“Bagus sekali, Yang Mulia. Dengan begini lusa pun anda sudah bisa mulai belajar menghitung perkalian dan pembagian,” ujar Lady Evergarden bangga melihat hasil pekerjaan murid kecilnya.
Sementara sang murid kecil hanya menganggukkan kepala tak minat tanpa menatap gurunya. Perhatiannya tertuju ke luar jendela, menatap area taman labirin yang tertutup sempurna oleh butiran salju. Hamparan hijau itu berganti menjadi hamparan putih bersih yang menyesakkan bagi mata si murid kecil. Ia tidak senang pengalih perhatiannya dari seluruh kelas yang membosankan berganti warna menjadi putih, tak berwarna apa pun.
Si murid itu memaksakan kepalanya untuk menoleh saat Lady Evergarden kembali bersuara. Tidak ingin bersikap tidak sopan meskipun ia bebas melakukannya.
“Baiklah, Yang Mulia. Untuk hari ini pekerjaan rumah anda adalah mencoba menghafal perhitungan perkalian dari angka satu sampai sepuluh. Saya akan melihat perkembangannya di jadwal pelajaran Matematika berikutnya,” tutur Lady Evergarden seraya menenteng koper berisi buku-buku pelajaran penunjang, “saya undur diri dulu, Yang Mulia Pangeran Ivander.”
Bocah lelaki berstatus Pangeran dengan nama Ivander itu pun mengangguk. “Terima kasih pelajarannya untuk hari ini, Lady Evergarden.”
Lady Evergarden keluar dari ruangan meninggalkan Ivander sendirian. Seorang pelayan langsung masuk membawakan teh dan cemilan Ivander. Kebiasaannya setiap selesai merampungkan jadwal kelasnya. Untuk hari ini, pelajaran Matematika Lady Evergarden adalah jadwal kelas terakhir. Ivander bisa beristirahat sejenak. Hanya sejenak karena selanjutnya ia harus mengikuti jadwal etika bersama Ronald.
Sebuah rutinitas yang bisa dibilang cukup keterlaluan bagi orang biasa, namun tidak bagi para bangsawan terutama keluarga kerajaan.
Ivander de Bloich, biasa dipanggil Ian. Seorang pangeran pertama yang langsung dinobatkan menjadi Pangeran Mahkota sesaat setelah dilahirkan. Tahun ini usianya baru menginjak empat tahun. Usia minimal bagi keturunan bangsawan untuk mulai mengenyam pendidikan. Berbeda dari anak-anak seusianya, Ian tergolong jenius karena dapat menyerap materi dan mengimplementasikannya dengan sempurna dalam waktu singkat.
Tidak hanya dari segi akademik, dari segi karakter pun Ian menempatkan posisinya lagi ke golongan yang berbeda. Di usia empat tahun karakter kekanakan dan sangat periang masih melekat erat, maka berbeda dengan Ian. Ian sangat pendiam, tidak menunjukkan emosi sama sekali, dan tidak ada kekanakannya sama sekali. Dia cenderung cepat mendewasa dengan bersikap tak berperasaan seperti ayahnya dan tertutup seperti ibunya.
Sejujurnya pun Ian sudah muak mengikuti jadwal kelas rutinnya. Tanpa ada yang tahu, Ian sudah menyerap seluruh materi yang ada. Bahkan materi tersulit yang hanya bisa dipecahkan oleh professor sekalipun sudah mampu dia rampungkan. Ian mulai tidak tahan untuk menahan diri tiap kali mengikuti sesi pembelajaran dengan guru-gurunya. Rasanya membosankan mengerjakan materi-materi mudah itu setiap hari.
Ian hanya ingin bersantai menunggu dirinya menginjak usia tujuh tahun agar dapat mulai menggeluti latihan berpedang serta bela diri. Tentu saja tidak mungkin bisa begitu. Ayahnya tidak akan pernah mengizinkan Ian bermalas-malasan.
Ketika Ian selesai menghabiskan secangkir teh, Ronald memasuki ruangan. Penasihat Raja itu segera memberikan hormat sebelum duduk di sofa berhadapan dengan Ian. “Selamat siang, Yang Mulia. Hari ini kita akan kembali mempelajari tata krama.”
“Di mana ibu?” tanya Ian datar membuat Ronald sedikit mengernyit menatapnya. Sebuah perilaku yang tidak biasa dilakukan oleh Ian.
“Yang Mulia Ratu berada di perpustakaan istana Ratu seperti biasa, Yang Mulia. Beliau menunggu anda selepas jadwal kelas hari ini selesai,” jawab Ronald lancar.
Ian mendengus pelan seolah tidak berminat berbicara dengan Ronald. “Lalu, ayah? Adik?”
Kernyitan pada kening Ronald semakin bertambah melihat Ian mengulur waktu. Biasanya Ian tidak akan berbasa-basi menanyakan kabar keluarganya sendiri. Selama ini pun Ian menunjukkan kesan bagai tidak peduli, terutama terhadap adiknya. Namun kini melihatnya tiba-tiba menanyakan kabar mereka membuat Ronald kebingungan.
Suatu hal yang cukup aneh melihat orang yang tidak memedulikan keluarga tiba-tiba menanyakan kabar mereka, bukan?
“Yang Mulia Raja bekerja di ruang kerjanya, sementara Pangeran bermain di kamarnya ditemani pelayan. Mereka baik-baik saja,” jawab Ronald setelah berhasil menguasai rasa bingungnya.
“Bermain, huh?” gumam Ian pelan diikuti seringai kecil, jeda sejenak sebelum kembali bersuara, “baiklah, kita mulai saja kelas etikanya.”
Bersikap seolah tidak tahu-menahu bahwa betapa tidak nyamannya posisi Ronald sekarang di hadapan Ian. Wajah Ronald sedikit mengeruh was-was lengkap dengan bulir-bulir keringat membasahi kening. Ian tahu, namun bersikap seolah tak tahu. Cukup menikmati ekspresi was-was terpasang di muka lawan bicaranya.
Ronald pun tahu sebenarnya Ian menyadari ketidaknyamanannya.
Sudah menjadi rahasia umum di istana bahwa sang Putra Mahkota merupakan cetakan sempurna sang Raja Ophelia. Sama-sama bengisnya. Sama-sama berhati dinginnya. Sama-sama pula ketiraniannya.
Ronald berdehem keras seraya membuka buku catatannya. “Kemarin saya sudah menjelaskan tentang etika di pesta sosial. Yang Mulia sudah memahami dan mampu mempraktikkannya dengan sempurna. Untuk hari ini saya tidak akan menjelaskan materi apa-apa.”
Pernyataan Ronald membuat alis Ian naik sebelah. “Apa maksudmu?”
“Hari ini saya akan memberitakan pengumuman besar kepada anda.”
“Pengumuman?”
Ronald kembali berdehem diiringi anggukan kepala. Pria itu tidak langsung menjawab, menarik napas sedalam-dalamnya seolah sedang memikul beban berat di pundaknya. Gestur tak biasa itu tentu menarik perhatian Ian yang selama ini tidak tertarik pada apa pun.
“Pertunangan anda telah ditentukan, Yang Mulia.”
Seringai di wajah Ian spontan menghilang sempurna. Mata merahnya sedikit membulat menatap mimik serius Ronald. “Apa katamu?”
“Pertunangan anda telah ditentukan.”
“Huh?!” sembur Ian naik pitam bercampur kaget. Mata merahnya semakin membulat sempurna, tidak habis pikir. “Pertunangan siapa?!”
Reaksi yang wajar, Ronald paham. Jangankan anak kecil berusia empat tahun, orang dewasa juga akan bereaksi sama seperti Ian.
“Pertunangan anda, Yang Mulia,” jawab Ronald lugas, “calon tunangan anda telah ditentukan oleh pihak Gereja St. Church empat hari lalu. Mungkin lebih tepatnya adalah ditentukan oleh Tuhan Maha Pengasih yang menurunkan perintah melalui Kepala Uskup St. Church.”
Ian geleng-geleng kepala disertai dengus geli, semakin tidak habis pikir. “Omong kosong macam apa yang kau bualkan sekarang, Ronald? Itu tidak lucu sama sekali.”
“Saya tidak sedang bercanda,” tandas Ronald semakin serius, “empat hari lalu diadakan pertemuan tertutup di gereja St. Church atas permintaan Kepala Uskup Benedictus. Beliau menyampaikan pesan mimpi yang berisi perintah dan petunjuk dari Tuhan terkait calon Ratu Ophelia kedelapan pilihan-Nya.
“Pertemuan itu dihadiri Yang Mulia Raja dan Ratu, seluruh instansi pemerintah kerajaan, seluruh pastur serta suster, dan tentu Kepala Uskup. Pada awalnya tidak ada pula yang mempercayai hal ini sehingga banyak menimbulkan pro dan kontra—“
“Mempertunangkan bocah empat tahun bukankah terdengar keterlaluan,” decak Ian dengan sedikit geram kesal, memotong penjelasan Ronald yang menurutnya semakin terdengar konyol.
“Sebenarnya hal ini wajar-wajar saja. Para bangsawan akan bertunangan di usia belia apabila memang menemukan pasangan yang ‘cocok’.”
Ian memijat pelipisnya, mulai dilanda pusing. “Lalu, hal konyol apa lagi yang terjadi? Bagaimana bisa ayah dan ibu membiarkannya terjadi?”
“Para pejabat mengungkapkan protesnya hingga terlibat sedikit perdebatan alot dengan Kepala Uskup. Yang Mulia Raja tidak memberi komentar apa-apa, seperti biasa. Jadi, yang memberikan komentar dan persetujuannya adalah Yang Mulia Ratu.”
Ian kembali melotot tidak percaya. “I—Ibu menyetujui hal konyol ini?”
“Benar,” Ronald berdehem, “dan tolong Yang Mulia untuk berhenti menyebutnya sebagai hal konyol, terutama di hadapan Yang Mulia Raja dan Ratu beserta seluruh instansi—“
Alis Ian spontan menaut, murka. “Tentu saja konyol, Ronald. Kenapa aku harus bertunangan dengan perempuan yang tidak jelas asal-usulnya hanya karena itu perintah dari Tuhan? Bahkan jika memang ibu menyetujuinya, aku tidak akan berpartisipasi.”
“Yang Mulia, perempuan pilihan itu bukanlah perempuan sembarangan.”
Ian mendengus kasar. “Apa? Bahkan Kepala Uskup itu mendapat namanya juga?”
Ronald mengangguk. “Elizabeth de Gilbert.”
Terjadi jeda setelah Ronald menyebutkan nama calon tunangan Ian tersebut. Wajah mengeruh Ian sedikit mengendur. Tampaknya, terkena sedikit rasa terkejut setelah mengetahui calon tunangannya berasal dari keluarga Gilbert, Anjing Penjaga Kerajaan.
Ian mengerjap beberapa kali. “Gilbert katamu?”
“Ya, Gilbert. Elizabeth de Gilbert,” Ronald menghela napas sejenak, “anda mengenal keluarga Gilbert, bukan?”
Ian mendengus seraya melipat kaki dan bersedekap, tidak acuh membuang muka dari Ronald. “Tentu saja. Si Anjing Penjaga.”
Ian sangat mengingat ketika ia mengikuti kelas etika Ronald pertama kali, keluarga bangsawan pertama yang diterangkan oleh Ronald adalah keluarga Gilbert. Jadwal etika pertama itu dimulai dengan hanya diisi penjelasan panjang lebar tentang keluarga Gilbert. Padahal bila dipikir-pikir, seharusnya Ronald menjelaskan tentang keluarga kerajaan terlebih dahulu bukannya malah menjelaskan keluarga bangsawan luar istana kerajaan.
Tapi saat itu Ian mulai memahaminya sendiri betapa besarnya pengaruh yang dimiliki keluarga Gilbert. Hanya dengan bertemu Eugene de Gilbert satu kali sudah membuat Ian paham sampai ke akar-akarnya.
Kini mendengar dari mulut Ronald bahwa Ian akan ditunangkan dengan putri keluarga Gilbert bagai menginjak ranjau di tengah medan perang.
“Jadi, bagaimana karakteristik putri Gilbert itu?” tanya Ian pada akhirnya setelah jeda cukup lama.
Tanpa sadar, kaki kanan Ronald bergerak tidak nyaman di lantai. “Nona Elizabeth sangat kecil dan manis.”
“Aku lebih menanyakan wataknya.”
“Mudah menangis dan merengek.”
Alis Ian naik sebelah. “Tipikal perempuan merepotkan, huh?”
“Sangat kecil, mudah menangis, suka merengek, sangat manja, belum bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain.”
Ian mengernyit dalam-dalam. “Kenapa definisi itu seolah kau menggambarkan bayi?”
Punggung dan gestur Ronald spontan menegak sempurna, sangat kaku penuh formalitas hingga membuat Ian terkejut. “Karena Elizabeth de Gilbert masih bayi yang belum genap berusia satu minggu, Yang Mulia.”
Ivander de Bloich, baru berusia empat tahun, kepalanya sudah dirasa hendak pecah.
TO BE CONTINUED