Si Paling Baik

1206 Words
Saat pulang Bram sengaja langsung datang ke rumah Ayu untuk menanyakan kabar kehamilannya. "Gimana hasilnya, Sayang?" tanya Bram dengan wajah antusias. Pria itu bahkan menggenggam tangan Ayu. Ayu tersenyum. "Dokter bilang aku hamil, Mas." "Oh, ya?" Bram nampak bahagia bahkan memeluk Ayu. "Syukurlah, Sayang." Ayu mengangguk. "Tapi masalahnya ..." Ayu menghentikan ucapannya wajahnya menampakkan tak enak hati jika dia mengatakannya. "Kenapa, Sayang?" Bram masih tersenyum hingga Ayu kembali bicara senyumnya hilang perlahan. "Kamu belum dapat kerjaan. Dan kebutuhan kita akan semakin besar kalau anak ini lahir nanti," ucapnya dengan menunduk sedih. "Kamu benar." Tubuh Bram melemas lesu. "Tapi kita juga gak boleh menolak anak kan? Kita harus berjuang untuk menghidupinya." Bram mengangguk. "Bersabarlah. Setelah aku dapat kerja hidup kita pasti lebih baik." Ayu menggenggam tangan Bram. "Tapi kamu tahu kan, cari kerja susah. Kalau kamu gak juga dapat gimana? Andai Kinan masih kerja." "Kalau pun masih kerja. Kinan gak akan biarin kita pake uangnya terus. Ini karena rahasia kita terbongkar." keluh Bram. Andai rahasia mereka tetap aman. Dia masih akan menikmati hidup tenang dengan dua istri bersamanya. Ayu mengangguk. "Kenapa kamu gak coba buka usaha aja, Mas. Buka bengkel kek, apa kek?" katanya memberi pendapat. "Lagi pula kalau sampai nanti gak diterima kerja, kita gimana? Mana aku udah gak punya uang lagi untuk kebutuhan sehari-hari." Bram menghela nafasnya. "Buka usaha juga harus ada modal. Dari mana aku bisa dapat uang banyak buat itu. Ini aja buat lamar kerja aku minta Kinan," keluh Bram. Uang bensin bahkan untuk membuat berkas lamaran semuanya dari Kinan. "Kamu gak punya, tapi Kinan pasti punya kan, Mas?" Bram mengerutkan keningnya. "Kinan itu manager umum. Kerja di perusahaan udah lama pesangonnya pasti gede, kan? Kenapa kamu gak pinjam uang dia aja buat modal?" Bram tertegun. "Masa dia gak mau pinjamin. Toh ini buat kita juga kan. Buat keluarga kita. Dan kalau nanti usaha kamu udah sukses kamu bisa ganti," kata Ayu lagi. Matanya begitu meyakinkan bahkan berbinar menatap Bram penuh harap agar pria itu setuju dengan usulannya. Bram masih nampak berpikir. Namun dia merasa Ayu ada benarnya. Haruskah dia mengikuti sarannya. "Aku bisa bantu bujuk Kinan. Aku yakin dia pasti bakalan kasih kok." Bram akhirnya mengangguk. "Kalau gitu kita bicarakan nanti." Bram mengusap perut Ayu yang masih rata. "Sekarang aku mau peluk dulu." Pria itu menyerukan kepalanya di perut Ayu seolah tengah memeluk bayi dalam perut Ayu. Sementara madu Kinan itu tersenyum menatap kedepan dengan perasaan puas. .... Kinan menatap Bram dan Ayu yang duduk di depannya. Keduanya mengatakan ada hal yang perlu di bicarakan dengannya. "Ada apa, nih?" Kinan menunggu beberapa saat namun baik Bram atau pun Ayu tak juga bicara. "Kita mau usul sama kamu," ucap Ayu. Mendengar Ayu yang lebih dulu bicara Kinan menyimpulkan jika ini adalah usul dari Ayu sendiri. Kinan menaikan alisnya. Namun saat ini Bram mengeluarkan suaranya. "Sayang, kamu tahu kan, kalau aku udah berusaha cari kerja. Tapi karena susah aku belum dapat juga." Kinan masih diam mendengarkan. "Dan kamu tahu kalau Ayu udah hamil dan membutuhkan banyak uang untuk kebutuhannya hingga melahirkan nanti." Kinan menghela nafasnya. Meski dia sudah tahu hubungan kedua orang ini, tetap saja saat tahu suaminya menghamili madunya dia merasa sakit hati. Dan apakah Bram tidak berpikir jika itu menyakitinya? Pria malah terang- terangan terlihat bahagia atas kehamilan Ayu. "Jadi?" "Jadi, bisa gak Mas pinjam uang buat modal bikin usaha?" Kinan mendengus. Ujung-ujungnya uang. "Dia yang hamil kenapa kamu minta uang ke aku? Yang enak kalian giliran uang minta sama istri sah gak mau?" Ayu membelalakan matanya sementara wajah Bram cemberut. "Aku bilang kan cuma pinjam bukan minta." "Emang yakin bakalan bayar? Selama ini uang aku yang kamu kasih ke dia udah di jumlah belum berapa? Kapan itu juga di bayar? Kamu yang enak nikah kok aku yang kasih nafkah." Bram gelagapan. "Aku bisa bayar dari hasil usaha nanti." "Kamu perhitungan banget sih, Kinan!" seru Ayu. "Lagian kalau usaha Mas Bram lancar kamu juga yang enak. Kita sekeluarga bisa hidup nyaman." Kinan mendengus. Sayang sekali dia akan segera mengajukan perceraian jadi dia tak peduli. "Ayu benar, Sayang. Aku melakukannya untuk kamu juga. Untuk kita. Kalau aku sukses kita bisa tenang dan gak perlu cari kerja sama orang lagi." "Jangan egois dong Kinan. Kamu juga pernah hamil. Dan pasti tahu kebutuhan melahirkan itu gak sedikit. Dan sekarang aku yang hamil, Mas Bram harus memikirkannya dari sekarang." Mata Kinan menatap Bram. Benar saat itu dia yang belum bekerja dan mengandalkan Bram yang kerja serabutan. Merasakan bagaimana mereka mengumpulkan uang untuk dia melahirkan Yumna. Saat itu Bram masih pria yang bertanggung jawab dan setia. Bekerja apa saja untuk membahagiakannya. Entah kenapa sekarang Bram justru berubah drastis. Jadi pria mokondo yang mau enaknya saja. "Oke." Bram dan Ayu saling pandang lalu tersenyum. "Beneran Sayang?" Kinan diam. "Aku janji abis usahaku sukses aku bakalan bayar ke kamu semuanya." Kinan menggeleng. "Gak perlu buru- buru. Kamu cukup kasih tahu apa usaha kamu. Buat perencanaan usaha dan rincian modal berapa yang harus aku kasih." Bram mengangguk antusias. Namun saat ini Ayu mengeluarkan protesnya. "Kenapa harus membuat perencanaan dan rincian modal segala. Kamu gak percaya sama Mas Bram?" ucapnya dengan sinis. Kinan terkekeh. "Kamu tahu gak, uang yang aku dapatkan juga bukan uang cuma- cuma yang jatuh dari langit gitu aja. Ini hasil kerja kerasku tujuh tahun. Harus ada perencanaan biar aku tahu uangku larinya kemana. Dan lagi, aku mau nanti 50 persen penghasilan masuk ke kantongku," ucap Kinan. "Kamu!" Ayu berteriak kesal. "Kenapa? Toh uangnya juga dari aku." Ayu akan kembali bicara. Namun Bram menahannya. "Aku ngerti. Aku bakal buat rinciannya." Kinan tersenyum. "Gitu dong. Kalau gitu ini udah selesai kan?" Kinan beranjak dari duduknya, di belakang dia masih mendengar percakapan dari Ayu dan Bram. "Mas kok bisa 50 persennya buat Kinan, sih?" "Sayang, gak masalah. Biar usaha kita sukses dulu baru 50 persen punya kita juga jadi banyak. Yang penting sekarang Kinan udah setuju kasih modal." "Kamu bener, Mas. Kalau gitu aku bantu kamu buat rinciannya, ya?" "Ya, Sayang." Baiklah kita lihat. Sampai dimana mereka menghisap uangnya. Mata Kinan berkilat, lalu melanjutkan langkahnya dengan cepat ke arah kamarnya. Tiba disana Kinan membuka lemari dan melihat beberapa berkas. Surat- surat miliknya termasuk surat rumah yang baru beberpa bulan ini dia lunasi. "Kamu ambil bagian kamu, aku ambil bagian aku. Itu baru adil kan?" .... Keesokan harinya Bram memberikan perencanaan usahanya. Dengan wajah yang tersenyum dia menatap Kinan. "Gimana Sayang?" Pertanyaan itu membuat Kinan tersenyum miris. Yang tertulis adalah perencanaan membuka bengkel AC dan elektronik lainnya. Namun modal usaha yang tertulis jauh di luar nurul. "Jadi kapan kamu kasih uangnya?" Pria itu benar-benar tak sabaran. "Karena ini gede banget. Gak bisa ambil lewat ATM. Aku harus ke bank buat ambil langsung." Bram mengangguk. "Dan kamu tahu, aku gak punya kalau sebanyak ini." Kinan meletakan lembar perencanaan modal di meja. Bram tertegun. "Terus gimana?" "Kamu tenang aja. Karena ini demi modal usaha, aku akan berusaha mencari uangnya." Bram tersenyum lebar. Terlihat sangat tampan. Jika dulu dia akan terpesona dengan ketampanan pria ini, kini yang tersisa hanya rasa muak. Dan saking muaknya dia menjadi tak sabar untuk segera bercerai. "Terimakasih, Sayang. Kamu memang istriku yang paling baik." Bukannya luluh pujian itu justru membuat Kinan semakin mual. "Si paling baik ini tetep gak bisa buat suaminya setia." Kinan beranjak dari duduknya lalu pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD