"Sarapan dulu, Kak."
Bayu yang sudah lebih dulu duduk di ruang makan langsung menoleh mengikuti arah pandangan bundanya. Ia melihat Wil hanya berdiri pada anak tangga terakhir, tampak tak berminat melebur bersama mereka. Bayu tahu betul alasannya.
Pemuda itu melirik sang bunda, gurat kesedihan tampak kentara di wajah perempuan itu. Meski tak bicara langsung, tetapi dari bagaimana Wil menatapnya, Bayu bisa langsung menarik kesimpulan bahwa Wil tidak ingin Bayu ada di tengah-tengah mereka.
"Ah, Bunda. Aku lupa sekarang giliran piket kelas. Hanin pasti ngamuk kalau aku telat," ujar Bayu seraya menyampirkan tas di bahu. "Pamit dulu, ya, Bun, Pa," lanjutnya. Bayu bangkit, lantas menyalami orang tuanya.
"Sarapan dulu, Nak. Toh ini masih pagi. Kamu bisa berangkat sama Papa atau kakakmu biar enggak telat."
Menangkap sorot Wil yang berubah tajam padanya, Bayu langsung menggeleng. "Makasih, Pa, tapi aku serius takut singa betina itu ngamuk."
Mario terkekeh, kemudian menghadiahkan ucapan lembut pada puncak kepala Bayu. "Ya udah, tapi nanti sarapan di sekolah. Ingat lho, nanti lambungnya kumat."
Bayu memaksakan seulas senyum. Ia merasa hangat karena setidaknya ada yang sedikit perhatian dibanding sang bunda. Perempuan itu hanya berdiri mematung, bahkan secara tidak langsung memintanya segera pergi juga.
Dugaan Bayu tak pernah meleset. Baru beberapa langkah kakinya terayun meninggalkan rumah, Wil mendekat ke meja makan, dan selanjutnya mereka bercengkerama di sela kegiatan makan masing-masing, seolah hanya mereka yang terikat, sementara Bayu orang asing.
Tepat saat ia berjalan melewati gerbang utama rumah ayah tirinya, kemudian berbelok menuju halte, Bayu mendengar bunyi klakson. Refleks ia menoleh dan mendapati gadis manis dengan Scoopy merah muda tersenyum lebar ke arahnya.
"Buyung!" Gadis itu bahkan tak malu berteriak nyaring.
"Berisik anjir. Bikin malu aja."
Hanindya Akira, gadis berambut panjang itu mencebik kesal. "Butuh tebengan enggak?"
"Tapi boncengin gue, ya?"
Sebelah alis Hanin terangkat. Tidak biasanya Bayu bersikap seperti ini. Lelaki itu selalu menolak dibonceng dengan motor merah muda milik Hanin, bahkan dalam keadaan sakit sekalipun. Namun, kali ini justru Bayu yang meminta. Tak mau ambil pusing, Hanin langsung meminta Bayu naik. "Ya udah, ayo!"
Bayu langsung naik tanpa mengatakan apa pun lagi. Sejujurnya, ia lelah dengan semua yang terjadi selama ini. Rasanya ingin pergi sejauh mungkin, menyingkir dari sumber rasa sakitnya.
Tubuh gadis itu menegang saat tiba-tiba Bayu menyandarkan kepala di punggungnya. Hanin tahu, ada beban berat di pundak sahabatnya. Bayu lelah, tetapi tidak pernah bisa menyuarakannya. Sakit, tetapi bahkan tak sanggup pergi.
"Yung, nanti di jalan Athena gue ngebut, ya? Lo teriak deh sepuasnya. Enggak apa-apa dianggap sinting. Gue tetap bangga kok punya sahabat sinting."
Bayu mengangkat sebelah tangan, dan tanpa membuka mata lelaki itu memukul pelan helm yang dikenakan Hanin. "Lo kalau mau dikira sinting, ya, sendiri aja. Jangan ngajak gue."
Hanin spontan tertawa. Setidaknya guyonan krenyes-nya berhasil membuat Bayu bersuara. Dengan begitu Hanin bisa memastikan bahwa sahabatnya baik-baik saja. Jika Hanin jadi Bayu, mungkin Hanin sudah memilih menjadi gelandangan dibanding hidup bersiram kemewahan tetapi di saat bersamaan harus rela terikat dengan rasa sakit.
"Yung, kalau ada apa-apa cerita aja. Ada gue, Arsen, Aries, Sabil, sama Naren. Biarpun kadang ngeselin, tapi kita bisa kok jadi pendengar yang baik. Enggak semua luka bisa lo simpan sendiri."
"Iya, bawel."
***
Wil sempat melirik sosok Bayu dengan ekor matanya. Seperti biasa, anak itu duduk bergerombol. Ada Arsen si ketua kelas, Hanin bendahara, Aries ketua ekstrakurikuler musik, Sabil murid biasa yang memiliki kreativitas tinggi, dan Naren si anak sultan. Pemandangan yang selalu berhasil membuat Wil muak. Baginya, Bayu tidak pantas mendapatkan itu semua.
"Gue mau ke kantin, mau nitip?"
Sayup-sayup Wil mendengar Hanin bersuara memecah keheningan.
"Roti satu dong, Nin. Gue enggak sempat sarapan tadi." Gantian Bayu yang bicara.
"Mau roti apa bubur aja? Udah ada kok jam segini. Mumpung belum bel juga."
"Roti aja."
"Oke."
Bersamaan dengan keluarnya Hanin, Wil bangkit, menggeser kursi dengan kasar mengundang perhatian dari seisi kelas, tak terkecuali Bayu dan sahabat-sahabatnya.
"Wih, santai. Kenapa Bos? Ada yang bikin lo kesal?" tanya Jeno pada sahabatnya.
"Enggak. Jijik aja sama parasit yang nempel sana-sini. Enggak di rumah, enggak di sekolah dapat aja inangnya."
Tangan Arsen terkepal kuat. Ia tahu betul kepada siapa sindiran itu ditujukan. Pemuda itu bangkit dari duduknya, hendak maju dan mempertanyakan maksud ucapan teman sekelasnya. Namun, Bayu menahan pergerakannya. "Lo itu harus melawan. Jangan mau diinjak-injak. Dia punya masalah apa sih sama lo? Hobi banget bikin keributan."
Andai bisa, Bayu sudah melakukannya sejak lama. Namun, semua menjadi sulit karena Bayu mempertimbangkan banyak hal, terutama perasaan ibundanya. Menyakiti Wil sama seperti menyakiti sang bunda. Bayu tahu bagaimana perempuan itu menyayangi kakak tirinya, lebih dari menyayangi Bayu yang berstatus anak kandung.
"Enggak ada gunanya. Biarin aja." Lirih sekali Bayu menjawab.
"Orang kayak gitu harus ngerasain hancur dulu biar lebih perasa. Omongannya enggak pernah difilter heran." Naren menimpali. Ia juga ikut jengkel melihat Bayu diperlakukan seperti itu. "Padahal, kalau dipikir lagi dia yang parasit. Parah banget sampai ngambil nyokap lo, Yung."
Sabil menatap sahabatnya bergantian, kemudian kembali memfokuskan diri pada ragam tutorial di YouTube. "Biasa, dia merasa di atas."
"Manusia melambung karena pencapaiannya, dan jatuh karena kesombongannya. Cuma tinggal tunggu waktunya aja. Jadi, enggak usah berpikir terlalu keras bagaimana caranya menjatuhkan orang sombong. Dia akan jatuh karena ulahnya sendiri." Aries yang sedari tadi duduk kalem, akhirnya bersuara.
Di antara mereka, Aries paling tenang dan pendiam. Namun, sekalinya bicara bisa tajam dan menusuk.
Diam-diam Bayu tersenyum. Bukan senang karena sahabatnya membicarakan Wil. Ia hanya sedikit tenang karena paling tidak, ada yang berdiri di pihaknya.
Tak lama, Hanin kembali, bersamaan dengan suara bel yang menggema memenuhi seluruh penjuru sekolah. "Yah, keburu bel. Makan dulu deh, Yung, sebelum Bu Fatma masuk," ujar Hanin sembari menyerahkan plastik putihberisi roti dan air mineral.
"Santai. Nanti istirahat gue langsung makan deh."
"Selamat pagi anak-anak."
Semua siswa langsung duduk di bangku masing-masing saat perempuan berkacamata, lengkap dengan rambut terikat rapi, serta lipstik berwarna merah menyala tiba-tiba masuk.
"Tugas yang minggu lalu saya kasih, tolong dikumpulkan. Dalam hitungan sepuluh, semua murid sudah harus mengumpulkan. Satu ... dua ... tiga ...."
Sembari Bu Fatma menghitung, satu per satu siswa maju ke depan mengumpulkan tugas mereka, kecuali Bayu. Pemuda itu tampak kebingungan sembari mengacak-acak isi tasnya. Kalau tidak salah ingat, semalam Bayu sudah memasukkan buku kimianya. Namun, tiba-tiba benda itu hilang tanpa jejak.
"Yung, kenapa?" tanya Arsen yang duduk bersebelahan dengannya.
"Buku gue enggak ada masa."
"Kok bisa?" Lagi, Arsen bertanya, dan Bayu hanya menggeleng sebagai jawaban.
Akhirnya Arsen memasukkan kembali buku tugasnya ke dalam tas. Ia berniat tidak mengumpulkan agar Bayu tak sampai dihukum sendirian, meskipun sebenarnya Arsen takut karena Bu Fatma terkenal tegas. Siapa pun yang melanggar aturan mainnya, langsung mendapat hukuman.
"Kurang dua siswa lagi. Siapa yang belum mengumpulkan?"
Bayu dan Arsen kompak mengangkat tangan.
"Rajendra Arsenio, tumben kamu tidak mengumpulkan tugas?"
"Buku saya ketinggalan, Bu."
"Bayu?"
"Buku saya juga."
"Hebat. Sebangku dan buku tugas kalian sama-sama tertinggal. Biar tambah kompak, pemanasan dulu gih dua keliling. Sepuluh menit cukup, ya? Ibu tunggu di kelas setelah hukuman kalian selesai."
Arsen dan Bayu langsung melangkah kompak meninggalkan kelas untuk menjalani hukuman mereka. Meskipun ada tanda tanya besar di kepala Bayu terkait buku tugasnya yang hilang. Apakah Wil lagi pelakunya?
Di sudut lain, seseorang sibuk mengulum senyum. Ternyata benar kata orang, bahagia itu sederhana. Melihat Bayu mendapat hukuman pada jam pelajaran pertama saja sudah membuat Wil bahagia luar biasa.
|Bersambung|