“Yang lebih menyedihkan dari tidak punya rumah sama sekali adalah ketika kamu memiliki dua tempat tinggal, tetapi tetap kebingungan ke mana harus pulang. Bukan karena keduanya sama meminta, justru karena mereka sama-sama tidak mengharapkan kamu ada.”
— Goodbay-u |Ls|
***
"Lho, Bayu enggak ikut sarapan lagi?"
Anggia menggeleng. "Katanya ada yang mau dikerjain sama teman-temannya. Jadi, pergi lebih cepat."
"Lain kali dibikinin bekal, Ma. Seenggaknya bisa sarapan di sekolah kalau enggak makan di sini. Kasihan lho. Tahu sendiri dari dulu lambungnya bermasalah. Kalau makannya enggak disiplin, terus sakit? Mama juga yang repot."
"Enggak apa-apa. Bayu anaknya kuat kok. Waktu masih SD aja dia pernah enggak makan seharian karena aku sama papanya telat pulang. Tapi, sehat-sehat aja. Lagian Papa udah kasih Bayu uang. Dia bisa beli apa pun dengan uang itu."
Dalam hati Wil tertawa. Uang? Kemarin Wil memesan banyak makanan di kantin dan membebankan pembayarannya pada Bayu. Uang jajan anak itu tidak lebih banyak dari Wil. Jadi, bisa dipastikan kalau hari ini Bayu bahkan tidak memiliki uang sama sekali.
Mario geleng-geleng. Mungkin itu yang memicu lambung Bayu bereaksi keras. Kebiasaan buruk yang diterapkan sejak kecil. "Pokoknya mulai besok siapin aja. Mau anak-anak sarapan dulu atau enggak, siapin bekal."
Wil mengepalkan tangan. Hanya karena Bayu suasana meja makan pagi ini jadi tidak nyaman. Biasanya mereka baik-baik saja. Hangat dan tetap bisa bercengkerama di sela-sela kegiatan makan. "Papa jangan marah sama Mama dong. Mama enggak salah lho. Mama udah bangun dari pagi buta demi nyiapin sarapan. Kalaupun Bayu enggak mau makan dulu, ya, itu bukan salah Mama. Kenapa Mama harus repot dua kali bikin bekal buat dia? Manja banget."
"Wil, mulutnya. Biar bagaimana dia itu adikmu. Kamu juga berkewajiban menjaga dia," tegur Mario.
Anggia tahu Wil benar-benar kesal. Perempuan itu segera mendekat, mengusak puncak kepala putra kesayangannya, lalu berbisik, "Jangan ditekuk gitu mukanya. Jelek lho. Ayo senyum dulu."
Wil memaksakan seulas senyum, meskipun ia masih sangat kesal pada papanya.
"Sarapannya dihabisin, ya, Kak."
"Iya, tapi Mama jangan sedih."
Anggia tertawa. "Mana mungkin Mama sedih kalau setiap hari ketemu anak-anak Mama yang ganteng."
Di tempat lain, Bayu pun sedang melakukan hal yang sama. Bedanya, tidak ada makanan mewah seperti yang selalu disajikan di rumah papa tirinya. Hanya ada nasi putih, tempe, dan sayur asem.
"Habisin makanannya, Bang. Maaf seadanya. Ayah kamu belum ngasih uang belanja. Beras aja tinggal sedikit dan sekarang dibagi buat berenam. Bayangin aja, susunya Bian habis, beras habis, Delta maunya jajan terus, Huda banyak kebutuhan sekolah yang harus dibeli. Kepala Ibu rasanya mau meledak. Mana ayahmu gajiannya enggak jelas. Kadang cepat, kadang telat banget. Kalau telat banget, ya, adik-adikmu enggak makan, Bang," papar Viona sembari menyuapi si bungsu.
Makanan yang belum sempat tertelan, mendadak pahit di mulut Bayu. Perutnya pun mual. Ada perasaan bersalah yang merambat memenuhi dadanya, mengundang sesak, mencetak sakit yang tak terjamah netra. Apalagi membayangkan adik-adiknya yang masih kecil sampai tidak makan.
"Ibu tuh semua diomongin di depan anak-anak. Mereka belum pantas mendengar apa yang barusan Ibu omongin. Susahnya kita, cukup kita aja yang tahu."
"Biarin aja. Yang ngerti, kan, cuma Bayu. Lagian, Bayu enggak tinggal sama kita. Dia hidupnya udah enak karena papa tirinya kaya."
Bayu membekap mulut, kemudian berjalan terhuyung ke luar. Pemuda itu membungkuk mengeluarkan isi lambungnya, tidak peduli jika tetangga kontrakan sang ayah melihat kondisinya yang sedemikian menjijikan.
Perutnya sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Tidak ada hal menyenangkan seperti yang disebutkan ibu tirinya. Di sana Bayu tetap merasa tersiksa. Cukup membuktikan bahwa harta tak menjamin kebahagiaan seseorang.
Fahmi tergopoh menyusul putranya, lalu memijat pelan tengkuk leher Bayu. "Kamu sakit, Bang? Telat makan lagi, ya? Bundamu enggak pernah ngingetin makan? Udah tahu lambungmu itu rewel."
Tak langsung terdengar jawaban. Bayu masih sibuk melayani hasrat mualnya, meski tak ada apa pun yang dimuntahkan.
Semula, niat Bayu berkunjung ke rumah sang ayah hanya untuk beristirahat sejenak dari segala penatnya. Ternyata, di sini pun Bayu justru dihadapkan pada situasi yang tak kalah sulit.
Sang ayah langsung mengulurkan gelas, memberinya minum setelah yakin Bayu tidak akan muntah lagi. Sementara sebelah tangannya tak berhenti mengusap punggung Bayu.
"Maafin Ayah, ya, Nak. Seandainya Ayah punya kerjaan tetap, mungkin kamu bisa di sini sama kita."
Bayu menyeka sudut matanya yang sedikit berair, kemudian menatap sang ayah dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Enggak apa-apa, Yah. Bunda tetap perhatian kok. Papa Mario sama Kakak juga baik. Nanti kalau ada rezeki, aku main ke sini lagi. Bawa mainan atau makanan buat Adek."
Fahmi mengusap puncak kepala putranya.
"Aku sekolah dulu, ya, Yah."
"Kalau enggak kuat, izin pulang aja, ya, Nak."
Pemuda itu mengangguk, sekadar menenangkan ayahnya. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
***
Hanin bingung karena seharian ini Bayu lebih banyak diam. Saat Sabil dan Naren bergantian menggoda pun, Bayu hanya menanggapi seadanya. Meskipun sahabatnya memang berkulit putih, tetapi terlalu pucat untuk ukuran orang sehat.
"Yung, ke UKS sana." Arsen berbisik. Berkali-kali kursinya ditendang Hanin dari belakang, hanya karena Arsen tak juga berhasil membujuk Bayu ke ruang kesehatan.
"Aries Tegar Pratama, apa orang di sebelah kamu lebih menarik dibanding penjelasan Ibu di depan?"
Aries meringis karena tertangkap basah tidak memperhatikan. Kegaduhan yang tercipta karena perdebatan kecil Hanin dan Arsen, berhasil membuyarkan konsentrasinya.
"Ada yang sakit, Bu."
Bu Alifa mengikuti arah pandangan Aries, kemudian berjalan mendekat. "Bayu?"
Bayu hanya bergerak kecil tanpa memberi jawaban. Jangankan menjawab, membuka mata saja berat.
Perempuan berjilbab itu mendaratkan punggung tangannya di pipi Bayu, seketika hawa panas seakan menyengatnya. "Arsen, Aries, tolong dibawa ke ruang kesehatan aja. Badannya panas banget."
"Alasan aja itu, Bu. Aslinya cuma lagi malas belajar sama Ibu, jadi pura-pura sakit."
"Lo emang enggak punya otak, ya, Wil? Dia adik lo kalau lo lupa. Bu Alifa sendiri yang bilang Bayu panas kok. Jadi, mana mungkin ini akal-akalannya aja." Naren yang mendengar celetukan Wil langsung terpancing. Ia tidak terima sahabatnya dituduh macam-macam.
"Sudah! Kenapa kalian malah bertengkar? Coba Bayu dibangunkan, diajak ke ruang kesehatan biar bisa istirahat."
"Yung," panggil Arsen sembari mengguncang tubuh sahabatnya. Namun, Bayu tak memberi reaksi berarti.
Akhirnya Aries bangkit, ia berinisiatif memapah sahabatnya ke ruang kesehatan. Saat berusaha menegakkan tubuh Bayu, sahabatnya itu lebih dulu ambruk.
"Astaga, Yung!"
Sabil, Naren, dan Arsen refleks berdiri diikuti beberapa siswa lain yang tak kalah panik. Hanya Wil yang mematung di tempatnya, tetap tenang, cenderung senang melihat apa yang terjadi pada Bayu. "Dasar lemah," cibirnya pelan.
Hanin yang sempat menangkap basah sosok Wil tengah tersenyum, langsung melempar tatapan tajam. "Enggak punya hati dasar." Gadis itu bertutur pelan. Seandainya tidak sedang belajar, Hanin pasti menumpahkan semua kekhawatirannya pada Bintang. Hanya kepada orang itu Hanin bisa bicara jujur tentang perasaannya.
|Bersambung|