BAB 2| Terjebak

1581 Words
Ingin merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, namun takut untuk mengawalinya adalah aku. · • -- ٠ ✤ ٠ -- • · Tangan Lily mulai menghitung list makanan yang ia ingat dan ingin dimakannya. Devon benar-benar memilih restoran fast food sebagai tempat makan siang kali ini. "Lily ingin makan ayam pakai baju, roti isi daging, kentang, es krim—" Angan-angan Lily harus pupus saat itu juga. "Tidak." "Tapi Lily lapar, Om. Lily ingin makan," keluh Lily. Inilah bunda, pentingnya ASI eksklusif sejak dini. Tidak! Bukan Lily yang Devon maksud, tetapi Brandon. Sepupunya yang satu itu sangat pintar sekali membodoh-bodohi anaknya hingga menjadi seperti ini. Itu juga menjadi salah satu alasan Devon, mengapa ia tidak menginginkan untuk nikah muda. Kesiapan finansial tidak sepenuhnya menjadi fondasi utama, dirinya belum siap secara batin. Ketakutan memiliki anak perempuan nantinya juga menambah daya takutnya untuk memilih menikah muda. Tangan kecil Lily mendarat cukup kuat di dahi Devon. "Lapar! Lily lapar." "Iya, sabar, Lily." Butuh tingkat kesabaran penuh untuk menghadapi monster kecil macam Lily. Netra Devon menyusuri kerumunan yang ada, mencari celah di mana ia bisa mendapatkan tempat duduk. Jangan tanya, ingat ini jam makan siang. Sudah dapat dipastikan semua bangku yang ada sudah terpenuhi oleh ratusan manusia yang kelaparan. Karena inilah Devon sangat rajin seklai untuk melewatkan jam makan siangnya. Berdesak-desakan dengan orang; mengantre hanya untuk membeli makan; menunggu bangku kosong untuk makan, bukanlah hobi Devon. Satu bangku di samping pot besar menjadi incarannya. Devon buru-buru melangkahkan kakinya menuju bangku itu, bangku yang juga menjadi target incaran semua orang yang kelaparan di ruangan ini.  "Lily duduk di sini dulu, ya." Bukannya mengiyakan, tangan mungil Lily malah mempererat rangkulannya di leher Devon. Benar-benar menyebalkan, bukan?  "Enggak mau! Lily mau makan!" Devon mendaratkan pantatnya di kursi, singa-singa lapar melirik bangku ini menjadi sasaran empuk dan Lily dengan menyebalkannya tidak mau lepas darinya. Kapan siang ini akan berakhir? Devon sudah tidak kuat. Devon berusaha berdamai dengan Lily untuk siang ini. Pikirannya terlalu penuh untuk meladeni sikap Lily yang semakin lama semakin menyebalkan. "Lily tunggu di sini dulu, ya. Om mau pesan makan siang dulu, oke?" Lily menatap Devon tajam dengan bibir yang mengerucut, seolah-olah ingin mempermainkan pamannya yang satu ini. Devon hanya perlu Lily mengangguk, mengharapkan Lily menjadi princess baik hati untuk beberapa jam ke depan.  Harapan Devon nampaknya hanya sekadar wacana belaka saja. Gelengan dari Lily yang ia dapatkan. Beginilah Lily, jika baik akan sangat baik hati sekali. Begitu sebaliknya jika sedang menyebalkan, akan sangat menyebalkan sekali. Nampaknya siang ini Devon harus menyiapkan kesabaran yang ekstra untuk menghadapi Lily dalam mode menyebalkan. Devon melirik tas berbentuk koper milik Lily yang tak kalah menyebalkan. Lampu pijar dalam otaknya menyala terang. Dengan amat pelan, Devon memindahkan Lily dari gendongannya ke kursi yang ada. Tangannya beralih melepas tas Lily, membuka kunci kombinasi yang tak sengaja ia lihat tadi, lalu mengeluarkan peralatan perang Lily yang katanya untuk sekolah namun lebih pantas disebut sebagai peralatan bermain itu di atas meja. "Lily main ini sebentar, ya—" Belum sampai Devon selesai mengucapkan rayuannya, Lily menatapnya tajam. Seolah tatapan Lily mampu menembus otaknya. Devon mengembuskan napas lelah, sangat susah membohongi anak kecil seperti Lily. "Lily tunggu Om di sini." "No no no! Dengerin Om, dulu." Tebakan Devon benar, Lily sedang mode tidak asik. "Sebentar. Hanya sebentar. Lily lapar, kan?" Lily mengangguk. "Kalau gitu dengerin Om. Lily jangan pergi ke mana-mana sebelum Om datang ke sini lagi." Tak ada tanggapan apapun dari Lily, hanya tatapan datar tidak peduli apa yang sedang dibicarakan oleh Devon. "Kalau Lily jadi anak baik, nanti Om kasih hadiah," sambung Devon. "Pinky promise?" Lily menyunggingkan senyum amat lebar. Tidak ada yang lebih menyebalkan dari seorang Lily, anak kecil mana yang pandai mengelabuhi? Tolong katakan pada Devon! Dengan bodohnya, Devon malah terkena akting jebakan ala Lily. Benar-benar menyebalkan. "Ayo mana pinky promisenya?" todong Lily. Mau tak mau Devon menyodorkan jari kelingkingnya untuk dikaitkan dengan jari Lily. "Nanti kita beli merah-merah untuk pipi ya, Om." Devon melayangkan tatapan skeptis untuk Lily. Apa yang dimaksud merah-merah untuk pipi? Apa yang Lily maksud adalah pemerah pipi? "Ah, Lily mau cantik seperti mama." Di luar dugaan sekali. Devon benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikir monster kecil ini. Bibit-bibit genit Lily sudah nampak sejak dini. Sepertinya, wajib bagi Devon untuk mengumumkan aturan ke keluarga besarnya untuk tidak berkata dan berperilaku sembarangan di depan anak kecil. Tanpa ingin membuang waktu lagi, Devon membalikkan badannya, bersiap untuk meninggalkan Lily. Hingga teriakan Lily terdengar kembali. "Jangan lama-lama ya, Om." "Hmm." Hanya deheman yang Devon keluarkan sebagai jawaban.  Mengiyakan apa yang Lily inginkan adalah jalan termulus untuk membuat mood Lily tetap bagus saat ini—mood Devon juga masuk di dalamnya. Duplikat sifat licik Brandon melekat erat di diri Lily. Devon menghitung antrean panjang di depannya. "Satu, dua, tiga ...." Dirinya harus menunggu tujuh antrean lagi, cukup lama mungkin. Otak Devon menginstruksikan dirinya untuk tenang, mari bermain tebak-tebakan apa yang akan Lily lakukan saat Devon tinggal. Semoga Lily tidak melakukan hal yang bisa membuat Devon terkena serangan jantung. "Sayang, habis beli burger, nanti kita mampir ke Starbucks." "Iya, sayang. Apa sih yang enggak buat kamu." "Aaa jadi tambah sayang, deh." Devon bergidik ngeri dengan percakapan sepasang anak sekolah di depannya. Bisa ia perkirakan, kalau pasangan muda di depannya ini masih seorang pelajar tingkat SMA. Dirinya yakin seratus persen jika uang yang digunakan pemuda itu berasal dari orang tuanya, bukan uang hasil jerih payahnya sendiri. Apa bagusnya berpacaran dengan uang orang tua? Bukannya sekolah dengan benar, ini malah pacaran. Ingat susah payahnya orang tuamu bekerja sana-sini agar anaknya berkecukupan, lantas apa balasannya? Anaknya malah menghamburkan uang begitu saja tanpa pikir panjang. "Hei, itu bukan urusanmu, bodoh!" Otak pintar Devon memberi tahu hatinya untuk berhenti mengurusi hal-hal remeh yang seharusnya tidak ia urusi. "Jangan buang-buang waktu memikirkan urusan orang lain! Urus urusanmu sendiri!" Devon menarik napas dalam-dalam, berusaha mengalihkan pandangan dari pasangan muda di depannya. Sepertinya semesta sedang mendukung Lily untuk bermain-main dengannya. Mengapa semua orang yang ada di sini berpasang-pasangan?  "Ini bukan bulan Oktober, kan? Belum waktunya national boyfriend's day, kan? Iya, bener. Ini baru mau masuk bulan Agustus. Ke-kenapa pada kompakan semua, sih?" Masih tidak percaya dengan keadaan yang ada, Devon mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Kanan-kiri, depan-belakang, dari Utara hingga ke selatan, dari timur ke barat, rupanya semesta benar-benar sedang menguji Devon. Hatinya mengambil tempat untuk berbicara. "Besok awal bulan, bukan national boyfriend's day tapi national girlfriend's day." Devon meraih ponselnya yang ada di saku, memastikan tanggal. Awal Agustus itu besok, kenapa semua orang bermesaraan hari ini? Harusnya besok. Lagi dan lagi, hatinya menyadarkannya dengan sindiran telak. "Memangnya perlu hari khusus buat mesra-mesraan sama pasangan? Enggaklah, bego. Makanya cari pasangan!" Devon menatap tangannya. Saat semua orang sudah menemukan kaitan yang pas dengan pasangan masing-masing, tangannya kosong dan berdebu. Devon mengibaskan tangannya untuk mengusir khayalan aneh yang datang menyusup secara tiba-tiba. "Fix, ini gara-gara Lily pengganggu yang ngajakin gue ke sini," umpatnya dalam hati.  Sekitar seperempat jam menunggu antrean, tak henti-hentinya Devon menahan umpatan. Dari mata turun ke hati istilahnya. Bukan dalam konteks yang menarik, melainkan sebaliknya. Berawal dari pandangan ke sekelilingnya yang dipenuhi beragam orang yang berpasang-pasangan, menuju ke hatinya terkumpul menjadi satu kesatuan bernama iri. "Bisa enggak, enggak usah umbar kemesraan di depan umum?" Kesialan Devon tidak berhenti di situ. Dari sekian banyaknya manusia yang ada di ruangan ini, mengapa hanya dirinya yang tidak memiliki gandengan? Nasibnya ternilai begitu ngenes. "Selanjutnya?" Suara dari pelayan menyadarkan Devon akan gilirannya untuk memesan. "Pesanan selanjutnya?" "Pesan paket panas spesial 1, bubur 1, french fries 1, sama milo hangat 1." Devon menyebutkan pesanannya dengan cepat. Bubur mungkin menjadi makan yang tepat untuk makan siang Lily. Sebisa mungkin saat Devon melarang Lily memakan burger dan es krim, maka dirinya juga harus menghindari burger dan es krim juga. Apa gunanya jika kita melarang, tetapi malah mencontohkan tepat di depan mata? Tidak ada artinya, sama saja sia-sia dan sebagai reward menjadi anak ... baik—doakan saja Lily sedang menjadi anak baik, meski hati Devon sudah pesimis—Devon membelikan Lily kentang. "Saya ulangi, ya. Paket panas spesial 1, bubur 1, french fries 1, dan milo hangatnya 1." Perempuan berseragam merah itu mengulangi apa yang telah disebutkan Devon tadi. Devon mengangguk. "Mau tambah apalagi, mas?" Devon menggeleng. "Enggak, itu aja." "Ekstra es, mungkin?" "Enggak. Terima kasih." Devon menyerahkan kartu debitnya sebelum pelayan tadi menyebutkan nominal tagihan untuknya. Alasan lain dirinya benci makan siang, orang-orang terlalu ribet mempromosikan produk lain yang tidak diinginkannya. Tidak ada salahnya memang, tetapi jika mengatakannya dengan nada memaksa dan sedikit ... genit itu sedikit membuatnya risi. Tangan Devon memencet kode pin dengan lincah, menyelesaikan transaksi secepat yang ia bisa. Daripada memikirkan sesuatu yang tidak jelas bagaimana kebenarannya, lebih baik memikirkan keadaan Lily yang ia tinggal sendirian tadi. Kira-kira kerusuhan apa yang telah diperbuat Lily selama Devon tinggal? "Semoga monster kecil itu tidak berulah." Setelah nampan berisi pesanannya siap, Devon buru-buru berbalik arah menuju tempat Lily.  "Jadi menurut kamu, Lily itu cantik atau enggak? Kalau kata mama dan papa Lily, Lily sangat cantik. Bagaimana menurutmu? Apa Lily cantik?" Samar-samar Devon mengenali suara centil itu. Dilihatnya Lily sedang duduk bergabung dengan sepasang suami-istri dan seorang anak laki-laki yang Devon bisa tebak seusia Lily juga. Mereka sedang bermain slime bersama, oh jangan lupa dengan selipan rayuan genit Lily di dalamnya. Devon mendengkus sebal. Apalagi ini? Bahkan anak sekecil Lily saja sudah menunjukkan tanda-tanda. Layaknya ada plang tak kasat mata yang terpampang nyata bertuliskan bahwa 'Lily tidak sendiri, Lily punya pasangan.'  Hei, apa kabar dengan Devon yang masih sendirian? []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD