BAB 5

1492 Words
Salah satu bar bawah tanah terbesar di Ophelia terletak di ibu kota Alterius. Lokasinya dekat dengan pelabuhan, bisa dikatakan pula termasuk ke daerah pinggir kota. Meski begitu, bar tersebut selalu ramai pengunjung dari seluruh penjuru negeri mengingat lokasinya dekat dengan pelabuhan besar Alterius. Bar yang sudah berdiri sejak masa kependudukan Eugene de Gilbert itu menjadi saksi bisu atas segala hal yang terjadi di dunia hitam Ophelia. Mungkin lebih tepatnya saksi bisu atas segala kekejam Anjing Penjaga Kerajaan. “Kau…, dasar bocah sialan! Lepaskan kami! Kau pikir kau sedang berhadapan dengan siapa, huh?!” bentak seorang pria kekar penuh murka sambil menggeliat berusaha melepaskan diri dari ikatan tali yang melilit tubuh dan kedua tangannya. Matanya melotot tajam menatap Arthur yang duduk santai di hadapannya. “Bocah b******n!!” Arthur bertopang rahang, menyeringai lebar dan kakinya yang terlipat bergerak santai. Mata hijaunya puas menatap raut murka pria-pria di hadapannya. “Sir Dalland, seharusnya kau tahu resiko mencoba bermain api dengan keluarga Gilbert.” “Keluarga Gilbert katamu?! Jangan bercanda! Keluarga sialan itu dipimpin oleh Eugene yang tidak tahu diri, suka menjilat Raja dan pengecut besar!” balas Sir Dalland membabi buta. Arthur harus berterimakasih karena ruangan pribadi di bar bawah tanah yang ditempatinya sekarang merupakan ruangan terpencil yang tidak mudah dijangkau. Ruangan kecil dan minim pencahayaan itu terletak di area paling pojok dan tersudut di bar. Ruangan utama yang menjadi singgasana penguasa dunia hitam yang tak lain tak bukan kepala keluarga Gilbert. Sejak ketiadaan Eugene, sudah sewajarnya Arthur menggantikan posisinya. Mengurus dunia hitam Ophelia yang semakin hari tampak semakin kacau. Pekerjaan yang melelahkan, jujur saja. Arthur tidak begitu suka berurusan dengan orang-orang tidak tahu diri di dunia hitam, contohnya saja Sir Dalland. “Sir Dalland, aku sudah mendengar banyak kabar tentangmu. Seorang pemasok narkoba, cerutu, dan anggur berkualitas tinggi. Namamu sudah terkenal sebagai pemasok yang handal, menimbun pundi-pundi kekayaan yang selalu mengalir deras. Jujur saja, aku merasa terhormat dapat bertemu langsung dengan anda,” ujar Arthur santai seraya menggigit pipa porselen hitam berisi bubuk cerutu yang tidak dinyalakan. Sir Dalland menggeram murka. “Bocah, jangan main-main denganku—“ “Tapi, sayang sekali, kau masih tidak pantas,” tandas Arthur datar membuat Sir Dalland tersentak melihat perubahan raut di wajah bocah 12 tahun itu, “memang benar, kepala keluarga Gilbert adalah Eugene de Gilbert. Tapi, itu dahulu, kau tahu?” Mata Sir Dalland beserta pria-pria lain bernasib sama di sampingnya serentak membulatkan mata. “Apa katamu?” ceplos Sir Dalland begitu saja, kembali mengundang seringai terpasang di wajah Arthur. Arthur berhenti menggigit pipa porselen sambil mengganti posisi lipatan kakinya. “Eugene de Gilbert sudah tiada. Maka, akulah yang menggantikannya, para orang-orang tua sekalian. Ini pekerjaan pertamaku sebagai penguasa dunia hitam, tak kusangka akan berurusan dengan kalian semua. Yeah, terserahlah.” Pernyataan Arthur membuat kelima pria di hadapannya terpaku kaku tak percaya. Lima pria tua yang masing-masingnya memiliki kuasa di bidangnya masing-masing. Mereka sudah lama menggeluti beragam aktivitas gelap di dunia hitam, secara otomatis sudah sering berurusan dengan Eugene. Mereka tahu betapa kejamnya Eugene selama menjadi penguasa, namun tidak memberi acuh sama sekali dengan melakukan tindakan curang dari belakang punggung Eugene. Bagaimanapun, Sir Dalland beserta empat pria lainnya merasa usaha mereka tidak berbuah sia-sia. Mereka berhasil mengembangkan beragam rencana gelap mereka tanpa terendus oleh Eugene. Setelah sekian tahun berlalu, tidak ada yang pernah menyangka mereka akan menuai apa yang mereka tabur akibat campur tangan penerus Gilbert yang terlambat mereka ketahui. Mereka kecolongan. “Kau…! Mana mungkin kau penerus Gilbert!” desis Johan Galileo tajam, “mana mungkin pula monster Gilbert itu tiada. Kau tidak bisa membodohi kami, bocah!” Arthur mendengus geli, menyeringai semakin lebar. “Lucu sekali, Sir Johan. Kau adalah pemilik gedung teater besar di Ophele. Kekayaanmu didapat dari pertunjukkan opera dan beragam pertunjukkan seni. Tidak kusangka sedangkal inilah pemikiranmu.” “Hentikan omong kosong—“ “Johan Galileo, Dalland Agnis, Hamilton Peter, Denis von James, dan Anthonius Gerald. Dengan beragam perbuatan illegal yang dilakukan tanpa seizin Eugene de Gilbert selama sekian tahun, Arthuria de Gilbert menjatuhkan vonis hukuman penggal.” Penjatuhan vonis Arthur membuat kelima pria tersebut ternganga syok. Mata mereka membulat sempurna hingga seolah akan terlepas dari tempatnya hanya karena menatap wajah iblis Arthur. Raut murka penuh keberanian menghilang sempurna dari wajah mereka. Tergantikan oleh raut syok penuh ketakutan. Padahal hanya ada seorang anak laki-laki berusia 12 tahun di hadapan mereka. Jauh lebih muda. Namun jauh lebih menakutkan. Arthur tersenyum puas. Dia bangkit berdiri, meraih tongkatnya dan kembali menggigit pipa porselen di ujung bibirnya. Arthur melangkah melewati kelima pria tua yang masih terpaku lemas di tempat, mengamatinya tanpa berkedip. Masih tidak bisa mempercayai kenyataan bahwa hidup mereka kandas di tangan seorang bocah. “Omong kosong, dasar bocah t***l. Kau kira…, kau kira aku akan menyerah dan mati konyol di sini, huh,” gumam Sir Dalland bergetar karena sensasi dingin yang tiba-tiba menjalar memenuhi tubuhnya. Dalam waktu sepersekian detik, kedua tangan Sir Dalland yang terikat tiba-tiba terlepas bebas. Pria kekar itu dengan mudah melepas ikatan di dadanya, kini terbebas dari kekangan. Tanpa menunggu waktu sama sekali, Sir Dalland merogoh sebuah pistol yang sedari awal tersimpan di balik jasnya. Ia mantap mengacungkannya ke arah Arthur yang sudah sampai di ambang pintu ruangan. Napas Sir Dalland memburu, raut senang terpampang di wajahnya yang penuh gurat tua. Tak lupa juga tawa terkekeh puas karena berhasil membebaskan diri. “Terlalu cepat seratus tahun bagimu untuk melawanku, dasar bocah tidak tahu diri. Inilah akibatnya bila kau mencoba melawanku!” “Hei, Dalland! Lepaskan kami juga!” ujar Anthonius geram, kesal sendiri melihat tindakan nekad Sir Dalland. “Kau tidak akan bisa melawannya, bodoh! Dia adalah Gilbert!” Sir Dalland mendengus remeh. “Bahkan jika memang dia adalah Gilbert, apa yang bisa dilakukan oleh bocah kecil sepertinya, huh? Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memerintah orang lain.” “Bodoh! Kau tidak tahu—“ Arthur terkekeh keras, mengejutkan seisi ruangan. “Benar juga, ya. Aku harus memberikan kesan bagus di hari pertamaku bekerja.” Tidak ada yang bisa menangkap pergerakannya kala Arthur berpindah posisi ke belakang punggung Sir Dalland. Bahkan bagi mereka yang tidak berkedip sekali pun tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja kedua tangan Sir Dalland yang mengacungkan pistol terpotong dan jatuh ke lantai begitu saja. Selanjutnya, Sir Dalland menjerit histeris penuh kesakitan. Jatuh berlutut di lantai, menatap ngeri kedua tangannya yang telah buntung. Arthur yang berdiri di belakang Sir Dalland pun menyeringai puas. Laki-laki berambut hitam itu kembali melangkah menuju pintu, hendak keluar. Tidak memedulikan bau anyir darah dan jerit histeris Sir Dalland. Arthur tetap melangkah dengan membawa sebuah tongkat dan menggigit rokok pipa porselen berwarna hitam. “Sudah kubilang, bukan?” Arthur tersenyum lebar menatap pintu, “jangan bermain-main dengan keluarga Gilbert.” *** Arthur menyandarkan punggungnya di kursi. Mata hijaunya menatap tidak minat pada pemandangan di balik jendela kereta kuda. Beberapa kali bibirnya mengeluarkan decak kesal karena kereta kuda yang dinaikinya berjalan cukup lambat sesaat setelah memasuki jalan raya utama perkotaan. Bukan hal yang aneh mengingat tahun telah berganti mengakibatkan suasana perkotaan padat. Ditambah pula dengan kondisi jalanan yang cukup licin karena salju. Sungguh, Arthur benar-benar membenci musim dingin. “Ada masalah apa, tuan muda?” tanya Charles yang duduk berhadapan dengan Arthur, akhirnya menyuarakan pertanyaan. “Tampaknya kita harus membeli sebuah mobil. Merepotkan sekali menaiki kereta kuda,” tukas Arthur dengan dengus kesal, membuang muka dari jendela kereta. Charles mengerjap, cukup kaget. “Tampaknya bukan masalah besar untuk membeli sebuah mobil. Melihat kelebihannya dibandingkan kereta kuda, memang merupakan transportasi yang efisien untuk anda.” Arthur mendengus tidak minat. “Tidak ada kabar dari Raja bodoh itu?” Punggung Charles spontan menegak, posisi duduknya pun dibenarkan lebih formal. “Surat dari Yang Mulia Raja masih datang, tuan muda. Menurut saya, anda harus memeriksanya demi mengantisipasi hal-hal yang memang penting dalam surat-surat tersebut.” “Aku tidak akan membacanya. Musnahkan surat-surat bodoh itu.” “Tapi tuan muda, bagaimana jika surat-surat itu berisi perintah penting terkait tugas anda sebagai Anjing Penjaga Kerajaan? Anda tidak bisa terus-menerus mengabaikannya, tidak bijaksana sama sekali.” “Tidak ada peristiwa apa pun di Ophelia, maka tidak ada target yang ingin dia musnahkan. Surat-surat itu masih berisi perintahnya untuk membawa Elizabeth ke istana guna ditunangkan dengan Putra Mahkota,” tukas Arthur bernada sangat tajam, “tidak ada yang bisa kuberikan toleransi atas niat bodohnya.” Charles menghela napas pendek, jauh dalam lubuk hatinya ia menyetujui Arthur. “Sebenarnya, apa yang telah terjadi hingga Yang Mulia Raja berniat mempertunangkan Putra Mahkota dengan Nona Elizabeth.” “Intinya, ada campur tangan pihak Gereja St. Church. Kepala Uskup mereka mengklaim mendapat pesan mimpi berisi perintah Tuhan yang dikatakan memilih Elizabeth menjadi calon Ratu Ophelia kedelapan.” Arthur mendengus, menggigit rokok pipa porselen di ujung bibirnya. “Lucu sekali melihat gereja yang tidak pernah mencampuri urusan kepemerintahan kerajaan, tiba-tiba mengotori tangannya dalam konteks sebesar calon Ratu.” Charles geleng-geleng kepala. “Tampaknya, masalah kali ini tidak sesederhana itu, tuan muda. Jika berjalan seperti itu, maka sudah pasti ada berapa banyak bangsawan yang menentangnya. Musuh semakin bertambah dan was-was. Entah rencana apa lagi yang akan mereka rancang selanjutnya.” “Aku tahu,” tandas Arthur dingin, “Elizabeth tidak akan pernah bertunangan dengan Putra Mahkota kecil itu.” Sebesar itulah tekad keputusan Arthur. Dia dan Alice sama-sama menentang keras pertunangan yang ingin dijalin oleh Marquis antara Ian dan Elizabeth. Arthur sangat tahu betapa besarnya resiko menjadi anggota keluarga kerajaan. Bagi Arthur, sudah cukup Elizabeth terlahir menjadi anggota keluarga Gilbert yang bebannya sudah sangat berat. Jangan ditambah pula dengan menjadi anggota keluarga kerajaan. Arthur pun tahu sebesar apa resiko yang akan dihadapinya karena berusaha melawan takdir.  TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD