Sesampai di Mall yang akan di kunjungi oleh Erlanda dan Choki, Erlanda memarkirkan motor Choki di tempat parkiran yang masih tersedia, hari ini pengunjung mall cukup ramai, apalagi jam jam segini, pada jam jam ini adalah surga bagi para siswa siswi yang hobi ke mall, baik yang belanja, atau sekedar nongkrong bersama teman teman agar bisa melepaskan kejenuhan selama sekolah, tapi menurut Erlanda itu semua adalah alasan bagi anak anak yang tidak punya masa depan, seharusnya jika memang mereka memiliki masa depan, lebih baik mereka pulang ke rumah membantu kedua orang tua mengerjakan pekerjaan rumah yang menupuk sehingga kedua orang tua dapat beristirahat dengan cukup, dan suatu saat kita sukses nanti masih ada orang tua yang menemani kita dan ikut merasakan kesuksesan kita,
Anggap saja jika sekarang orang tua kita bersusah payah melakukan segala hal demi anaknya tanpa mempedulikan dirinya sendiri tentu saja akan berakibat fatal bisa saja mereka jatuh sakit karena kelelahan dan sebagainya, tapi apabila kita membantu tentu saja kita bisa mengurangi resiko orang tua kita jatuh sakit, yah walaupun hidup, mati, dan takdir sehat atau sakit hanya Allah yang tahu tapi apa salahnya kita menjaga orang tua kita agar tidak sakit.
Karena jika orang tua tidak ada lagi, uang harta dan segala isinya tidak berarti lagi jika mereka tidak bisa tersenyum melihat pencapaian kita, rasa syukur orang tua karena memliki anak seperti anaknya adalah sesuatu yang paling berharga yang tidak bisa dibandingkan oleh apapun bagi si anak.
“Ye,, bengong aja bambang.” Choki mengejutlan Erlanda yang terlihat terdiam memandangi para pengunjung café yang ada di Mall itu yang notabenenya atau hampir semuanya adalah anak sekolahan.
Erlanda tersadar dari fikirannya setelah Choki mengejutkannya, lalu mengerjapkan matanya berulang kali untuk menyusaikan diri kembali ke kehidupan nyata
“Lo mikiran apa sih Er?” tanya Choki sekali lagi, tapi tak mendapatkan jawaban dari seorang Erlanda
Lalu Erlanda melengos pergi tak menghiraukan pertanyaan Choki, Choki mengejar Erlanda yang sudah jauh di depannya, ia menggeleng geleng melihat kelakuan temannya itu
“Dasar Erlanda dia yang benging eh gue yang ditinggal.” Ujar Choki sembari mengelus d**a.
Setelah pertempuran sengit antara langkah kaki Erlanda yang besar dan panjang melawan langkah kaki Choki yang minimalis akhirnya Choki dapat mensejajarkan langkahnya dengan Erlanda, dan seperti sekarang mereka sedang berjalan bersama dan siap untuk menaiki escalator kelantai 3 mall ini, menurut informasi yang beredar eh bukan informasi dari karyawan Mall bahwasanya boneka yang diinginkan adiknya ada di lantai 3, lantai yang menjual khusus dunia perbonekaan.
“Tadi kata mbaknya lantai 3 kan ya Er?” tanya Choki sekali lagi memastikan
“Iya, lantai 3” Jawab Erlanda
“Apa nggak kedengeran?” Choki berteriak sekali lagii
“Iya, lantai 3.” Ulang Erlanda sekali lagi
Tapi sebenarnya sejak awal Choki mendengar jawaban Erlanda, tapi ya begitu Choki ingin menjaili seorang Erlanda, dari dulu Choki sangat suka menjaili Erlanda, seorang yang dijaili tapi tanpa ekspresi begitulah alasan Choki mengapa menyukai Erlanda bukan menyukai dalam arti lain ya tapi menyukai dalam berteman, ya walaupun kadang Erlanda sangat dingin kepadanya.
“Er, yang keras dong ga kedengeran.” Tanya Choki sekali lagi karena melihat wajah Erlanda terlihat akan berubah
“Lu ikut gue aja.” DERR tidak seperti harapan Choki, Erlanda tetap saja menjawab pertanyaan yang diajukan Choki dengan nada Cool.
“Pantes aja cewek-cewek pada suka sama Erlanda.” Batin Choki dalam hati
Berbeda dengan tadi yang hanya membatin kali ini ia tak sengaja mengatakan sesuatu yang seharusnya tak ia katakan “Gue aja demen.”
“Tadi lu bilang apa Chok?” Kini giliran Erlanda yang bertanya kepada Choki karena tadi menurutnya Choki berbicara kepadanya tapi tidak terdengar jelas.
“Apaan?” tanya Choki karena ketangkap basah mendengar perkataan menjijikkan yang keluar dari mulutnya.
Erlanda akhirnya menyerah dengan Choki, entah apa yang dikatakan Choki tapi Erlanda samar-samar terdengar perkataan yang membuat kegelian di dalam dirinya.
Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya mereka sampai di lantai 3, memang benar yang dikatakan oleh salah satu karyawan di Mall tadi, lantai 3 bagaikan sebuah surga boneka bagi para pencinta boneka dari boneka semut sampai boneka unta, dari ukuran sebesar amoeba sampai sebesar menara eifel juga ada di sini.
Mata Choki membelalak melihat pemandangan yang ada di depannya, Choki merasa sedang ada di dunia lain dunia imajinasi yang dimana ia lah yang menjadi pangerannya.
STOP…
Kembali ke dunia nyata, Erlanda meneruskan langkah setelah cukup tertegun melihat pemandangan yang ada di depannya Etalase yang berjajar rapi dan menjulang tinggi penuh dengan boneka dan sejenisnya. Tapi ketertegunan Erlanda tidak separah Choki.
Melihat Choki yang sepertinya tidak mengikuti langkahnya menuju etalase khusus boneka kelinci, membuat Erlanda membalikkan badannya untuk melihat situasi dan kondisi Choki apakah masih ada dibelakangnya, atau sudah pergi entah kemana.
Dan benar dugaan Erlanda, sekarang ia bisa melihat bahwa Choki sedang terkagum kagum sambil menjelajahi setiap etalase boneka, bahkan senyum indah terukir di wajah Choki, senyum yang dimata Erlanda adalah senyum kebodohan, bagaimana bisa seorang lelaki bisa tersenyum seperti itu Karena hanya melihat boneka.
Erlanda segera mengejar Choki, agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan.
“Chok… Chok.” Panggil Erlanda berulang kali tapi tak dihiraukan oleh Choki.
Erlanda fokus mengejar Choki, sampai ia lupa dengan keadaan mall yang lumayan ramai hari ini.
Dan BRAKK…
“Maaf Mas, saya tidak sengaja.” Erlanda tak sengaja menabrak cleaning service yang sedang membersihkan lantai.
“Iya Tidak apa-apa mas.” Jawab cleaning service itu sebelum Erlanda pergi menjauh.
Kejadian itu membuatnya kehilangan Choki dalam pandangannya, Erlanda segera menjelajahi setiap area agar menemukan Choki dan sialnya Choki tidak ditemukan karena area yang cukup luas dan badan Choki yang agak pendek yang bisa saja tertutup oleh etalase boneka yang tinggi dan besar.
***
Akhirnya Erlanda menyerah ia sudah tidak menemukan Choki lagi, selalu seperti ini jika sudah pergi ke tempat yang ramai Choki selalu hilang entah kemana bagaikan anak kecil yang harus selalu di pantau tapi berbeda dengan anak kecil pada umumnya yang berlari ke sana kemari lalu hilang dan tidak tahu jalan kembali, tapi untunglah Choki masih mengingat jalan kembali, itulah yang membuat Erlanda memutuskan untuk menunggu di kursi yang disediakan oleh Mall untuk pengunjung seperti dia yang lelah menghadapi cobaan yang menimpa.
Erlanda terlihat gelisah sudah hampir 15 menit Choki menghilang tapi belum juga kembali, Erlanda berulang kali mengecek jam tangan hitamnya, dari semula pukul 17.30 menjadi pukul 17.45 sudah sangat sore pikirnya.
Jika dalam 5 menit Choki belum kembali Erlanda bertekad untuk pergi dan meninggalkan Choki sendirian masa bodohlah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Choki.
“Er..”
Tiba-tiba suara panggilan terdengar dari arah samping kiri Erlanda, Erlanda segera menoleh Erlanda yakin ini suara Choki, Erlanda sangat mengenal suara sahabtnya itu. Dan benar setelah Erlanda menoleh ke sumber suara Erlanda bisa menemukan sosok Choki dengan tangan kosong sedang berdiri di sampingnya.
“Jadi apa yang dicarinya tadi?” tanya Erlanda dalam hati melihat tangan Choki tak membawa satupun boneka atapun keranjang.
“Tadi gue lihat cewek yang ada di lampu merah Er” ujar Choki dengan antusias, tampak Choki sangat antusias serta semangat memberi informasi kepada temannya Erlanda.
Kening Erlanda mengernyit heran, Erlanda tak ingat dengan perempuan yang ada di lampu merah, sebab untuk menuju kesini mereka sudah melewati lebih dari 5 lampu merah dan tidak hanya Erlanda dan Choki saja yang menunggu lampu merah tetapi banyak orang yang ada di sana ada perempuan dan ada laki-laki.
“Yang mana?”tanya Erlanda polos
“Iss lu ini, itu lo yang anak JIS yang pake motor mahal bareng cowoknya.” Choki kesal mendengar jawaban temannya itu bagaimana bisa Erlanda melupakan kecantikan perempuan itu.
“Oh” jawab Erlanda seadanya
Jawaban Erlanda membuat darah Choki naik, Choki sudah bersemangat menceritakan apa yang tadi terjadi tapi ternyata temannya ini Erlanda tidak menganggap serius apa yang dikatakannya malah terkesan menyepelekan.
“Lah lu kok jawabnya gitu, nyolot banget!” Erlanda terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Choki, memangnya dirinya salah Erlanda tidak merasa kalau jawabannya salah, toh menurut Erlanda hal itu sangat tidak penting dan dirinya pun tak ingat bagaimana rupa perempuan yang katanya anak JIS itu.
“Lah lu yang nyolot.” Erlanda akhirnya terpancing emosi dengan perkataan Choki, Erlanda sudah lelah menunggu Choki yang berkelana kesana kemari, tapi saat Choki datang ia malah merecoki dan menyalahkan Erlana.
Mendengar suara dan emosi Erlanda sedikit berubah membuat Choki segera tersenyum seperti kambing tak bersalah.
“Selow brow Hehehe” Ucapnya menenangkan Erlanda
“Lu mau cari kado buat adik lu atau gue cabut.” Tegas Erlanda memberikan Choki dua pilihan yang harus Choki pilih.
“Ya cari kado buat adik gue dong brow.” Ucapnya sambil merangkul bahu Erlanda yang lebih tinggi darinya walaupun sedikit kesulitan.
“Yaudah ayok jangan banyak bacot.” Itulah kalimat terakhir yang dikatakan Erlanda sebelum mereka berdua berjalan untuk mencari kado untuk adiknya Choki.
***
TYLISIA POV
“Ya, aku pilih ini atau ini?” tanya Shiden kepadaku sambil menimbang-nimbang dua boneka yang ada di tangannya
“Ini lebih lucu.” Jawabku, memang benar boneka yang ada di tangan kanan Shiden jauh lebih lucu dibandingkan boneka yang ada di tangan kirinya.
“Yee, beneran kan ini.” Aku mendengus kesal mendengar pertanyaan Shiden apa ia tidak mempercayai selera seorang Tylisia, jika aku sudah mengatakan bagus ya berarti itu bagus, dan kalau aku bilang jelek ya jelek.
“Kalau tidak percaya kepadaku, kamu pilih aja sendiri.” Setelah menjawab pertanyaan Shiden aku melengos pergi karena kesal dengan Shiden, tapi seperti sudah kuduga Shiden pasti menahanku agar tidak pergi seperti yang sedang ia lakukan sekarang, ia menahanku dengan memegang salah satu tanganku agar aku tidak melangkah menjauhinya.
“Iya deh, aku percaya dengan selera seorang Tylisia.” Shiden berbicara sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Shiden” pekikku
Shiden sangat suka mengacak-ngacak rambutku, padahal aku sudah susah payah merapikannya karena berantakan diterbang angin saat di atas motor dan lepek karena helm yang kupakai.
Shiden mengeluarkan jurus pura-pura tak berdosa miliknya, yaitu memberikan senyuman paling manis yang bisa ia keluarkan.
“Aduh mulai lagi tebar pesona.” Batinku dalam hati.
Dan kalian lihat apa yang terjadi setelah Shiden mengeluarkan jurusnya beberapa pasang mata dari para pengunjung Mall yang sejak tadi memperhatikan kami tidak lebih tepatnya memperhatikan Shiden sebab para pengunjung itu berjenis kelamin perempuan dan memakai seragam sekolah.
“Pasti sebentar lagi aku mendengar kalimat menjijikkan yang sangat di sukai Shiden.” Aku mengerutuk dalam hati.
Dan seperti dugaanku aku mendengar sedikit percakapan mereka yang kuyakini sengaja mereka keraskan agar terdengat oleh Shiden dan aku
“Itu Shiden dari JIS itu kan?” tanya siswi itu antusias kepada temannya
“Bener ya ampun, ganteng banget” jawaban dari temannya tak kalah antusias
“Apalagi senyumnya, Lebih manis dari gula.”
Jawaban terakhir siswi itu sukses membuatku merasa mual mendengarnya, dengan sengaja aku membentuk pose seperti orang yang ingin muntah karena merasa tidak tahan dengan perkataan para dua siswi itu, bagaimana bisa mereka membandingkan gula dengan senyum Shiden yang sudah jelas semua tahu kalau gulalah pemenangnya, senyum Shiden tak ada apa-apanya dibanding manisnya gula.
Shiden terkekeh melihat ekspresiku sekarang “Kamu aja yang tidak mengakuinya Ya” ujarnya
“Apaan mereka aja yang lebay.” Ucapku pada akhirnya, karena untuk apa aku melawan seorang Shiden karena di lawanpun tidak akan pernah bisa menang apa lagi jika menyakut ketampanan dirinya yang katanya melebihi V BTS. Dan tentu saja aku sangat tidak setuju dengan argument itu, bagaimana bisa ia menyamakan wajahnya yang bagaikan permukaan jalan itu dengan wajah V yang seindah senja di sore hari.
“Jadi yang ini aja kan Ya?” tanya Shiden sekali lagi memastikan pilihan boneka yang akan dibelinya.
Jika kalian ingin tahu boneka itu bukan boneka untukku, tapi boneka untuk salah satu mantan gebetan Shiden yang akan berulang tahun besok. Shiden hanya memiliki mantan gebetan ia tidak pernah menjalin hubungan dengan gebetannya ke arah pacaran, karena menurutnya hubungan itu hanya membuang waktunya yang berharga ia hanya ingin berpacaran dengan orang yang tepat, dan sekarang ia belum menemukannya
Sebenarnya aku sudah berulang kali mengingatkannya untuk apa dia membelikan kado untuk mantan gebetannya bukankah itu terlalu berlebihan untuk seseorang yang sudah menjadi mantan ya walaupun sudah menjadi mantan tapi menurut Shiden hal itu harus adalah hal yang baik.
Aku bahkan hafal setiap kata yang ia ucapkan setiap aku melarangnya untuk membeli kado untuk mantan mantannya itu.
“Yaya temanku, kita sebagai manusia harus saling menjalin silahturahmi kepada orang yang pernah merajut kebahagiaan bersama kita, karena itu adalah pahala, sayangkan jika kita bisa mendapat pahala dari hal itu tapi kita sia-siakan, siapa tau bisa menimbun dosa-dosa selama ini.”
Setiap mengatakan itu, rasanya ingin ku robek mulutnya lalu ku lempar mulutnya itu ke laut agar dimakan ikan-ikan piranha sehingga ia tidak memiliki mulut lagi untuk mengatakan hal-hal yang tidak berguna dan tidak masuk akal. Jika ia ingin mencari banyak pahala ia bisa saja memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan tapi ia mencari pahala dengan cara seperti itu bukannya mendapat pahala ia malah mendapat dosa karena telah membuat perasaan anak orang terbawa perasaan.