BAB 6

1657 Words
Dua minggu telah berlalu sejak surat perintah pertama Marquis kirimkan ke kediaman Gilbert. Tidak ada tanggapan apa-apa sejak surat pertama hingga surat kesepuluh. Bahkan Arthur tidak memberi tanggapan apa-apa pada surat perintah yang berisi tugasnya sebagai Anjing Penjaga. Tanpa perlu bertanya-tanya, Marquis tahu sebesar apa tekad Arthur untuk melawan perintahnya. Bagi Marquis, sikap membangkang Arthur sekarang termasuk hal yang sangat wajar. Mengingat betapa bodohnya niat Marquis mengirim surat lamaran kepada bayi yang baru lahir. Marquis juga terkesan tidak menghormati keluarga Gilbert karena mengajukan pertunangan pada bayi baru lahir tepat setelah Eugene dan Ellie tiada. Jujur saja, Marquis bisa saja tidak mengikuti kemauan gereja. Mengabaikan pesan yang baginya hanya sebatas omong kosong dengan tidak mempertunangkan Ian dan Elizabeth. Marquis pun yakin Ian tidak akan pernah menyetujuinya. Hanya saja masalahnya sekarang adalah Victorique. Victorique menyatakan persetujuannya di malam Kepala Uskup mengumumkan pesan mimpi tersebut. Ah, kepala Marquis terasa akan meledak sekarang juga. “Ada masalah, Yang Mulia?” tanya Ronald yang sedari awal berdiri di sisi meja kerja Marquis. Marquis melirik Ronald sesaat sebelum mengembuskan napas. “Kau sudah memberitahu bocah itu?” tanyanya datar. “Sudah, satu minggu yang lalu.” “Reaksinya?” Ronald tersenyum canggung. “Tidak berjalan lancar, Yang Mulia.” “Tentu saja tidak,” dengus Marquis cukup kasar, dia meletakkan pena di kotak tinta dan menyandarkan punggung ke kursi, “siapa yang ingin bertunangan dengan bayi baru lahir.” “Bagi saya pribadi, saya menyarankan pertunangan dilakukan saat Nona Elizabeth berusia tujuh atau delapan tahun. Saat itu Pangeran akan berusia sebelas atau dua belas tahun. Menjalin pertunangan di antara keduanya akan menjadi hal yang wajar terjadi daripada mempertunangkan keduanya sekarang.” “Itulah rencanaku sesungguhnya,” Marquis bersedekap dan melipat kaki, “tapi, sama saja memberi waktu bagi para tikus untuk merancang rencana merepotkan lagi. Kau ingat alasanku menjadikannya Pangeran Mahkota tepat setelah dia lahir?” Ronald mengerjap pelan. “Demi menghindari konflik yang tidak diinginkan.” Marquis memejamkan kelopak mata, “Ian adalah keajaiban yang terjadi setelah delapan tahun berlalu sejak perang kudeta pimpinan bocah Weasley. Victorique mengalami keguguran dua kali sebelum berhasil menjaga dan melahirkan Ian. Aku langsung menunjuknya menjadi Pangeran Mahkota, bahkan jika yang terlahir seorang perempuan maka akan tetap kutunjuk menjadi penerus tahta.” “Yang Mulia menghindari konflik terkait penerus tahta dengan langsung menobatkan Pangeran Ivander. Konflik terkait penerus tahta terselesaikan, maka sekarang masalah beralih ke calon Ratu. Menurut pandangan saya, para bangsawan akan mulai berlomba-lomba untuk turun tangan dalam pemilihan calon Ratu. Terlebih setelah Kepala Uskup Benedictus mengumumkan Nona Elizabeth dipilih langsung oleh Tuhan. Suasana mulai menegang.” Marquis hanya mengangguk. Matanya masih terpejam seolah sedang tertidur. “Apakah Yang Mulia menduga para bangsawan mulai berencana mengusik kedudukan calon Ratu?” “Itulah niat mereka setelah Ian lahir, Ronald,” dengus Marquis tidak suka seraya membuka kelopak mata, menunjukkan mata hitamnya, “selama empat tahun ini tidak ada yang bergerak karena merasa terlalu cepat untuk bertindak. Tidak ada yang menduga hal seperti ini akan terjadi, kau tahu. Cepat atau lambat mereka akan mulai bergerak mendekat, mengusik kedamaian di sini.” Mata Ronald sedikit membulat, mulai menyadari niat dan tujuan Marquis. “Maka, untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan dengan mereka, Yang Mulia ingin Pangeran dan Nona Elizabeth segera bertunangan?” Marquis menyeringai lebar sebagai jawaban dari pertanyaan Ronald. Tidak ada sepatah kata, hanya sebuah seringai yang terkesan ambigu. Namun bagi Ronald, seringai itu adalah jawaban mutlak yang sangat jelas. Ronald membenarkan letak kacamata di pangkal hidungnya seraya berdehem untuk menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya. “Tanpa mengurangi rasa hormat saya, izinkan saya menanyakan alasan Yang Mulia mempertunangkan Pangeran dan Nona Elizabeth. Apa faktor yang membuat Yang Mulia meyakini Nona Elizabeth-lah yang tepat untuk Pangeran?” “Karena dia seorang Gilbert.” Ronald mengerjap kaget, seketika melongo. “Maaf?” Marquis mendengus pelan. “Dia seorang Gilbert. Putri dari Eugene dan Elliana. Apa lagi yang harus kukatakan, huh?” Ronald tidak memberi tanggapan apa-apa. Lidah dan tenggorokannya terasa kelu. Seluruh kata dalam kepalanya pun tersapu bersih. Tidak menyisakan apa-apa bagi Ronald untuk memberi tanggapan. Alasan singkat Marquis membuatnya tidak berkutik, saking terkejutnya. “Aku pun tidak terlalu yakin apakah Ian dan Elizabeth bisa cocok, tapi aku—“ “Yang Mulia Ratu datang menghadap!” seru ksatria yang berjaga di balik pintu ruang kerja Marquis, menginterupsi seluruh atmosfer dan pembicaraan berat antara Marquis dan Ronald. Marquis tidak menduga kedatangan Victorique sama sekali. Bukan kebiasaan Victorique pula untuk datang menghampirinya. Melihat Victorique berdiri di ambang pintu ruang kerja membuat Marquis sedikit terpacu gugup sendiri. Kepalanya langsung dipenuhi oleh beragam pertanyaan bercampur rasa bingung. Victorique datang sendirian. Mengenakan gaun berwarna hitam dan bando pita berenda berwarna senada seperti biasa. Ibu dua anak itu duduk di sofa tanpa menunggu tanggapan Marquis. Aura dingin dan wajah datarnya yang tidak pernah berubah masih menjadi hal menakutkan bagi Ronald sehingga Ronald langsung pamit undur diri dengan dalih membawakan teh dan camilan untuk Victorique. “Jarang sekali melihatmu menghampiriku duluan, Victorique,” ujar Marquis santai setelah duduk berhadapan dengan istrinya di sofa, “ada masalah?” “Batalkan pertunangan antara Ian dan Elizabeth,” ujar Victorique tanpa basa-basi sama sekali. Marquis tidak terkejut sama sekali. Ia melipat kaki dan bersedekap. “Alasannya?” “Aku tidak ingin Ian menikahinya. Ian bisa memilih perempuan mana pun kecuali putri dari keluarga Gilbert.” Marquis tersenyum simpul. “Cukup mengejutkan. Kukira kau akan berubah pikiran lebih lama dari ini.” Victorique tidak membalas. Ia hanya menatap Marquis dengan raut datarnya, sementara Marquis masih memasang senyum simpul yang menyembunyikan banyak arti. “Sayang sekali, untuk kali ini, aku tidak akan berada di pihakmu, Nyonya de Bloich.” *** “Selamat datang kembali, tuan muda.” Arthur hanya berdehem untuk menanggapi sambutan para pelayan. Salah satu pelayan menghampirinya untuk mengambil alih mantel panjang dan topi silinder Arthur. Arthur kembali melangkah, menaiki anak tangga menuju area Grand Palace yang telah usai diperbaiki. Walaupun rasanya enggan untuk singgah ke area tersebut karena menyimpan milyaran kenangan tentang Eugene dan Ellie. Ketika Arthur sampai di lantai dua area Sun Palace, netra birunya melirik kanan-kiri memindai keadaan. Lorong-lorong panjang yang begitu sepi, titik-titik gelap yang mencekam dan titik-titik kurang terjamah. Istana Alterius yang dahulu tidak terasa begitu dingin, kini berubah menjadi istana yang sangat dingin. “Di mana Alice dan Theo?” tanya Arthur kepada Charles, belum berniat untuk beranjak. Charles berdehem pelan. “Nona Alicia mengambil tindakan untuk meluruskan sikap tuan muda Theo sejak tiga hari yang lalu. Tampaknya, masih belum selesai.” Arthur berdecak kesal, kembali melangkah. “Lagi-lagi tetap akulah yang dianggap kakak iblis oleh Theo. Benar-benar kekanakan.” Niat Arthur yang ingin ke ruang kerja berganti menjadi ruang penyiksaan bawah tanah. Decak demi decak meluncur begitu saja dari bibirnya selama kakinya melangkah menuju area bawah tanah istana. Ada pula umpatan dengan embel-embel nama adik kembarnya, Alice. Temperamennya sudah naik dan Charles memilih diam membiarkan agar tidak terkena getahnya. Arthur memahami ada rasa benci tertanam dalam diri Theo kepadanya. Theo menganggapnya sebagai kakak iblis tidak berperasaan karena sikap tegas Arthur yang suka mengintimidasi. Menjadikan terciptanya dinding pembatas tinggi di antara Arthur dan Theo dari dulu hingga sekarang. Padahal kakak iblis yang sebenarnya adalah Alice yang tidak segan-segan kepada siapa pun. Contohnya saja saat ini. Alice mengambil tindakan tegas kepada Theo setelah dua minggu berlalu sejak kematian orang tua mereka. Meluruskan perilaku bodoh Theo yang tampaknya masih tega-teganya menyalahkan Elizabeth atas kematian orang tua mereka. Arthur yang tidak pernah peduli pun baru mengetahui Alice menjebloskan Theo ke ruang penyiksaan. Fokus Arthur lebih terforsir kepada urusan tugas-tugas Grand Duke of Alterius, kewajibannya sebagai penguasa dunia hitam Ophelia, dan yang paling utama adalah perintah bodoh Marquis terkait pertunangan konyol Elizabeth. Ketika Arthur dan Charles sampai di lorong gua gelap yang berisi ruangan-ruangan, terdengar suara cambuk dari salah satu ruang penyiksaan. Arthur menghela napas berat mendengarnya. Sudah terpampang jelas dalam kepalanya bagaimana rupa Theo setelah tiga hari terjebak di ruang penyiksaan. Charles membukakan pintu, membuat Arthur kembali menghela napas berat kala mata biru dinginnya menemukan Theo tergantung oleh rantai langit-langit. Kedua tangan Theo terborgol oleh rantai langit-langit, badannya tergantung begitu saja. Sementara kedua kakinya terkekang oleh borgol seberat sepuluh kilogram yang mengakibatkan tubuhnya terpaksa menahan beban berat selama tiga hari tergantung. Theo hanya mengenakan celana pendek yang otomatis mengakibatkan seluruh tubuhnya penuh luka babak belur karena tidak terlindungi pakaian. Alice berdiri di dekat tubuh Theo. Tangannya menggenggam sebuah cambuk. Tanpa pergerakan, Alice berdiri diam dengan tangan bersedekap. Tampaknya menyadari kehadiran Arthur sehingga menunda kegiatannya terhadap Theo. “Alice, kupikir kau tidak perlu sampai sejauh ini hanya karena perilaku sepelenya,” ujar Arthur datar. “Bagaimana dengan lima tikus itu?” tanya Alice, sangat membelokkan topik. Arthur menghela napas. “Alicia.” Perubahan nada bicara Arthur membuat Alice melirik tajam. “Kau tidak tahu apa yang sudah anak manis ini katakan saat kau bertugas.” “Apa memangnya?” “Dia mengatakan dengan lantang bahwa Elizabeth membawa sial pada keluarga Gilbert.” Ucapan Alice membuat Theo sedikit bergerak. Kepalanya yang menunduk lemas, mulai bergerak mendongak perlahan. Arthur dapat menengok wajah Theo sekilas meski adik keduanya itu tidak mendongak sepenuhnya. Kondisinya sama mengerikannya dengan tubuhnya, penuh luka. “Begitukah, Theodoric?” tanya Arthur santai, tentu tidak mendapat sahutan. Arthur jadi mendengus dan menyeringai menatap Alice. “Aku tahu metode semacam ini sudah menjadi hal biasa di keluarga kita, tapi kau sedikit berlebihan. Lepaskan dia.” Alice mendengus kasar. “Bisa-bisanya kau membelanya, Arthur. Cepat atau lambat Theo harus diluruskan sebelum menjadi semakin bodoh karena memusuhi adiknya sendiri. Dia benar-benar membuatku kesal.” Arthur menyeringai lebar, bersandar pada dinding. “Kau sudah memenuhi perintahku?” “Ada lima belas bangsawan yang menentang pertunangan Pangeran kecil itu dengan Elizabeth. Berkasnya kuletakkan di ruang kerjamu,” Alice mendengus, mencambuk udara satu kali untuk melampiaskan kekesalannya, “total itu sudah lebih dari cukup untuk membungkam Raja bodoh itu. Ditambah kita maka menjadi enam belas bangsawan.” Arthur tersenyum senang. “Baguslah. Charles, siapkan berkasnya.” “Sesuai perintah anda, tuan muda.” “Theo, kau boleh keluar. Abaikan saja kakak perempuanmu di sana,” Arthur beranjak, hendak pergi, “selama ini aku membiarkan sifat perasa merepotkan itu menempel pada dirimu. Aku juga tidak pernah mempermasalahkannya. Tapi, melihat kau semakin melunjak, aku tidak akan segan-segan lagi, Theodoric.” Usai melontarkan ancamannya, Arthur dan Charles beranjak pergi dari ruang penyiksaan. Meninggalkan Alice dan Theo tanpa menunggu sahutan. Arthur tidak memedulikan kondisi babak belur Theo yang sudah pasti diakibatkan oleh Alice. Arthur juga tidak begitu berusaha membebaskan Theo dari ruangan mengerikan tersebut.       Arthur tidak memiliki banyak waktu. Ia harus menyelesaikan masalah pertunangan konyol antara Pangeran Mahkota dengan Elizabeth. Semakin cepat urusan itu terselesaikan, semakin cepat pula Arthur dapat berpindah fokus ke masalah berikutnya yang tak lain adalah masalah keluarga. Sudah cukup mereka kehilangan orang tua, jangan pula kehilangan saudara sedarah karena masalah sepele. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD