“Habiskan makananmu, minum obatmu, dan tutup matamu,” ujar Ian santai padahal dia hampir ‘membunuh’ Lizzy menggunakan sesendok bubur.
Lizzy mengunyah bubur. Pipinya menggembung disertai bibir mengerucut sebal. Lirikan matanya terhunus sinis kepada Ian. Pangeran itu telah sepenuhnya mengambil alih sarapan Lizzy. Secara telaten dan sedikit kasar sewajarnya laki-laki, Ian menyiapkan sesuap bubur berikutnya untuk Lizzy. Tanpa perlu Lizzy pertanyakan, sudah jelas Ian berniat menyuapinya. Dasar, padahal ia sedang terluka, tapi justru mengabaikan dan kekeh merawat Lizzy.
Lizzy terlalu pusing untuk memikirkan kelakuan aneh Ian. Jadi, dia menyimpulkan sendiri bahwa lelaki itu salah makan atau kepalanya membentur sesuatu. Setelah meminum obat, Lizzy tidak akan mengalah pada Ian.
***
Peter menutup buku filsafat karya Immanuel Kant setelah kesekian kali membacanya. Dia meletakkannya asal di meja sebelum kemudian mengambil buku filsafat lain karya Niccolo Machiavelli. Sama seperti “The Critique of Pure Reason” milik Immanuel Kant, “The Prince” milik Niccolo Machiavelli telah dibaca ribuan kali oleh Peter.
Tidak ada alasan khusus. Dua buku filsafat tersebut adalah karya filsuf terbaik bagi Peter. Selain jendela ilmu, buku itu telah merangkap fungsi sebagai penenang mujarab. Peter tidak akan pernah bosan membacanya. Walau ada ribuan buku filsafat di raknya, karya Immanuel Kant dan Niccolo Machiavelli tetap menjadi buku favorit yang tidak akan pernah mati.
Tidak, Peter bukan kutu buku yang senang menghabiskan waktu di perpustakaan. Dia bukan imajiner yang suka berkutat pada buku. Dibandingkan buku, Peter lebih tertarik bermain di luar. Peter tidak memiliki hobi yang spesifik, dia hanya menyenangi aktivitas luar ruangan.
Peter rampung membaca seluruh buku di rak bukan atas kehendaknya. Dia melakukannya karena tidak punya pilihan lain. Tidak ada aktivitas lain yang bisa dia lakukan selain membaca buku. Maka di sinilah Peter, lagi-lagi duduk di bingkai jendela dengan buku filsafat dalam pangkuannya. Kegiatan yang telah menjadi aktivitas sehari-hari tanpa ada pilihan untuk mengubahnya.
Kala Peter baru membalik halaman pertama, suara ketuk pintu menginterupsinya. Mengundang perhatiannya ke pintu. Dari balik pintu kayu itu, terdengar suara adik perempuannya.
“Kakak, ini aku. Aku membawakan makanan.”
Peter turun dari bingkai jendela. Tidak berniat menaruh bukunya terlebih dahulu, lelaki dengan tinggi seratus enam puluh sentimeter itu melangkah menghampiri pintu. Peter menarik gagang pintu, menemukan figur adik perempuannya sedang membawa sepiring muffin dan scone.
“Rena, bukankah sudah kubilang kau harus menjauh dariku,” keluh Peter dengan hela napas pendek.
Adik perempuan yang dipanggil Rena itu memasang raut sedih. “Tapi, aku tidak ingin menjauh darimu. Aku menyayangimu.”
Peter melengos lelah. “Masuk. Tidak ada yang memergokimu? Bagaimana dengan nyonya?”
Rena menggeleng sembari melangkah masuk ke dalam kamar Peter. Gadis cantik itu mendekati ranjang, mendudukinya. Kepalanya mengitari tiap sudut kamar. Lantas, geleng-geleng pelan melihat bertumpuk-tumpuk buku di dekat jendela kamar, area membaca Peter. Tanpa perlu dijelaskan lagi, Rena paham kesibukan kakaknya tidak berubah sedikitpun.
“Kali ini kau kabur dari siapa?” tanya Peter usai menutup pintu.
“Lady Potterbeast. Aku tidak menyukai cara mengajarnya,” jawab Rena dengan dengusan sebal.
Peter berdiri di hadapan adiknya, berkacak pinggang. “Jika nyonya mengetahui kau berada di sini, akulah yang terkena getahnya, Rena.”
Rena sedikit cemberut. “Dia adalah ibumu juga, Kak. Sampai kapan kakak akan memanggilnya “nyonya”?”
“Sudah kubilang, aku berbeda.”
“Tapi ayah menyayangimu. Ayah tidak akan keras padamu.”
“Karena beliau memang baik.”
Kepala Rena menunduk. “Padahal aku ingin bermain bebas bersamamu. Aku ingin kau juga hadir di pesta tehku.”
Peter berhenti berkacak pinggang. Wajah datarnya mulai memancarkan titik-titik kesedihan, tidak tega melihat Rena bersedih. Peter sepenuhnya memahami perasaan Rena. Dia juga mengharapkan hal yang sama ratusan kali. Memanjatkannya dalam doa tanpa jenuh dengan harapan semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan. Namun, setelah sekian tahun, tidak ada yang berubah. Membuat Peter mulai putus asa.
Peter mengelus rambut Rena, menenangkannya. “Aku juga ingin seperti itu.”
“ASTAGA! KE MANA PERGINYA?! JANGAN BILANG DIA KEMBALI MENEMUI ANAK SIAL ITU LAGI?!”
Peter dan Rena terlonjak kaget mendengar raung amarah seorang wanita dari luar kamar. Berdasarkan suaranya, wanita itu berjarak tidak jauh dari kamar Peter. Mungkin saja tidak sedekat yang terdengar karena suaranya terlalu lantang atau Peter yang terlalu panik. Yang jelas, hal buruk akan selalu terjadi setelah raung itu menggelegar ke seluruh penjuru rumah.
Mata Rena berkaca-kaca, dirundung kesal dan sedih. Dia meletakkan piring muffin dan scone di sampingnya sebelum memeluk Peter. “Maafkan aku. Aku hanya… tidak punya tempat pelarian lain. Aku tidak menyukai ibu, ibu semakin kasar padaku. Tapi ibu selalu berkata bahwa itu semua demi kebaikanku, aku tidak bisa.”
Hubungan ibu dan anak adalah paradoks. Begitulah kata Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog dari Jerman. Pernyataan beliau menjadi penggambaran Peter atas apa yang menimpa adiknya. Bagi Peter yang tidak pernah merasakan kasih ibu, dia tidak tahu apakah pernyataan Erich Fromm cocok juga dengannya. Peter pun bertanya-tanya, apakah dirinya juga cocok dengan pernyataan tersebut. Dan entah kapan akan mendapatkan jawabannya.
“Aku mengerti. Kau tidak perlu meminta maaf,” ujar Peter seraya membalas pelukan Rena. Lagi-lagi memanjatkan doa agar harapannya dikabulkan.
TO BE CONTINUEDPeter akhirnya debut adegan mandiri, UWU