Puri dan Kemarahannya

1037 Words
Jasad korban kecelakaan di Pujon sudah kembali pada masing-masing keluarga. Dengan cepat polisi menghubungi keluarga Mahawira, pengacara kondang dari Malang untuk datang ke kantor polisi tempat kejadian perkara laka lintas. "Suami saudari Rania menolak untuk outopsi. Mungkin, dia tahu bahwa ini murni kecelakaan. Selain karena cuaca yang tidak mendukung, medan jalan pun memang berkelok. Yang tidak terbiasa menggunakan jalan itu tentu akan kesusahan." Salah satu polisi senior menjelaskan tentang berbagai hal dan sebab musabab, beserta saksi kunci beberapa pedagang kaki lima di sekitar sana. Sembari menjelaskan, ia juga mengembalikan beberapa barang bukti yang ditemukan dalam mobil yang ringsek. "Jadi, hanya ini?" tanya Dinata. Kedua matanya menatap tajam pada polisi senior di sana. "Apa lagi yang kamu minta, Pak? Kamu bisa membantu kami mencari bukti lain di sekitar jatuhnya mobil, jika mau." Tanpa basa-basi, Dinata melenggang pergi. Di balik punggungnya ada Endra yang terus mengikuti. Dinata memberikan ponsel yang telah retak layarnya itu pada Endra, anak bungsu yang mengikuti jejaknya menjadi pengacara. "Hancurkan bukti ini." Endra yang terkejut lantas mengernyit, menyejajarkan langkahnya bersama sang ayah. "Tapi kenapa? Kita tahu betul, kakak ipar tak seperti itu, Yah. Kita harus mencari bukti. Bisa ja--" "Apa kamu mulai membangkang seperti kakakmu sekarang?!" Sontak saja, Endra bungkam. Ia tak bisa melakukan banyak hal. Lantas, ia mengangguk setelah sang ayah berlalu dari hadapannya. Sementara itu, Puri yang mendapat kabar mengejutkan dari orang tak dikenal langsung melacak ponsel Gendhis. Dengan cepat, ia mencari keberadaan kakak iparnya. Setelah ketemu betapa terkejutnya ia saat tahu bahwa Gendhis ada di daerah Batu. Tanpa menunggu, Puri meraih kunci mobil dan melaju ke jalan Sajid. Posisi ponsel Gendhis berada. Di rumah sakit, Gendhis yang masih menangis di ujung lorong yang lain mengangkat telepon dari kedua orang tuanya. Ia menangis, meraung-raung sebab kepergian suami yang tak diduga. "Ibu ... Putra orang yang baik. Dia suami yang baik. Tiap bangun tidur, dia akan memanjakanku setelah aku menciuminya dengan brutal. Aku akan menjadi istri terbahagia setelah Putra membuka mata. Lalu apa ini? Aku harus menjadi istri termalang saat Putra menutup mata? Betapa meramalnya aku, Ibu." "Tenang, Gendhis, tenang. Katakan dengan benar apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu jadi menangis padahal tadi pagi kamu kemari dengan cincin berlian?" tanya sang ibu. "Ibu ... Putra ...." Melihat istrinya sedang gelisah, ayah Gendhis pun merampas ponselnya. "Ada apa Gendhis? Apa yang terjadi?" Gendhis masih terisak. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan pada sang ayah untuk mengabarkan berita duka. Padahal, ia sendiri masih belum percaya atas kepergian suaminya yang tercinta. "Ayah ... Putra, Yah. Di--" "Cukup, Gendhis! Jangan menangis! Ayah dan Ibu membesarkanmu dengan ribuan rasa sakit dan jerih payah. Saat kamu menangis, maka saat itu pulalah rasa sakit yang terlupa kembali menusuk dalam d**a. Katakan saja kamu di mana dan ayah akan menjemputmu tanpa peduli bagaimana situasinya." Gendhis makin terisak. Sembari menahan tangis ia mengatakan alamat rumah sakit di dekat alun-alun Batu. Tak jauh dari tempat Gendhis meratapi nasib setelah memutus sambungan telepon, ibu dan mertuanya Abi sampai. Keduanya menatap iba pada Abi, lantas memeluknya erat. "Nak?" tanya Hanum. Wajahnya telah basah sebab air mata yang terus meluah. Ia merenggangkan kedua tangan, berharap sang anak memeluk dan menumpahkan segala sakit serta kekecewaan dalam d**a. Sayangnya, Abi bergeming. Ia bahkan tak menatap Hanum meski sedetik. "Abi?" panggil Ida. Ibu mertuanya itu menggenggam jemari tangan Abi dengan erat, lantas menggosok punggung tangan sang menantu pelan. "Kamu bisa melepaskan segalanya pada ibu, Abi. Maafkan ibu, maafkan Rania, Abi. Maaf." Sontak saja, Abi mengempas tangan Ida Kemala. Ia menyusut matanya dengan cepat, agar kaca-kaca pada pelupuk mata tak menjejak basah bak sungai yang mengalir deras. "Jangan sebut nama itu lagi, Ibu. Kamu tahu ... aku paling tidak suka dengan pengkhianatan! Kamu tahu itu!" Hanum menatap anaknya dengan penuh penyesalan. Begitu pula Ida. Keduanya lantas saling memeluk demi menguatkan satu sama lainnya. Mereka mengangguk bersamaan sebelum akhirnya masuk ke rumah sakit demi menjemput jasad Rania untuk dibawa pulang. Tak lama, Puri sampai di depan rumah sakit. Berkali-kali ia memastikan letak ponsel yang ditunjukkan oleh GPS tentang keberadaan Gendhis. Setelah yakin, barulah ia memasuki kawasan orang-orang pesakitan. Terang saja. Ia melihat mobil Gendhis di sana. Dengan cepat, Puri meraih payung dan keluar dari mobilnya. Ia mencari keberadaan sang kakak serta kakak ipar yang dibencinya. Ia belum jauh dari pintu masuk rumah sakit saat melihat wanita memeluk lutut di ujung koridor yang lain. Rambut panjang yang tergerai serta cincin dengan berlian besar seperti yang pernah dijadikan cerita pada media sosial Gendhis membuatnya langsung mengenali si kakak ipar. Cepat ia mendekat, lalu menarik bahu Gendhis dan mencercanya dengan berbagai pertanyaan. "Apa yang terjadi? Suara siapa tadi? Pria itu siapa? Di mana kakakku? Apa kau tak cukup hanya dengan mengambil hartanya dan tidak mengizinkan kakak menghabiskan waktu dengan keluarganya meski sebentar? Aku adiknya, tetapi kenapa kamu yang selalu dimanjakan?! Katakan di mana kakakku?" Gendhis masih menangis sesenggukan. Apalagi mendengar cercaan dari Puri, tentu saja ia menggeleng kuat. Ia tak mampu mengatakan yang sebenarnya. "Pu-Puri, kamu du-duduk dulu, ya?" Gendhis mencoba melepas cengkeraman pada kedua bahunya. Lantas membawa Puri duduk bersebelahan. "Di mana kakak? Apa yang kamu lakukan di sini?" Gendhis meraup wajahnya kasar, lalu mencoba tenang. "Putra ... dia kecelakaan, Puri." Tanpa diduga, Puri mendorong bahu Gendhis hingga hampir terjengkang. Lantas bangkit dan beranjak sembari mengacungkan telunjuk kanan. "Jangan macam-macam, Gendhis! Kamu kemari untuk apa? Di mana kakak? Di mana ponselnya? Siapa pria tadi? Hoo aku tahu, itu tadi selingkuhanmu, bukan? Kamu ... hamil? Kamu mau bercerai dengan kakakku, kan?!" Melihat respons Puri, tentu saja Gendhis makin menangis. Ia bahkan tak berpikir bahwa Puri akan menganggap ini lelucon. Ia bahkan tak berpikir jauh tentang prasangka Puri mengenai suara Abi yang menerima panggilan Puri tadi. "Tenang, Puri. Kumohon. Aku ... aku juga kehilangan. Putra benar-benar mengalami kecelakaan. Kita akan tahu penyebabnya setelah dilakukan outopsi, Puri." Sontak saja Puri membeku. Kedua matanya memerah antara menahan tangis dan amarah. Ia duduk bersimpuh. Lantas mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu tidak sedang bercanda, Gendhis?" Gendhis menggeleng, lalu mendekat, merengkuh Puri dalam dekapannya. Kemudian, keduanya menangis bersamaan meski selama ini tak pernah akur sekali pun. "Kita kehilangan Putra, Puri. Kita kehilangan sosok penuh cinta yang mengusahakan kebahagiaan kita. Aku, kamu, i--" Puri mengempas pelukan Gendhis. Lantas bangkit dan mengacungkan telunjuk kanannya. "Putra selalu mengusahakan kebahagiaanmu! Bukan kebahagiaanku dan ibu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD