BAB 3

1580 Words
“Eugene dan Ellie meninggal, huh.” Ronald mengangguk pelan. “Benar. Akibat terjadi penyerangan dari sekelompok teroris pada dini hari yang langsung berpusat ke area yang ditempati oleh Grand Duke dan Grand Duchess. Keduanya tidak selamat dari reruntuhan istana dan asap kebakaran yang sudah mengepung mereka. Sebagai gantinya, mereka berhasil menyelamatkan hidup anak bungsu mereka yang terlahir tujuh jam sebelum tragedi itu terjadi.” Marquis mendengus kecil, mata hitamnya fokus mengerjakan lembaran demi lembaran tugasnya sebagai Raja Ophelia. Hati dan kepalanya langsung mengingat segala hal yang sudah dilaluinya bersama Eugene. Pria monster yang berhasil Marquis ‘jinakkan’ untuk dijadikan kaki tangan terpercayanya sebagai Anjing Penjaga Kerajaan. Segala hal sudah mereka lalui bersama sejak masa perang besar kerajaan hingga kini. Bila dipikirkan lagi, telah banyak jasa Eugene dalam hidup Marquis dan Victorique. Sebagai abdi yang setia, Eugene selalu melindungi kerajaan dengan menjalankan segala perintah Marquis tanpa protes. Eugene menjamin keamanan yang sesuai dengan idealisme Marquis. Ophelia tidak akan menjadi kerajaan yang ‘aman’ bila tidak ada campur tangan Eugene. Kini, Eugene tiada bersama istrinya. Tidak ada lagi satu-satunya sosok yang disebut sahabat oleh Marquis, meski Marquis pun tidak pernah menyebutkannya. Di sisi lain, bagaikan sebuah takdir yang mulai berputar, kematian Eugene dan Ellie berada di malam yang sama dengan kelahiran calon Ratu Ophelia pilihan Tuhan. Benar-benar sebuah kebetulan yang cukup mengerikan. Bila Marquis boleh jujur, sampai detik ini ia masih menganggap segala pesan yang didapat oleh Kepala Uskup St. Church sebagai sebuah omong kosong. Namun kini, Marquis bahkan tidak bisa mendengus geli lagi setelah mendengar kabar kematian Eugene dan Ellie. Marquis berhenti menulis, terdiam menatap lembar kerjanya. Pergerakan yang spontan membuat Ronald siaga untuk meladeni segala ucapan sang Raja. “Ada masalah, Yang Mulia?” tanya Ronald. “Aku akan dianggap sebagai Raja gila oleh mereka,” tutur Marquis ambigu membuat Ronald mengernyit. “Apa maksud anda?” Marquis menyeringai diikuti dengus geli. Punggungnya mundur bersandar pada kursi, kini sepenuhnya membalas tatapan Ronald. “Tidakkah kau mengingat surat perintah yang kukirimkan beberapa hari lalu kepada Eugene?” Ronald mengerjap bingung. “Ya, lalu?” “Isi surat itu adalah perintah untuk datang ke sini dengan membawa putri bungsu mereka.” Bola mata Ronald spontan membulat syok. “Yang Mulia, jangan-jangan anda!” “Iya, jangan-jangan itulah,” Marquis menyeringai lebar, semakin menciptakan raut syok di wajah Ronald, “aku mencantumkan inti dari pesan Uskup tua itu. Surat itu pasti sampai keesokan harinya setelah kukirimkan. Maka, sudah jelas yang menerima dan membacanya adalah mereka, si kembar.” Ronald hanya bisa terdiam syok di hadapan Marquis. Terbayang dalam kepalanya bagaimana reaksi Arthur dan Alice setelah membaca surat perintah dari Marquis di hari pemakaman orang tua mereka. Ia setuju dengan anggapan Marquis. Si kembar itu pasti sudah membenci Marquis setengah mati dan menganggap Marquis telah hilang kewarasan. Maksud Ronald, orang macam apa yang mengirim surat lamaran kepada bayi baru lahir di hari orang tua si bayi dimakamkan? “Lalu, bagaimana kelanjutan dari surat tersebut, Yang Mulia?” tanya Ronald akhirnya memecah keheningan. “Tidak ada balasan sampai detik ini,” dengus Marquis seraya merenggangkan badannya, “tentu saja mereka tidak membalas. Surat itu pasti dikira lelucon yang tidak lucu.” “Kalau begitu, apa yang akan anda lakukan selanjutnya?” Marquis bertopang rahang, menatap meja kerjanya tanpa minat. “Victorique menyetujui omong kosong ini, jadi aku harus melakukannya.” “Bagaimana rencana anda? Tuan Arthur dan Nona Alicia memiliki temperamental yang mudah meledak,” Ronald mengembuskan napas berat, “saya yakin mereka akan melakukan hal yang lebih lancang lagi kepada anda.” Marquis terkekeh riang. “Ketika pertama kali bertemu denganku, mereka tidak memberikan penghormatan. Di usia delapan tahun, mereka terang-terangan memanggilku Raja Bodoh, dan di usia sepuluh tahun mereka semakin bertingkah tidak hormat padaku. Apa yang kau harapkan lagi, Ronald?” Hembusan napas Ronald semakin lelah. “Itulah masalahnya, Yang Mulia. Anda juga terlalu longgar pada mereka. Sekarang setelah Tuan Eugene tiada, anda akan berurusan dengan Tuan Arthur selaku penerus beliau. Tolong bersikap lebih tegas dan berwibawa selayaknya Raja.” Marquis hanya mengangguk-angguk santai seraya melanjutkan pekerjaannya kembali. Sudah jelas semua celotehan Ronald hanya sekedar numpang lewat di gendang telinga dan otak Marquis. Menjadi Penasihat Raja selama dua puluh satu tahun sudah membuat Ronald memahami sifat Marquis luar dan dalam. “Bagaimana kabar Victorique dan Ian hari ini?” tanya Marquis di sela-sela pekerjaannya. “Yang Mulia Ratu menghabiskan waktunya di perpustakaan sembari menunggu Pangeran menyelesaikan tiap kelasnya hari ini. Mereka makan siang dan belajar di perpustakaan bersama seperti biasanya,” jawab Ronald lancar. Marquis mengangguk takzim. “Bagaimana dengan kelas Ian?” “Memuaskan seperti biasa, Yang Mulia. Pangeran sudah bisa menghitung penjumlahan dan pengurangan, membaca buku, dan menulis dua halaman penuh.” Marquis menyeringai bangga. “Tentu saja memuaskan. Dia anakku dan Victorique.” Ronald mengangguk. “Kejeniusannya tidak diragukan lagi, padahal Pangeran baru berusia empat tahun.” “Tentu,” Marquis meletakkan pena ke kotak tinta, tugasnya telah rampung, “firasatku mengatakan satu-satunya pasangan yang cocok baginya adalah putri kecil Eugene.” *** “Mereka… mereka meninggal?” cicit Victorique dengan mimik amat terkejut kepada pelayan pribadinya, Liora. Tubuhnya spontan berdiri kaku hingga sempat menyenggol meja berisi tumpukan buku bacaannya. Mengakibatkan beberapa buku terjatuh begitu saja ke lantai. Liora mengangguk. “Benar, Yang Mulia. Hari ini kabar duka itu sudah resmi beredar luas di surat kabar dan Alterius pun menutup seluruh akses masuknya demi memberi penghormatan kepada Grand Duke dan Grand Duchess Gilbert.” Liora menyerahkan sebuah surat kabar kepada Victorique yang semakin terpaku. Kepala Victorique menoleh kaku ke surat kabar di tangan Liora. Dengan berita utama di halaman pertamanya berjudul “Grand Duke dan Grand Duchess of Alterius Tutup Usia Akibat Penyerangan Sekelompok Teroris” membuat Victorique semakin tertampar oleh tangan tak kasat mata. Benar-benar tak bisa dipercaya secepat inilah Victorique kehilangan sahabatnya. Padahal seminggu yang lalu Victorique sempat bertukar kabar melalui surat dengan Ellie. Victorique memberi semangat dan doa kepada Ellie yang akan menghadapi kelahiran anak bungsunya. Ellie membalas suratnya dengan memberi salam kepada Ian dan mengaku ingin segera kembali bertemu dengan Ian. Padahal Victorique sudah menantikan perjumpaan itu. Tubuh mungil Victorique melemas, spontan jatuh ke lantai membuat Liora sigap menghampirinya. Kepala Victorique menunduk, tatapannya kosong menatap lantai. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat diikuti sensasi panas mulai terasa di kedua mata hitamnya, siap meneteskan air mata. “Yang Mulia? Anda tidak apa-apa? Ada yang sakit?” tanya Liora cemas melihat sang Ratu tidak bersuara sama sekali. Di detik berikutnya, Victorique menjerit histeris lengkap dengan air mata turun deras membasahi kedua pipinya. Sontak membuat Liora terlonjak kaget, semakin cemas. Tidak pernah melihat sang Ratu menangis sekeras ini. Bahkan jerit histeris Victorique kali ini lebih parah dari jeritannya saat melahirkan Ian. Ruang perpustakaan yang lengang langsung dipenuhi oleh gema tangis histeris Victorique dan membuat beberapa pelayan berlari masuk penuh kepanikan. Mereka segera menghampiri sang Ratu dan Liora yang masih terduduk di lantai. Menjadikan perpustakaan semakin gaduh, namun Victorique tidak peduli. Tangisannya semakin keras tak terkendali. “Yang Mulia, tolong tenangkan diri anda,” ujar Liora mulai kebingungan sendiri. Victorique tidak mengindahkannya. Ia menelungkupkan badannya hingga keningnya bersentuhan dengan lantai. Sementara kedua lengannya saling menekuk di lantai, menyembunyikan kepalanya. Victorique tidak memedulikan para pelayan di sekitarnya. Yang ia tahu bahwa sekarang dadanya terasa sangat sakit hingga terasa akan meledak. Tidak kuasa Victorique merasakannya. “Victorique.” Para pelayan di sekitar Victorique tersentak kaget. Buru-buru mereka bangkit berdiri dan berbaris menyamping memberikan jalan kepada Marquis yang tiba-tiba muncul. Sang Raja mengamati sang Ratu yang tidak menggubris panggilannya. Menghela napas berat, Marquis melangkah menghampiri Victorique yang sangat rapuh dengan jerit tangisannya. Marquis berjongkok di hadapan Victorique. Tangannya menyentuh kepala wanita itu, mengelusnya lembut. “Victorique, jangan seperti ini.” “Ellie…,” cicit Victorique di sela tangisannya, “Ellie sudah pergi.” “Jangan menangis seperti ini, tenangkan dirimu.” Secara tiba-tiba punggung Victorique menegak membuatnya bertatapan langsung dengan suaminya. Tampak jelas betapa kacaunya wajah Victorique senang, penuh kesedihan dan amarah. “Kau tahu ini, Marquis? Kau tahu kabar ini dan tidak memberitahuku!” “Ya, aku tahu tadi—“ Victorique beringsut maju melayangkan pukulan ke d**a bidang Marquis dengan membabi buta membuat para pelayan maju untuk melerai, namun dihentikan oleh Marquis yang mengisyaratkan untuk membiarkan. Tanpa bersuara dan memberi penolakan, Marquis menerima seluruh pukulan Victorique yang tidak terasa sakit sama sekali. Membiarkan tubuhnya menjadi tempat pelampiasan seluruh rasa sedih dan amarah istrinya. Wajar saja. Sebelas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Victorique mengenal Ellie. Ditambah pula Ellie adalah satu-satunya sahabat Victorique di Ophele. Satu-satunya teman Victorique setelah keluar dari Hutan Kabut, kampung halamannya. Ketika pukulan Victorique melemah dan mulai memelan, Marquis menarik tubuh mungilnya ke dalam pelukannya. Penuh kasih sayang ia mengelus rambut hitam istrinya. “Dia tidak akan senang melihatmu menangis seperti tadi.” ujarnya lembut. Victorique meremas pakaian Marquis, geram keluar dari bibirnya karena menahan isak. “Kapan… hiks, kapan mereka pergi?” “Empat hari lalu.” “Bagaimana dengan anak bungsu mereka?” “Dia lahir jam tujuh malam. Penyerangan itu terjadi jam dua dini hari,” Marquis mengembuskan napas pelan, mulai merasa ada nyeri yang mencubit hatinya, “Eugene dan Ellie berhasil melindungi putri kecil mereka.” Victorique tersentak. Rasa dingin langsung menjalar di sekujur tubuhnya. Semakin tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Victorique mendorong tubuh Marquis, sedikit memberi jarak di antara tubuh mereka. Kepalanya mendongak untuk menatap Marquis yang berwajah datar. “Putri kecil katamu?” beo Victorique dengan mata membulat. “Ya, putri kecil. Anak bungsu mereka terlahir perempuan,” jawab Marquis lugas membuat Victorique terpaku. Victorique menggeleng kecil dengan tempo cepat. “Marquis, tidak mungkin. Marquis—“ Marquis menyentuh kedua lengan atas Victorique, menatapnya penuh keseriusan pertanda ia tidak sedang bercanda. “Elizabeth de Gilbert telah lahir. Calon Ratu kedelapan pilihan Tuhan sesuai kata Uskup tua itu.” Victorique bungkam dalam sekejap seolah terhipnotis. Ucapan Kepala Uskup yang dianggapnya omong kosong tiba-tiba menjadi kenyataan. Victorique memang memberi persetujuan kepada pihak Gereja terkait kabar Tuhan memilih Ratu kedelapan Ophelia. Ia bahkan tidak memberikan protes maupun pertanyaan seolah-olah sangat mempercayainya. Padahal sesungguhnya tidak sama sekali. Victorique hanya berusaha menghindari perseteruan dengan pihak Gereja. Victorique mempertaruhkan nasib dengan mendoakan anak bungsu Gilbert yang akan lahir berjenis kelamin laki-laki. Bukan karena ia tidak setuju putranya menikahi putri Ellie, ia tidak ingin putri Ellie mengemban derita menjadi Ratu Ophelia. Pertaruhan Victorique sia-sia. Tuhan sedang puas mengoloknya sekarang. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD