0.07

2136 Words
Setelah lelah berkeliling Mall mencari hadiah untuk adiknya Choki, akhirnya tepat pukul 20.00 suara motor Choki terdengar di depan rumah Erlanda, yang berukuran sederhana dengan pencahayaan lampu yang cukup minim untuk menghemat biaya penggunaan listrik. “Akhirnya sampai juga” Choki segera turun dari motornya untuk mengambil alih motor yang dikendarai oleh Erlanda. “Yaudah Er, gue pamit.” Pamit Choki sebelum menghidupkan motornya. “Makasih ya Chok” sembari menepuk pelan pundak Choki “Yaelah gua yang terimakasih ama lu.” Choki menyengir “Nggak mampir dulu Chok, ibu ada didalam.” Ajak Erlanda kepada Choki “Udah malam banget Er, gue bau nanti kasian hidung ibu, gue duluan ya” Kekeh Choki “Iya hati-hati Chok.” Nasehat Erlanda sambil terus melihat Choki keluar dari gang sempit rumahnya. Rumahnya memang terletak di gang sempit yang hanya bisa dilewati motor, dan inilah rumahnya rumah cat bewarna putih dengan ukuran yang cukup kecil yang kira-kira hanya berukuran 9x10 dengan halaman yang juga tidak luas tetapi begitu asri karena penuh dengan bunga-bunga, ibu Erlanda sangat suka menanam bunga dan merawatnya sehingga menjadi bunga yang indah bewarna-warni. Setiap hari ibunya selalu menyempatkan diri untuk merawat bunga-bunga itu, tidak pernah lupa untuk selalu menyiramnya. Tak terasa Erlanda mengembangkan senyumnya melihat rumahnya, rasa hangat menjalar kehatinya setiap memandang rumahnya. Didalamnya ada sosok yang selalu ada untuknya, yang selalu bisa membuat dirinya baik-baik walaupun dunianya sedang tidak baik-baik saja. Sosok itu ia panggil dengan sebutan, Ibu. Ibunya adalah satu-satunya orang yang Erlanda sayangi di dunia ini, ia tak bisa hidup tanpa ibunya, Erlanda bisa melakukan segala cara demi kebahagiaan ibunya. Ada nasehat yang selalu dipesankan ibunya kepada Erlanda “Er, hidup kita boleh gelap tapi hati kita jangan sampai gelap sampai nggak bisa ngebedain mana baik dan mana yang buruk” Ibunya selalu menasehati dirinya setiap kali, Erlanda merasa lelah dan putus asa. Erlanda membuka pintu pagar yang hanya terbuat dari kayu yang juga berwarna sama dengan rumahnya. Erlanda melangkahkan kakinya mendekati pintu rumahnya, Erlanda mengernyit heran mengapa tidak ada sandal ibunya. “Mungkin ibu masih di toko.” Batinnya dalam hati sambil melihat jam yang ada di tangannya, padahal sudah pukul 20.00 kenapa ibunya belum pulang, semakin banyak fikiran yang bermunculan di kepalanya. Erlanda mencoba mengetuk pintu rumahnya, tapi sesuai dugaannya memang tidak ada yang membukanya. Segera Erlanda berbalik untuk menyusul ibunya ke toko roti yang berada tidak jauh dari rumahnya. Toko roti yang menjadi satu-satunya sebagai penopang hidup Erlanda dan ibunya, walaupun tokonya tidak besar tapi cukup untuk biaya makan sehari-hari. Erlanda segera mempercepat langkahnya menuju toko roti milik ibunya. Dalam perjalanannya ia sering berpapasan dengan ibu-ibu yang menjadi langganan toko roti ibunya. “Erlanda, mau kemana?” tanya salah satu ibu-ibu yang sedang asyik duduk sambil bergosip ria  kepada Erlanda Erlanda terpaksa menghentikan langkahnya untuk membalas pertanyaan ibu itu, ia tidak ingin dibilang sombong, sebab ibunya sudah selalu mengingatkan Erlanda untuk selalu bersikap ramah kepada setiap orang, tapi terkadang Erlanda tidak mematuhi perintah ibunyam hanya kepada orang-orang tertentu saja, seperti ibu-ibu sekarang ini. “Ini Bu, mau ke toko nyari Ibu.” Jawabnya ramah “Oh iya, ibu mu masih ada di toko tadi.” Balas yang lain “Iya Bu, saya pamit dulu ya.” Pamitnya ramah sembari melanjutkan langkah kakinya menuju toko roti ibunya. Selepas kepergian Erlanda, ibu-ibu itu langsung melanjutkan pembicaraan mereka, tak ketinggalan pembicaraan tentang Erlanda menjadi topic yang menarik untuk dibahas oleh ibu-ibu ini “Ganteng ya anak ibu Hana.” “Iya ganteng, ramah juga.” “Mau nggak ya sama anak saya.”   “Mau tak jodohi sama anak saya aja.” *** Akhirnya Erlanda sampai di toko roti ibunya, dari luar ia bisa melihat ibunya sedang sibuk membersihkan lantai. Erlanda akhirnya bisa bernafas lega, ibunya ada di toko dan dalam keadaan baik-baik saja. “Tring” bunyi bel yang dipasang di pintu masuk berbunyi saat Erlanda membuka pintu Ibu Erlanda menghentikan kegiatannya demi melihat siapa yang datang malam-malam begini. Ibunya tersenyum melihat Erlanda. “Eh Erlanda” Erlanda segera mendekat kepada ibunya “Erlanda pulang bu.” Ucapnya dan menyalami tangan ibunya “Kok cepat pulangnya” tanya Ibu Hana heran “Lo, Ini udah lama pulangnya Bu.” Jawab Erlanda tak terima, bagaimana ibunya bisa mengatakan kalau ia pulang cepat, padahal menurutnya ini sudah sangat lama untuk sekedar membeli sebuah boneka. “Ibu bercanda Er, kenapa nggak bilang dulu dari awal kalau mau pergi sama Choki kan ibu bisa ngasih uang jajan tambahan buat kamu” Inilah alasannya mengapa Erlanda tak ingin mengatakan jika ia sedang pergi bersama temannya ibunya selalu menyuruhnya untuk bersenang-senang dengan uang tambahan yang diberikan ibunya. Erlanda tidak ingin uang hasil kerja keras ibunya ia pakai untuk berbelanja barang barang atau makanan yang tak jelas, lebih baik uang itu disimpan untuk berobat ibunya. Dibalik senyum ibunya yang mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tersimpan sejuta rasa sakit yang ibunya tahan seorang diri, disetiap malam Erlanda akan melihat ibunya menangis menahan rasa sakit itu seorang diri tanpa adanya seseorang, ingin rasanya Erlanda menemani ibunya tetapi setiap Erlanda menanyakan keadaan ibunya itu beliau selalu menjawab baik-baik saja. Sejak 5 tahun yang lalu ibu Erlanda mengidap penyakit Sirosis Bilier Primer atau dikenal dengan sirosis hati merupakan penyakit hati yang bisa menjadi parah secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu. Dan tindakan satu-satunya untuk menyembuhkan penyakit ini adalah dengan melakukan transplantasi hati, tapi mengingat kondisi keuangannya sekarang tidak mungkin mereka mampu membayar biaya operasi itu. *** Tylisia POV Angin malam ini mampu membuat tubuhku menggigil, aku dan Shiden sekarang sedang di atas motor menuju ke rumah setelah menghabiskan waktu hampir 5 jam di Mall. Kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah menghabiskan dua mangkok ramen, sebenarnya bukan kami tapi lebih tepatnya aku yang menghabiskan dua mangkok ramen. Aku benar benar heran dengan perutku ini, perutku akan menjadi tidak bersahabat dengan logika ketika hidungku sudah mencium bau bau yang menggoyangkan lidah. Kenapa aku bilang begitu ketika logika ku mengatakan jangan Tylisia jangan makan ingat angka ditimbangan  Tapi bukannya mendukung perutku malah meminta lebih ayo Tylisia makan lagi, masih ada ruang kosong didalam nih. Dan akhirnya aku lebih menuruti perkataan perutku daripada logikaku sendiri, dan ujung-ujungnya menyesal. “Hmm” hela nafasku berat setelah memikirkan bagaimana aku bisa menghabiskan dua mangkok ramen itu. “Pasti kamu lagi nyesel kan” ternyata Shiden mendengar helaan nafasku yang kuyakini cukup keras sampai terdengar olehnya. “Ini gara-gara Iden.” Salahku kepadanya Shiden melirikku dari kaca spion “Lah kenapa jadi salah aku?” “Kamu nggak ngingatin aku untuk nggak mesan lagi.” Aku butuh seseorang yang bisa aku salahkan dan orang itu adalah Shiden, ya kenapa dia tak mengingatkanku. “Kamu amnesia tiba-tiba ya?” tanyanya balik kepadaku Aku tidak mengerti maksud Shiden, amnesia siapa yang amnesia memangnya aku kenapa, ah Shiden ada-ada saja. “Nggak aku masih sehat wal afiat gini.” “Kukira amnesia, soalnya tadi dengan sangat jelas aku mengingatkan kamu untuk nggak mesan lagi, tapi kamu nggak ngedengerin aku.” Ucap Shiden dengan menekankan kata sangat jelas dalam ucapannya. JLEBBB Perkataan Shiden sukses membuatku mengatup mulutku rapat-rapat karena tidak tahu lagi apa yang mau ku katakana kepadanya, yang Shiden ucapkan memang benar Shiden memang mengingatkanku tapi dasar aku yang tidak mau mendengar dan keras kepala. Aku mencubit kecil pinggang Shiden yang tepat ada di depanku. “Awww” Shiden mengeluh kesakitan ia langsung menatapku tajam dari kaca spion Melihat itu aku malah tersenyum sambil mengancungkan lambang peace yang artinya aku minta maaf kepadanya dan tidak akan menganggunya lagi. “Shiden” bujukku sambil memeluk pinggangnya dari belakang, sudah menjadi kebiasaanku setiap aku naik motor dengan Shiden aku pasti akan memeluk pinggangnya karena aku takut jatuh, dan juga jika aku tak melakukan itu Shiden akan berteriak kepadaku ”Ya pegangan nanti jatuh, aku nggak mau diminta ganti rugi sama Om Darleen.” Seperti itulah kira-kira teriakannya kepadaku setiap aku tak memeluk pinggangnya, hal inilah yang membuatku terbiasa untuk selalu berpegangan dengan Shiden dengan cara  memeluk pinggangnya. “Ya, pegangan yang kuat, aku mau ngebut nih.” Shiden memperingatiku sebelum ia menacapkan gasnya, mau tak mau aku menuruti perkataannya. Motor Shiden melaju kencang membelah jalanan yang cukup sepi karena jam sudah menunjukkan pukul 21.30, dan  kami masih memakai seragam sekolah lengkap ya walaupun Shiden memakai jaket dan aku memakai cardigan tapi siapapun yang melihat pasti tahu bahwa kami masih anak sekolah, dan masih berkeliaran pada jam segini. Sebenarnya mamaku sudah berulang kali menelfonku menyuruh untuk segera pulang. Ini semua karena ramen itu, akhirnya ramenlah yang bisa aku salahkan, Hahaha. *** Setelah hampir 15 menit di perjalanan, akhirnya kami sampai di depan rumahku, rumah yang memiliki pagar tinggi dan besar yang berwarna hitam yang menambah kesan mewan dari rumahku. “Tuan putri sudah sampai.” Shiden menghentikan motornya tepat di depan pagar rumahku. Aku turun sambil memegang pundak Shiden, karena kesulitan untuk turun dari motor Shiden yang cukup tinggi ini. “Akhirnya, Makasi Pangeran” balasku setelah turun dari motornya Aku segera melangkah masuk, aku ingin segera membersihkan diriku yang rasanya sudah sangat lengket ini. “Eh Ya” Shiden memanggilku Ah, Shiden ini apa lagi yang ia mau fikirku. “Apalagi Den, aku mau masuk ni, udah sana pulang.” Usirku kepadanya “Itu…” ucapnya terputus Aku mengernyit heran “Apanya yang itu?” ucapku kesal “Helm Ya.” Ucapnya pelan Aku menahan malu, kukira Shiden mau apa ternyata aku lupa mengembalikan helmnya. Dan aku malah marah kepadanya come on Tylisia kenapa kamu harus sensitif banget batinku dalam hati. Aku melangkah mendekat kepada Shiden “Ini bantuin” aku mengarahkan kepalaku ke arah Shiden untuk membantuku membukakan pengait helmnya, dan untunglah Shiden mengerti dengan maksudku, ia segera membuka pengait helm dan melepaskan helm dari kepalaku. “Makasih” ucapku jutek Shiden mengacak rambutku “Udah ditolongin malah jutek.” “Yaudah aku duluan ya, bye.” Pamit Shiden “Iya, bye.” Sebenarnya rumahku dan rumah Shiden hanya berjarak 3 rumah, Shiden dan aku tinggal di komplek rumah yang sama. Setelah melihat Shiden sampai di gerbang rumahnya, aku segera melangkah masuk. Aku sudah tidak sabar mebersihkan diri dan berbaring di kamar kesayanganku. “Aku pulang” teriakku kepada orang dirumah yang tak terlihat sama sekali. “Non Yaya udah pulang?” tanya salah satu bibi yang bekerja dirumahku “Hehe iya Bi, mama mana Bi?” “Nyonya ada Non.” Tepat setelah bibi mengatakan itu, tiba-tiba muncul sosok yang aku tanyakan keberadaanya dari arah dapur, Mama. “Mamaaaa” aku berlari ke arah mama sambil merentangkan tanganku. Hampir seharian aku tak bertemu dengan mama, dan aku merindukannya. Tapi tib-tiba, saat hanya sejengkal lagi aku bisa memeluk mama, mamak menghindar dan aku hanya memeluk udara kosong “Ah,, Mama” rengekku “Kamu seharian dari luar, dan belum mandi enak aja meluk-meluk mama, kotor tau mandi sana!” “Mama kok tega, sama anaknya sendiri hiks.” Rengekku sekali lagi “Habis mandi baru boleh peluk mama.” Mendengar ucapan mama, aku berteriak senang dan segera melangkah menuju kamarku. “Awas aja mama tidur duluan, sebelum Yaya selesai.” Peringatku kepada mama *** Hampir 10 menit aku menghabiskan waktu untuk membersihkan diri, hari ini badanku terasa kotor dan lelah, dua hal yang sangat aku benci. Sekarang aku sedang duduk di meja riasku, menatap lama cermin besar yang dipasang di mejaku ini. Aku teringat dengan kejadian yang aku lihat di Mall tadi. Tanpa sadar aku memegangi dadaku, aku merasakan ada sesuatu yang berdesir dan menghangat. “Perasaan apa ini?” tanyaku kepada diriku sendiri. Sebab selama ini aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini, apakah tiba-tiba aku mengalami penyakit yang berbahaya sehingga membuat perasaanku menjadi seperti ini atau terjadi sesuatu yang tidak pernah aku alami selama aku hidup. “AH” aku berteriak frustasi Setiap aku memikirkan itu dadaku terasa berbeda rasanya, aku mencoba untuk tidak memikirkannya tapi bayangan kejadian itu terus menghantui fikiranku, dan herannya logika dan hatiku menolak untuk melupakan kejadian tadi. “Tylisia Harumi Darleen” panggilku kepada diriku sendiri untuk menyadarkanku. Aku sekali lagi menyentuh dadaku, dan tiba-tiba aku tersenyum. “Oh tuhan ada apa denganku?” “Aku tidak gilakan?” “Aku sedang tidak sakitkan?” “Aku belum siap mati?” Segala macam pertanyaan tiba-tiba muncul membuatku semakin frustasi dan mengacak rambutku sendiri. Tidak-tidak, aku harus segera tidur jika tidak aku akan berfikir yang tidak-tidak. Dan ternyata bukannya tidur, aku malah mengambil sebuah buku gambar dan sebuah pensil. Oh tidak ada apa denganku, semua yang kulakukan tidak kontras dengan apa yang dikatakan pikiranku. Segera setelah mengambil buku gambar dan pensil, aku duduk di meja belajarku. Aku membuka buku gambarku yang masih tersisa beberapa halaman sebelum penuh, sebenarnya aku sangat suka menggambar, malah gambarku termasuk gambar yang bisa dikatakan bagus. Aku mulai menggoreskan pensilku di atas kertas, terus menggoreskannya tanpa bisa berhenti, dan tanpa disadari membentuk sebuah gambar dengan wajah seorang laki-laki. Ternyata, Aku jatuh cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD