bc

THE (UNWANTED) MARRIAGE

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
billionaire
HE
heir/heiress
drama
bxg
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Menjadi yatim-piatu di usia yang masih muda, Ratih Maharani menjalani hidup dengan mencoba melawan traumanya. Bagi Ratih, hidup adalah perjuangan di mana dia harus membuat satu-satunya keluarga yang dia miliki merasa bahagia. Ratih senang membuat kue, dia mencoba mengalihkan lukanya dengan mencampur bahan dan mencium aroma panggangan roti. Menjalani hidup monoton, Ratih merasa sangat beruntung ketika dia bertemu dengan Hayyan Atharrayhan, seorang arsitek muda sukses yang mengerti keadaannya. Hayyan selalu datang ke toko roti tempat Ratih bekerja, selain karena dia menyukai makanan manis, Hayyan juga senang berbincang dengan Ratih. Ketika Hayyan menawarkan pernikahan dengan beberapa syarat, akankah Ratih mampu menjalani warna baru dalam hidupnya? Atau... dia akan melepaskannya?

chap-preview
Free preview
PERNIKAHAN
Ketika dua orang menikah, ada dua kemungkinan; mereka tinggal bersama atau mereka hidup bersama. Lalu seperti apa pernikahan yang kalian idam-idamkan? Tentu saja 95% dari kalian berharap berlabuh pada pernikahan yang penuh kasih sayang, perhatian dan juga pengertian. Singkatnya, kalian ingin hidup bersama dengan pasangan kalian. Tetapi bagaimana dengan pernikahan yang tidak diinginkan tetapi sudah berjalan selama lebih dari satu tahun? “Kak Ra, suami kakak yang baik hati itu kapan pulang?” Pertanyaan datang dari seorang pria muda yang berumur 17 tahun, berpakaian seragam SMA lengkap dan masih rapi. “Ga tahu deh,” jawab wanita muda yang dipanggil Kak Ra itu, acuh tak acuh. Namun, air mukanya berubah seketika, dia yang awalnya membaca buku langsung mengalihkan perhatiannya kepada adik kandungnya. Matanya memicing, terlihat curiga. “Mau ngapain emang kamu? Kenapa nanya-nanya?” Brondong SMA itu tersenyum lebar. “Kak Hayyan janji mau beliin aku PS terbaru. Katanya aku disuruh nunggu Kak Hayyan pulang dan kita bakalan beli PS bareng.” Masih curiga, wanita dengan rambut dikuncir kuda itu menatap lekat adiknya. “Dia yang janji atau kamu yang ngerengek minta?” “Kak Hayyan yang janji, kok!” “Gara kalau ga jawab jujur nanti kakak bilang ke Kak Hayyan kalau PSnya ga jadi.” “Aku jujur, kok!” Gara, anak SMA itu keukeuh. “Coba aja telpon Kak Hayyan, soalnya waktu itu Kak Hayyan sendiri yang nawarin ke aku, katanya buat hadiah karena aku berhasil masuk 3 besar lagi di olimpiade kemarin. Aku ga bohong, kok!” Kak Ra menghela napas. “Awas lho. Kakak ga suka kalau kamu minta-minta ke kakak ipar kamu. Apalagi kalau barangnya sampai jutaan gitu.” Gara mendengus. “Kak Ratih nih, kayak suaminya orang susah aja.” Ratih melotot, dia kemudian memukul punggung adik yang terpaut usia 10 tahun dengannya itu. “Dia juga banyak uang karena kerja, Gar.” “Tapi Kak Hayyan itu arsitek ternama, kak.” Gara menatap kakaknya, satu-satunya keluarga yang sekarang dia punya. “Tiap akhir bulan aku lihat Kak Hayyan selalu komplain ke Kakak, katanya Kakak itu hemat banget. Kak Hayyan juga bilang kalau Kakak ga boleh gunain uang gaji Kakak buat urusan rumah karena itu semua tanggungjawab Kak Hayyan.” Gara menghela napas. “Suami Kakak itu orang berduit dan berpunya sejak lahir.” Ratih berdecak, “Ya tapi kita ga boleh manfaatin kakak ipar kamu.” Gara berdiri, dia menatap kakaknya, jengah. “Kakak aja yang punya pemikiran kayak gitu. Kak Hayyan santai-santai aja tuh, contohnya Kak Hayyan pernah kesel karena lihat aku masih pakai sepatu yang sama selama kurang lebih 1 tahun. Kak Hayyan juga suka kesel tiap lihat kakak masih suka ngelewatin baju-baju yang harganya ga cocok di kantong Kakak. Tolong deh, Kakak itu nikah sama orang baik, jadi jangan terlalu kaku.” Gara melenggang pergi masuk ke kamarnya hanya untuk berganti baju dan pamit pergi, meninggalkan Ratih yang hanya bisa menghela napas. Darimana dia belajar kata-kata itu? Ratih benar-benar tidak mengerti tetapi dia juga tidak bisa mengelak. Kata-kata Gara ada benarnya, sudah satu tahun berlalu sejak pernikahannya dengan Hayyan Atharrayhan, seorang arsitek yang namanya sudah menggaung dimana-mana. Bagi Ratih, menikah dengan Hayyan adalah sebuah keberuntungan. Tetapi pernikahan mereka adalah tipe ‘tinggal bersama’, mereka tidak ‘hidup bersama’. Sementara itu, Ratih memiliki pekerjaannya sendiri. Dia adalah seorang baker yang bekerja di sebuah toko roti ternama selama kurang lebih 6 tahun. Karena sudah menjadi tulang punggung dan satu-satunya orang yang menjaga adiknya sejak berumur 18 tahun setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kebakaran, akibatnya Ratih sering bergonta-ganti pekerjaan. Sampai akhirnya pekerjaannya yang sekarang mengantarkan pertemuannya dengan suaminya itu. “Ya, halo?” Ratih menjawab panggilan telepon yang datang dari suaminya. Ini adalah telepon pertama yang diterimanya setelah hampir satu minggu Hayyan berada di luar kota.” Ada apa, Tha?” Atharrayhan. Ratih masih memanggil Hayyan dengan panggilan ‘Atha’, sesuai dengan bagaimana dulu laki-laki itu memperkenalkan diri di pertemuan pertama mereka. “Saya sudah di jalan dan akan pulang ke rumah, kamu atau Gara mau nitip sesuatu?” Suara Hayyan terdengar serak di akhir, dia berdehem. “Makanan atau minuman mungkin?” “Huh?” Ratih kebingungan. Pada dasarnya, berkomunikasi dengan Hayyan adalah hal yang tidak mudah baginya. “Ga usah, Tha. Gara tadi juga pamit keluar setelah ganti baju. Kamu langsung pulang saja.” “Oke.” Telepon terputus, meninggalkan Ratih yang hanya bisa mengatur napasnya. Padahal suaminya bukan orang yang mengerikan, tetapi aura yang dibawa Hayyan ... tidak mudah bagi Ratih untuk menghadapinya. Mereka benar-benar hanya sepasang suami-istri yang tinggal bersama. *** Menunggu Hayyan pulang adalah apa yang Ratih lakukan. Dia bukan istri yang baik tetapi dia mencoba untuk menjadi lebih baik, bahkan jika itu hanya sekadar menyapa suaminya setelah sekian lama mereka tidak berkomunikasi. “Hai,” sapa Ratih begitu Hayyan muncul di depan pintu. “Everything good, Tha?” Sebenarnya itu hanya pertanyaan basa-basi. Hayyan juga sering menanyakan hal yang sama jika Ratih berada di luar rumah dalam waktu yang cukup lama. “Yep, thanks for asking.” Hayyan mengangguk sembari meletakkan dua kantong plastik putih di atas meja. “Kamu sendiri di rumah? Udah lama Gara keluarnya?” “Enggak, belum satu jam.” Kemudian hening. Hayyan sibuk melepas jasnya sebelum mengangguk pamit untuk masuk ke dalam kamar. Canggung? Sebenarnya jawabannya adalah antara iya dan tidak. Terkadang mereka berdua bertingkah seperti teman akrab, tapi terkadang mereka bisa bersikap seakan-akan baru mengenal satu sama lain. Mencoba mengalihkan perhatiannya, pandangan Ratih tertuju kepada kantong plastik yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya. Dibukanya perlahan, awalnya tidak ada yang salah dengan kantong plastik yang lebih kecil tetapi ketika dia mulai membukankantong plastik besar yang terlihat penuh itu, keningnya berkerut. “Stroberi, susu... tapi kenapa ada pembalut?” Ratih tidak habis pikir, dia kemudian membawa kantong plastik itu ke atas, di mana kamarnya dan Hayyan berada. Tanpa mengetuk, Ratih membuka pintu hanya untuk membuatnya langsung membalikkan badan dan berdehem tidak nyaman. Di dalam sana, Hayyan yang sepertinya baru keluar dari kamar mandi hendak berganti baju, tetapi saat Ratih membuka pintu, lelaki itu sedang bertelanjang d**a dan yang membuat Ratih malu adalah karena tatapan mereka bertemu. “Saya sudah selesai memakai baju,” suara Hayyan yang rendah itu menembus gendang telinga Ratih. “Ada apa, Ra?” tanyanya kemudian. Kembali membalikkan badannya, Ratih melangkah masuk tanpa menutup pintu. “Mau tanya,” katanya sembari mengangkat kantong plastik yang dibawa suaminya dari luar. “Ini kamu kenapa beli pembalut?” “Ah, sebelum pergi saya lihat persediaan pembalut kamu hampir habis.” “Tapi beli 5 bungkus yang isinya 8 pads... banyak banget loh ini,” Ratih menatap suaminya cukup lama sebelum menghela napas. “Ini kamu beli yang panjang banget loh, Tha.” “Bukannya emang biasanya yang itu?” Hayyan mendekat ke arah istrinya, dia mengeluarkan satu bungkus pembalut dari dalam kantong plastik yang dipegang istrinya. “Yang 42cm, ‘kan?” “Biasanya yang 29cm.” “Enggak, kok. Saya pernah lihat kamu beli yang 42cm, waktu itu bungkusnya masih ada di tempat sampah kamar mandi.” Ratih mendongak, perbedaan tinggi badan mereka yang terlihat imut itu membuat Ratih harus banyak menggunakan otot lehernya. Apalagi jika mereka berdiri berhadap-hadapan seperti sekarang. “Itu Gara yang beli, dia juga salah.” Hayyan berdehem, “Oh ya? Jadi mau gimana? Mau saya tukar saja?” Menggeleng, Ratih mengambil satu bungkus pembalut yang dipegang suaminya lalu memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik. “Bukan masalah, aku pakai yang ini aja.” “Tapi kamu bilang kepanjangan,” Hayyan mengekori istrinya yang melenggang ke arah kamar mandi untuk meletakkan pembalut di tempatnya. “Saya bisa beli yang baru, Ra.” “No!” Ratih menggeleng pelan. “Aku bisa pakai ini, kok.” “Kalau ga nyaman nanti bilang, ya.” “Cuma pembalut, Tha.” “Meskipun ‘cuma’ pembalut, kalau ga nyaman ya tetap ga nyaman, Ra.” Ratih mendengus. “Ya kan bisa beli lagi kalau sudah habis, ga langsung beli sekarang juga. Kebiasaan banget kamu, udah aku bilang jangan boros.” Hayyan menatap istrinya. “Beliin barang-barang istri sendiri bukan boros namanya, Ra. Saya tahu kamu ga suka kalau saya seperti ini, tapi saya juga berulang kali bilang ke kamu kalau semua penghasilan saya untuk kamu dan keluarga ini.” “Tha—” “Mau ngambek lagi kamu?” sindir Hayyan, laki-laki itu terkekeh pelan. “Ga suka saya kalau kita bahas uang kayak gini, endingnya pasti kamu ngambek sama saya. Mana kalau kamu ngambek tuh bikin saya takut, soalnya dulu waktu saya minta tolong buat dibikinin jus stroberi tapi kamu malah bikinin saya jus tomat.” “Ya kamu boros banget, mana kamu juga janji mau beliin PS terbaru buat Gara, ya?” Tanpa beban, Hayyan mengangguk. “Dia bagus banget lho bisa mertahanin prestasinya, jadi ga ada salahnya kalau kita kasih dia hadiah.” “Bulan kemarin kamu baru beliin dia handphone baru, lho.” Kali ini Ratih yang mengekor suaminya, Hayyan menjauh dari pintu kamar mandi dan memilih untuk berbaring di tempat tidur. “Biarin dia senang-senang dulu, ga lama lagi Gara juga udah masuk kuliah dan bakal makin sibuk. Lagian kamu cepet banget berubah, ya? Padahal dulu kamu sendiri yang bilang kalau kamu ngeiyain ajakan saya buat nikah karena saya kaya.” Hayyan menjawab sambil memejamkan mata, lagi-lagi dia berdehem di akhir kalimatnya karena suaranya yang semakin serak. “Tenggorokan saya ga nyaman, Ra. Boleh bikinin saya teh jahe hangat?” Ratih menghela napas, “Aku bikinin kamu teh jahe yang panas.” Membuka matanya, Hayyan melihat Ratih yang melenggang pergi keluar dari kamar. Sudut bibir laki-laki itu melengkung ke atas, dia tersenyum kecil. Namun, senyum kecilnya itu menghilang begitu saja setelah membaca pesan yang muncul di layar ponselnya. 08xxxx: Pak, maaf, saya hamil. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.6M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
473.7K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
519.7K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
612.8K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
472.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook