bc

The Most Beautiful Eyes

book_age16+
194
FOLLOW
1K
READ
family
friends to lovers
arranged marriage
goodgirl
independent
confident
inspirational
comedy
bxg
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Aku bersyukur Allah membutakanku, itu artinya Allah membantuku agar aku bisa menjaga pandangan dari pandangan terlarang.

-Calista Bintang Syafhah Pradana.

Buta tidak berarti gelap. Lihatlah walaupun kau tidak bisa melihat, kau tetap dapat membawa orang-orang menuju ke titik terang

-Kenny Ghery Pradana

Terkagum membaca hasil karyamu dan kau tak kalah hebatnya dengan karyamu

-Arsyaf Maulana

Sebuah cerita yang mengisahkan seorang penulis bernama Calista yang harus kehilangan pengelihatannya disaat karier impiannya akan terwujud. Baru tiga bulan lamanya ia memutuskan untuk berhijrah, ternyata Allah telah memberikan ujian yang bisa dikatakan tidaklah ringan untuknya.

Kisah duka dan haru biru memenuhi perjalanan hidupnya.

Mampukah Calista melanjutkan membuat karya tulisnya walaupun memiliki keterbatasan tersebut?

Mari simak baik-baik kisah mereka. Dengan harapan akan mengubah pandangan kalian terhadap orang yang memiliki kekurangan.

Semoga bermanfaat ?

cover by pinterest

chap-preview
Free preview
1-?Beautiful Eyes?
_***_ Seburuk apapun keadaannya yang tampak, kita tidak akan tahu mungkin saja ia sedang berusaha memperbaiki dirinya dari dalam dan bisa jadi dia sedang berusaha mati-matian untuk mempertahankan hidupnya walaupun ia tahu kemungkinan ia hidup sangatlah kecil. -Fitri Yulita- _***_ Author's POV "Woy ... Kembaliin sepatu gue!" "Ya Allah, Radif nyebelin banget sih! Lo keturunan apaan sih? Nyebelin lo melebihi manusia tau nggak?" Seorang gadis berseragam putih abu-abu tengah berlarian mengejar sosok teman di depannya. "Biarin. Itu artinya lo nggak akan bisa menemukan sosok seperti gue di manusia manapun." "Tau ah, bete sama lo, Dif." Gadis tadi pun hanya bisa pasrah melihat sepatu sebelahnya digondol oleh teman yang ia kejar tadi. Gadis itu mengamati teman laki-lakinya yang suka sekali menjahilinya itu. "Gue heran kenapa banyak yang nunjuk lo jadi ketua kelas, Dif. Padahal jadi panutan enggak, suka bikin rusuh banget," ucapnya terheran. Radif pun mendekat. "Lah emangnya salah kalau jadi ketua kelas rusuh? Yang penting kan kelas kondusif dan lo kan wakil gue. Tugas gue ngerusuh supaya bikin kelas bersolidaritas tinggi, kalau lo tugasnya jadi panutan. Jarang-jarang kan ada ketua kelas kayak gue, hehehe .... " katanya ikut duduk di samping gadis tadi. "Haduh, jarang sih jarang tapi gue jadi yang repot Radif Fauzan Alvar," ujar gadis tadi gemas dengan pola pikir Radif yang aneh bin ajaib. "Hehe nggak apa lah, itung-itung gue ngasih kesempatan lo berbuat kebajikan, Tang." Gadis tadi hanya melengos mendengar alasan sang ketua kelas itu. "Ya udah gue ke kelas dulu yah, babay ... Assalamualaikum," ucap Radif langsung beranjak pergi. "Wa'alaikumussalam. Eh eh Radif! Sepatu gue!!!" teriak gadis itu geram melihat laki- laki tadi langsung pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. "Astagfirullah, sabar Lista lo lagi puasa," gumam gadis bernama Calista Bintang itu dan melangkah pergi menuju keberadaan sepatunya yang kini telah ada di atas dahan pohon. "Ah bikin kerjaan gue nambah aja sih Radif tu," gerutunya yang kebingungan mencari akal untuk mengambil sepatunya. Calista's POV Hari ini seperti biasanya aku harus menderita hiperbola eh- hipertensi karena sang perusuh, siapa lagi kalau bukan Radif Fauzan Alvar. Ingin rasanya aku memakinya sekali saja. Tapi, sebar-barnya aku, aku tak akan tega jika memaki seseorang. Terlebih lagi apabila sampai sakit hati. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim." (QS. Al-Hujuraat [49]: 11) Aku mengamati seksama sepatu hitamku yang tengah duduk manis di dahan pohon. Well, bagaimana cara membawanya turun? Kuedarkan pandanganku ke sekitar pohon yang kering itu. Siapa tau ada galah untuk mengambil sepatuku. Namun, nihil tak ada galah ataupun kayu panjang yang terlihat. Sebuah lampu pun muncul di atas kepalaku. Aku pun bergerak cepat mendekati batang pohon yang kurus kering itu. "Pohon bantu aku," bisikku kepada batang itu yang selanjutnya aku pukul-pukul pelan berharap sepatuku bisa jatuh. "E...e...eh!!! Awas nanti tumbang!" teriak seseorang yang terdengar tak jauh dengan tempatku berdiri. Aku pun menoleh ke balik batang pohon itu dan menemukan seorang siswi sedang memeluk laptopnya erat-eret. "Eh hehehe maaf gue nggak tau ada lo di situ," kataku meminta maaf kepada siswi tadi. "Mau ngapain sih?" tanya siswi itu ikut mendekat ke arahku. "Lihatlah, kelakuan ketua kelasmu." "Astagfirullah Radif berulah lagi? Memang kurang kerjaan banget sih tu anak. Ya udah ngambilnya jangan di gituin kasihan pohonnya nanti tumbang." "Yah kayaknya kalau sehari belum berulah belum puas deh. Yah gimana atuh, Wen. Lagian pohon udah kering kayak gini bentar lagi juga mati kan." "Ish, kamu ini, jangan kayak gitu. Kita nggak tahu loh dia dalam keadaan kering kayak gini, siapa tau dia lagi berjuang buat hidup kembali. Kita seharusnya ikut men-suport bukan menumbangkan," ujar Wendya-teman sekelasku. Aku berfikir, benar juga apa yang Wendya katakan. Seburuk apapun keadaannya, kita tidak akan tahu mungkin saja ia sedang berusaha memperbaiki dirinya dari dalam dan bisa jadi dia sedang berusaha mati-matian untuk mempertahankan hidupnya walaupun ia tahu kemungkinan ia hidup sangatlah kecil. "Ya udah terus gimana dong, Wen?" tanyaku memelas. Pasalnya sebentar lagi bel akan berbunyi. Tidak lucu bukan kalau aku masuk ke kelas dengan menggunakan sepatu hanya sebelah. "Eum ... bentar cari galah dulu." Wendya pun berjalan menjauhiku dan pergi mencari galah yang bisa digunakan untuk mengambil sepatuku. Aku mengamati laptop Wendya yang masih menyala. Dari kejauhan aku melihat banyak paragraf yang berderet di sana. Karena saking penasarannya, aku pun memberanikan diri mengintipnya. Sepertinya ini sebuah cerita. Apakah Wendya penulis? Aku pun membaca sedikit tulisan yang Wendya ketik tadi. Bahasanya cukup bagus dan diksinya pun sangat indah. Sepertinya Wendya penulis handal. Namun, saat aku sedang terhanyut membaca, ada sebuah tulisan yang menohok hatiku. Tau nggak sih, Ci, lo ngelihat tulisan gue tanpa izin tuh bisa masuk ke dalam berbuat mencuri tau. Soalnya kan lo nggak izin dulu sama gue. "Perasaan nyindir banget dah," gumamku terkekeh sendiri menyadari tingkahku. "Kenapa, Lis?" tanya Wendya yang kini telah ada di belakangku. Aku sontak langsung berbalik. "Enggak kok, Wen. Gimana dapet?" "Ini dapet cuma pendek tapi." "Nggak papa lah insyaallah bisa." Akupun segera mengambil galah itu dari tangan Wendya dan mulai mengambil sepatuku. Bruk ... "Alhamdulilah akhirnya bisa. Thanks banget yah sampai repot-repot segala hehehe," ujarku sedikit bercanda. "Alah santai aja lah sama aku juga." Ngomong-ngomong begini, lebih baik aku tanya langsung kepada Wendya perihal tulisan tadi. "Btw Wen, lo penulis yah?" tanyaku kepada Wendya yang sudah sibuk dengan laptopnya lagi. "Emmm cuma suka nulis aja sih, Lis. Aku masih pemula hehehe," balas Wendya diselingi dengan tawa ringan. "Tapi, maaf yah sebelumnya. Tulisan lo bagus tau, Wen. Gue saranin langsung ajuin aja ke penerbit gue yakin naskah lo lolos." Wendya menoleh kearahku. "Kok kamu bisa tau, Lis?" Aku menggaruk kepalaku yang tertutup jilbab. "Maaf Wen tadi gue sempet baca tulisan lo dikit." "Owalah gitu. Aku masih belum yakin, Lis. Masih belum pede," kata Wendya. "Ish coba dulu Wen. Gue dukung penuh nih. Gue sebenernya juga pengen jadi penulis tau." Mendengar ucapanku, Wendya segera memutar posisi duduknya menghadap ke arahku yang sedang memakai sepatu. "Jangan bilang kamu juga nulis, Lis?" tanya Wendya dengan penuh selidik. Aku terkekeh. "Iya, baru beberapa minggu yang lalu sih. Tulisan gue masih acak-acakan." "Woaaa, kolaborasi yuk. Kamu nulis genre apa?" tanya Wendya yang tertarik dengan perkataanku tadi. "Gue sih ke fiksi remaja gitu. Biasa percintaan anak SMA." "Bagus deh kayaknya kalau kita kolaborasi. Kalau aku sih sama, cuma menambahkan sisi ke Islamnya juga." Aku kemudian terheran dengan Wendya kenapa lebih memilih fiksi remaja islam. Padahalkan itu akan sangat terikat. "Memangnya kalau boleh tahu, kenapa kamu suka yang kayak gitu, Wen? Bukannya itu membuat lo nggak leluasa untuk membuat adegan romantis?" "Iya sih bener apa yang kamu bilang, Lis. Cuma, bukannya aku menyalahkan atau gimana-gimana yah. Cuma aku pingin ikut membentuk kepribadian remaja Indonesia yang tak terjerumus ke dalam dunia cinta terlarang. Aku ingin berpartisipasi dan menularkan sisi keislaman kepada para remaja yang membaca. Tapi nggak ada salahnya sih apabila menjadikan menulis sebagai penghibur. Yang penting jangan menyesatkan. Aku sih belum punya ilmu banyak, cuma yah aku pengen aja membagi pemahaman yang aku mengerti. Dan terutama aku pengen menghasilkan karya yang bisa berguna di dunia dan akhirat," jawab Wendya yang membuatku terkesan. Memang sih Wendya di kelas terlihat alim. Namun, aku tak menyangka kalau ia memiliki cita-cita yang sungguh mulia. "Masyaallah, Wen. Gue salut sama lo. Bisa tolong ajarin gue?" pintaku sungguh-sungguh. Karena aku sedikit tersentil oleh perkataan Wendya tadi. Ia benar, sekarang tontonan banyak yang menjerumuskan para generasi muda ke dalam perbuatan yang mengundang kemungkaran. Sekarang waktunya ada orang yang menggugah dan menyadarkan hal itu, walaupun hanya melalui tulisan. Kita tidak akan tahu bisa saja, satu kalimat yang kita tulis bisa membawa manfaat kepada banyak orang. "Eumm, Insyaallah, Lis." Aku mendadak girang mendapati jawaban dari Wendya. "Huaaa makasih Wendya ... Ah gue nggak sabar deh. Besok yah ketemuan di sini yah!" Wendya pun mengangguk mengiyakan ajakanku. Baru saja aku akan menyusun rencana, eh bunyi bel tanda istirahat berakhir terdengar. Kringgg .... "Eh ke kelas yuk, udah bel," ajak Wendya yang sudah siap menuju kelas. "Let's go." "Eh iya, nanti kalau ketemu Radif jangan bilang-bilang rencana kita yah. Nanti bisa rusuh lagi dia," tambahku menyusul Wendya yang telah jalan terlebih dahulu. "Hahaha aduh kalian ini padahal udah jadi ketua sama wakil tapi tetap aja kayak Tom and Jerry," jawab Wendya terheran. "Radif sih nyebelin banget tau nggak. Tapi gue heran deh kenapa lo nggak pernah di ganguin." Memang sih selama dua tahun bersekolah di sini, aku belum pernah melihat atau mendapati Radif berbuat jahil kepada Wendya. Apakah karena Wendya terlalu alim? "Mungkin karena aku membosankan, Lis. Hehehe." "Ish, siapa bilang coba. Lo seru kok, mungkin kurang sefrekuensi aja." Kami pun segera duduk di meja masing-masing ketika telah sampai di kelas. Sedari tadi aku menghiraukan tatapan menyebalkan Radif yang pastinya masih mengejekku karena sepatu tadi. Mungkin dia memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang menyebalkan. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.3K
bc

Istri Muda

read
392.4K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
57.1K
bc

Hurt

read
1.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook