"Papa sekarang lebih sayang Bayu?"
Mario menautkan alis begitu mendengar pertanyaan yang meluncur dari bibir putranya. Ia baru saja keluar dari kamar Bayu, dan langsung dihadapkan pada Wil yang sepertinya sengaja menunggu. Lelaki itu mengulurkan tangan mengusap kepala putranya. "Kenapa tanya begitu?"
"Papa perhatian banget, aku enggak suka."
"Bayu lagi sakit, Nak. Masa Papa enggak boleh perhatian? Lagian dia adik kamu lho, Kak. Kalau Kakak sakit juga Papa sama perhatiannya," terang Mario. Semalaman Mario memang terjaga hanya untuk memantau kondisi Bayu. Mungkin Wil yang melihat jadi salah menerjemahkan.
"Dia bukan adik aku."
Sebelum memberikan jawaban, lelaki itu menghela napas. Sebenarnya, Mario bukan tak menyadari perubahan putra kandungnya karena kehadiran Bayu. Terbiasa dimanja mengingat sejak kecil hidup tanpa pengasuhan mamanya, kemudian Anggia hadir dan melakukan hal yang sama, sedikit banyak mempengaruhi bagaimana akhirnya karakter anak itu terbentuk. Manja dan mungkin sedikit egois karena selalu ingin menjadi pusat perhatian. Tidak bisa untuk tidak dominan.
"Kalau Mama Anggia jadi mama kamu, berarti Bayu?"
"Adikku."
Mario tersenyum. "Percaya sama Papa, enggak akan ada yang berubah, Kak. Papa sayang kalian berdua. Enggak ada yang dibeda-bedakan. Kalaupun sekarang Papa lebih perhatian, itu karena adik kamu lagi sakit. Coba masuk, badan Bayu panas dan enggak mau makan apa-apa dari semalam."
"Dia sengaja biar Papa lebih sayang sama dia daripada sama aku. Tahu gitu aku sakit parah aja sekalian biar Papa enggak sayang sama siapa pun selain sama aku."
"Hush, mulutnya. Bayu enggak seburuk itu, Kak. Mana ada orang sakit disengaja?"
"Ada. Dia buktinya. Dia sakit biar diperhatiin semua orang."
Lelaki itu geleng-geleng. Tanpa mengatakan apa pun ia menarik tangan putranya, mengajak Wil masuk ke kamar Bayu. Mario mendudukkan Wil di tepi tempat tidur, kemudian mengarahkan tangan anak itu menyentuh dahi adik tirinya.
"Panas, 'kan?"
Wil menarik tangannya, kemudian mengangguk. Cukup lama pemuda itu diam, mengamati lamat-lamat wajah adik tirinya. Bayu tidur dengan gelisah. Matanya terpejam, napasnya tak beraturan, keringat pun membanjiri tubuhnya.
"Enggak mau makan?"
"Tuh, makanannya masih utuh. Kakak mau coba bujuk?"
"Enggak mau. Nanti aku telat sekolah. Mama aja."
Mario tak langsung menjawab.
Ditatap seperti itu, Wil jadi gugup. Bergantian ia menatap papa dan adik tirinya, lalu memutuskan, "Ya udah. Sebentar aja. Kalau mau makan, nanti Papa yang terusin."
"Oke."
"Woy," panggil Wil pelan sembari mengguncang tubuh Bayu.
"Astagfirullah. Kakak, masa gitu banguninnya?"
Bibir pemuda itu mengerucut. "Ya terus gimana, Pa?"
"Bayu, bangun." Mario mencontohkan. "Atau begini lebih enak, Dek bangun."
"Dih, apaan sok manis."
Mario terkekeh.
"Bayu, bangun."
Bayu melenguh, mengerjai beberapa kali sebelum benar-benar membuka mata. "Ka-kak ...."
"Ma-makan, dulu. Katanya lo belum makan dari semalam. Nanti kalau masuk rumah sakit, bikin susah orang."
Meskipun belum cukup kuat sekadar untuk menegakkan tubuhnya, Bayu memaksakan diri. Ia tidak ingin membuat Wil marah.
Wil mengambil mangkuk bubur di atas meja kecil samping tempat tidur Bayu, lalu bertanya, "Bisa sendiri enggak?"
Bayu mengangguk.
"Kak, disuapin dong. Adiknya lemas gitu, gimana sih?"
Dasar ngelunjak! Kendati hatinya memaki, tetapi Wil tetap menuruti perintah sang ayah. "Ya udah, sekarang gue suapin. Daripada lo makan sendiri terus satu suapnya ngabisin lima menit, mending gue aja. Buka mulutnya."
Jujur saja Bayu ingin tertawa melihat kakak tirinya salah tingkah seperti itu. Namun, ia memilih menikmati saat Wil memasukan sesuap demi sesuap bubur ke dalam mulutnya. Ajaib, rasa pahit di lidah, bahkan mual yang mengganggu hingga membuat Bayu kesulitan untuk menelan makanan, seolah lenyap begitu saja. Mungkin karena perasaan bahagia yang lebih dominan dibanding rasa sakitnya.
"Kakak hebat deh bisa bikin adiknya mau makan," puji Mario. Ia tahu, sekecil apa pun caranya mengapresiasi usaha anak itu, pasti berdampak besar untuk Wil.
"Bayu aja yang manja."
"Maaf bikin Kakak repot."
"Iya lo ngerepotin. Makanya cepat sembuh biar enggak bikin gue buang-buang waktu kayak gini."
Kalimat itu mungkin terdengar ketus, tetapi Bayu tetap bisa menangkap sebentuk perhatian di sana.
Mario mendekati kedua putranya. "Kakak berangkat aja. Udah siang juga, nanti telat. Biar Papa yang terusin ini."
Wil melirik mangkuk bubur di tangannya yang hanya menyisakan sedikit. "Enggak usah. Sedikit lagi kok. Pamali kalau diterusin orang."
Melihat Bayu tersenyum, Wil jadi kesal sendiri. Bukan kesal sebenarnya. Mungkin ... malu? Dengan cepat pemuda itu memutar tubuh, kemudian menyerahkan mangkuk di tangannya pada sang ayah. "Nih, Papa aja yang terusin!"
Selepas kepergian Wil, Mario kembali bersuara, "Bayu sabar, ya. Sebenarnya Kakak sayang kok sama Bayu. Cuma gengsi dan mungkin takut."
***
"Wil, Bayu di rumah kan enggak sampai dibawa ke rumah sakit?"
"Hm."
"Parah enggak? Chat kita soalnya enggak ada yang dibalas."
Wil merasa telinganya panas karena sejak menginjakkan kaki ke sekolah banyak sekali yang bertanya tentang Bayu. Apalagi, setelah ia memberikan surat dokter yang semakin menegaskan bahwa Bayu tidak baik-baik saja. Tak hanya lima ulat keket itu yang kepo akut, teman sekelasnya yang lain juga sama.
Wil jadi bertanya, kenapa sih semua orang begitu perhatian pada Bayu? Memangnya apa yang sudah Bayu lakukan sampai mereka semua mengkhawatirkannya? Karena sebal dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya, Wil memilih menelungkupkan kepalanya di atas meja. Menghindari pertanyaan orang di sekelilingnya.
"Wil."
"Apa sih? Bayu lagi?"
"Ketus amat lo. Padahal, gue cuma mau balikin ini!" sembur Hanin sembari melempar sebuah pulpen yang tadi dijatuhkan anak itu.
"Sorry. Gue pikir mau nanyain Bayu lagi. Kan dari tadi emang lo paling kepo."
"Susah emang ngomong sama orang yang tiap hari ngemilin bubuk mesiu. Sedikit-sedikit meledak. Sensitif banget."
Wil mendelik sebal. Mulut Hanin itu memang pedas sampai ke akar-akarnya. Terkadang ia heran sendiri kenapa orang cantik seperti Hanin bisa segalak itu. Kan sayang cantiknya. Seandainya lebih lembut sedikit, pasti banyak laki-laki yang mengantre minta dipacari. Seperti Wil dulu.
"Biasa dong jangan nyolot."
"Orang kayak elo tuh emang enggak bisa dibaikin. Ngelunjak yang ada."
"Salah gue tuh apa sih, Nin? Perasaan lo galak banget kalau sama gue?"
Salah lo cuma satu, selalu bikin Bayu susah! Gadis itu menjawab dalam hati. Hanin dalam mode tanduk sekarang. Selain sedang kedatangan tamu, Bayu sakit dan membuat hatinya ketar-ketir. Ditambah, Bintang yang biasanya dijadikan tong s****h juga menghilang entah ke mana. Sudah dua hari ini anak itu tidak terlihat online di i********:.
"Kalau sama Bayu aja sok manis banget. Lo suka, ya, sama dia?"
Hanin bersiap maju, paling tidak sekadar menjambak rambut lelaki menyebalkan yang kini duduk tenang di hadapannya. Namun, Aries menarik kerah seragamnya, membuat gadis itu tak bisa bergerak terlalu banyak karena pergerakan sekecil apa pun membuatnya tercekik. "Enggak sekalian pakai toa mesjid? Mulut lo tuh, ya, emang enggak ada remnya."
"Ya kan ini mulut, bukan sepeda ontel."
"Ri, lepasin! Itu manusia emang minta disleding."
Aries menggeleng. Pemuda itu mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik, "Nin, khawatir boleh kok. Tapi, jangan terlalu barbar. Nanti semua orang jadi tahu kalau rasa khawatir lo lebih dari khawatirnya seorang teman."
Tubuh Hanin sontak menegang mendengar penuturan Aries. Jadi, selama ini perasaan gue ketahuan, ya? Perasaan gue udah kalem banget.
|Bersambung|