Tiga

2201 Words
. . Pagi ini, ketika melihat Haidar berseragam lengkap dan lagi makan dengan tenang, rasanya ketentraman hidup Kaella yang tak tenang. Mengingat pesan misterius dari Gabriel yang menyuruh sepupunya untuk datang nanti malam ke Darmawangsa, nama jalan di ujung timur Jakarta, Kaella sudah berfirasat adegan baku hantam tidak terelakkan. Bagaimana kalau salah satu dari mereka mati? Kalau Gabriel sampai lewat, jangan harap nyawa Haidar bisa aman cengap-cengop di depan mata kepalanya. Tapi kalau Haidar yang meninggal... ya sebenarnya Kaella sih tidak masalah, artinya beban keluarga berkurang satu. Hanya saja, dia tidak akan mendapat restu dari keluarganya untuk hidup bersama dengan pembunuh sepupunya sendiri. Yasalam! Kenapa hidupnya terasa seperti sinetron azab begini, sih? Nggak. Nggak boleh ada yang mati. Bagaimanapun caranya, Kaella harus menggagalkan acara pertemuan itu. Bahkan Haidar tidak boleh menyentuh Gabriel seujung rambut pun. Tapi gimana, ya? Apa dia kurung saja sepupunya ini di gudang? Atau Kaella membeli obat tidur saja biar Haidar nggak bisa bangun nanti malam? "Kenapa lo liatin gue kayak orang kanibal nggak makan seminggu, sih?" tanya Haidar curiga, sudah sejak tadi dia mendapatkan picingan licik dari mata Kaella yang duduk di depannya. "Nggak. Siapa yang liatin lo?" balas Kaella sengit, tetapi kunyahannya yang bisa dikatakan agresif itu jelas membuat Haidar sedikit mundur. "Lo makan ya ngunyahnya nggak usah liatin gue kayak orang dendam begitu, lagi bayangin ngunyah gue kan lo? Ngaku!" "Yang ada tuh gue jadi nggak nafsu, b**o!" "Kael," sang Mama menegur bahasa yang Kaella gunakan. Mama memang paling tidak suka mendengar bahasa yang tidak sopan di rumah. Terlepas dari elo-gue yang digunakan kedua anak muda itu, kata-k********r adalah hal yang paling dikecam di rumahnya. Dulu, Haidar pernah kelepasan ngomong "a*u" saat teman-temannya main ke rumah, lalu malamnya Mama menyiapkan selimut dan bantal di luar pintu. "Astagfirullah, Kaella. Bahasanya tolong dijaga," Haidar menggeleng prihatin. Kaella mengangkat garpunya berharap bisa menusuk muka Haidar saat itu juga. Dasar muka dua! "Haidar, kata Mas Tara, kalo tahun ini kamu nggak lulus lagi, terpaksa kamu harus terusin bisnis restorannya," kata Mama lagi. Kali ini gantian Kaella yang menahan tawa sedangkan Haidar cuma berdeham saja. Mas Tara —atau Om Tara, kalau Kaella yang panggil, adalah ayah Haidar, kakak kandung Papa yang merintis usaha bersama Papa dan sekarang keduanya sedang sibuk memperluas cabang di luar negeri. Meskipun ayahnya merupakan pemilik restoran besar, tetapi Haidar amat enggan untuk berurusan dengan bisnis itu. Makanya dia memilih masuk jurusan otomotif di SMK alih-alih memperdalam ilmu untuk meneruskan bisnis sang ayah. Lalu karena pilihan Tante Rima, mamanya Haidar, yang lebih ingin menemani sang suami di luar negeri, terdamparlah Haidar di rumah Kaella. Diurus dan dididik di bawah pengawasan Mama yang kadang kalau ngomel suka lupa waktu dan kelewat batas. Tapi Haidar sejak lahir memang berkepribadian ganda, dia memiliki seribu jurus agar tak diomeli berlarut-larut. Kalau kata Kaella, muka dua. Ponsel Kaella bergetar, satu pesan masuk dari Gabriel yang memberitahu bahwa dia sudah menunggu di depan kompleks. Cewek itu segera berdiri. "Kaella berangkat dulu ya, Ma," pamitnya menyalami Mama. "Nggak sekalian berangkat bareng?" tawar Mama. Di Jakarta, Mama mengurus dua restoran yang rajin dikunjungi setiap pagi sampai siang. Kadang saking kelewat rajin, Mama akan berangkat lebih dulu daripada Kaella yang suka kesiangan. "Nggak usah, Ma." "Mobil lo udah beres emang?" Haidar menghentikan langkah Kaella yang akan keluar. "Belum." "Tunggu, gue anterin," Haidar berniat mengambil tasnya di kamar. "Nggak usah!" Kaella buru-buru menahan Haidar supaya duduk lagi di kursinya. "Makan lo belom abis, gue nggak enak ngerepotin lo mulu," ia terkekeh garing. "Terus lo naek apaan? Kopaja? Dan membiarkan parfum Victoria Secret lo yang elegan itu bercampur sama ibu-ibu yang mau beli wortel dan kentang ke pasar?" balas Haidar sarkas. Kalau tidak ada Mama, ingin sekali Kaella menoyor kepala itu mumpung mereka dalam jarak dekat. "Nggak lah, gila kali lo!" "Kael," tatapan Mama sudah memperingati. Kaella hanya terkikik pelan. "Gue dijemput Sera di depan, udah lo makan aja yang lahap, yang lama, abisin juga makanan gue gapapa tuh, ikhlas." Kaella menepuk-nepuk bahu Haidar sebelum akhirnya bergegas pergi. Sementara di depan kompleks, Gabriel yang sudah menunggu Kaella tampak berdiri di samping mobilnya, sepasang mata tajamnya mengamati jalan raya dengan raut datar. Sedang diam menunggu, sekelompok anak lelaki SMP yang juga berangkat sekolah tampak memperhatikannya sambil bisik-bisik satu sama lain. Gabriel membalas dengan menaikkan satu alis. "Bang!" Salah satu dari mereka memanggil. Gabriel memasang wajah galak agar bocah-bocah tengil itu gentar. "Apa?" "GANTENG DOANG JEMPUT CEWEK DEPAN GANG!" Setelah kompak berteriak begitu, gerombolan itu langsung berlari sekuat tenaga sambil terbahak-bahak. "Bangs_" "Ega!" Belum sempat Gabriel mengumpat, Kaella lebih dulu datang dengan ngos-ngosan. Dahi Gabriel berkerut memperhatikan cewek itu. "Kenapa harus lari-lari, sih?" Ia menyingkap rambut Kaella ke belakang. Hampir khilaf sudah memajukan wajahnya dan akan mencium, untung Gabriel sadar bahwa ini tempat umum dan ramai. "Gapapa," Kaella nyengir. "Ayo berangkat!" Lalu cewek itu masuk ke mobil disusul Gabriel yang duduk di sebelahnya. Ada satu kebiasaan yang entah disadari atau tidak oleh Gabriel, saat menunggu lampu merah, dia akan meraih tangan Kaella lalu menempelkan punggung tangan cewek itu ke bibirnya. "Wangi lo enak," itu alasan sederhananya. Dan Kaella cuma mesem-mesem kalau sudah digituin. "Ega." "Hm?" "Nanti malem free, nggak?" Gabriel menoleh sebentar. "Kenapa emang?" Kaella memutar otak supaya alibi menggagalkan pertemuan Gabriel dengan Haidar tidak terendus ke permukaan. "Pengen nonton, yuk." Kini Gabriel nampak tertarik dan menurunkan tangan Kaella. "Tumben. Udah mau go public?" Mengingat baru tadi melihat Kaella lari tunggang langgang yang pasti karena menghindari ketahuan Haidar, rasanya lucu saat mendengar cewek itu malah mengajaknya nonton nanti malam. Iya juga, ya. Kaella jadi terdiam. "Kita nontonnya jangan di sekitar sini." "Dimana?" "Ke Bandung, yuk!" Tawa Gabriel tiba-tiba menggema seakan baru saja mendengar hal terlucu seumur hidupnya. Kaella sampai terdiam menatap Gabriel takjub. Sesungguhnya, itu tawa terlepas yang pernah ia lihat sejak pertama kali mengenal pemuda itu. Imagenya terkenal kaku, tajam, dan selalu mengintimidasi. Terus ... Apa tadi miskah? Gabriel bisa ngakak juga? "Kurang jauh, Kael. Nonton di bioskop Medan aja sekalian," celetuk Gabriel saat tawanya mulai mereda. "B—boleh," jawab Kaella asal, sepertinya jiwa cewek itu masih terjebak dalam pesona Gabriel saat tertawa lepas. Dan tiba-tiba saja Gabriel mengelus rambutnya. "Lo tau gue sama Haidar mau ketemu, kan?" Punggung Kaella menegang. "Nggak! Emang, emang lo mau ketemu sama Haidar? Kapan?" Cih, Gabriel tidak menganjurkan Kaella jadi artis drama, aktingnya buruk kalau lagi panik. "Entar malem," tapi Gabriel juga masih menanggapinya. Lalu keduanya terdiam saat lampu hijau menyala dan Gabriel melajukan mobilnya kembali. Kaella menghela nafas panjang sambil memperhatikan kakinya lesu. "Gue pengen larang lo buat ketemu Haidar, tapi gimana ya, gue lagi pake sneakers, nggak ada hak-nya," gumam Kaella murung. "Larang aja." Pandangan Kaella terangkat. "Lo nurut kalo gue larang?" "Tergantung." Kaella tidak bisa menahan decakannya. "Artinya lo nggak bisa," balasnya sedikit judes. Gabriel memarkirkan mobilnya setelah sampai di sekolah. Lalu menahan tangan Kaella yang baru akan keluar. Ia tersenyum asimetris sambil berbisik, "Tergantung lo ngasihnya apa sampe bisa larang gue ketemu Haidar." Entah kenapa rasanya Kaella mengerti arti ucapan Gabriel barusan. . . *** . . Bukan di sekolah, Haidar memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit. Sesaat dia tampak sibuk dengan ponselnya sambil melangkah masuk ke gedung itu. Lalu bertanya informasi ruangan yang akan dia kunjungi pagi ini. Setelah mendapatkan keterangan yang jelas, cowok itu segera menuju ruangan di lantai tiga. "Aw! Sakit t***l!" "Sorry sorry, abis gue takjub lihat lo masih hidup." Ringisan seseorang terdengar begitu Haidar membuka pintu dan memasuki ruang rawat inap. Ada dua orang di dalamnya. Yang satu tampak terbaring dengan wajah babak belur disertai perban di kepala, lengan, dan kaki kanan. Sedangkan cowok lain yang sama-sama memakai almamater SMK melangkah mundur memberi jalan. Mata Haidar menajam diiringi dengusan nafas mendekati brankar dengan nama pasien Tn. Braga di papannya. Plak! Haidar menggeplak tangan sang pasien dengan sorot tanpa kasihan. "Aaanjiiiiing, sakit!" Braga mengerang panjang. Bukan main ngilunya. Luka memar saja masih biru, belum lagi konon katanya tulang retak. Jangankan digeplak, geser sedikit saja dia merintih. "Malem-malem nyerang serigala sendirian, lo keturunan kucing apa gimana? Nyawa lo bisa diinstall?" Haidar bersedekap kesal. "Sengaja biar gue turun tangan kayaknya. Nggak seneng lo lihat musuh gue pada diem?" Saat menerima laporan bahwa teman satu gengnya hampir lewat karena berkelahi dengan Gabriel tadi malam, awalnya amarah Haidar menggebu-gebu. Namun saat tahu bukan Gabriel duluan yang mulai, rasanya dia ingin ikutan gebukin pasien di depannya ini sampai kritis. "B-bukan gitu, Dar." "Terus kenapa?" Bukannya menjawab, Braga malah memilih diam seperti orang bingung mencari alasan. "Kayaknya Braga emang niat adu dombain lo sama si Gabriel deh, Bos." Di belakang, lelaki tinggi kurus bernama Kelana ikut berkomentar, lebih terdengar mengompori sebenarnya. "Kagak anjeng! Lo pikir Haidar kambing hago segala pake diaduin? Gue nggak ada niatan begitu!" Braga cepat menyangkal. Namun saat beralih kembali pada Haidar —yang sedang mengulitinya lewat pancaran mata, dia bungkam lagi. "Oke jujur! Adik gue suka sama tuh orang, terus ditolak mentah-mentah dan nangis-nangis ke gue. Puas kalian?" beber Braga akhirnya. Namun yang ia dapatkan adalah sorot ketidakpuasan dari dua manusia di sekelilingnya. Braga membuang nafas pendek. "Lo semua nggak ada yang punya adik, gak bakal tau gimana kesalnya pas lihat adik lo nangis patah hati cuma karena cowok. Pas tau cowok itu Gabriel, gue nggak pikir panjang lagi tadi malem." Kelana mengurut dagu, pura-pura berpikir. "Bisa diterima nggak ini alasannya? Bisa dibuktikan keabsahannya nggak?" "Bacot lo," Braga tidak butuh komentar Kelana, hanya berharap mendapatkan kepercayaan Haidar. Haidar tampak menimbang lama mengamati keseriusan ucapan Braga. Dia memang tidak memiliki adik, namun membayangkan suatu saat Kaella ngadu sambil menangis karena patah hati gara-gara Gabriel, jelas dia juga tidak akan tinggal diam. Lelaki itu memutar bola mata. "Kali ini alasan lo gue terima. Tapi kalau kejadian lagi, gue lebih suka datang ke pemakaman lo daripada jenguk ke rumah sakit." "Lo..." Braga berkaca-kaca. "Ter-de-best, Bos." Dan nanti malam Haidar harus berurusan dengan cecunguk k*****t itu. Haidar tidak berniat memberi tahu yang lain mengenai pertemuannya. Karena seharusnya Gabriel tidak akan membawa antek-anteknya jika memang dia cukup jantan. Lagipula, ini bukan masalah yang merugikan Gabriel —mengingat siapa yang terkapar sekarang. Untuk beberapa hal, Haidar masih bisa mengendalikan pikiran daripada kekuatannya, dan sejauh ini ia cukup mampu membedakan mana masalah ringan dan mana yang fatal. Tetapi jika memang keadaan lebih mendukung untuk pakai tenaga, dia tidak keberatan beradu jotos dengan Gabriel. "Denger-denger, Galaksi mulai siuman ya, Dar?" Satu nama yang disebutkan Braga menarik Haidar dari pikirannya sendiri. Entah mengapa rahangnya refleks mengeras. "Galaksi Galaksi. Lo sedekat apa sampe berani panggil dia begitu?" Andai tidak tahu tempat, Haidar sudah melayangkan kepalan tangannya untuk mulut Braga. "Lo bahkan lebih muda dari dia. Panggil dia Bos." Galaksi Bimasakti. Seseorang yang selama hampir tiga bulan ini Haidar gantikan posisinya. Adalah ketua geng anak PN yang sebenarnya. Namun karena kecelakaan yang mengakibatkan lelaki itu koma, jabatan ketua kini dipegang sementara oleh Haidar. Mendengar kabar bahwa Bos Galak-nya sudah sadar, Haidar tanpa sadar menyungging senyum tipis. "Berarti nanti gue nggak bisa panggil lo bos lagi, dong?" gumam Kelana sedih. Haidar bersiap untuk pergi. "Lagian dari awal gue udah bilang, gak usah panggil gue bos." "Enakan sih, tetep manggil bos aja, entar bosnya ada dua. Hehe." Haidar mengangguk-angguk. "Kalau nanti Galaksi udah balik, gue pastiin kepala lo duluan yang dia tempeleng," ujarnya sambil keluar dari ruangan itu. Sementara Kelana lekas menatap Braga panik. Sebab Haidar tidak pernah ingkar dengan ucapannya. . . *** . . Menjinakkan Gabriel sepertinya bukan hal yang sulit-sulit amat. Sejauh ini cowok itu mengiyakan saja apa kemauan Kaella. Sore ini saat pulang sekolah dan Kaella bilang bahwa Gabriel harus selalu dalam jarak pandangnya, Gabriel tidak beranjak lebih dari lima meter darinya, dan Kaella ngakak ketika lelaki itu bilang, "Enggak bisa cuma diem aja sih kalau begini." Lalu saat Gabriel menuntutnya lewat pagutan demi pagutan, Kaella tidak bisa menolak. Oh bukan, jelas saja, dia tidak akan menolak. Ha-ha. "Tapi janji, jangan ketemu Haidar," Kaella lebih dulu memberi peringatan di sela kegiatan mereka. "Hm," Gabriel hanya menggumam serak. . . *** . . Kaella tidak bisa tidur. Karena Haidar masih belum pulang, dia belum bisa tenang. Meski sampai jam sembilan malam tadi dia terus bersama Gabriel, tetapi firasatnya buruk di malam larut ini. Apalagi setelah tadi mengantarnya pulang, ponsel Gabriel langsung tidak aktif. Kaella bahkan tidak bisa berhenti menggigiti kukunya sekarang. Ini jam dua dinihari dan Haidar belum pulang. Memang sih, bisa saja cowok itu menginap di rumah temannya, atau di tempat antah berantah yang Kaella tidak tahu. Tetapi kenapa kebetulan nomor Gabriel juga nggak aktif, sih? Bikin kalang kabut aja. Dan entah sengaja atau tidak, Haidar juga tidak mengangkat panggilannya. Kaella mondar-mandir di depan pintu rumah menunggu Haidar pulang. Di saat sedang gelisah begini, Kaella terlonjak kaget melihat Mama tiba-tiba keluar kamar membanting pintu dan tampak bergegas. Kaella menahan Mama yang baru akan keluar rumah. Belum bertanya, Mama lebih dulu berkata, "Haidar ditahan di kantor polisi. Berantem katanya." Tuh kan! Firasat buruk Kaella memang kejadian. "Kaella ikut!" Lalu sesampainya di kantor polisi, ada dua lelaki yang sedang duduk bersebelahan, dan keduanya memiliki luka yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Kaella meneguk ludah merasa dadanya sesak saat memastikan bahwa salah satunya adalah Gabriel. Saat Gabriel menoleh kepadanya, Kaella tidak tahu apakah dia bisa menahan ekspresi kecewanya atau tidak, tetapi dia benar-benar tidak mengerti, mengapa Gabriel harus ingkar janji?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD