Kinan duduk dengan menopang dagunya menatap kedepan dengan tatapan marah sekaligus sakit. Hatinya tak bisa menerima, namun dia juga tak bisa mengungkapkan semuanya. Setidaknya sekarang
Tapi dia juga tak mungkin hanya diam dan pasrah di permainkan. Dua orang itu sudah membuat lelucon dan merendahkannya
"Kamu pikir aku gak tahu kalau itu uang istri kamu?"
"Apa jadinya kalau dia tahu uangnya kamu kasih ke aku?" Kinan memejamkan matanya demi menahan amarah. Dia harus tenang. Tidak terburu-buru dan gegabah. Bagaimana pun ini masalah besar. Kehidupan keluarganya di pertaruhkan. Meskipun dia tahu sudah tidak ada masa depan untuk hubungannya dan Bram.
Tapi andai Bram mau berubah dia akan berusaha menerimanya kembali.
Kinan mendongak saat pintu ruangannya di ketuk. "Bu, rapatnya udah mau di mulai." Kinan mengangguk lalu meraih berkas di meja dan segera mengikuti Gina.
Baru akan memasuki ruang rapat Kinan menghentikan langkahnya. "Gina, kamu tahu jasa pasang CCTV?" tanyanya pada Gina yang hendak membuka pintu.
"Oh, banyak Bu. Di cari di internet juga ada. Tapi, sekarang zamannya kita pasang sendiri." Kinan mengerutkan keningnya.
"Bisa? Saya mau pasang yang tersembunyi soalnya."
"Bisa, Bu. Nanti saya kasih tahu."
Kinan mengangguk. "Kita bicara abis rapat ya." Gina mengangguk dan membukakan pintu agar Kinan segera memasuki ruang rapat.
....
Kinan keluar dari mobil dengan membawa sebuah kotak berisi beberapa kamera cctv yang akan dia pasang di rumahnya. Melihat suasana rumah nampak normal Kinan hanya bisa menghela nafasnya berat. Ternyata karena suasana inilah Kinan tak menyadari jika ternyata rumah tangganya tidak baik- baik saja.
Kinan memasuki rumah dan melihat Yumna sedang makan di meja makan. "Sayang, Mama pulang." Yumna mendongak dan mengangguk. "Kenapa sendiri? Papa mana?" tanya Kinan lagi dengan memperhatikan sekitarnya.
"Papa lagi keluar, Ma. Ada yang minta benerin AC-nya." Kinan mengangguk lalu menatap makanan dimeja.
"Papa perginya dari kapan?" Kinan mendudukan dirinya. "Masih sempet masak?"
Yumna mengangguk masih sambil mengunyah.
"Sekolah Yumna gimana?"
"Asik, Ma."
"Oh, iya. Mama udah lama gak cek buku pelajaran Yumna? Mama sibuk banget soalnya."
Yumna menghentikan makannya sebentar. "Gak papa, Ma. Ada Papa yang ngecek."
"Oke, kalau gitu."
Kinan tersenyum lalu mengusak rambut Yumna. "Kalau gitu kamu lanjutin makannya. Mama mau mandi dulu." Yumna mengangguk dan kembali dengan makanannya.
Melihat Yumna menikmati makanannya bahkan mengacuhkannya Kinan jadi mengingat ucapan Yumna tempo hari. Jika masakan Ayu memang selalu enak.
Kinan menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Yumna. Gadis itu tahu Ayu kerap memasak untuk rumah mereka. Bahkan memuji masakan Ayu. Apakah Yumna juga tahu hubungan Ayahnya dan tentangga mereka?
Kinan menelan ludahnya kasar, lalu menggeleng. Tidak mungkin. Jika Yumna tahu bukankah harusnya Yumna memberitahunya?
Dengan langkah cepat Kinan segera menaiki lantai dua. Sebelum Bram pulang dia harus memasang semua CCTV di rumahnya.
Kinan memasang di semua ruangan kecuali kamar mandi. Mulai dari ruang tamu, ruang keluarga, dapur bahkan kamar tamu tempat hari itu dia menemukan Bram bercinta dengan Ayu.
Saat Kinan baru saja selesai memasang semua CCTV dan memastikan semua benar-benar terhubung ke ponselnya. Saat itulah Bram pulang dan memarkirkan motornya.
Kinan keluar dari rumah dan menyambut suaminya itu. "Mas udah pulang." Dengan senyum yang dia paksakan Kinan menyapa Bram. "Gimana kerjaannya?" tanya Kinan dengan mengambil peralatan servis AC Bram.
"Capenya doang. Orangnya malah gak bayar." Bram menggerutu. Wajah lelahnya nampak kesal.
Kinan mengerutkan keningnya. "Kok bisa?"
"Ya bisa. Dia bilang bayar nanti. Dia gak punya uang." Kinan menghela nafasnya.
"Ya udah, mungkin belum rezekinya. Yang penting kamu udah berusaha."
"Eh, Mas Bram baru pulang?" Ayu muncul dengan senyumannya di balik pagar yang membatasi rumah mereka.
"Iya, Yu." Senyum Bram langsung muncul seolah lelahnya juga langsung hilang saat melihat Ayu.
"Sore, Kinan?" Kinan tersenyum penuh kepalsuan.
"Sore, Mbak." Kinan menarik tangan Bram. "Kita masuk dulu, ya, Mbak." Kinan bahkan menggandeng tangan Bram agar mereka segera masuk. Saat tiba di dalam rumah Kinan segera melepas tangan Bram, setidaknya dia sempat melihat Ayu cemberut saat melihatnya menggandeng Bram.
"Kamu ngerasa gak sih, Mas, Mbak Ayu tiap liat kamu kayak gimana gitu?"
Bram tertegun. "Gitu gimana?" Bram melangkah ke arah sofa lalu duduk disana.
"Ya, kayak dia suka sama kamu." Kinan mengerutkan bibirnya, cemberut.
Melihat itu Bram menggaruk tengkuknya. "Masa?" Dalam hati Bram merasa bangga.
"Aku ini wanita, Mas. Aku tahu dan peka sama tatapan wanita lain. Apalagi sama suamiku sendiri."
Melihat Kinan semakin kesal Bram meraih tangan Kinan dan menariknya agar duduk di sebelahnya. "Sayang. Aku gak bisa cegah orang buat suka aku. Tapi kamu bisa percaya, kalau aku ini suami yang setia." Bram merangkul bahu Kinan. "Aku gak akan mudah tergoda sama perempuan lain."
"Beneran ya, Mas?" Kinan mendongak menatap Bram.
"Iya, dong. Kamu itu wanita yang paling Mas cintai." Bram memeluk Kinan lalu mengecup pucuk kepalanya.
Di balik punggung Bram, Kinan mengapalkan tangannya. Dia tak pernah semuak ini mendengar ucapan Bram. Jika dulu dia akan tersentuh. Kali ini Kinan merasa ucapan Bram hanya sebuah bualan semata.
"Mas menurut kamu istri yang sempurna itu seperti apa?" Kinan ingin lihat sampai dimana Bram terus bermain di belakang dan menipunya.
"Ya, kamu. Kamu istri Mas yang sempurna." Bram mengusap pipi Kinan, saat Bram hendak mendekatkan bibirnya ke wajah Kinan, Kinan menarik diri.
"Tapi aku istri yang pasif loh, Mas. Aku gak bisa jadi cewek ganjen yang suka menggoda." Wajah Bram sedikit berubah. Namun hanya sesaat sebelum pria itu kembali tersenyum.
"Aku gak suka perempuan begitu. Kesannya kayak cewek murahan. Menurutku kamu udah yang paling sempurna."
"Jadi, Mbak Ayu beneran bukan type kamu, kan Mas?"
"Kok jadi Ayu?"
"Iya, dia itu bahenol. Body aduhai kalau jalan pantatnya suka goyang- goyang, kalau ngomong udah kayak LC mendayu lembut."
Bram menelan ludahnya kasar. "Gak lah, Mas gak suka yang kayak gitu. Mas suka yang kayak kamu penurut, manis dan lugu."
Kinan mendengus dalam hati, namun di bibir menunjukkan senyuman.
Pintar sekali pria ini bicara. Kemarin di depan Ayu jelas sekali dia memuji wanita itu. Dan sekarang di depannya Bram memujinya.
Ponsel Bram berdering, hingga pria itu beranjak saat melihat siapa itu.
"Mau apa Edo nelpon?" tanya Kinan saat melihat nama yang tertera di ponsel Bram.
"Gak tahu. Sebentar aku angkat dulu." Edo adalah sahabat Bram. Namun untuk menerima panggilannya kenapa Bram justru menjauh bahkan pergi ke arah dapur.
Bram memasuki dapur dan melihat ke belakang takut Kinan mengikutinya. Setelah di rasa suasana aman Bram segera menerima panggilan tersebut.
"Mas, lagi apa?" terdengar suara mendayu di seberang sana hingga Bram tersenyum.
"Mas lagi duduk aja."
"Mas, kapan Mas kesini? Aku kengen loh." Bram kembali melihat ke belakang sebentar lalu menjawab.
"Nanti malem ya, Sayang. Kalau Kinan udah tidur."
"Beneran, Mas?"
"Iya, Sayang. Lagian Mas baru aja dapet orderan. Jadi Mas mau sekalian kasih uangnya buat kamu."
Terdengar nada manja membuat Bram semakin melebarkan senyumnya. "Makasih, Sayang. Tapi emang gak papa kamu kasih ke aku? Bukannya harusnya kamu kasih ke Kinan?"
"Itu urusan aku, Sayang. Lagian Kinan itu udah kerja. Dia punya uang sendiri."
Di balik tembok Kinan mengepalkan tangannya. Bagus sekali selain memberikan uang bulanan yang Kinan berikan padanya, Bram juga memberikan hasil kerjanya yang harusnya menjadi nafkah untuk dia sebagai istri pada janda tetangga itu. Pria itu bahkan berbohong jika orang yang memakai jasanya justru tak membayarnya demi memberikan uang itu pada Ayu.
Kinan kira Bram masih bisa berubah, rupanya pria itu sudah tak tertolong.