8. Mainan yang Hilang, Hati Ida Tersakiti

1076 Words
Jam baru menunjuk ke angka delapan saat Abi telah siap dengan setelan kemeja pilotnya. Ia bahkan telah mencukur habis cambang-cambabg tipis di sekitar rahang. Lantas, ia segera keluar kamar dan menuruni anak tangga. Di luar dugaan, banyaknya kerabat di ruang keluarga membuat Abi linglung seketika. Satu per satu dari mereka mendekat, lanta mengucapkan bela sungkawa. Abi yang bingung, kemudian memandang Ida Kemala dengan tatapan heran. "Ada apa ini? Sepagi ini kalian beramai-ramai datang ke sini? Ada apa?" Sontak saja, pertanyaan Abi membuat semua orang tercengang. Tak terkecuali Hanum dan Dinata. "Ibu ... aku akan terlambat! Mana sarapanku?" tanya Abi pada Ida. Sekonyong-konyong, Ida Kemala mengerjap. Lalu, mengangguk paham. "Tu-tunggu sebentar, Abi." Secepat kilat, Ida Kemala menyiapkan sarapan menantunya. Menantu yang sudah dianggapnya bak putra sendiri. Sepiring nasi, capcay goreng, serta ayam saus tiram telah Ida siapkan. Gegas ia mendekati Abi dan menuntunnya ke meja makan. Tak dihiraukannya banyak tatapan benci dari kerabat keluarga Mahawira. Tak jauh dari meja makan, ada Ganendra yang memperhatikan gerak-gerik ayah dan kakaknya. Ia merasa prihatin dengan sang kakak, sedangkan pada ayah, ia merasa ada beberapa hal yang disembunyikan. "Bu, mana susuku?" tanya Abi usai menyantap sarapannya. Endra dengan sigap mengambil kemasan s**u kaleng dari dalam lemari pendingin. Lantas, diangsurkannya pada Abi. "Ini, Kak." Abi tersenyum, hangat. Bukan senyuman penuh keterpaksaan. "Nuwus, Ndra." Endra memberi kode pada mertua Abi dengan sedikit menggelengkan kepalanya. Ia berusaha mengambil alih perhatian sang kakak. "Kak, umak mau berangkat kerja?" Mendengar pertanyaan Endra, Abi yang tengah meneguk s**u steril dari kemasan kaleng pun tersedak. Ia terbatuk-batuk sembari memukul dadanya pelan. "Minum dulu, Kak, minum," ujar Endra. Dibantunya sang kakak untuk minum dari gelas yang dibawakan. "Maksudmu iki lo opo to, En? Aku ini punya tanggung jawab. Seenggaknya, ada banyak penumpang yang harus kubawa terbang. Pertanyaanmu itu, loh. Enggak logis." Abi menjawab dengan santai. Ia bahkan terlihat bahagia. Tak ada raut kesedihan. Bahkan, kehilangan. Ia tampak biasa saja. "Tapi, Kak. Baru kemarin Kak Ra--" "St!" Telunjuk kanan Abi mengacung. Tepat di depan wajah Endra. Kali ini, wajah Abi berubah datar. Tak secerah sebelumnya. "Aku tak butuh diingatkan apa pun, tentang siapa pun, mengenai apa pun. Catat ini. Aku ... bukan anak kecil yang harus menangis saat mainannya hilang." Dengan langkah tegap, Abi berjalan melewati banyak kerabat yang menatapnya tak percaya. Ia pergi dari rumah seakan-akan tak pernah ada yang terjadi sebelumnya. Sementara itu, Ida Kemala merasa begitu sakit hatinya kala mendengar ucapan Abi. Ia menangis sembari meluruhkan badan ke dinding dapur. "Ya Allah, Nak. Jadi ... selama ini kamu hanya menganggap Rania sebagai mainan? Kamu ... menikahinya hanya agar mainanmu tak diambil orang? Jadi, Rania tak ada artinya bagimu ...." Isak tangis Ida Kemala tentu membuat hati Endra mencelus. Ia kenal betul dengan Abi. Tak mungkin rasanya jika sang kakak melupakan Rania secepat itu. Endra mendekati Ida, lantas meraih pundak ibu sambung selama beberapa tahun silam. "Bibi, istirahatlah di kamar. Sejak semalam, kamu bahkan belum tidur sekali pun." Dibawanya sang ibu sambung ke kamar. Endra membantu Ida Kemala untuk merebah di kasurnya. Lantas, ia menutupi tubuh Bibinya sampai sebatas d**a. "Maafkan kakak, Bi. Mungkin ini ada hubungannya dengan penyebab kematian kakak ipar." Ida Kemala tak menyahut, ia sibuk meraup wajahnya yang basah. Deraian air mata terus membasahi wajahnya yang kian renta dimakan usia. "Bagaimanapun juga, Rania memang bersalah. Aku tak tahu harus bagaimana lagi mengenai ini. Aku ... malu, Endra." Ganendra berdeham sebentar, sebelum akhirnya pergi dari hadapan sang ibu sambung. Tiba-tiba ingatannya tentang mobil Abi yang ditinggal di jalanan semalam berkelebat dalam ingatan. Secepat kilat, Endra berlari ke luar rumah. Terang saja. Di dekat mobilnya, Abi masih mematung. Seolah-olah tengah berusaha melawan ketakutannya sendiri. Abi yang sadar diperhatikan pun mengedar pandang. Ia tak terlalu terkejut saat mendapati sang adik, berdiri tak jauh dari pintu rumah. Cepat, ia melambaikan tangan. "Sini!" Melihat sang kakak memanggil, Endra pun mengangguk mantap. Lantas, ia masuk dan menjadi sopir di mobil kakaknya sendiri. "Kenapa, Kak?" tanya Endra dalam perjalanan. "Apanya?" jawab Abi. Ia kembali melempar pertanyaan sebab apa yang dipertanyakan sang adik malah seolah-olah mempertegas kejadian semalam. "Entah ... aku tak ingat." "Ucapanmu tadi menyakiti hati Bibi, Kak." Sontak saja, Abi yang sedang menatap ke luar jendela pun berbalik arah. Ia menatap adiknya dengan tajam. "Saat aku mencoba menghargai orang dengan mengerem ucapan, mereka tak henti-hentinya menceritakan aku. Sekarang saat aku diam pada semua hal yang ada di sekitar, mereka pun makin kegirangan. Tak terkecuali kamu. Mereka menyakitiku terlalu dalam, Endra! Dan kamu menyesali ucapanku yang hanya beberapa kata?" Endra menggeleng, lalu memijat pelipisnya pelan. "Lalu apa? Kamu akan membalas dendam? Kematian adalah jalan buntu, Kak. Ikhlaskan saja. Doakan saja!" "Tidak bisa!" teriak Abi. Wajahnya memerah, sedangkan matanya memelototi sang adik semata wayang. "Saat kamu mulai berumah tangga, biasa kupastikan, kamu pun akan mengambil langkah yang sama denganku." "Tapi tidak dengan menerbangkan pesawat, Kak! Kamu membawa ratusan penumpang! Mereka taruhannya!" "Hentikan, Endra! Kamu hanya harus fokus pada jalanan! Bukan pada jalan hidupku! Kita memang kakak beradik, tapi kamu perlu mengingat satu hal! Satu hal! Aku, kamu, kita berbeda. Jangan samakan apa yang dalam otakmu pada isi kepalaku! Aku tak sebodoh itu! Aku tak segila itu hingga harus diperistirahatkan di rumah!" Endra diam. Ia mengalah untuk sebentar sebelum akhirnya terus melaju, melesat membelah jalanan protokol Malang. Keduanya terjebak dalam keheningan pagi yang bersahut-sahutan bunyi klaksonnya. Abi menatap ke luar jendela. Rahangnya mengetat hingga gigi-giginya saling menggeletuk. "Maafkan aku," ungkap Abi. Endra masih diam. Ia tahu, sebenarnya sang kakak tak bermaksud demikian. Ia tahu, sang kakak mudah sekali marah saat tak ada Rania di sisinya. Seolah-olah hidupnya hilang setengah. Abi masih terdiam menatapi jalanan Malang yang belum padat merayap. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak melihat pada kaca cembung yang menggantung di kabin mobil. Lantas, ia juga menghindari kaca cembung di luar. Ia hanya merasa butuh diam sebentar. Bukan untuk melupakan, tetapi setidaknya untuk menekan kemarahan yang mudah terpancing sumbunya. Selain Rania, hanya ada Ida Kemala yang mampu menenangkannya. Ia belum siap jika harus kehilangan mereka. Kehilangan salah satunya saja sudah begitu menyakitkan. Apalagi jika harus menyaksikan Ida Kemala pergi dari kediaman Mahawira. Saat lampu merah di jalanan protokol Malang - Surabaya, perhatiannys teralihkan pada sosok di dalam mobil Jazz kuning. Seorang wanita tampak tengah menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Perban yang melilit kepala membuat detak jantung Abi berkejaran entah apa sebabnya. Lantas, ia bersiap untuk turun dari mobil saat cekalan dirasakan pada tangan kanannya. "Mau ke mana, Kak?" Abi mengempas tangan Endra, lantas turun dan mulai mengetuk-ngetuk kaca mobil jazz kuning di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD