Jatmiko mengernyit. Ia menatap ke luar jendela dengan sengit.
Sementara Gendhis, ia menatap Abi dengan penuh tanda tanya. Kedua matanya menyipit tanda tak suka.
Abi masih mengetuk-ngetuk jendela mobil saat Gendhis menggeleng pada ayahnya. "Tolong, jangan hiraukan dia, Yah. Kepalaku masih pusing."
Jatmiko tersenyum, lantas melambaikan tangannya pada Abi. Ia berharap, Abi mengerti.
Sayang, Abi makin terlihat tak senang. Ia menggebrak jendela mobil dengan keras.
Sontak saja, Jatmiko makin berang. Begitu pula dengan Gendhis. Sembari menahan pening pada kepalanya yang terbentur saat jatuh dari anak tangga, Gendhis membuka jendela mobilnya.
"Apa lagi yang kamu inginkan?" tanya Gendhis. Suaranya ditekan kuat agar tak meninggi nada bicaranya.
"Apa? Kamu pikir, kamu bisa lari dari kenyataan bahwa suamimu dan Rania berkhianat hanya karena luka kecil di kepalamu?"
Sontak saja, Gendhis memelotot. Ia mengedip-ngedipkan mata sebab takut sang ayah belum mengetahui kebenarannya.
"Apa?" bentak Abi sembari mengetatkan rahang.
Melihat itu, Jatmiko pun membeliak. Ia hampir saja memaki Abi jika Gendhis tak lebih dulu buka suara.
"Ah ... anu, Yah. Dia keluarga temannya Putra. Yang juga menjadi korban ... laka lantas."
Abi yang hendak marah pun jadi bingung tak keruan. Namun, di detik berikutnya ia tahu betul bahwa Gendhis menyembunyikan kebenarannya. Tentu saja, Abi merass menang. Ia menyeringai, menatap Gendhis sambil memainkan kedua alis tebalnya.
"Mengenai Putra, Pak, aku tahu sesuatu."
Gendhis membeliak, lantas menggelengkan kepalanya pelan. Mulutnya bergerak, mengatakan jangan tanpa suara.
"Putra se--"
Tin! Tin! Tin!
"Kakak, ayo masuklah!" teriak Endra dari dalam mobil.
"Ayo, Yah. Lampunya sudah hijau," ujar Gendhis mengingatkan.
"Tapi, Dhis, temanmu i--"
"Kami bisa membicarakannya lewat telepon, Yah. Ayo, jalan."
Tanpa banyak tanya lagi, Jatmiko menginjak pedal gas. Meninggalkan Abi yang tengah menatap Honda Jazz kuning yang melesat.
Tin! Tin!
"Kak! Apa yang kamu lakukan? Ayo, masuk!"
Sembari menyeringai, Abi pun memasuki mobilnya. Banyak kilas kejadian yang muncul dalam benaknya selama sisa perjalanan menuju bandara.
Abi ingat betul di mana kali pertama ia melihat Gendhis. Di pantai Balekambang, dua Minggu yang lalu.
Ia yang sedang menikmati debur ombak sembari berbaring di hamparan pasir putih, melihat Gendhis yang berjalan menikmati semilir angin. Abi tersenyum saat melihat rambut panjang Gendhis diterbangkan angin.
Anehnya, saat itu ia tengah sendiri. Begitu pula dengan Gendhis. Untuk beberapa jenak, Abi hanya menatapnya dalam diam. Meski hiruk pikuk dan lalu lalang pengunjung tak ada habisnya, tetapi kala itu, ia merasa dunia berhenti berputar.
"Cantik. Secantik Raniaku," gumam Abi.
Sontak saja, Abi juga teringat akan kejadian janggal tentang Rania. Dalam kurun waktu yang lama, ia tak menemukan Rania. Bahkan, sejak sebelum jam makan siang keduanya tak bertatap muka.
Lekas, Abi bangkit dan mengabaikan Gendhis yang juga tengah mengedarkan pandang. Ia sedang menggulung tikar yang terhampar saat mendadak Rania mendudukkan diri dengan napas terengah-engah.
"Dari mana?" tanya Abi. Kedua matanya memicing, menelisik peluh yang membanjiri dahi calon istrinya.
Rania sempat menarik napas panjang, sebelum akhirnya mengusap keringat. "Kamu lupa? Bukankah tadi kamu mengeluh kamarnya berantakan? Aku membersihkan kamarmu. Juga kamarku. Setidaknya, setelah kamu bersantai, nanti bisa langsung istirahat."
Abi mengernyit. Lantas, membuang wajah ke arah di mana Gendhis berada. "Berapa kamar yang kamu bersihkan, Rania? Kamu terlihat sangat lelah sekarang."
Terang saja Rania gelagapan. Ia mengacungkan telunjuknya ke arah beberapa wisatawan yang sedang berpose bersama. "Kamu lihat itu, Abi? Mereka terlihat cantik!"
Pandangan Abi pun mengikuti ke mana telunjuk Rania mengacung. Namun, sebelum itu ia juga melirik sekilas pada Gendhis yang tengah melihat ke arah yang berlawanan, arah di mana telunjuk Putra menunjuk.
"Siapa tadi?"
Pertanyaan Endra membuyarkan kilas kejadian dua pekan sebelumnya. Ia kembali mengetatkan rahang, lantas mengepalkan tangannya erat.
Perubahan itu disadari oleh Endra. Ia yang tengah menyetir, menjadi kurang fokus sebab takut sang kakak makin menjadi-jadi ledakan amarahnya.
"Kak?" tanya Endra, hati-hati.
Beruntung, bandara telah terlihat tak jauh dari mobil Abi yang masih melaju. Seketika, amarahnya luntur kala mengingat impiannya sejak dulu.
Abi memejamkan mata sebentar demi mengusir amarah yang bercokol dalam d**a. Laju jantung yang kurang ajar, kini telah kembali dalam kendalinya.
"Hmm Endra, kamu tanya tentang wanita tadi, kan?" tanya Abi, setelah mobilnya menepi.
"Ya. Sepertinya aku familiar dengan wajahnya, Kak. Apa kita pernah bertemu dengannya?"
Abi tersenyum, lantas menggeleng pelan. "Sepertinya umak tak pernah bertemu Gendhis. Tapi, aku sudah tiga kali bertemu dengannya."
Mendengar itu, Endra lantas menghadap sang kakak, menagih penjelasan. "Lalu, kenapa kamu terlihat marah?"
Abi tertawa. Ia terbahak-bahak. Tentu saja hal ini membuat Endra kebingungan. "Apa yang lucu, Kak?"
"Yang lucu adalah aku ... aku yang tertipu oleh semua orang, End. Sudahlah, pulanglah. Makasih. Aku pulang naik ojek, ntar."
Saat Abi hendak beranjak, Endra mencekal pergelangan tangan sang kakak. "Wa aja. Biar kujemput."
"Mbok pikir, aku ini anak SD, aa? Udah sana pulang! Jangan mikir macem-macem!"
Endra melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Abi. Akan tetapi, Abi malah menyeringai.
"Tiga kali aku ketemu perempuan tadi. Yang pertama saat pranikah, ketika sesi foto untuk siluet dengan background sunset."
Endra tak langsung menanggapi, ia hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kalau begitu, kenapa umak terlihat seperti marah-marah, Kak?"
Ujung bibir Adi ditarik ke luar sampai datar. Sembari menatap Endra yang bingung, Abi menjawab, "Yang kedua, tepat saat dia yang tak bisa disebut namanya kecelakaan bersama suami perempuan itu."
Sontak saja Endra membeliak. Untuk sejenak, ia merenggangkan mulut dan senam jari tanpa irama musik. "Sorry, Kak."
Abi melirik Endra sebentar. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya diembuskan pelan. Seolah-olah tengah membuang segala beban yang dibawanya sejak kematian Rania dikabarkan.
"Bodohnya, aku enggak sadar kalo Rania ngebohongin aku sejak awal. Meski enggak tau hubungan itu sejak lama, setidaknya dia harus membenci suaminya. Suami yang katanya penyayang, penyabar. Yang kemudian, dikabarkan mati tanpa ada yang tahu fakta apa di baliknya," ujar Abi. Suaranya pelan, tetapi tegas.
Endra yang tahu bahwa itu bukanlah hal yang bisa diduga pun akhirnya buka suara. "Tapi, Kak. Itu bukan salahnya. Dia juga enggak tau apa pun tentang perselingkuhan suaminya."
Abi mengetatkan rahang mendengar pembelaan sang adik. Tangannya kembali mengepal erat. Ditatapnya sang adik sembari menggeram, menahan amarah. "Yang salah adalah ketika dia sendiri enggan menerima kenyataan tentang apa yang dilakukan suaminya bersama istri orang, Endra!"
Sontak saja, Endra menelan ludah susah payah. Jika sudah begini, ia tahu betul bagaimana sang kakak akan menyalurkan kemarahannya. "Aku harus membantu perempuan itu," gumam Endra lirih.