Pernah suatu ketika Lizzy diceritakan oleh Hera tentang keluarga kerajaan. Saat itu Lizzy masih berumur 5 tahun. Untuk pertama kalinya, Lizzy menanyakan keluarga kerajaan setelah satu tahun mengetahui dirinya menjadi kandidat calon Ratu. Hera menceritakannya ketika Lizzy hendak tidur seolah sedang berdongeng. Lizzy cukup mendengarkan berhubung mengetahui keluarga kerajaan merupakan hal dasar yang perlu ia ketahui.
“Raja Marquis dan Ratu Victorique merupakan pemimpin yang kuat dan bijaksana. Sepanjang sejarah, mereka dikenal sebagai pemimpin terkuat yang sejajar dengan Raja Yosephine de Croux. Hanya saja Raja Marquis memiliki gaya kepemimpinan tirani yang sering menimbulkan pro dan kontra.”
“Apakah beliau sangat menyeramkan?” tanya Lizzy dengan wajah ketakutan saat itu.
Hera tersenyum geli. “Tidak. Raja Marquis sangat tampan, tampan sekali.”
“Seperti pangeran di buku dongeng?”
“Ya, seperti pangeran. Justru jauh lebih tampan lagi karena beliau seorang Raja.”
Lizzy saat itu masih kekanakan. Dia terkesima mendengar cerita Hera tentang keluarga kerajaan dan berandai-andai ingin cepat bertemu. Saat itu pikirannya masih sangat naif. Lizzy memercayai segala ucapan Hera, mengesampingkan segala rumor buruk yang beredar seputar keluarga terhormat itu.
“Lalu bagaimana dengan Pangeran Mahkota? Apakah dia seperti pangeran di buku dongeng?”
Berbeda dari sebelumnya, Hera terdiam sejenak sebelum menjawab. Perempuan itu tampak meragu, enggan menjawab. Lizzy yang lugu pun cukup menyadari perubahan sikap Hera, namun ia tidak ambil pusing. Tetap menunggu jawaban Hera dengan wajah antusias.
“Ya, Pangeran Mahkota sangat tampan seperti pangeran di buku dongeng,” jawab Hera setelah terdiam sejenak. Jawaban apa adanya yang membuat wajah Lizzy berbinar cerah.
Lizzy tersenyum lebar. Wajahnya menatap lurus langit-langit kamar. Binar gembira menghiasi bola mata biru berliannya. “Aku jadi tidak sabar ingin bertemu mereka, Hera.”
Hera tersenyum tipis, tangannya mengusap lembut rambut Lizzy. “Tenang saja, Nona. Dua tahun akan segera berlalu tanpa Nona sadari.”
“Hera,” Lizzy menoleh dengan wajah sendu membuat Hera sedikit terkesiap berhenti mengusap rambut Lizzy, “apakah aku cantik?” tanya Lizzy.
“Tentu saja. Nona sangatlah cantik. Kenapa Nona bersedih?”
Bibir Lizzy sedikit mengerucut. “Aku pernah mendengar Pangeran Mahkota tidak menyukai perempuan jelek.”
Rumor klasik yang sudah menjadi rahasia umum, wajar saja bila rumor itu telah sampai di telinga Lizzy. Namun tetap saja, Hera masih sedikit terpancing untuk tertawa geli tiap kali rumor itu masuk ke telinganya. Sebagai pelayan kelas atas di keluarga Gilbert yang menjadi satu-satunya memiliki kesempatan bertemu langsung dengan Ian, Hera bisa membenarkan dan menyalahkan rumor tersebut.
“Hal itu benar,” ujar Hera membuat Lizzy semakin bersedih, “tapi, juga sedikit salah.”
Lizzy mengerjap bingung. “Salah?”
“Pangeran Mahkota memang tidak pernah mendekati perempuan. Tapi, bukan hanya perempuan yang tidak berpenampilan bagus.”
“Pangeran menjauhi semua perempuan?”
Hera mengangguk. “Benar.”
“Kenapa? Pangeran tidak menyukai perempuan? Ah, ini bahkan lebih buruk dari rumor itu.”
“Lebih tepatnya kehidupan Pangeran sangat sibuk hingga tidak ada waktu untuk mendekati dan memikirkan perempuan. Satu-satunya perempuan yang Pangeran dekati adalah Yang Mulia Ratu.”
Lizzy sedikit bernapas lega. “Syukurlah. Aku masih memiliki kesempatan.”
“Benar.” Hera tersenyum seraya bangkit berdiri, hendak pamit dari kamar tidur karena sudah saatnya Lizzy pergi ke dunia mimpi. “Baiklah, sudah waktunya anda tidur, Nona.”
Lizzy menarik selimut untuk menutupi lehernya, tersenyum. “Kuharap saat kami bertemu, Pangeran akan menyukaiku.”
Saat itu, Lizzy melihat perubahan raut di wajah Hera untuk kedua kalinya. Raut ragu bercampur sedih yang dalam sepersekian detik lagi-lagi disembunyikan oleh Hera. Lizzy sudah melihat tanda-tandanya, namun dirinya terlalu naif hingga tersenyum lebar saat Hera membalas ucapannya dengan wajah palsu.
“Tentu saja, Nona. Pangeran akan menyukai anda.”
Sebuah kalimat penyemangat penuh kepalsuan.
Lizzy tidak mengatakan Hera berbohong, tidak. Lizzy hanya menyayangkan sedikit ketidakjujuran Hera. Hera tahu sesuatu, namun memilih untuk menyimpannya sendiri. Mungkin bagi Hera, Lizzy masih terlalu kecil dan bahagia sehingga tidak boleh ada yang merusak kebahagiaan naif tersebut. Lizzy cukup berterimakasih atas hal itu, namun tetap saja efek yang ditimbulkan oleh Hera cukup membuat Lizzy menderita di ujung kenaifannya.
Berbulan-bulan setelah percakapan kecil Hera dan Lizzy, gadis kecil itu tenggelam dalam dunia mimpinya bersama bayangan Pangeran Mahkota. Setiap hari si gadis kecil amat bahagia menunggu tibanya hari pertunangan. Benaknya tak pernah lelah memikirkan dan membayangkan rupa sang pangeran. Ia sudah merasa hidupnya akan berakhir bahagia seperti putri dalam buku dongeng.
Sayangnya, sebuah fakta menghancurkan kebahagiaan naif Lizzy.
“Pangeran Mahkota? Dia benci perempuan.”
Sebuah kalimat yang keluar dari bibir Theo—kakak ketiga Lizzy—menghancurkan wajah bahagia Lizzy. Lizzy yang selalu bersenandung ria kala membayangkan sang pangeran pun terdiam kaku menatap kakaknya.
“Apa maksud kakak?” tanya Lizzy nyaris seperti bisikan, wajahnya memucat.
Theo melepaskan anak panah, sukses membidik titik lingkaran bidik. “Bahkan kau yang tidak pernah keluar rumah pasti pernah mendengar rumor Pangeran Mahkota tidak menyukai perempuan jelek, bukan? Itu benar. Lebih tepatnya lagi, dia benci perempuan karena mindset-nya tentang perempuan sangat buruk.”
Lizzy mengernyit. “Mindset?”
“Aku benar-benar sedang tidak ingin berbicara denganmu.” sahut Theo datar tanpa memberi perhatian kepada Lizzy. Masih sibuk memanah. “Pergilah.”
“Jelaskan, Kak. Aku harus tahu sebagai calon tunangannya.”
“Kau sudah tahu intinya.”
Lizzy mencebik tidak suka. Hubungannya dengan Theo bisa dibilang tidak begitu baik. Dalam beberapa situasi, Lizzy pernah memergoki tatapan sinis Theo kepadanya. Pernah juga ia merasakan aura haus darah bersumber dari Theo mengarah padanya. Ya, Theo sudah berulang kali memiliki niat untuk membunuh adiknya sendiri. Lizzy tahu, namun tidak pernah memersalahkannya. Dibandingkan Arthur, Theo lebih banyak meladeninya.
“Itu tidak cukup, Kak,” ujar Lizzy seraya menarik pakaian Theo, berhasil mengalihkan perhatian lelaki itu dari lingkaran bidik, “tolong jelaskan padaku.”
“Aku akan menjelaskannya jika kau memberikan matamu.”
Lizzy mencebik, menyindir sinis. “Wah, lucu sekali lelucon khas keluarga Gilbert ini.”
“Kapan kau akan pergi dari hidupku,” desah Theo menghela napas lelah.
“Ayolah, aku tahu kakak membenciku, tapi sekali ini saja bantu aku.”
Theo memutar bola mata. Dia kembali membidik, namun sambil bersedia menjelaskan apa-apa yang perlu Lizzy ketahui. “Hidupnya sangat sibuk sebagai anak kecil bergelar Pangeran Mahkota. Suatu ketika, dia berurusan dengan tamu dari Kerajaan Pennsylvania, keluarga kerajaan. Sebagai Pangeran Mahkota, dia harus berurusan dengan putrinya, Putri Elesis. Bocah itu secara tidak sengaja membuat Putri Elesis menangis.”
Mata Lizzy membulat kaget. “Menangis?”
“Putri Elesis minta pendapat tentang karangan bunga buatannya. Bocah itu berpendapat karangan bunga itu jelek dan tidak memancarkan keindahan sama sekali, terlalu jujur.”
Lizzy terdiam kaku. Genggamannya pada pakaian Theo melonggar seiring benaknya mencerna penjelasan Theo. Dia membayangkan situasi cerita tersebut. Berdasarkan kronologinya, Putri Elesis pasti masih berusia muda sehingga mudah sekali menangis di hadapan orang lain. Kemungkinan membuat karangan bunga merupakan hobinya berhubung Kerajaan Pennsylvania terkenal sebagai habitat dari ratusan jenis bunga. Lantas, tiba-tiba mendapat kritik sedingin itu pasti menghancurkan hati sang putri.
Jika apa yang dikatakan oleh Theo benar, bukankah Pangeran Mahkota sangat jahat?
Bahkan jika memang karangan bunga buatan Putri Elesis tidak bagus, masih ada pemilihan kalimat kritik yang lebih baik.
Seluruh angan-angan tentang Pangeran Mahkota hancur seketika. Dalam sekejap tergantikan oleh sosok dingin yang siap menyakiti Lizzy kapan pun.
“Sayang sekali, kau terlalu naif.”
Kalimat Theo menghujam d**a Lizzy, semakin menyakiti. Saat itulah Lizzy paham, dunia di luar pagar kediaman merupakan dunia kejam yang siap menghancurkan Lizzy.
Lizzy pun berhenti bermimpi.
***
“Apa-apaan rumor yang sedang beredar, Ian.”
Ian, sang Pangeran Mahkota, menatap wajah ayahnya. Niat ingin pergi dari ruang kerja Marquis terhalangi oleh celetukan Raja tersebut. Ian cukup heran melihat ayahnya mengajaknya berbicara setelah sekian lama mereka tidak memiliki interaksi kekeluargaan. Dia tidak mengapreasinya karena celetukan Marquis bukan sekedar berbicara, melainkan protes.
“Aku sudah membiarkan rumor-rumor aneh tentangmu beredar sembarangan selama bertahun-tahun, namun sepertinya keanehan rumor-rumor itu semakin meningkat,” ujar Marquis sedikit tajam, namun tidak membuat raut datar Ian sirna.
“Lalu, apa yang ayah ingin aku lakukan?” tanya Ian tidak gentar.
Marquis mendengus remeh. “Ya, lagipula ini semua berawal dari kebodohanmu. Sudah sewajarnya kau memertanggungjawabkan akibatnya.”
Ian melengos. “Jujur saja, aku tidak bersalah.”
“Bahkan kau masih tidak mau mengakui kesalahanmu,” dengus Marquis seraya menopang rahang.
“Kenapa aku disalahkan hanya karena mengatakan kejujuranku.”
“Lebih tepatnya, kau menghinanya.”
“Aku tidak menghina.”
“Kau menghina.”
“Tidak.”
“Ya.”
“Kau membuatnya menangis, memberikanku sakit kepala karena harus berurusan dengan Garrold.”
“Jadi, sebenarnya kau mempermasalahkan hal itu, bukan pendapat jujurku tentang karangan bunga Putri Elesis.”
“Aku tidak berkata seperti itu.”
“Kau mengatakannya barusan.”
Johan dan Ronald selaku saksi atas perdebatan Marquis dan Ian pun hanya bisa menghela napas panjang. Situasi semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hubungan Marquis dan Ian sangat renggang, tak ada interaksi ayah-anak sama sekali. Masing-masing terpisahkan karena tuntutan beban tanggung jawab mereka sebagai Raja dan Pangeran Mahkota. Karakter mereka yang sama-sama tidak peduli pun semakin menjauhkan jarak.
Namun kini lihatlah, interaksi pertama Marquis dan Ian sebagai ayah-anak justru sebuah perdebatan sepele.
“Aku tidak ingin mendengar pembelaan apa-apa lagi darimu, Ivander de Bloich. Kau salah dan kau harus memertanggungjawabkannya.” cetus Marquis bersuara tegas pada akhirnya, lelah sendiri berdebat dengan putranya yang sama-sama keras kepala. “Kau benar-benar memberikan kesempatan bagi faksi aristokrat untuk menghancurkan hubungan pertunanganmu dengan Elizabeth.”
Kening Ian spontan mengerut. “Apa hubungannya masalah bodoh ini dengan pertunanganku?”
“Kau sudah tahu tepat di hari pengukuhan pertunanganmu, kaum bangsawan yang tidak menerima hal itu membentuk faksi. Faksi bodoh itu akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Elizabeth. Dengan rumor bodoh itu, mereka akan mencari celah. Ayolah, sebenarnya isi dalam kepalamu berfungsi atau tidak.”
Dalam sebelas tahun Ian hidup, untuk pertama kalinya, Ian ingin berteriak menyemburkan amarahnya.
“Terima kasih atas penjelasannya, Raja Pintar.” sahut Ian penuh kesinisan, menahan semburan amarah meluap, “Tampaknya aku masih perlu banyak belajar lagi selaku Pangeran Mahkota. Hari ini aku melihat langsung betapa pintarnya sang berkat matahari Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Raja Marquis Pintar de Cerdas Bloich, dan itu membuatku termotivasi. Maka, aku pamit undur diri.”
Marquis mencebik. “Tentu, nikmati waktu belajarmu, sang matahari Kerajaan Ophelia, Yang Mulia Pangeran Mahkota Ivander Bodoh de Lancang Bloich.”
Johan dan Ronald pikir mereka sudah sangat memahami karakteristik tuan mereka. Nyatanya mereka sama sekali tidak paham.
TO BE CONTINUED
[Hai, my luvies readers! Terima kasih banyak atas keantusiasan kalian pada The Queen Quality. Komentar-komentar kalian bener-bener moodbooster buatku, jadi jangan sungkan untuk berkomentar ya. Aku selalu membaca komentar kalian dan membalasnya, kok. The Queen Quality selalu update tiap jam 9 pagi, yap. Untuk sekarang memang masih belum daily update, tapi kuusahakan jangka update tidak terlalu lama demi kalian. Thank you and have a nice day!]