CCTV

1058 Words
"Aku bilang sama Kinan kalau orangnya belum bayar." Bram memberikan uang di tangannya pada Ayu. Uang tiga lembar berwarna merah itu di terima dengan senang hati, bahkan Ayu langsung bersandar manja di bahu Bram. "Terimakasih, Sayang. Kamu nginep disini malem ini kan, Mas?" "Gak bisa, Sayang. Ada Kinan di rumah. Ini juga aku kesini harus nunggu Kinan tidur dulu." Ayu mencebik kesal. "Kenapa sih kita harus sembunyi- sembunyi terus." "Sayang. Kita udah sepakat dari awal. Yang penting cintaku cuma buat kamu." Ayu tersenyum. "Beneran, Mas?" "Iya dong. Kamu tuh cantik, seksi, pinter puasin Mas lagi." Ayu semakin menempelkan tubuhnya di tubuh Bram pinggulnya bergoyang memberi godaan hingga tak membutuhkan waktu lama Bram terbuai dan menerjangnya. ..... Kinan keluar dari rumah di pagi hari. Hari minggu dimana dia biasanya meluangkan waktu untuk lari pagi sebelum mengerjakan pekerjaan rumah. Namun kali ini ada tujuan lain kenapa dia lebih bersemangat. Saat membuka pagar Kinan melihat beberapa tetangga sedang mengerubuni tukang sayur keliling langganan mereka hingga Kinan memutuskan menghampiri sebelum melakukan olah raga. Kinan menghela nafasnya lalu melangkah semakin dekat. "Pagi, Ibu- Ibu semua?" ucap Kinan menyapa. Senyum ramah muncul di bibir Kinan. "Eh, pagi Bu Kinan. Mau olah raga?" tanya salah satu dari mereka. "Iya, biasa mumpung hari minggu." Kinan melihat ke arah sayuran. "Tapi lihat Abang sayur saya jadi tergoda buat beli sayur dulu." "Iya, Bu Kinan biasanya sibuk kerja, kan. Jadi ya cuma hari minggu ada di rumah, olah raga harus, tapi urusan rumah juga harus kita utamakan." "Iya Bu Lastri. Ya gimana juga sesibuk-sibuknya saya juga harus memperhatikan tubuh juga. Maklum zaman sekarang pelakor beterbangan dimana-mana." Kinan menyadari itu, karenanya dia juga rajin menjaga diri. Tapi siapa sangka dia yang merawat diri pun tetap saja suaminya berpaling pada seorang janda. "Tapi Pak Bram kayaknya pria setia, Bu. Saya suka salut lihat dia. Dia telaten ngurusi Yumna," puji salah satunya. Kinan tersenyum. "Ya, meski begitu saya juga harus tetap waspada, Bu." "Benar tuh Bu Kinan. Tahu kan yang artis itu. Kemana-mana kayak pasangan paling harmonis, tahu- tahu cerai gara- gara cowoknya selingkuh." "Zaman sekarang ngeri ya, Bu." Kinan bergidik dengan menyerahkan beberapa sayuran pada pedagang untuk di hitung. "Oh iya, Bu Jani. Saya kan jarang di rumah, saya gak tahu kabar terbaru. Maaf loh saya gak bermaksud bergosip, saya cuma mau bertanya." Bukan hanya wanita yang Kinan panggil yang menatap serius. Total ada lima ibu- ibu yang kini menunggu ucapan Kinan. Wanita yang Kinan panggil memang tetangga depan rumahnya. "Apa Bu Kinan?" "Anu ..." Kinan menghentikan ucapannya. "Ah, gak jadi lah saya takut jadi fitnah." ke lima wanita di depan Kinan nampak kecewa. "Gak papa, Bu, Kan Ibu cuma tanya." Bu Lastri menenangkan. Kinan mengangguk. "Iya, ya." "Ya sudah ayo, ada apa sih? Kok saya jadi penasaran." timpal Bu Jani. Kinan menatap ragu. "Saya mau tanya, Mbak Ayu udah nikah lagi, ya?" semua orang tahu jika Ayu saat pindah berstatus janda, dan saat ini mereka justru mengerutkan keningnya. "Saya gak tahu." "Saya juga Bu Kinan. Gak denger, ah." Kinan mengangguk. "Berarti saya salah, Bu." Kinan terkekeh tak enak hati. "Berapa semuanya Bang?" tanya Kinan dengan membuka dompet kecil yang dia keluarkan dari sakunya. "Tiga puluh ribu, Bu." Kinan menyodorkan uang di tangannya. "Makasih, ya, Bang." "Kalau gitu saya masuk dulu, ya Bu- Ibu." Kinan berbalik hendak pergi, namun saat ini salah satu dari mereka kembali memanggil Kinan. "Sebentar, Bu Kinan. Jangan bikin kita penasaran. Jadi, kenapa Ibu tanya begitu?" Semua orang mengangguk dan menuntut jawaban. "Gak Bu. Saya kira aja begitu. Ah, udah ya ... saya takut jadi fitnah. Mungkin saya salah denger." Kinan hendak pergi namun salah satu dari mereka kembali mencegah Kinan. "Bilang aja, Bu. Kalau ada apa-apa nanti kita yang tanggung jawab." Kinan melipat bibirnya. "Begini ... rumah kami kan cuma terhalang tembok, ya," tunjuk Kinan pada tembok pagar rumah yang sengaja di buat menyatu. Perumahan ini memang memiliki pagar yang terhubung dengan type rumah yang sama. "Malam tadi saya denger suara- suara aneh." Mata mereka menatap penasaran hingga Kinan kembali berucap, "Kayak ada orang mendesah gitu, Bu," bisik Kinan. "Tahu kan, desahan orang yang lagi begitu ..." mata kelimanya membelalak tak percaya. "Beneran Bu Kinan?" "Nah itu, saya kan juga gak tahu pastinya, saya cuma denger semalam aja soalnya. Makanya saya bilang saya takut ini jadi fitnah. Udah ya, Bu- ibu saya mau taruh dulu ini, mau olah raga." Kinan bergegas masuk. Sebelum benar-benar masuk Kinan masih mendengar pembicaraan kelimanya. "Kalau benar, gak bisa di biarin sih ini. Jangan sampai komplek kita tercemar gegara janda yang bawa cowok bukan muhrim ke rumah." "Benar bu Lastri, sekarang cowok lain. Gimana kalau nanti suami kita yang kecantol. Tahu kan gimana bahenolnya Bu Ayu." "Pokoknya kita harus waspada Bu- ibu." Kinan tersenyum. Jika di rumah dia menggunakan CCTV, di luar dia juga punya mata yang akan terus mengawasi Bram dan Ayu mulai sekarang. ..... "Mas udah siap?" Kinan menoleh pada Bram yang duduk di kursi makan. Wajahnya sudah tampan dan pakaian rapi, kemeja hitam dengan celana jeans biru. "Ya, Mas ada panggilan buat servis AC." Kinan tersenyum. "Bagus dong. Semoga hari ini ada rezekinya. Mas tahu gak aku juga mau loh kayak perempuan lain. Dapat nafkah dari kamu." Bram mengernyitkan keningnya. "Ya, kan meskipun dapet aku yang pegang urusan rumah." Bram menyendok makanan lalu menyimpan di piringnya. Kinan mengangguk. "Tapi aku juga perempuan biasa, Mas. Pengen tahu rasanya di kasih uang sama suami." "Sayang, gaji kamu lebih gede loh dari aku. Masa uang sedikit juga mau sih." Bram masih mengelak membuat Kinan menipiskan bibirnya. Pria itu benar-benar tak berniat memberikannya pada Kinan. Padahal dia berharap Bram mengingat kewajibannya. "Kodratku tetap wanita, Mas. Membutuhkan nafkah dari suami. Selama ini aku emang bisa memenuhi kebutuhanku sendiri, bahkan kebutuhan rumah kita. Tapi Mas pernah berpikir gak kalau sebenarnya ini kewajiban Mas?" Bram tertegun, nafsu makannya hilang seketika. "Maksud kamu apa. Kamu mulai protes kalau selama ini uang bulaan dari kamu?" Kinan menghela nafasnya. "Bukan gitu Mas—" "Kamu tahu kan cari kerja susah. Dan aku juga gak diem kok. Kamu pikir ngurusin rumah gak nyita waktuku, apa?!" Kinan tersenyum. "Kenapa marah sih, Mas? Padahal aku cuma ingetin kamu aku juga butuh nafkah dari kamu. Atau sebenarnya kamu benar-benar keenakan ya. Karena uang udah aku penuhi kamu jadi lupa tugas kamu?" Kinan masih bicara dengan tenang, sementara Bram menatap bingung. "Mana mungkin dong, Sayang. Maaf ya, aku gak sengaja bentak kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD