Sudah hampir petang, Bee tidak juga menunjukkan kehadirannya di rumah Madam Layla. Pemilik rumah itu sudah menyuruh pengawalnya mengecek kedatangan dia sampai berbalik dua kali, dan mereka tetap mengatakan jawaban yang sama. “Bee belum ada di kamarnya.”
“Ke mana perginya gadis itu? Kalau sampai dia berani kabur, aku tidak akan melepaskan dia untuk selamanya.” Layla menggeram, dengan kedua tangan yang dia tekuk di d**a.
Tepat saat itu, dia melihat Rosa dan sofia yang terlihat baru saja selesai mandi. “Kalian berdua, kemarilah!” Mereka berdua mendekat dengan menampakkan wajah sok polosnya, menunggu Layla meneruskan perkataannya. “Apa kalian tau ke mana Bee pergi?”
“Bagaimana kami tau, Madam, kalau kita saja tidak pernah berhubungan dengannya. Bukan hanya kita, bahkan kita semua yang ada di sini tidak akan tau ke mana dia pergi.” Rosa menjawabnya dengan percaya diri sekali, seolah Bee memang bukan bagian dari mereka.
“Benar. Jangankan perginya dia, suaranya saja tidak ada yang pernah mendengar,” sahut Sofia dengan ketus.
“Justru kalian yang selalu memusuhinya, dan selalu ingin tahu tentangnya.”
“Tapi itu bukan berarti kita akan selalu tau ke mana perginya dia Madam!” elak Rosa. Padahal, dia kemarin malam berada di dalam bar dan melihat Bee yang masuk ke dalam sana.
“Bartender itu. Siapa namanya? Bukankah kamu tertarik dengan pria itu, Sofia?”
“Raksa. Iya, mungkin dia pergi ke sana.”
“Berikan aku alamatnya.”
Setelah mendapatkan alamat itu, Layla segera pergi ke rumah Raksa dengan kedua pengawalnya. Seharusnya Bee sudah pulang, karena yang dia tahu kalau jadwal terkahir Bee hanya sampai jam empat. Untuk sekarang, dia masih belum punya pikiran yang aneh-aneh, karena dia yakin kalau Bee akan mampir ke rumah Raksa.
Namun, Bee sudah melanggar peraturan jika sebelum jam enam sore, mereka semua harus berada di rumah ke mana pun mereka perginya. Sekarang, dia harus repot-repot untuk menyusul Bee ke rumah Raksa.
Mobil hitam itu berhenti tepat di depa sebuah rumah yang terlihat sepi. Layla turun seorang diri, dan menyuruh mereka untuk menunggu di mobil. Bel rumah pun sudah dia tekan sebanyak tiga kali, tapi dia tetap belum mendapatkan sahutan.
Kesal karena tidak mendapatkan jawaban, dia langsung pergi ke Red One untuk menanyakan kepada salah satu bartender yang juga bekerja bersama dengan Raksa. Bar masih belum cukup ramai, karena ini masih sore untuk memulai kehidupan malam.
Dari kejauhan, dia bisa melihat kalau pria itu bekerja seorang diri. Raksa tidak ada di sana. Apa jangan-jangan Raksa membawa Bee kabur? Memikirkannya saja sudah membuat Layla geram dan marah.
Wanita dengan gaya rambut modis berwarna agak kemerahan dengan potogan rambut sependek batas telinga itu mendekat dengan cepat. Tubuhnya yang masih molek meskipun masuk usia empat puluhan itu berdiri tepat di depan bartender muda yang kini sedang bersiap membersihkan gelas-gelas.
“Aku datang kemari untuk mencari Raksa. Ke mana dia?”
“Raksa kecelakaan tadi subuh. Jika anda ada keperluan penting, saya akan menyampaikannya.”
“Tidak perlu, aku akan menemuinya sendiri nanti. Di rumah sakit mana?”
“Percuma saja anda menemuinya, karena sekarang dia masih belum terbangun setelah menjalani oprasi tadi.”
“Apa dia bersama dengan seorang wanita?”
“Tidak. Polisi mengatakan kalau dia kecelakaan tunggal dan tidak dengan bersama siapa pun.”
Layla berbalik begitu saja tanpa mengucap terima kasih. Sekarang, dia benar-benar tidak mengerti ke mana harus mencari Bee. Jika tidak dengan Raksa, maka dengan siapa lagi? Selama ini hanya Raksa yang dekat dengan Bee, bahkan teman serumah pun tidak ada yang pernah mengobrol dengan gadis itu.
Layla termenung di dalam mobil. Satu sikunya menempel di jendela dengan menyangga dagu. “Kalau sampai dia kabur lalu melapor ke polisi, bisa habis aku.”
“Kita akan mencari ke mana lagi, Madam?”
“Pulag saja.”
“Baik.”
***
Di rumah Layla, Rosa dan Sofia tetawa tanpa suara. Mereka segera masuk ke dalam kamar dan mengunci kamar rapat-rapat. Rosa membanting tubuhnya ke atas kasur, dengan kembali meneruskan tertawanya.
“Jangan keras-keras Ros! Kau mau mereka mencurigai kita?”
“Baik-baik, aku hanya terlalu senang saja tadi.”
Sofia ikut terbaring di sisinya. Mereka berdua kembali tertawa dengan nada yang sedikit rendah. “Kau lihat wajah Madam tadi, bukan? Biarkan saja dia mencari, sampai besok pun dia tidak akan ditemukan.” Rosa merasa sangat puas sekali dengan kembali tersenyum lebar dan licik.
“Kira-kira, dia sudah berada di mana ya, sekarang?”
“Mana aku tau. Lagipula, aku juga tidak peduli. Terserah mereka mau membawa ke mana. Yang terpenting, sekarang kita akan menjadi idola.”
Sofia menegakkan tubuhnya. “Kamu sudah memastikan kalau botol obat tidur tadi sudah kamu buang bukan?”
“Aku masih membawanya di tas. Aku tidak berani membuangnya di tempat sampah sana, bagaimana kalau ada yang menemukan?”
“Ish, ceroboh sekali kamu! Kalau begitu sebaiknya kita segera keluar dan membuang botol itu ke tempat lain.”
“Tenang saja, aku akan melakukannya nanti.” Rosa mengibaskan tangannya, dia bahkan meremehkan hal kecil.
“Jika Madam sampai tau, kita bisa habis nanti.”
“Tidak akan, Sofia! Ayolah ... jangan paranoid seperti ini! Wanita itu pasti sedang mencari-cari Bee sekarang.” Rosa kembali tersenyum, membayangkan bagaimana nasib Bee sekarang.
Di tempat sana, rombongan mobil itu berhenti di sebuah pelabuhan. Rupanya mereka bukan sekelompok kecil, banyak sekali bagian mereka yang sekarang juga sedang membawa gadis-gadis dengan kondisi sama seperti Bee.
Sebuah kapal pesiar yang terlihat sangat mewah sudah berlabuh di pelabuhan itu. Bukan hanya itu, penjagaan pun sangat ketat sekali, seolah itu memang terancang dengan sangat baik. Satu persatu dari mereka masuk ke dala sana membawa buruan mereka masing-masing.
Mereka terlihat sangat terorganisir, memakai setelan jas hitam layaknya pria terhormat dengan menggunakan earpiece yang saling terhubung. Setiap dari mereka mempunyai tugas sendiri-sendiri, karena setiba di sana, orang-orang yang membawa gadis-gadis itu sudah tidak ikut campur lagi.
Bisa dipastikan, mereka pun tidak sedang berdiri dengan tangan kosong. Di balik jas mereka, akan selalu terdapat senjata yang mereka selipkan. Tidak ada yang bisa melihat dengan jelas, karena apa yang mereka lakukan sangat tertutup.
Di sebelah sana, dua orang pria sedang memperhatikan proses kerja mereka. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas, hanya banyak orang yang kelaur masuk saja. Salah satu dari mereka terlihat begitu tenang dengan kedua tangan yang dia sembunyikan di dalam saku. “Kalau tidak karena terpaksa, aku tidak sudi menginjak tempat ini.”
“Saya tidak bisa memperhatikan mereka satu persatu, Tuan. Kita juga tidak bisa mendekat, penjagaan sangat banyak sekali.”
“Biarkan saja, ini bukan wilayah kita. Tanpa kita mencari susah-susah pun, mereka pasti akan menunjukkan barang mereka nanti.”
***