Part 1 - Target
Tentang gadis, yang tidak seberuntung gadis lainnya
****
Hellawings, Jakarta, Indonesia
“Lihat gadis itu?”
“Ya, aku memang memperhatikannya sedari tadi, sepertinya ia sedang patah hati.” Mata coklat pria itu meneliti objek yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya.
Gadis cantik, berkulit putih dan lekukan tubuh sempurna di balik dress mini yang ia kenakan.
“Dia gadisnya Xavi Daymond,” ujar pria lainnya.
“Xavi? Pria sialan itu?”
“Ya, kudengar, gadis itu yang paling lama bersama Xavi. Entah apa yang membuatnya mampu bertahan sangat lama dari bajingann itu.”
“Hmm, menarik.” Pria bertubuh kekar itu akhirnya mendekati Irene, duduk di hadapan Irene dan memberikan sapu tangannya pada Irene.
“Bad day huh?” suara berat membuat Irene menengadahkan wajahnya. Irene menerima sapu tangan itu dan menyeka air mata serta membuang ingus yang sudah sangat penuh di hidungnya.
“Uhm, jangan dikembalikan, untukmu saja,” ujar pria itu saat Irene ingin mengembalikan sapu tangannya.
“Thanks…” mata Irene memerah, tapi tidak menghilangkan wajah imut dan cantiknya yang membuat pria itu betah menatap Irene dengan lama.
“Patah hati?” tebak pria itu, disambut tatapan curiga dari Irene karena bisa menebak dengan benar.
“Aku tidak bisa membaca pikiran tenang saja,” pria itu terkekeh. Irene menatap pria itu dan baru tersadar pria itu sangat tampan, ah apa air matanya tadi menghalangi pandangannya?
“Yah, apalagi yang bisa membuat seorang wanita menangis di club seperti ini kalau bukan pria?” pria itu mendekat agar bisa mendengar suara kecil dari Irene. Karena risih, Irene menjauhkan diri dari pria yang ada di hadapannya.
Astaga, sepertinya ia salah memilih tempat untuk melampiaskan kesedihan. Merasa diperhatikan, Irene akhirnya menatap sekeliling. Pantas saja, beberapa pasang mata menatapnya dengan tidak suka. Ah, sepertinya pria yang ada di hadapannya saat ini bukanlah pria biasa.
Jadi, ia memang mempesona bukan? Pria itu selalu selingkuh darinya bukan karena ia tidak menarik bukan? Buktinya, ada pria setampan ini di hadapannya.
Persetan dengan pria yang membuatnya patah hati saat ini. Bukankah salah satu alasannya mendatangi bar ini adalah untuk bersenang-senang dan mencari pelarian? Tapi, pria di hadapannya saat ini terlalu tampan untuk dijadikan pelarian semata.
Irene menggelengkan kepalanya. Keinginannya bertentangan dengan harga dirinya. Padahal, Irene bisa merasakan bahwa pria yang ada di hadapannya saat ini adalah pria sejenis Xavi Daymond. Sama-sama predator. Lalu, kenapa ia membiarkan pria ini semakin mendekatinya?
“Pria itu sangat bodoh karena menyakiti wanita sepertimu,” bisik pria itu pada telinga dan mengarah pada leher Irene. Irene menjauhkan lehernya dari pria itu dan semakin yakin dengan penilaiannya pada pria ini. Pria sejenis Xavi yang selalu menjual tampang dan kekayaan agar bisa mendapatkan banyak gadis dengan mudah.
“Mau pindah ke tempat yang lebih tenang? Kau bisa cerita kepadaku apa yang kau alami sehingga kau bersedih seperti ini.” bisik pria itu lagi, Irene tersenyum. Jelas keinginan pria yang ada di hadapannya saat ini adalah isi selangkangannya. Astaga, ingin rasanya ia memberikan pukulan pada si tampan ini. Andai saja saat ini Xavi berada di hadapannya.
“Apa itu caramu mencari seorang gadis yang menemani malammu?” jawab Irene dengan sarkas, bukannya tersinggung, pria itu malah tertawa.
“Ayolah, apa aku terlihat seperti pria yang suka membawa wanita ke hotel dari club seperti ini?”
“Ya, sangat. Karena semua gadis di sana menatapku seolah ingin membunuhku karena kau duduk di sampingku seperti ini,” Irene menunjuk dengan dagunya, beberapa wanita yang tadi bersama dengan pria itu tengah menatapnya dengan sinis.
Ia tidak akan luluh pada pria ini dengan mudah. Justru sebaliknya, kali ini, pria yang ada di hadapannya yang harus berjuang untuknya. Ia sudah lelah berjuang dan mempertahankan. Karena selalu berakhir sama. Pengkhianatan dan kebohongan.
Baiklah. Ia akan sedikit mempermainkan pria yang ada di hadapannya saat ini.
“Well, itu karena kau bersama pria yang sangat populer di tempat ini.”
Irene berusaha tertawa, agar pria yang ada di hadapannya mengira bahwa ia sudah mulai terlarut dalam suasana. Biarkan pria ini mendapatkan sedikit apa yang dia mau, lalu tinggalkan. Harga diri pria itu pasti akan hancur seketika. Rencana sempurna.
“Benarkah? Aku harus takut atau bersyukur dengan fakta itu?” jawab Irene akhirnya.
“Mungkin, keduanya.” Pria itu mendekat, Irene tidak menjauh dan malah memejamkan matanya, tanpa membuang waktu pria itu segera meraup bibir Irene, mendekap pinggang Irene agar merapat pada tubuhnya, dan satu tangannya menahan tengkuk Irene agar dapat melahap bibir Irene dengan rakusnya.
Astaga, ciuman pria ini begitu lihai dan memabukkan. Bahkan saat bersama Xavi, mantannya saja tidak sedahsyat ini efek di tubuhnya, dengan pria ini, tubuh Irene seperti tersengat listrik dan banyak kupu-kupu bertebaran di perutnya.
Sial. Sepertinya kini Irene yang menjadi tertarik dengan pria yang ada di hadapannya. Tatapannya mampu mengintimidasi, suaranya dan sikapnya mampu menghipnotis Irene. Seolah pria ini yang paling ia inginkan saat ini. Crapp, harusnya ia tidak membiarkan pria ini menyentuhnya. Irene terjebak permainannya sendiri.
Pria itu melepas ciumannya, tepat saat Irene mulai menginginkan pria itu. “You want more? Aku tahu obat paling efektif untuk patah hati.”
‘Oh my! Irene, pria ini adalah pria asing. Apa Xavi mematahkan hatimu begitu kuat sehingga kau menjelma menjadi jalang dalam semalam?’
Irene memaki dirinya sendiri, tidak biasanya ia menjadi murahan seperti ini. Terlebih setelah rencana yang ia siapkan. Kenapa kini pria itu yang berhasil memegang kendali? Sebenarnya, siapa pria ini?
Tapi sungguh, tatapan pria ini mampu meruntuhkan pertahanannya. Apalagi ciuman dan sentuhannya. Sialann, pria ini pasti sudah sangat profesional dalam hal ini.
“Kau sangat pandai merayu wanita, Bung. Tapi maaf, kita tidak akan berakhir di ranjang.” Irene menenggak minumannya dan membuang muka, memberi tanda bahwa ia menolak pria yang sudah menciumnya di pertemuan pertamanya. Astaga, apa yang akan terjadi dipertemuan keduanya nanti? Membayangkannya saja membuat Irene bergidik ngeri. Permainan konyol ini harus ia sudahi. Pria ini beruntung, Irene tidak akan membalas perbuatan Xavi melalui pria ini. Benar, Irene harus membalas pada Xavi langsung. Ah, lebih baik ia segera pergi dari tempat ini.
“Well, kita bisa saja berakhir di toilet, atau di mobil sport milikku. Ah, harusnya aku membawa mobil yang lebih besar tadi.”
“No, thanks. Aku harus pergi, nice to meet you. Semoga dilain waktu, kau tidak menyentuhku lagi, tampan.” Bisik Irene pada pria itu dan pergi begitu saja. Membuat pria itu menatap kepergian Irene dengan gemas. Ah, bokongg sintal itu, harusnya ia mendapatkannya malam ini.
“Aku akan mendapatkanmu cantik, mungkin tidak malam ini. Besok, dan seterusnya, aku akan memburumu.”
“Pfft, apa yang terjadi bung? Seorang Quinn Dyson ditolak?”
“Sialann kau, Ben. Aku akan mendapatkannya. Lihat saja nanti.”