"Aku berangkat dulu ya, hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa hubungi aku," titah Armand, mengulur tangannya untuk di sambut Siska--istrinya.
"Nanti aku bawakan makanan kesukaanmu lagi, atau kau mau di belikan yang lain, hem?" tanya Armand, alisnya terangkat.
Siska hanya menerbitkan senyuman yang tampak di paksakan hadir dari bibirnya."Terserah Mas, saja." Sahutnya.
Armand menarik napas, menimpali ucapan Siska dengan senyuman."Baiklah, aku pergi ya,"
Siska mengangguk samar, tidak perlu bayangan mobil lelaki itu lenyap dari pagar menjulang tinggi itu, Siska telah menutup pintunya.
Pemandangan rumah tangga jika di lihat dari satu arah, akan terlihat bahagia. Di tambah dapat menikah dengan seorang CEO. Dalam pikiran orang yang melihat, semua terlihat bahagia dan baik-baik saja.
Tiba di kantor, Armand keluar dari mobil. Membiarkan mobilnya di bawa tepat parkir khusus oleh salah satpam yang bertugas di sana. Susana kantor mulai kedatangan karyawan untuk melaksanakan kewajiban mereka atas pekerjaan yang mereka emban.
"Armand!" panggil seorang lelaki, yang tak lain sekretarisnya--Hans. Pria itu berbalik. Ia melihat Hans menghampirinya dengan langkah lebar. Napasnya nampak tersenggal-senggal, di tambah ia menaiki tangga untuk sampai di dekat Arman sebelum masuk kantor.
Armand sengaja mengangkat jamnya."Bersyukur ini belum jam kantor, kalau tidak mungkin akan aku hukum kau."
Hans mengatur napasnya, saat kini kakinya terhenti di hadapan Armand. Kebetulan belum masuk jam kantor, Hans akan membicarakan sesuatu pada Armand.
"Mumpung ini belum jam kantor, aku akan menyampaikan sesuatu padamu, sebagai sahabat." Hans masih menangkap wajah datar lelaki itu."Katamu, istrimu selalu menunggu kepulanganmu di rumah?" tanyanya.
Armand mengangguk tegas."Iya," jawabnya singkat.
Untuk apa dia berbohong, Armand meyakini itu, bahwa Siska tidak kemana-kemana dan berdiam diri di rumah.
"Yakin," pancing Hans."Apa kamu sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang istrimu?"
Kali ini membuat Armand mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu cukup mengusik telinga Armand."Sebenarnya ada masalah apa kamu dengan istriku, pertanyaan barusan, tidak enak di dengar. Seperti adanya penilaian buruk pada istriku."
Hans sudah tahu, bahwa itu tanggapan dari Armand. Oleh sebab itu, ia telah mempersiapkan diri berhadapan dengan pria itu."Maaf, ini mungkin bukan wilayahku untuk masuk dalam urusan privasi kalian, tetapi aku tidak ingin kau menanggung semua ini."
Alis Armand terangkat. Menarik Hans untuk masuk ke dalam lift pribadi Armand, yang tersambung langsung dengan ruangannya.
Saat pintu lift berdenting, Armand mendorong Hans."Apa maksud ucapanmu?!"
Tubuh Hans sempat terhuyung, namun tidak sampai di lantai. Pembicaraan yang terdengar serius itu, Armand terpaksa menarik pria itu masuk ke dalam lift, agar karyawan lainnya tidak mendengar.
Hans tampak menimang-nimang, memilih kata yang pas untuk menyampaikan pada Armand."Gini, aku tidak asal tuduh. Sebelum aku datang ke hadapanmu saat ini, aku telah mengumpulkan semua bukti."
Hans mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan beberapa foto Siska, keluar dari rumah menaiki motor sport, berwarna hitam legam. Di dalam foto itu terlihat pelukkan erat dari Siska untuk pria tersebut. Dari setiap gambar memakai baju yang berbeda-beda.
"Kamu dapat ini dari mana?" suara Armand seperti mengintrogasi. Terdengar serak, namun penuh nada penekanan. Kepala Armand mulai mendidih, sorot matanya menajam kepada Hans.
"Setiap hari aku lewat di depan rumahmu. Saat awal aku melihat, aku pikir itu kau yang memakai motor sport. Tetapi saat di kantor, ternyata memakai mobil," Hans melongoskan napasnya."Coba kamu selidiki istrimu ... Syukur-syukur semua tuduhanku salah." Hans menepuk-nepuk bahu Armand.
Sore itu, Armand pulang. Memberhentikan mobilnya pada carport mobil. Melangkah menuju pintu rumah.
Dari dalam terdengar pelan suara ketukan pintu, Siska bergegas keluar dari kamar dengan raut wajah yang cukup tegang. Tangannya sampai gemetar, mematikan panggilan telpon.
Siska menarik napas, lalu membuang perlahan. Untuk menetralkan rasa cemas membaur di pikirannya. Kemudian, wanita itu bergegas membuka pintu.
Armand melebarkan senyuman, sambil mengulurkan martabak telor yang ia beli sebelum pulang."Ini untukmu, kau suka? Aku tadinya ingin membelikan nasi goreng seperti biasa, tetapi takut kau bosan. Seperti pasangan, yang terkadang bersikap baik, penuh perhatian, namun tetap aja rasa bosan itu menghampiri, semua terasa hambar," Armand berbalik, melihat Siska yang menghentikan langkahnya, wajah wanita itu berubah pias.
"Kamu kenapa sayang? Ada masalah?" tanya Armand, melihat kening Siska berkerut.
Siska tersentak dari lamunan, dalam sedekap kecemasan."Ti-tidak, perutku sakit seperti mau datang bulan."
"Apa kita kerumah sakit saja? Biar di obati rasa sakitnya," Armand mendekati istrinya, menampakkan rasa simpatinya pada wanita itu.
"Tidak perlu, Mas," sanggah Siska."Nanti juga hilang."
"Aku buat teh hangat saja ya, duduklah di sini," Armand menuntun Siska duduk di sofa panjang."Tunggu sebentar,"
Armand membawa teh untuk Siska, memberikan pada wanita itu untuk ia minum."Kamu mau makan apa? Biar aku pesan online."
"Terserah, Mas saja," Siska mengalihkan netra matanya kesembarangan arah, saat Armand menatap penuh padanya. Sebab, Siska tidak mau menolak untuk pesanan online makanan dari Armand, kalau dia menolak, pastinya pria itu akan bertanya secara detail nanti.
Selesai memesan makan malam, Armand bersuara."Sudah aku pesan. Sambil menunggu aku akan mandi dulu."
Siska hanya mengangguk perkataan Armand, pria itu berlalu dari hadapannya.
Pergerakkan Reynard mulai luput dari mata Siska, seketika bahu wanita itu melorot seperti mengangkat benda berat di dadanya. Sampai tubuhnya mengalir keringat dingin, bahkan ujung baju Siska jadi sasaran remuk dari tangan basah wanita itu. Berusaha menghilangkan keringat yang terus menerus mengalir.
"Kenapa tadi Mas Armand sampai berucap seperti itu? Ah, tidak -tidak, sepertinya ini hanya perasaanku saja. Ketakutan kalau sampai Mas Armand tahu." Gumam Siska.
***
Jika saja hatinya tidak di selimuti kegelisahan dan tanda tanya, apa lagi ini menyangkut istrinya, Armand tidak akan mau menunggu dari kejauhan setelah pamit pergi ke kantor pada Siska. Ini hanya alibinya saja. Pria itu ingin membersihkan nama istrinya dari Hans. Menyanggah segala bukti yang cukup kuat.
Armand menggusar wajahnya yang terlihat tidak tenang sedari tadi. Hingga rambut yang mulai acak-acakkan. Jari jemari, mengetuk pada setir mobil. Matanya sama sekali tak teralihkan lurus kedepan jalan dari balik kaca mobil itu.
Setengah jam kemudian, sebuah motor sport berhenti di depan rumah. Terlihat pria itu menunggu di luar.
Sontak sorot mata Armand menajam, tangannya mengepal pada setir mobil, rahang tegak memperjelas wajah berangnya."Siapa dia? dari motornya sama persis dengan di dalam foto itu." terkanya.
Tidak lama kemudian, pergerakkan pintu gerbang terbuka. Menampakkan sosok Siska memakai celana jeans panjang, dan baju kaos pendek. Memakai jaket levis hitam. Pria itu langsung memberikan helm untuk di pakai Siska.
Tidak hanya memberi Siska Helm, pria itu juga membantu memakaikan pengait pengaman kepala tersebut.
Bersambung ...