Chapter 3

1458 Words
Bunyi kicauan burung terdengar berisik hingga terdengar masuk ke dalam kamar Aksa, tidur lelaki itu mulai terganggu. Sinar matahari juga masuk melalui celah-celah jendela yang tidak tertutup sempurna dengan gorden. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka dengan berat, jelas sekali kemarin ia menangis karena penyesalannya tentang Raya, tetapi kini penyesalannya itu tidak ada gunanya. Raya sudah pergi, benar-benar sudah meninggalkan dunia ini. Aksa bangkit dari kasur, sejenak ia merasakan pusing yang luar biasa. Aksa menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali hingga rasa pusing itu lenyap dan ia bisa kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, ia mematut penampilan wajahnya dari cermin, cukup mengerikan karena kelopak matanya yang bengkak dan juga matanya yang memerah. Aksa menghidupkan keran wastafel lalu membasuh wajahnya. Setelah merasa segar ia berjalan keluar dari kamarnya. Kedua maniknya melirik ke arah jam di dinding. Ternyata sudah pukul sepuluh pagi, ia baru sadar kalau ia terlambat. Aksa menghela napas pelan lalu meraih benda pipih yang ada di nakas. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari sekretarisnya dan juga ada puluhan pesan singkat di mana Taehoon bertanya tentang keadaannya. Tanpa berniat membalas pesan dari sang sekretaris, Aksa melempar asal ponselnya di kasur kemudian menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur yang empuk itu. Matanya menatap langit-langit kamar dengan hampa, ingatannya kembali mengingat beberapa senyuman yang pernah Raya tunjukkan untuknya, dan itu terlihat cantik di matanya hingga rasanya Aksa ingin melihat senyum cerah yang jelita itu. “Apa yang sedang kamu lakukan di sana, Ray? Apakah kamu bahagia di sana? Aku harap kamu beristirahat dengan tenang, dan tunggu aku…” lirih Aksa dengan pandangan yang kosong menatap langit-langit kamar. Satu hal yang Aksa sadari, ia menyesal dan tidak ingin Raya menghilang dari hadapannya seperti ini. Aksa benci itu, ia tidak suka dengan fakta bahwa Raya sudah tiada. Tidak henti-hentinya juga hati kecilnya menyalahkan dirinya karena telah lalai dan sangat jahat memperlakukan Raya. “Apakah ada cara untukku agar bisa melihatmu lagi, Raya sayang? Aku sungguh rindu padamu, dan aku ingin mengucapkan maaf. Maaf, aku yang terlalu egois dan kasar, aku menyesal.” Bulir airmata perlahan keluar dari kelopak mata Aksa yang indah. Sendirian mengenang Raya seperti ini membuatnya sangat emosional dan sedih. Dadanya juga langsung terasa sangat sakit dan nyeri. Tiba-tiba terdengar suara bel yang dibunyikan beberapa kali dengan tidak sabaran. Dengan malas, Aksa bangkit dan menuju pintu utama rumah. Sebelum membukakan pintu, Aksa sudah lebih dulu mengelap airmatanya agar tidak ada yang melihatnya baru saja menangis. Cklek! “Tuan…” Terlihat Taehoon berdiri dengan wajah khawatir di depan pintu. Aksa menghela napas berat, ternyata sekretarisnya sampai mendatanginya. “Ada apa?” “Saya mengkhawatirkan anda, anda tidak mengangkat dan tidak membalas pesan-pesan dari saya,” ujar Taehoon cepat. “Oh, maaf. Aku tadi baru bangun. Untuk hari ini aku akan cuti, kau bisa pergi,” ujar Aksa tenang. Taehoon masih menunjukkan wajah khawatirnya di depan Aksa yang membuat pria itu mendengus geli. “Aku baik-baik saja. Tapi nanti siang kau bisa mengurus sesuatu untukku? Ada dokumen tentang Raya yang belum ku selesaikan dengan baik di bandara, kau datanglah ke sana dan gantikan aku,” titah Aksa tegas. “Anda yakin ingin saya yang melakukannya? Tidak anda sendiri?” tanya Taehoon memastikan. Aksa mengangguk dua kali. Taehoon menghela napas pendek. “Baiklah, saya akan ke bandara. Mohon jaga diri anda baik-baik. Saya juga merasakan kehilangan yang besar karena Nyonya Raya sudah pergi. Anda jangan sampai stress, Tuan,” peringatnya. “Aku tahu. Sudahlah, kau pergi sana. Aku akan lanjut istirahat, kemarin sangat melelahkan.” Taehoon mengangguk paham. “Kalau begitu saya permisi, Tuan.” “Ya, berkemudilah dengan hati-hati.” Taehoon mengangguk, lalu berjalan meninggalkan pekarangan rumah sang bos. Setelah sosok Taehoon tidak lagi terlihat, Aksa menutup pintu kemudian kembali menuju kamarnya. Sendirian seperti ini, membuat pikirannya tidak lepas dari memikirkan Raya. *** Sejak kepergian Raya, Risa berubah menjadi murung. Hal itu membuat asisten rumah tangga di kediamannya menjadi sangat khawatir. Terlebih sang Nyonya tidak ingin menyentuh makanan yang telah disediakan. “Nyonya, apakah anda sudah bangun? Mohon keluar dan sarapan,” ujar Lia, sang asisten rumah tangga dari luar kamar. Hening, tidak ada balasan apapun dari Risa. Lia semakin cemas dibuatnya. Tidak ada pilihan lain, ia harus menghubungi putra dari majikannya ini. Hanya Aksa yang dapat membujuk Risa. Setelah menyampaikan keadaan Risa yang tidak keluar dari kamar sejak kemarin, Lia menghela napas lega karena Aksa akan menyusul ke sini. Tentu saja Tuannya itu harus datang, agar Risa mau keluar dari kamarnya. Dua puluh menit kemudian, terdengar suara bel yang ditekan tidak sabaran. Lia bangkit dan membukakan pintu utama. Ia menghela napas lega karena Aksa yang sudah tiba. “Tuan, silakan masuk!” “Di mana Ibu?” “Beliau ada di kamarnya, Tuan. Masih belum keluar,” balas Lia cemas. Aksa mengangguk. Dengan langkah cepat dan lebar ia menuju kamar sang Ibu. Tanpa basa basi, Aksa mengambil kunci serap yang ia bawa dari rumah dan membuka kamar Risa. Cklek! Aksa mendekati ranjang di mana Risa terbaring menyamping membelakanginya dan menghadap jendela. “Ibu, aku datang. Kenapa ibu tidak keluar dari kamar dan tidak makan sesuap nasi?” tanya Aksa penuh kekhawatiran. Risa menatap jendela dengan pandangan kosong, bahkan ia tidak menoleh sedikitpun menatap Putranya. Aksa menghela napas pelan kemudian berjongkok di hadapan Risa. Dengan lembut, Aksa mengecup dahi sang Ibu dan membelai rambutnya. “Ibu, tolong jangan seperti ini. Hatiku sakit melihatnya.” “Raya, Raya…” Hanya itulah yang keluar dari bibir Risa. Menggumamkan nama Raya beberapa kali. Aksa kembali merasakan nyeri di dadanya. Bagaimana pun sekarang Raya sudah tidak ada, Risa tidak bisa meminta untuk bertemu dengan Raya sekarang. “Raya sudah tenang Bu. Sekarang Ibu bangun dan makan ya?” bujuk Aksa. Risa menatap Aksa dengan mata sayunya. Guratan sedih tergambar jelas di wajahnya dan semakin membuat Aksa tidak tega. “Ibu mau Raya, Aksa. Ibu mau peluk Raya,” pintanya dengan nada lirih. “Tidak bisa sekarang Bu. Raya sudah tidak ada, dia sudah beristirahat dengan tenang,” balas Aksa tegas. Kedua sudut bibir Risa melengkung ke bawah dengan kecewa. “Ibu, aku tahu Ibu sangat sedih. Ibu kehilangan anak perempuan yang ibu miliki, aku juga merasa sangat sedih dan tidak menyangka jika Raya pergi secepat ini. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang selain berdoa. Ibu jangan membebankan pikiran Ibu sekarang, aku tidak mau nanti Ibu jadi sakit.” Risa hanya diam mendengarkan. “Kita makan ya, Bu?” bujuk Aksa tidak menyerah. Risa menghela napasnya dan mengangguk pelan dengan mata yang berkaca-kaca. Persetujuan dari Risa tentu saja membuat Aksa merasa sangat lega. Dengan penuh kehati-hatian, Aksa membantu Ibunya bangkit dan menggandeng tangan ibunya menuju ruang makan. Aksa mengambil air putih untuk Risa, membantu sang Ibu untuk minum lalu mengambil nasi beserta lauk yang telah disediakan oleh Lia. Pria itu mengurus Risa dengan baik meskipun Risa hanya menyuap beberapa sendok nasi dan mengatakan tidak ingin menelan makanan lagi, atas bujukan dari Aksa, Risa kembali menerima suapan dan mengunyah. Aksa benar-benar tidak menyerah demi penuhnya perut sang Ibu. Selesai makan, Aksa mengambil vitamin untuk Risa. Kondisi kesehatan Risa benar-benar harus Aksa jaga agar Ibunya itu tidak jatuh sakit. “Nah selesai makan, Ibu mau ke mana? Aku akan menemani ibu,” ujar Aksa lembut. “Kamar, Ibu mau tidur.” Aksa terdiam, tidur bukanlah pilihan yang bagus setelah makan. Dengan tidak melunturkan senyumnya, Aksa membalas. “Ibu bisa tidur nanti, perut ibu masih terasa sangat kenyang, tidak baik langsung dibawa tidur.” Risa hanya diam menatap Aksa yang menyuarakan isi hatinya yang tidak setuju. “Kita duduk di taman belakang aja ya, Bu? Mencari udara segar, kebetulan cuaca yang tidak terlalu panas siang ini,” ajak Aksa. Risa pun mengangguk pasrah, ia tidak mendebat pilihan Aksa. Maka ketika tangannya digandeng Aksa menuju taman belakang rumah, ia hanya menurut saja. Tetapi, duduk di kursi taman belakang hanya membuat Risa kembali teringat dengan Raya. Taman belakang, adalah tempat di mana Risa dan Raya sering minum teh sembari bercerita tentang banyak hal. Memori kebersamaan itu terputar dengan sendirinya di dalan ingatan, membuat rindu semakin terasa menggunung. “Kalau duduk di taman seperti ini, hanya akan membuat Ibu teringat dengan Raya. Raya suka sekali bercerita di sini sambil meminum teh melati, itu adalah teh favoritnya. Ibu sangat merindukannya,” lirih Risa. Aksa tertegun. Bahkan ia sendiri tidak tahu apa yang disukai oleh mantan istrinya, Aksa tidak tahu jika Raya sangat suka ke rumah Ibunya dan bercerita banyak hal di taman ini. Terlebih lagi, ia juga tidak tahu jenis teh yang paling disukai gadis itu. Aksa tersenyum kecut. Ia benar-benar b******k. Menikahi Raya dan hidup tanpa mempedulikan gadis itu. Mengingatnya saja membuat dadanya kembali terasa sesak dan nyeri. Kata maaf saja mungkin tidak cukup untuk menebus rasa bersalahnya ini. Tetapi tidak ada yang bisa Aksa lakukan sekarang, semua sudah terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD