UKS tak segaduh sebelumnya. Satu per satu yang meminta tetap tinggal di sana dipaksa kembali ke kelas, menyisakan Bayu seorang diri bersama anak PMR yang bertugas hari ini. Pemuda itu tampak damai dalam tidurnya, membuat sang penjaga tak terlalu cemas meninggalkan Bayu sebentar sekadar untuk membelikannya makanan andai anak itu bangun nanti.
Setelah memastikan tak ada siapa pun di dalam sana, seorang pemuda masuk. Ia menyibak tirai perlahan, mencari keberadaan saudara tirinya. Ia hanya ingin memastikan apakah Bayu sungguh sakit atau hanya berpura-pura untuk mencuri perhatian banyak orang seperti yang selalu dilakukannya di rumah.
Ragu, Wil mengulurkan tangan menyentuh dahi pemuda yang terbaring lemah di hadapannya. Kelopak matanya melebar mendapati hawa panas begitu kentara. Namun, ia lebih kaget lagi karena netra adik tirinya tiba-tiba terbuka. Wil sampai termundur saking kagetnya. Bukan takut, hanya malas bila sang adik menyimpulkan macam-macam.
Bayu terdiam beberapa saat menatap sosok yang berdiri di hadapannya. "Ka-kak ...."
Wil melotot. Mendengar suara Hanin dan derap langkah yang sedikit ramai, pemuda itu langsung bergegas meninggalkan tempat itu.
***
"Enak aja kalau ngomong! Suami baruku itu enggak seperti kamu. Dia mampu memberikan kehidupan yang layak buat aku sama Bayu. Mana mungkin kami menelantarkan Bayu sampai dia sakit. Emang kamu? Bayar biaya rumah sakit aja waktu itu enggak mampu."
Harga diri Fahmi terluka mendengar penuturan mantan istrinya. Ia tidak menyangka jika Anggia berubah begitu banyak hanya karena dimanjakan dengan berbagai kemewahan. Sebelumnya, niat Fahmi ke sini hanya sekadar ingin bicara mengenai kondisi Bayu. Fahmi ingin mantan istrinya lebih perhatian lagi, meskipun ada anak lain yang juga membutuhkan perhatiannya. Namun, semua malah jadi seperti ini. Mantan istrinya merasa tersinggung dan langsung mengamuk.
"Anggia, kebahagiaan seseorang itu enggak bisa diukur dengan harta."
"Tapi buktinya aku merasa jauh lebih bahagia sekarang sama Mas Mario daripada waktu sama kamu."
"Itu kamu. Anak kita belum tentu, 'kan? Kamu pernah tanya, apa dia bahagia dengan kehidupan dia sekarang? Kalau kamu benar ibunya, kamu pasti cukup peka buat sekadar melihat murungnya Bayu."
"Aku bundanya, jelas lebih tahu seperti apa kondisi anak yang aku lahirkan."
"Jangan hanya karena kamu yang melahirkan dia, kamu jadi merasa tahu segalanya. Faktanya, sejak kecil Bayu lebih dekat sama aku, 'kan? Kalau bukan karena keterbatasanku, dia enggak mungkin mau tinggal sama kamu."
"Yah!" Bayu yang baru saja pulang diantar oleh Arsen, langsung berjalan cepat menghampiri orang tuanya.
Samar-samar Bayu pun sempat mendengar apa yang mereka perdebatkan. Pemuda itu meraih jemari tangan ayahnya, memohon untuk tidak bicara lebih banyak karena Bayu tahu apa yang dikatakan lelaki itu bisa melukai sang bunda.
"Kamu masih pucat, Nak."
"Aku enggak apa-apa, Yah."
Anggia menarik tangan Bayu. Tanpa mengatakan apa pun pada sang mantan suami, perempuan itu menyeret putranya masuk.
Bayu sempat menoleh, lalu melambai pada sang ayah diiringi sebuah senyum seolah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Akhirnya Fahmi memilih pergi, meski kecemasannya tak luruh sedikit pun.
"Kenapa Bayu bohong sama Bunda?" Pertanyaan itu langsung mengudara setelah keduanya berada di dalam.
"Maaf."
"Bayu sengaja mau bikin Bunda kelihatan buruk di mata Ayah? Senang kalau Ayah berpikir Bunda enggak becus merawat Bayu?"
Bayu tak lagi menjawab, meski sang bunda terus menyudutkannya dengan melontarkan tuduhan tak berdasar, lelaki itu tetap diam. Setidaknya dengan diam semua akan lebih cepat selesai. Bayu tidak memiliki tenaga untuk sekadar menyangkal.
Saat dirasa semua kekesalan bundanya sudah tersalurkan, Bayu menggenggam tangan perempuan itu. "Bunda, ucapan Ayah jangan dimasukin hati, ya. Aku senang kok tinggal sama Bunda. Aku cuma mau minta satu hal, tolong jangan larang aku ketemu Ayah. Suami istri mungkin ada bekasnya, tapi enggak ada yang namanya mantan orang tua atau mantan anak, 'kan? Aku tetap bagian dari kalian berdua."
Seseorang menyandarkan tubuh di balik kukuhnya dinding pembatas antar ruang. Menikmati dalam diam bagaimama ibu dan anak itu bertengkar.
"Iya Bunda tahu. Tapi, tolong jangan terlalu sering ketemu Ayah. Hargai Papa Mario. Masih untung dia mau membesarkan dan membiayai semua kebutuhan kamu. Kalau kamu sayang sama Bunda, nurut apa kata Bunda, Bayu. Ini demi kebaikan kamu."
"Bunda udah lega? Kalau masih mau marah, enggak apa-apa marah aja. Jangan dipendam, ya, Bun. Nanti Bunda sakit."
Suara Bayu terdengar lagi, membuat Wil diam-diam mencibir. Apa adik tirinya memang munafik sejak lahir? Tidak pernah ada manusia yang betah dimarahi, bukan? Namun, Bayu justru menawarkan diri agar sang bunda meluapkan seluruh kemarahannya. Pemuda itu menyembulkan kepala, ingin melihat dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan.
"Kalau Bunda udah baikan, aku pamit ke kamar dulu, ya, Bun."
Wil menatap kepergian Bayu dari jauh. Ia heran sendiri karena Bayu tak terlihat seperti biasanya. Apa Bayu benar-benar sakit? Detik berikutnya pemuda itu tersenyum masam, merasa bodoh dengan pemikirannya barusan. Apa pedulinya? Bayu sakit atau mati sekalipun benar-benar bukan urusannya.
***
Ini sudah ketiga kalinya Bayu muntah-selain di rumah sang ayah tadi. Tubuhnya benar-benar lemas, terlebih tak ada sedikit pun makanan yang berhasil dicernanya. Sang bunda pun sepertinya tak mau repot bertanya apakah Bayu sudah makan atau belum. Entah karena benar-benar lupa, terlalu sibuk memperhatikan Wil, mungkin juga masih kesal. Bayu berusaha untuk tidak peduli.
Dengan langkah pelan, Bayu keluar dari kamar mandi. Tangannya menggapai-gapai dinding mencari pegangan agar tak sampai limbung.
Tepat saat posisinya sudah semakin dekat dengan tempat tidur, Bayu mendapati sesuatu di atas tempat tidurnya. Apa dia lagi? Bayu bertanya dalam hati. Ia yakin pelakunya memang Wil. Sang bunda tidak akan meletakkan benda semacam ini di atas tempat tidur karena tahu jika tumpah bisa mengundang semut.
Diraihnya benda itu. Botol berwarna gelap dengan label putih dan hijau tosca di bagian tengah bertulis merek berikut kandungan zat aktifnya kini dalam genggaman Bayu. Obat untuk menetralkan asam lambung.
Hubungannya dengan Wil dulu tidak seburuk ini. Saat Bayu masih harus tinggal tiga hari saja di sini, Wil menyambutnya dengan baik. Mereka bermain bersama. Wil juga tak keberatan menjaganya dari anak-anak komplek. Namun, ketika bunda dan papa tirinya meminta Bayu menetap, anak itu mulai berubah.
"Bayu."
Spontan Bayu menoleh ke sumber suara. "Ya, Bunda?"
"Katanya kamu sakit."
"Cuma perih. Makasih banyak obatnya, Bun."
"Lho, Bunda aja baru tahu kamu sakit. Tadi Kakak minta Bunda bawain kamu makan, terus bilang katanya Bayu sakit. Ini Bunda baru ngecek. Jadi, bukan Bunda yang bawain obatnya."
Tiba-tiba Bayu teringat kejadian di UKS tadi. Ia melihat seseorang datang, meskipun kesadarannya belum terkumpul sempurna Bayu yakin itu bukan salah satu di antara sahabatnya. Orang itu sempat meraba dahinya, kemudian pergi begitu saja saat mendengar suara-suara berisik dari arah luar. Apa itu juga Wil?
"Bayu, kok malah bengong?"
"Bilang makasih sama Kakak, Bun. Tapi, aku enggak apa-apa kok."
"Iya nanti Bunda bilang sama Kakak. Kalau Papa pulang, kita langsung ke dokter, ya? Tahan sebentar kuat, 'kan?" tanya Anggia lagi. Ia teringat ucapan mantan suaminya tentang kondisi Bayu. Ternyata benar Bayu sedang tidak dalam keadaan baik.
"Iya, Bun."
"Sekarang obatnya diminum dulu, nanti tidur sambil nunggu Papa."
Anggia mengambil alih botol obat di tangan putranya, menuangkan suspensi berwarna putih di dalamnya ke dalam tutup botol hingga setara dengan satu sendok takar, kemudian membantu Bayu meminumnya.
"Cepat sembuh, ya, Nak. Bunda ke bawah dulu."
Sekali lagi Bayu mengangguk, lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Selang beberapa menit selepas kepergian bundanya, Wil masuk ke kamar sang adik.
"Jangan salah paham. Gue begini karena enggak suka melawan orang yang lebih lemah!"
Bayu tak menanggapi, hanya tersenyum kecil sebagai jawaban. Gue tahu, sekecil apa pun, rasa sayang itu pasti ada.
|Bersambung|