Bab 1. Petaka Saat Lamaran
"Huek, huek!" Aisyah sudah tidak bisa menahan lagi rasa mual yang sejak tadi ia tahan saat menemui keluarga Baihaqi.
Malam itu, Baihaqi bersama keluarga besarnya datang ke pesantren Darul Hikmah untuk melamar Aisyah secara resmi sekaligus membicarakan rencana pernikahan karena secara pribadi Aisyah telah menerima lamaran Ustaz Tampan itu sebelumnya.
Kedatangan mereka disambut baik oleh kedua orang tua Aisyah yang merupakan pengasuh pondok pesantren. Bahkan, Kyai Umar, ayah Aisyah menyembelih satu ekor kambing khusus untuk menjamu calon besannya itu. Kedua belah pihak keluarga bertemu di aula pondok untuk membicarakan acara pesta pernikahan yang rencananya akan digelar bulan depan.
"Kamu sakit, Aisyah?" tanya Umi Afifah, ibunda Baihaqi dengan suara lembut. Tidak hanya perhatian kepada Aisyah, Umi Afifah juga sangat menyayangi calon menantunya itu. Benar-benar spek ibu mertua idaman setiap wanita.
"Tidak, Umi. Saya baik-baik saja. Hanya sedikit mual," jawab Aisyah membuat semua yang ada di ruangan itu saling memandang penuh tanya.
"Dek, kalau kamu sakit sebaiknya istirahat saja," ucap Baihaqi tak kalah lembut. Ustaz tampan itu merasa cemas terhadap calon istrinya yang nampak pucat.
"Iya, Nduk. Kamu pulang saja. Biar Abah dan Umi yang melanjutkan perbincangan dengan keluarga Ustaz Baihaqi," ucap Kyai Umar, sembari memberikan isyarat kepada sang istri, Umi Raudah untuk membawa Aisyah pulang. Namun, Aisyah menolak.
"Saya tidak apa-apa, Bah. Saya tidak sakit," balas Aisyah yang seolah enggan melewatkan acara sakral itu.
Aisyah dan Baihaqi sama-sama saling mencintai dalam diam sejak keduanya menuntut ilmu di Mesir. Akhirnya setelah keduanya pulang ke tanah air, Baihaqi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan sekaligus melamar Aisyah. Ternyata perasaannya pun tidak bertepuk sebelah tangan karena Aisyah pun menerima lamaran Ustaz Tampan itu.
"Begini saja, bagaimana kalau Dek Aisyah saya periksa?" tawar Zahra kakak kandung Baihaqi yang berprofesi sebagai Dokter. Zahra juga mengkhawatirkan kondisi Aisyah yang memang terlihat pucat.
"Oh, iya. Lupa kalau ada Zahra. Tolong kamu periksa Aisyah, Nduk," titah Kyai Somad, ayah Baihaqi. Zahra mengangguk dan mendekat ke arah Aisyah lalu duduk di samping gadis itu.
"Sejak kapan kamu merasa mual, Dek?" tanya dokter muda itu sembari menyentuh kening Aisyah dengan punggung tangannya.
"Sebenarnya, sudah dari tadi pagi, Mbak. Nggak tahu kenapa saya mual saat ibu-ibu dapur memasak kambing yang disembelih untuk acara malam ini," balas Aisyah dengan polosnya membuat Zahra dan Umi Raudah yang duduk di sampingnya sontak saling memandang.
"Jadi kamu merasa mual saat bau daging kambing?" tanya Umi Raudah memastikan. Tidak biasanya Aisyah mual mencium bau daging kambing karena di pesantren sering sekali para donatur memberikan sodakoh kambing untuk makan anak-anak Pondok dan selama itu Aisyah tidak pernah mual mencium baunya. Padahal gadis itu sering membantu ibu-ibu dapur memasak.
"Iya, Umi. Ais juga heran kenapa bau daging kambing itu bisa bikin perut Ais mual," balas Aisyah jujur.
"Kalau boleh Mbak tahu, kapan ya kamu terakhir haid?" tanya Zahra membuat Aisyah terkejut. Kenapa kakak calon suaminya itu malah menanyakan haid terakhirnya? Gadis itu terdiam sejenak lalu mengingat-ingat kapan terakhir dia mendapatkan haid karena selama ini sirklus haid Aisyah tidak teratur. Bahkan gadis itu bisa tiga atau dua bulan sekali baru keluar haid.
"Kalau tidak salah sudah hampir tiga bulan yang lalu balas Aisyah membuat Zahra dan Umi Raudah terkejut. Begitu juga semua yang ada di ruangan itu.
"Kamu yakin, Aisyah? Dua bulan kemarin kamu tidak haid?" tanya Umi Raudah memastikan. Aisyah pun menggelengkan kepala dengan santai karena dia merasa sudah biasa mengalami haid yang tidak rutin.
"Ada apa? Kenapa Mbak Zahra malah menanyakan haidnya Aisyah?" tanya Baihaqi yang juga merasa bingung.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak Kyai Umar dan Bu Nyai Umi Raudah. Kalau menurut perkiraan saya, Dek Aisyah ini tidak sakit, melainkan sedang hamil muda," ucap Zahra membuat semua yang ada di ruang itu terkejut. Seketika suasana pun riuh.
"Mbak jangan bicara sembarangan. Bagaimana mungkin Aisyah hamil? Saya dan Aisyah selalu menjaga batasan," balas Baihaqi tersinggung. Sementara Aisyah terlihat syok mendengar ucapan Kakak dari calon suaminya itu.
"Zahra kamu tidak salah periksa, Nak? Mana mungkin Aisyah hamil? Disentuh lelaki saja tidak pernah. Coba periksa lagi barangkali saja dia cuma masuk angin," ucap Umi Afifah membela calon menantunya.
"Maaf, Umi. Ini juga baru perkiraan saya karena melihat gejala yang dialami Aisyah dan juga siklus haidnya," balas Zahra membuat suasana seketika hening. Sementara Aisyah menunduk tajam. Dadanya berdebar kencang mendengar ucapan dokter muda itu.
"Begini saja, bagaimana kalau Aisyah kita minta tes menggunakan test pack agar kita tidak saling suudzon," usul Zainab, kakak kandung Aisyah yang juga ikut hadir dalam acara itu. Semuanya pun setuju dengan usul Zainab, termasuk Aisyah yang memang merasa kalau dirinya tidak mungkin hamil.
Kyai Umar meminta salah satu ustazah yang sudah menikah untuk ke Apotek membeli test pack, lalu meminta Aisyah tes urin. Kedua belah pihak keluarga menunggu dengan cemas. Saat Aisyah keluar dari kamar mandi semua mata tertuju kepadanya.
"Bagaimana hasilnya, Dek?" tanya Baihaqi, orang yang pertama mencemaskan keadaan Aisyah. Gadis itu terdiam sembari menyerahkan dua test pack yang baru saja ia gunakan kepada Zahra dengan tangan bergetar.
"Positif." Satu kata yang keluar dari mulut Zahra membuat seisi ruangan menjadi gaduh. Baihaqi langsung merebut test pack dari tangan kakak perempuannya. Tubuh Ustaz Tampan itu seperti kehilangan daya dan kekuatan setelah melihat dua garis merah terpampang di dua alat tes kehamilan itu. Sementara Kyai Umar langsung berdiri dari duduknya mendekati Aisyah dengan wajah marah.
"Kamu hamil, Nduk. Siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara berat karena menahan amarah.
"Sabar, Bah. Sabar," Umi Raudah mencoba menenangkan suaminya. Sementara keluarga Baihaqi tampak syok. Selama ini yang mereka tau, Aisyah adalah gadis salihah, penghafal Alquran dan sehari-harinya tinggal di pesantren. Selama beberapa tahun menuntut ilmu di Mesir pun juga tinggal di asrama putri. Maka saat mengetahui fakta kalau gadis itu hamil benar-benar sangat mengejutkan semua orang.
"Saya tidak tahu, Bah. Saya tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar agama," balas Aisyah dengan suara bergetar. Air mata telah membasahi kedua pipinya mendapati kenyataan kalau dirinya hamil. Sedangkan Baihaqi memejamkan kedua matanya, lalu menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Apa kamu dilecehkan, dinodai, diperkosa? Siapa yang melakukannya, Aisyah?" tanya Baihaqi sembari mengepalkan kedua tangannya. Namun, Aisyah hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Mana mungkin kamu tidak tahu, Aisyah. Kamu bukan Siti Maryam yang tiba-tiba hamil tanpa disentuh lelaki karena Allah meniupkan roh ke dalam rahimnya," sahut Kyai Umar dengan wajah memerah menahan rasa malu di depan keluarga calon besannya.
"Jawab dengan jujur, Aisyah. Jangan takut, Nduk," ucap Umi Raudah sembari mengusap punggung putrinya.
"Abah, Umi, Aisyah benar-benar nggak tahu kenapa Aisyah bisa hamil," balas Aisyah setelah terdiam sejenak.
"Mana mungkin bisa begitu? Saya benar-benar kecewa sama kamu, Aisyah," sahut Umi Afifah membuat hati Aisyah sakit. Calon ibu mertua yang tadinya sangat menyayanginya ternyata kini tidak mempercayainya lagi.
"Bilang sejujurnya, Aisyah. Kamu sudah berzina atau diperkosa?" tanya Kyai Umar yang masih mencoba menahan amarah agar tidak meledak.
"Aisyah sudah berkata sejujurnya, Bah. Aisyah tidak pernah berzina apalagi diperkosa," balas Aisyah sembari terisak. Namun, jawaban gadis itu tak lantas membuat keluarga Baihaqi percaya.
"Maaf, Kyai Umar dan juga Umi Raudah. Dengan berat hati, saya membatalkan lamaran Baihaqi untuk Aisyah," tegas Kyai Somad membuat Aisyah dan Baihaqi terkejut.
"Tunggu, Bah. Jangan tergesa mengambil keputusan. Bai yakin kalau Aisyah tidak bersalah," ucap Baihaqi mencoba meralat keputusan abahnya.
"Keputusan Abah sudah bulat. Abah tidak mau kamu menikah dengan wanita yang sudah hamil entah anak siapa. Terlepas dia diperkosa ataupun berbuat zina. Masih banyak gadis lain yang lebih baik buat kamu, Baihaqi," ucap Kyai Somad penuh penekanan, membuat hati Aisyah terasa nyeri. Keluarga Baihaqi yang sebelumnya begitu menyayangi dan memperlakukannya seperti anak sendiri, dalam sekejap telah hilang kepercayaan terhadapnya.
Kyai Umar tidak bisa mencegah keputusan calon besannya. Lelaki paruh baya itu membiarkan keluarga Baihaqi berpamitan pulang dan mengantar mereka sampai di depan aula.
"Cepat kamu jujur pada Abah. Siapa ayah bayi dalam kandunganmu itu atau kamu pergi dari pesantren ini, Aisyah," ucap Kyai Umar setelah rombongan keluarga besar Baihaqi pulang, membuat Aisyah syok. Gadis itu tak menyangka kalau acara lamaran yang seharusnya berakhir bahagia, justru berujung petaka.