Di balik alis mengerut, sorotan mata tajam Armand mematri sang istri bersama pria lain jauh di depannya. Tangan Armand mengeras pada stir mobil. Bukan hanya sekedar mengaitkan Helm, Siska juga menaiki motor sport lelaki itu. Ingin sekali, Armand menyanggah perkataan Hans padanya. Menegakkan Siska dengan bangga, bahwa segala tuduhan mengenai sang istrinya salah!
Namun, dengan mata telanjang Armand melihat dengan jelas apa yang di buat Siska di belakangnya. Hari ini, Armand tidak akan membiarkan Siska dan pria itu menjalin hubungan yang tidak semestinya. Di mana letak harga dirinya sebagai seorang suami? Jika dengan bebas Siska pergi dan pulang dengan lelaki lain. Di saat Armand tidak berada di rumah.
"Kemana mereka?" gumam Armand, melihat Siska sekarang menaiki motor sport, motor itu mulai menelisik jalan beraspal.
Tentunya Armand tidak membiarkan semua itu terjadi. Menjaga jarak dengan Siska, Armand terus mengikuti Siska. Pelukan mesra Siska pada pria itu, entah siapa namanya, membuat mata Armand memanas.
"Apa yang ada di kepalamu, Siska?kamu istriku! Tapi, mengapa kamu tidak menghargai aku sebagai suamimu? Kita memang di jodohkan. Tapi, tidak adakah perasaanmu padaku?" Armand bertanya-tanya dalam hati.
Mengikuti dari belakang, dan terus menjaga jarak, akhirnya Siska dan pria itu tiba di sebuah hotel berbintang lima. Tempat itu semakin membuat Armand tidak mengerti, mau apa Siska bersama pria itu datang ke tempat ini. Sedangkan selama mereka menikah, Siska tidak pernah meminta untuk menginap di hotel.
"Hotel?" tanya Armand bingung. Tidak tahu pikirannya harus positif dengan tempat ini atau berburuk sangka pada istrinya sendiri.
Armand membuka pintu mobil. Saat Siska dan pria itu melangkah bersama masuk ke hotel. Mendatangi resepsionis hotel, Armand melihat pria yang memboncengi istrinya menuju salah satu kamar. Armand tidak ingin mematung, berdiam diri saat kini gemuruh amarah di hatinya mengambil alih.
Selama langkah mereka melalui koridor hotel, tertawa ria menggambar wajah istrinya. Apa lagi tangan pria itu melingkar di pinggang Siska, terlihat bahwa perempuan itu tidak keberatan.
Tepat di kamar bernomor 205, Siska bersama lelaki itu masuk. Armand bersembunyi di balik dinding. Saat Siska memantau sekitar koridor. Ketika pintu di tutup oleh Siska, Armand keluar dari persembunyiannya.
Langkah lebar Armand menuju kamar yang kini di tempati Siska. Berdiri sejenak di depan pintu, Armand menggedor pintu kamar hotel.
"Siapa sih itu?" tanya Siska dengan kesal, kenyamanannya bersama pria di dalam, terusik akan ketukan pintu.
Lelaki di sebelahnya menggeleng tegas."Biar aku yang membukanya," ujar lelaki tersebut.
Sisil mengangguk cepat. Wajah bersungutnya sangat jelas terlihat. Sisil memperbaiki buah bajunya yang tersingkap. Ia ikut menoleh pada pintu, penasaran akan gerangan orang yang menganggunya.
"Buuugggg! Bugggg!!"
Dua bugam mentah mendarat di pipi lelaki Robi Bimantara--lelaki bersama Siska, yang tak lain kekasihnya dulu. Robi tersungkur ke lantai. Darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah.
"Kurang ajar! Brengseek!" erang Armand, tangannya masih mengepal kuat, rahang dengan pahatan yang sempurna itu mengeras, dengan rona wajah memerah, serta sorotan mata menyalak penuh amarah.
Mata Siska membelalak penuh, bola matanya seolah hendak keluar dari tempatnya. Tubuh Siska ketakutan melihat suami sahnya berada di dalam kamar hotel. Siska turun dari tempat tidur, saat Armand hendak meraih kerah baju Robi. Sisil berlari untuk menengahi Armand.
"Mas, cukup! Tolong hentikan!" pekik Siska, Armand yang gelap mata tidak mengindahkan perkataan sang istri.
Armand mendorong Siska, perempuan itu terhempas ke dinding. Kepala Siska terbentur, memar."Beraninya kau membawa istriku! Brengseek!" Lagi-lagi Armand memberi Robi pukulan keras di perutnya.
Siska berusaha berdiri, berlari memegangi sang suami."Cukup, Mas! Aku yang membawanya ke sini! Bukan dia!"
Pukulan tangan yang telah mengudara, siap untuk di layangkan oleh Armand, seketika terhuyun ke bawah. Tatapan nanar di mata Armand menyoroti sang istri.
Air ludah Armand tertegun sakit di tenggorokannya. Mendengar Siska dengan lantang mengatakan bahwa dia yang membawa lelaki itu ke hotel."Mari kita pulang." ajaknya.
Siska menggeleng samar. Matanya menegas tajam pada Armand.
Bersusah payah Armand mengeluarkan ucapannya sehalus mungkin pada Siska. Sebab, di sini bukan tempatnya menyelesaikan masalah. Siska malah melempar tatapan tidak suka pada Armand.
Ia tidak mengacuhkan permintaan Armand, malah menolong Robi untuk berdiri. Dengan penuh perhatian, Sisil meraih tangan Robi, membantu lelaki itu bangkit dari bawah sana."Kamu tidak apa-apa?" tanya Siska.
Robi menggeleng pelan."Aku tidak apa-apa,"
"Tapi kamu terluka," Siska mengusap darah yang mengalir di sudut bibir Robi.
Mata Armand bergetar perih. Siska benar-benar tidak peduli dengan keberadaannya. Di depan Armand, Siska menunjukkan sikapnya secara terang-terangan.
Tanpa berkata banyak, Armand memilih keluar dari kamar hotel dengan perasaan hancur berkeping-keping. Ia tidak menyangka istri pilihan orang tuanya memperlakukannya layaknya lelaki tidak berguna. Ia menerima perjodohan ini, berharap suatu saat nanti jatuh cinta dalam pernikahan dapat ia rasakan.
Namun, kenyataan pahit perselingkuhan sang istri malah ia dapatkan. Apa yang harus ia katakan pada orang tuanya? Apa yang harus ia katakan pada Hans, membenarkan tuduhan Hans pada istrinya.? Rasanya memang begitu.
Armand melangkah lebar, menuju mobilnya. Rasa amarah yang memburu dalam dadaa, Armand tidak melampiaskan pada Siska. Sebab, mengasari Sisil sebagai perempuan yang lemah, sama dengan mengotori tangannya sendiri. Lebih baik perempuan itu bersenang dengan pria yang di cintainya.
Laju mobil Armand memacu di atas delapan puluh. Bayangan penghianatan sang istri masih berterbangan di manik matanya.
"Aargghhhh ..." Erang Armand dalam mobil. Lelaki itu memukul stir mobil. Sampai tangannya yang memar dan berdarah tidak terasa sakit oleh Armand. Tidak sesakit hatinya yang tersayat sembilah bambu.
Sesampainya di rumah, Armand melangkah lebar masuk ke rumah. Langkahnya mondar-mandir seraya menggusar rambut. Raut wajah yang sembraut, tergambar nyata.
***
Malam pun tiba, Siska sampai di rumah yang di tempati Armand. Terlihat rumah itu sunyi. Tidak ada pergerakkan lelaki itu ia temui. Dengan santai, tanpa rasa bersalah Siska menuju kamarnya. Di depan kamar ternyata sudah ada koper berisi bajunya.
Siska sesaat memandangi koper itu. Ia tahu, kembalinya kerumah ini tidak akan di terima baik oleh suaminya. Sungguh di luar pikiran Armand, selayaknya tanpa beban Siska menggeret koper keluar dari rumah itu.
"Selama aku hidup, dan mulai mengerti apa itu cinta, seumur-umur aku baru melihat perempuan yang tidak punya malu sepertimu!" Suara bariston dengan nada penekanan itu keluar dari tempat persembunyiaannya. Dengan tangan berlipat di atas perut, langkah Armand mendekati Siska yang masih bergeming. Tubuhnya membelakangi Armand.
Telinga Siska sakit mendengar pria itu bicara. Ia merasa di hina oleh Armand, perempuan itu tidak merasa bersalah, dan mempunyai malu untuk memijakkan kakinya di rumah ini.
Bersambung ....