BAB 1| Devon Anderson

1395 Words
Berbohong bukanlah perihal yang bagus, tidak pernah ada kebohongan yang ternilai bagus. *** Devon Anderson. Gadis kecil yang menyebut dirinya Lily, mengganggu siang tenang milik Devon. Lihatlah, senyuman ceria yang Lily tampilkan adalah pertanda bahaya bagi Devon. Tidak mendapatkan jawaban dari pamannya? Tidak hilang akal, Lily berlari mendekat ke arah meja kerjanya. "Om Devon, ayo makan! Lily lapar." Devon meraup mukanya. Dalam hatinya, ia mengumpati saudara sepupunya yang satu itu, Brandon. Devon bisa menebak bahwa Brandon yang menyuruh Lily untuk merecokinya. Melihat Devon yang tetap diam saja di tempatnya, membuat Lily geram. Tangannya menarik celana khaki milik Devon dengan erat. "OM DEVON!" Devon menatap Lily secara skeptis. Umpatan tertahan di dalam hatinya bahkan sempat ingin keluar saat itu juga, ketika Lily mengagetkannya secara tiba-tiba. "Lily makan sama papanya Lily aja, ya. Ayo, Om anter," rayu Devon. Lily menjauhkan tubuhnya saat Devon bersiap untuk menggendongnya. Gadis kecil itu malah berkacak pinggang dengan raut muka sinis menandakan tidak menerima penolakan atau alasan apapun dari Devon. "Makan siang, Om Devon!" "Iya, makan siang, Lily," tutur Devon lembut. "tapi Lily makan siangnya sama papanya Lily aja, ya. Om masih harus kerja." Telunjuk Lily bergerak ke kanan lalu ke kiri secara apik. "No! Kata papa sama oma, kalau udah siang harus makan siang! Tidak boleh bekerja dulu, Om. Harus makan siang!" Devon memicingkan matanya, berdebat dengan Lily saat dirinya masih harus memikirkan keputusan untuk bisnisnya nanti, bukanlah hal baik. Lagi pula, nampaknya Lily sudah teracuni oleh omongan tante-tante dan mamanya. Ditambah ingatan Lily yang cukup kuat untuk mengingat dan meniru apapun yang ia lihat, Lily terbilang cerdas untuk anak kecil seumurannya. Sebaliknya, kecerdasan Lily membuat Lily terlihat sangat menyebalkan di mata Devon. "AYO!" Lily memelototkan matanya saat Devon tak kunjung berdiri dari kursinya. Oh, astaga. Lihatlah perangai Lily yang satu ini, benar-benar peniru ulung. Jangan tanya dari mana Lily mengetahuinya, Devon bahkan sudah tidak kaget dan ini semua sangat tertebak. "Ayo, Om Devon. Cacing-cacing di perut Lily sudah bernyanyi sejak tadi." Devon memutar bola matanya melihat tingkah Lily yang semakin menjadi. Sepertinya Devon perlu memberi tahu keluarga besarnya untuk tidak terlalu banyak bertingkah saat di depan anak kecil. Lily tersenyum semringah sembari merentangkan tangan, menunggu Devon meraihnya. "Kenapa Lily enggak makan siang di sekolah aja?" tanya Devon yang agak kesulitan memposisikan Lily dalam gendongannya. Tas besar berbentuk koper berada di punggung Lilylah peyebabnya. Devon sendiri tak habis pikir apa fungsi tas untuk anak kecil berusia kurang dari 5 tahun seperti Lily. Mungkin buku yang dibawa hanya satu, jadi untuk apa memakai tas sebesar ini? Sangat tidak efisien sekali. Lily mendekatkan wajahnya ke telinga Devon, tangan Lily sudah mengambil posisi untuk menutupi mulutnya. "Om Depon tahu, nggak?" bisik Lily. Devon menggeleng. "Kata mama, makanan di sekolah itu banyak ulatnya; kotor; tidak sehat." Lily bergidik ngeri. "Lily enggak boleh makan di sekolah. Kata mama itu nanti bisa bikin Lily sakit perut. Lily tidak mau sakit perut." Devon menatap Lily dengan tidak percaya. Bagaimana bisa Shanon—mamanya Lily—mendidik anaknya seperti ini? Ini terlalu berlebihan, sangat disayangkan otak suci Lily terus-terusan terdoktrin hal-hal yang tidak benar adanya. Pernyataan yang Lily ingat barusan, terdengar seperti mengada-ada dan karena Lily yang masih sangat kecil, mau tak mau Lily menerima dan mengiyakan apa yang orang tuanya katakan secara leluasa. Devon kira hanya Brandon saja yang berpemikiran sempit, ternyata Shanon juga. Apa yang Lily katakan tadi? Makanan di sekolah banyak ulatnya, kotor, dan tidak sehat? Lalu bagaimana dengan Devon yang akan berniat untuk mengajak Lily pergi makan ke restoran cepat saji dan memakan junk food sebagai santapan makan siang kali ini? Bukankah itu sama tidak sehatnya? Lucu sekali. "Jadi Lily enggak makan sama sekali waktu di sekolah tadi?" Lily menggeleng. "Makan. Mama buatin Lily roti isi stroberi dan keju, enak sekali." "Bagus." Tangan Devon berusaha melepas tas gendong Lily, nyatanya ia gagal untuk menahan keluhan dan umpatan di depan Lily. Keberadaan Lily yang secara tiba-tiba ke ruangannya dan mengganggu acaranya untuk mengambil keputusan, sudah mengganggu waktunya. Sikap Lily yang menyebalkan menjadi urutan teratas sebagai perusak moodnya dan tas sialan Lily yang tidak tahu apa gunanya, terang-terangan menyentil mood meternya hingga jarumnya terjungkal anjlok. "Kenapa Lily enggak minta makan sama papa aja tadi?" Lily menggeleng. "Atau minta makan sama mama aja?" Gelengan kembali menjadi jawaban mutlak yang Lily berikan. Devon menghela napas, Lily benar-benar berhasil mengacaukan harinya. "Kenapa Lily harus minta makan ke Om?" Lily menyentuh pipinya dengan sedikit raut terukir di bibir mungilnya, lalu berbisik. "Soalnya Lily udah minta adik lucu ke mama sama papa. Terus kata papa kalau Lily mau adik kecil, Lily tidak boleh mengganggu mama dan papa. Nanti adik kecilnya ngumpet, enggak jadi keluar. Jadi Lily minta makan sama Om Devon, deh." Devon menganga mendengar penjelasan Lily. Bulshit apalagi yang Brandon katakan dan Lily percaya-percaya saja? Plak. Kata hatinya menampar Devon dengan telak. Lily masih kecil, bodoh. Lily meraih hidung Devon, mengusahakan pandangan Devon menatap ke arahnya. Belum sampai perkataan yang akan Lily ucapkan keluar dari mulutnya, perasaan Devon sudah tidak enak. Jangan bilang kalau Lily akan— "Om Devon, kenapa Lily tidak boleh mengganggu mama sama papa, ya?" bisik Lily. "Memangnya adik kecil masuk perut mama lewat mana?" Lagi-lagi Devon harus memutar otaknya untuk menjawab pertanyaan Lily, belum ada di jam dirinya bersama Lily namun otaknya harus dituntut berpikir keras. Ingatkan Devon untuk menonjok kepala Brandon saat bertemu nanti. Semoga tonjokannya mampu menyadarkan Brandon untuk tidak bersikap bodoh. "Om Devon, dari mana?! Lily jadi penasaran tahu!" Kebingungan datang melanda Devon seketika itu juga. Bagaimana cara menanggapi pertanyaan Lily? Gadis ini terlalu kecil untuk mencerna makna sebenarnya. Oh lagi, mengapa masalah yang dibuat Brandon, harus Devon yang menyelesaikannya? Tidak adil sekali. "Kenapa Lily tanya sama Om?" Bibir Lily mengerucut lucu. "Soalnya kata mama, Lily boleh tahu kalau Lily sudah besar." Devon manggut-manggut. "Ya udah, kalau gitu Lily harus nunggu dewasa baru boleh tahu." "Eits." Devon memperingatkan saat Lily berusaha membuka mulutnya untuk membantah. "Tidak boleh ngeyel, harus sabar." Lily menerkam pipi Devon, geregetan. "LILY PENASARAN TAHU!" Devon tertawa terbahak melihat tingkah Lily, sepenasaran apa anak umur kecil ini. "Disimpan dulu rasa penasarannya. Tas Lily ditinggal di meja aja, ya?" Devon sangat tidak siap dengan pergerakan Lily yang secara tiba-tiba merosot dari gendongannya. Untung saja Lily tidak terjatuh, dirinya tidak menemukan torehan luka di kulit mulus Lily. Devon bisa mati berdiri, jika Lily kenapa-kenapa. "Lily, kalau mau turun bilang-bilang dulu. Kalau tadi Lily jatuh gimana?" seru Devon. Lily sama sekali tidak menggubris perkataan Devon dan malah berjalan menjauh dari jangkauan Devon, tangan mungilnya mendekap tasnya erat-erat. "Lily mau tas Lily, tidak boleh ditinggal." Devon menatap Lily tajam, Lily juga menatap Devon tak kalah tajam. Apa yang sebenarnya Lily inginkan? Mengapa Devon harus terjebak dengan monster kecil ini? Kenapa Brandon dan Shanon tidak membawa Lily ke day care atau menyewakan pengasuh bayi saja? Mengapa harus dirinya? Mengapa harus Devon? Astaga, makhluk kecil di depannya ini juga lama-lama menyebalkan. "Tas Lily berat. Kalau makan tidak boleh bawa tas, Lily. Nanti dimarahi sama mbak-mbak yang ada di sana. Lily tidak boleh masuk loh, nanti. Kalau tidak boleh masuk, Lily makan di mana? Katanya tadi Lily lapar, iya, kan?" Lily memelototkan matanya. "Boleh, mama sama oma kalau makan bawa tas. Kalau tidak bawa tas, tidak bisa bayar malah diusir. Jadi harus bawa tas, Om Devon." Lagi-lagi Devon kembali dikejutkan dengan ulah Lily. Mengapa dirinya sudah sekali untuk membohongi Lily? Kesialan Devon kembali bertambah saat Lily lebih mempercayai hoax yang orang tuanya katakan daripada mempercayai ucapannya. "Bayar makan itu pakai uang, Lily. Enggak bawa tas, enggak apa-apa yang penting bawa uang. Emang di tas Lily ada uang?" Lily membuka kunci tasnya yang mirip koper. "Balik badan, Om Depon enggak boleh ngintip. Kata papa ini rahasia." Devon berbalik badan menuruti kemauan Lily. Lebih cepat menuruti Lily berarti lebih cepat makan siang, lebih cepat makan siang itu tandanya Lily akan lebih cepat pergi. Lily pergi itu artinya ia akan lebih cepat kembali ke meja kerjanya. Devon menganggap remeh, menebak-nebak apa yang disembunyikan Lily. Memangnya barang sepenting apa yang disimpan anak berumur 5 tahun? Dengan perlahan resleting tas Lily terbuka, tangan kecilnya meraba-raba ke dalam. Lily mulai mengeluarkan satu per satu isi tasnya. Inilah hal yang menyebabkan Devon menganga tak percaya. 5 kotak slime ukuran medium dan belasan kinderjoy, Lily acungkan di depan matanya. "Slime," teriak Lily sangat bersemangat. Bagaimana bisa ceritanya makan siang dibayar pakai slime sama kinderjoy? Mana bawanya banyak banget lagi. Tolong jelaskan pada Devon, apa manfaatnya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD