BAB 7

1372 Words
Jarum jam sudah menunjuk pukul satu dini hari, tapi mata biru Arthur belum memejam sama sekali. Bocah dua belas tahun itu hanya merebahkan diri di samping Elizabeth yang sudah terlelap setelah disusui oleh Hera pukul delapan malam. Bukannya Arthur tidak bisa tidur, dia memang bisa tidak tidur dalam dua sampai tiga hari tanpa efek samping. Biasanya jika sudah seperti itu, kepala Arthur akan tenggelam dalam banyak hal. Salah satu hal yang Arthur pikirkan adalah adik bungsunya, Elizabeth. Arthur bergerak mengubah posisi menjadi menyamping menghadap Elizabeth. Bayi perempuan mungil itu terlelap dibuai mimpi. Tidak ada rengekan sama sekali, sungguh pendiam. Satu hal yang Arthur ketahui sejak tidur bersama Elizabeth sejauh ini adalah Elizabeth bukan tipe bayi yang mudah merengek dan menangis. Bayi cantik itu hanya akan menangis selama beberapa detik kala lapar dan menggeliat kala butuh ganti pakaian. Benar-benar bayi yang tidak berisik. Jemari Arthur menjulur, menyentuh pipi bulat Elizabeth. Dielusnya perlahan merasakan betapa halus dan lembutnya kulit wajah itu. Elizabeth tidak bergeming sama sekali atas sentuhan jemari Arthur. Sangat tenang dan diam. Senyum simpul jadi tersungging di wajah Arthur. Tak perlu diragukan lagi betapa besar rasa sayang Arthur kepada Elizabeth. “Dia benar-benar mirip seperti ibu,” ujar Arthur di sela mengelus pipi Elizabeth dengan nada seakan sedang berbicara dengan seseorang, “bukankah begitu, Theodoric?” Dari kegelapan malam yang tidak disinari oleh cahaya bulan, figur hitam Theo muncul dari pintu kaca balkon kamar Arthur. Adik kedua Arthur itu hanya berdiri di ambang pintu kaca, tidak berniat masuk, hanya menatap punggung Arthur di ranjang. Tampaknya, Theo tidak terkejut melihat Arthur mengetahui keberadaannya semudah membalikkan telapak tangan. Arthur menyeringai, tidak berniat untuk menatap Theo. Dirinya masih fokus mengelus pipi gembil Elizabeth. Seolah hal itu lebih penting dibandingkan memergoki Theo menyelinap ke balkon kamarnya. Tanpa perlu bertanya-tanya, Arthur sudah tahu niat Theo menyelinap. Oleh karena itulah Arthur hanya memberi punggung pada Theo. “Tampaknya butuh waktu lama bagimu untuk membebaskan diri dari ruang penyiksaan,” celetuk Arthur kasual namun sedikit melukai harga diri Theo. “Ini jelas-jelas bukan kebiasaanmu tidur di kamar,” ujar Theo dingin dan tajam, genggamannya mengerat pada pedang. Arthur mendengus pelan. “Terserahku ingin tidur di mana, bukan?” Theo sedikit menggeram kesal. Mata birunya menatap punggung Arthur penuh kebencian. Mungkin lebih tepatnya adalah menatap gumpalan selimut yang menyelimuti bayi kecil di sebelah Arthur. Katakan saja Theo sudah menyerah untuk mengenyahkan pemikiran bodohnya hingga memutuskan untuk menyingkirkan Elizabeth yang sungguh tidak berdosa. Hal semacam itu sudah Arthur prediksi sejak meninggalkan Theo di ruang penyiksaan. “Serahkan dia,” ujar Theo terkuasai oleh amarah. “Apa yang akan kau lakukan, hm?” tanya Arthur santai, masih mengelus pipi Elizabeth. Theo menggeram. “Bukan urusanmu.” “Tentu saja urusanku. Dia adikku.”  “Jika kau berpikir aku akan menyesali perbuatanku setelah disiksa oleh Alice, kau—“ “Theodoric,” panggil Arthur dengan nada bicara berubah total membuat Theo langsung was-was, Arthur berhenti mengelus pipi Elizabeth. Tangan kirinya membentuk siku guna menyangga kepalanya, “sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak akan segan-segan, bukan? Apakah menjadi seorang kakak sangat mendorongmu untuk menjadi lebih berani padaku?” “Kau memintaku untuk membuktikan panggilan si bungsu manja tidak pantas lagi untukku dan sedang kulakukan sekarang. Serahkan dia padaku.” Arthur mendengus geli, menyeringai semakin lebar dengan menancapkan tatapannya pada wajah damai Elizabeth. “Membunuh bayi akan membuatmu tidak pantas dipanggil si bungsu manja lagi? Aku bisa memberimu tugas untuk membunuh bayi bangsawan lain.” Mata biru Theo menajam seiring aura pembunuh menguar keluar dari tubuhnya. Menyebarkan hawa dingin mencekam memenuhi kamar tidur Arthur. “Berhenti bermain-main denganku, Arthuria.” “Seharusnya kau yang berhenti bermain-main dengan temperamenku, adikku,” tandas Arthur dingin, mulai meladeni adiknya dengan lebih serius, “dua minggu kubiarkan kau dengan kata hati bodohmu itu, kukira kau bisa mengatasinya. Ternyata kau lebih bodoh dari yang kukira.” “Sekeras apa pun kau mengataiku, aku tidak akan memedulikanmu.” Arthur mendengus geli. “Bukankah selama ini kau-lah yang ingin ayah dan ibu cepat-cepat pergi ke alam baka?” Mata Theo membulat kaget. Seolah telah diatur, sekujur tubuh Theo membeku di tempat. Cengkramannya pada pedang pun sedikit melonggar karena rasa terkejut menelannya secara tiba-tiba. Theo memang tahu seberapa mengerikannya seorang Arthur, namun ia tidak menyangka Arthur sampai mengetahui segala hal kecil tentangnya. Tidak mendengar sahutan apa-apa dari Theo membuat Arthur menguap lebar, puas. “Tidak ada bantahan, Theodoric? Kau sungguh-sungguh berpikir seperti itu, huh.” Mata Theo semakin membulat dengan badan bergetar takut. “Diam kau.” “Kau kira bisa menyembunyikannya dariku, tentu saja tidak, bodoh,” dengus Arthur merendahkan, “kau sangat membenci ayah karena melatih kekuatanmu dengan cara tidak normal. Kau juga benci ibu karena ibu tidak pernah komplain atau berusaha menghentikan ayah. Topeng wajah polosmu itu tidak berguna bagi mereka, mereka pun tahu sebenarnya kau membenci mereka.” “Tutup mulutmu, sialan!” jerit Theo dengan kepala menggeleng cepat dan berwajah syok penuh ketakutan. Seluruh sudut dalam diri Theo dikuasai oleh ingatan-ingatan masa lalu bercampur perasaan benci dan perasaan sayang yang murni. Membuat Theo linglung dalam sekejap terbutakan oleh rasa takut yang mengerikan serta kebingungan. Theo tidak menampik perkataan Arthur. Semua yang dikatakan Arthur adalah fakta yang berusaha Theo pendam dan buang jauh-jauh. Benar-benar mimpi buruk bagi Theo hingga berubah menjadi rasa trauma. Tapi, Arthur melemparkannya kembali ke wajah Theo. Membuat Theo kembali mengingat semua rasa trauma yang membingungkan dan menakutkan itu. “Ayolah, Theodoric. Kau tidak bisa terus-menerus membuang fakta ini. Kau membenci ayah dan ibu, tapi berusaha memanipulasi diri dengan menganggap kau sesungguhnya menyayanginya. Seluruh rasa sayang palsumu itu mengerikan,” tukas Arthur semakin menabur garam pada diri Theo, “saking mengerikannya, kau berusaha membunuh Elizabeth dengan dalih tidak bisa menerima kematian ayah dan ibu. Seharusnya kau berterimakasih karena Elizabeth membantu mewujudkan keinginamu.” Tanpa aba-aba, Theo melesat cepat menghampiri Arthur di ranjang. Ia mengacungkan bibir pedang ke leher Arthur, siap menikam kapan saja. Wajah Theo penuh dengan peluh keringat dingin. Raut syok bercampur takut masih terpasang dengan tangan sedikit bergetar karena menerima efek trauma. Sementara, Arthur tidak bergeming sama sekali. Dia masih berbaring dengan santai memunggungi Theo. Bahkan tersenyum menatap wajah damai Elizabeth di hadapannya. Padahal ada sebuah pedang tajam siap menggorok lehernya kapan saja. “Aku tidak akan menganggap hal ini terjadi jika kau bisa menghadapi rasa trauma bodohmu itu,” celetuk Arthur kasual membuat Theo semakin mendekatkan pedangnya ke leher Arthur, “sudah kubilang, memiliki sifat perasa itu merepotkan. Seharusnya kau mematuhiku dengan berusaha membuang segala perasaan bodoh itu. Kau adalah seorang pembunuh, memiliki perasaan hanya akan merepotkanmu.” “Lalu bagaimana denganmu, huh? Kau menjadi manusia berhati dingin dan tidak bisa bermain selayaknya anak kecil lainnya karena didikan tidak normal ayah. Kau menerimanya begitu saja, tapi aku tidak,” desis Theo tajam tepat di telinga Arthur seraya menggores leher Arthur tanpa peduli. Arthur tidak bergeming dengan rasa perih akibat goresan pedang di lehernya. “Apa lagi yang bisa kukatakan? Kita lahir di keluarga Gilbert yang memiliki banyak musuh dan terpaksa menerima didikan tidak normal. Jika kau tidak bisa menerima fakta itu, seharusnya dari dulu kau sudah angkat kaki dari Gilbert.” “Kau menjijikkan.” Arthur menyeringai. Tanpa sempat dihindari oleh Theo, tangan Arthur berhasil mencengkram lehernya. Keduanya terjatuh di lantai yang dingin dengan posisi Arthur menduduki perut Theo. Theo masih bisa mengacungkan pedangnya di leher Arthur sementara tangan kirinya mencengkram pergelangan tangan kanan Arthur yang siap mencekik leher Theo.   “Kau seharusnya berkaca dulu sebelum menghina kakakmu sendiri,” ujar Arthur berwajah ceria, “Theodoric, jika kau seperti ini terus, aku tidak akan punya pilihan lain selain mengurungmu di ruang penyiksaan selamanya. Kau mau?” Theo menggeram. “Aku akan membunuhmu sebelum kau berhasil menjebloskanku di ruangan sialan itu.” Arthur tersenyum lebar. “Coba saja—“ OEEKK! Arthur dan Theo tercekat mendengar jerit tangisan Elizabeth. Elizabeth yang sedari tadi sangat diam terbuai mimpi seolah tidak terganggu apa-apa, tiba-tiba menangis sangat keras. Selama ini, Arthur tidak pernah mendengar tangisan Elizabeth sekeras itu. Maka, buru-buru Arthur bangkit mendekati adik bungsunya yang menangis sambil menggeliat tidak tenang. Arthur menggendong Elizabeth seraya berusaha menenangkannya dengan gumaman senandung pengantar tidur dan mengayunkannya penuh kasih sayang. Sepenuhnya tidak memedulikan Theo. Sedangkan Theo terduduk di lantai, terbatuk sejenak karena cengkraman tangan Arthur sebelumnya. Mata biru dinginnya menatap kakaknya sedang berusaha menenangkan adik mereka. Lagi-lagi memunggungi Theo. “Bahkan Elizabeth menyelamatkan nyawamu,” celetuk Arthur kala tangisan keras Elizabeth sedikit mereda membuat Theo meliriknya sinis, “sebaiknya kau pergi jauh-jauh dariku sebelum aku berusaha mencekikmu lagi.” Malam itu, Theo tahu ia sangat tidak bisa membangkang lagi karena kalimat terakhir Arthur bukan sebatas ancaman belaka. Theo masih belum ingin mati, jadi ia pergi. Selain gagal membunuh Elizabeth, Theo gagal mengatasi rasa traumanya, gagal pula untuk menyaingi kekuatan Arthur. Namun, ada satu hal yang Theo sadari dan bisa ia terima. Elizabeth benar-benar sengaja menyelamatkan nyawanya dari tangan dingin Arthur. TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD