Kinan mengernyit saat melihat kios yang Bram sewa. Nampak sepi dengan sekitar yang jauh dari pasar atau toko lain. "Kok disini sih, Mas? Kalau lokasinya begini uang sewanya kemahalan menurutku. Lagian ini tuh lokasinya jarang di lewati orang. Gimana ada yang tahu kalau kamu buka bengkel disini?"
Bram menipiskan bibirnya. "Rezeki kan gak akan ketuker, Sayang," ucap Bram percaya diri.
"Terus udah ada pelanggan?"
Bram menggeleng membuat Kinan menghela nafasnya. "Kalau begini kapan balik modalnya?"
"Ya, nanti juga pasti ada."
"Dengan uang yang aku kasih aku kira kamu bisa sambil jualan yang lain kan, Mas? Aku lihat disini gak ada toko lain. Kamu bisa buat toko sembako?"
"Repot lah. Terus kalau ada yang mau benerin elektronik aku harus sambil layanin pembeli gitu?"
"Ya terus, uangnya masih ada dong harusnya?"
"Ada, ta- tapi kan aku harus punya pegangan. Rencananya aku mau punya karyawan juga biar bisa kerja lebih cepat."
Kinan menghela nafasnya lalu menatap Bram. "Kalau cara kerja kamu seperti ini. gak nunggu setahun usaha kamu gulung tikar, Mas."
"Kamu nih, ngomong yang baik-baik dong. Doain suami yang baik. Malah doain aku bangkrut." Bukannya berpikir Bram lagi- lagi menyalahkan Kinan.
Kinan menghela nafasnya. "Udahlah, aku gak mau tahu. Inget aku mau 50 persen hasilnya buat aku. Dan jangan coba buat bohong."
"Iya."
"Aku pulang." Kinan keluar dari bengkel servis elektronik Bram. Sampai Kinan baru mencapai mobilnya Bram menghentikannya.
"Sayang, kamu pulang naik taksi aja, ya? Aku mau jemput Yumna di sekolah." Bram menahan pintu mobil Kinan saat Kinan akan masuk.
"Loh, Yumna kan sama Ayu. Kenapa gak langsung pulang aja naik taksi?" Sampai saat ini Yumna masih kukuh ingin di atar Ayu ke sekolah. Anak itu semakin hari bahkan semakin menjauh darinya. Kinan bahkan beberapa kali membujuk Yumna, namun anak itu justru semakin tak menyukai jika terus bersamanya.
Bram menggaruk tengkuknya. "Ayu mau ke super market dulu beli keperluan. Makanya aku harus jemput." Tanpa meminta izin Bram bahkan mengambil kunci di tangan Kinan.
"Terus bengkelnya?" tanya Kinan. Jika Bram pergi siapa yang akan menunggu bengkel, bagaimana jika ada pelanggan?
"Ya aku tutup dulu lah, gampang," ucap Bram enteng.
Kinan berdecak. "Kalau keseringan di tutup gimana bisa ngehasilin sih, mas? Lagian kalau mau ke super market kenapa gak pergi sendiri, sih?!"
"Sayang, kamu tahu aku khawatir. Ayu lagi hamil muda, gimana kalau dia kenapa- napa?" Kinan memutar matanya malas. "Udahlah, kamu kalau mau pulang, pulang aja sana!"
"Lagian ini juga gara-gara kamu jual motorku. Sekarang gak ada cara lain kalau kemana-mana ya pake mobil."
Kinan melipat tangannya di d**a. "Kalau gitu kita beli motor lagi aja. Aku yakin dengan cuma buka usaha begini aja uang yang kemarin masih cukup buat beli satu motor?" Kinan menengadahkan tangannya, sementara Bram menjadi gelagapan. Bagaimana kalau Kinan tahu separuh uangnya sudah habis dia gunakan bersama Ayu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Bram juga heran kenapa Ayu mengidam macam- macam sampai dia kewalahan dan hanya bisa menggunakan uang dari Kinan.
"Kamu gimana sih, bukannya kamu minjemin, kenapa kamu minta lagi?"
"Aku bukan minta, Mas. Lagian yang bakalan pake motornya kan kamu juga."
"Gak bisa, aku kan bilang mau rekrut karyawan buat jagain toko."
Kinan menghela nafasnya, ternyata Bram tak memikirkan apa yang sudah dia katakan.
Kinan melipat tangannya di d**a. "Kalau gitu, ada atau gak adanya pelanggan, kamu tetap harus kasih penghasilan. Kalau di pikir lagi udah beberapa hari kamu buka bengkel, kamu juga gak kasih uang ke aku sama sekali?"
"Ya kan belum ada pelanggan."
"Nah, itu. Udah tahu belum ada pelanggan, ngapain mesti punya pegawai? Kamu bisa tunggu disini. Dan biar Ayu ke super market sendiri."
Bram terdiam. Namun beberapa saat kemudin Bram kembali menatap Kinan. "Kamu tega banget, sih. Kamu kayak gak pernah hamil aja. Dulu aku juga perlakukan kamu dengan baik, manjain kamu. Masa aku gak boleh perlakukan Ayu sama kayak kamu?!"
"Kamu iri sama Ayu."
"Bukan gitu, Mas—"
"Udahlah, pulang sana!" belum selesai Kinan bicara Bram mendorongnya, bahkan hingga Kinan terhunyung. Andai Kinan tidak berpegangan ke badan mobil mungkin Kinan akan terjatuh.
Kinan mengepalkan tangannya, dia menoleh pada Bram yang menutup kembali bengkelnya lalu tak lama dia kembali dan memasuki mobilnya. Tanpa menoleh ke arahnya lagi Bram pergi meninggalkan Kinan yang menatap semakin marah.
....
Kinan menatap ke arah adegan keluarga yang bahagia, dimana ada Ayah, Ibu dan Anak. Ketiganya duduk di kursi sebuah meja dengan kue dan lilin diatasnya.
"Ayo, Tante. Tiup lilinnya." Terdengar suara Yumna.
"Ayo, Sayang make a wish dulu." Itu Bram.
Ya, keluarga bahagia itu adalah Bram, Ayu dan Yumna. Ketiganya tengah merayakan ulang tahun Ayu di sebuah restoran.
Bram bilang akan mengantar Ayu ke supermarket, tapi rupanya dia justru membawa mereka untuk merayakan ulang tahun Ayu. Hal yang tak pernah Kinan bayangkan. Hal yang dulu anak dan suaminya lakukan untuknya, kini mereka melakukannya untuk wanita lain. Dan yang membuat Kinan semakin sakit. Bram lagi- lagi menipunya. Padahal jika Bram berkata jujur jika mereka akan merayakan ulang tahun Ayu, Kinan tidak akan mencegah.
Terlihat Ayu tersenyum. "Aku udah bahagia punya kamu dan Yumna, juga bayi di kandunganku. Jadi aku gak mau apa- apalagi." Jika Kinan tak tahu siapa wanita itu, dia mungkin akan terharu sebab mendengar rasa syukur dari seorang wanita karena sudah memiliki rasa cukup dalam hidupnya.
Tapi Kinan tahu wanita itu adalah perusak rumah tangganya. Bahkan mempengaruhi anaknya untuk membelanya. Kinan menghela nafasnya lalu mengarahkan ponsel di tangannya demi merekam apa yang di lihatnya.
Bram terkekeh. "Kalau gitu biar Mas yang berdoa buat kamu. Semoga istri Mas ini di kasih kesehatan, dan terus bahagia. Jadi istri yang baik dan selalu mencintai, Mas."
Air mata Kinan menetes. Itu juga doa yang selalu Bram ucapkan untuknya, tapi kini pria itu mengucapkannya untuk madunya. Belum hilang sakit hati Kinan kini dia mendengar hal yang lebih menyakitkan keluar dari mulut Yumna.
"Sekarang aku." Yumna melipat tangannya lalu memejam menandakan doanya sangat tulus untuk Ayu. "Ya Tuhan, semoga Tante Ayu bisa jadi Mamaku satu- satunya."
Kinan menutup mulutnya agar tangisnya tak pecah. Bagaimana pun dia berada di tempat umum, dan jangan lupa bagaimana kalau Bram dan Yumna menyadari kehadirannya. Kinan memang sengaja memilih kursi tak jauh dari kursi yang di tempati ketiga orang itu. Hanya saja ada pot bunga besar dimana dia bisa menyembunyikan dirinya.
"Ya ampun, Sayang. Tante terharu. Kalau Yumna mau Yumna boleh panggil Tante, Mama."
"Beneran Tante?"
"Iya dong."
"Asik!" terdengar suara seruan senang dari Yumna membuat Kinan merasa tak sanggup lagi. Dengan tubuh gemetar Kinan beranjak dari kursinya.
"Makasih, Mama." Kinan masih mendengar dari jaraknya meskipun saat ini dia sudah melangkah menjauh dari kursi mereka.
Kinan menghentikan langkahnya lalu menoleh. Terlihat ketiganya meniup lilin lalu bertepuk tangan bahagia.
"Kamu mau dia jadi Mama kamu kan, Yumna? Mama akan berikan." Kinan tersenyum miris. Hatinya terasa tercabik melihat adegan demi agedan dimana mereka, suami dan anaknya mengecup pipi Ayu di kedua sisi. "Anggap ini hadiah terakhir dari Mama."
Kinan berbalik lalu pergi. Tangisnya masih mengiringi hingga dia keluar dari restoran.
Kinan menghela nafasnya lalu menghapus air matanya. "Aku rasa aku gak bisa bertahan lagi." Kinan melangkah semakin mantap. Dia merasa keputusan untuk bercerai tidak salah.
....
Kinan melambaikan tangannya ke arah taksi, namun saat ini seorang anak di sebelahnya tiba-tiba berlari untuk menyebrang. Kinan yang melihat itu tak bisa tak terkejut saat sebuah mobil melaju kencang ke arah anak tersebut.
"Awas!"
Brugh!