Empat

2084 Words
. . #Flashback . . Memastikan pengendara motor merah yang baru saja menepi tidak jauh di depannya memanglah Haidar, Gabriel akhirnya keluar dari mobil setelah menunggu kurang dari setengah jam. Menghampiri lelaki yang sekarang sedang melepas helm dan turun dari motornya, sepasang mata gelap Gabriel menatap datar namun memiliki aura tajam kini bertubrukan dengan sorot mata Haidar yang memandanginya dengan satu alis menukik. Kalau ada backsound pendukung, musik laga ala-ala anak tawuran lagi mengiringi pertemuan pribadi mereka saat ini. Ditambah suasana mencekam karena waktu baru saja lewat tengah malam, membuat aura yang terpancar dari kedua pemuda itu kian menyeramkan. Karena Darmawangsa termasuk jalan kawasan, tidak banyak kendaraan yang melintas malam ini. "Kirain lo nggak bakal dateng," Haidar membuka obrolan dan memutuskan pandangan. Ia memilih bersandar di motornya sambil merenggangkan otot. Gabriel mendengus pendek menanggapi. "Lo bilang mau bales dendam, mana mungkin gue sia-siain, kan." "Oh itu," Haidar teringat kembali kecaman malam kemarin saat mengancam akan membalas perbuatan Gabriel yang membuat Braga sampai masuk rumah sakit. Tetapi kan, saat itu dia juga belum tahu kalau ternyata temannya duluan yang menyerang. Sesaat Haidar menggaruk belakang telinganya. "Sans. Udah gue maafin," Haidar menepuk santai bahu Gabriel. Walaupun sebenarnya harusnya Haidarlah yang minta maaf atas kelakuan anak buahnya. Merasa sedikit lucu, Gabriel tertawa pelan. "Siapa yang harus maafin siapa?" "Setelah lo hampir bikin temen gue mati, padahal lo tau dia bukan tandingan, masa lo nggak merasa bersalah dan nggak kepingin minta maaf?" Haidar menutup mulut pura-pura terkejut. "Kejam." BUG! Gabriel meninju tanpa aba-aba. Tidak terlalu keras karena belum sampai membuat Haidar menggeser pijakannya. Tetapi cukup untuk membuat rahang sang lawan mengeras dan mengumpat pelan. Haidar Ranggasena mungkin memiliki sifat tengil dan lebih terbuka, namun dia tetap seorang ketua yang memiliki alasan mengapa menyandang status itu. Salah satunya karena lebih kuat, dan tidak suka kekalahan. Sedangkan Gabriel Alezander, si muka datar yang irit ekspresi itu tidak suka berbelit-belit. "Sans. Udah gue maafin," katanya sambil mengibaskan tangan. Melihat mata Haidar yang menajam tanpa mengatakan apapun, Gabriel menelengkan kepala. "Kenapa? Aneh karena lo yang diserang tiba-tiba tapi malah gue yang maafin?" Dia sengaja menyulut api. "Wah," Haidar mengangkat pandangannya ke langit seraya menggerakkan lidah dan membuat pipinya menonjol. "Ini artinya sengaja ngajak ribut bukan, sih?" Gabriel mengangkat bahu. "Awalnya gue pikir masalah kecil ini bisa diselesaikan baik-baik, tapi kata 'damai' nggak cocok banget buat tipe-tipe berandal kayak kita, ya nggak, sih?" Haidar memutar bahunya ke belakang sekali, seolah sedang melakukan pemanasan sebelum pertarungan. Gabriel tersenyum miring. "Damai sama lo nggak pernah ada dalam pilihan gue." Lalu perkelahian itu terjadi cukup sengit. Memiliki kekuatan dan ketangkasan yang sama hebat membuat keduanya tidak ada yang mengendurkan tenaga. Tidak peduli dengan rasa sakit saat bertarung adalah alasan mengapa dulu Haidar dijadikan tangan kanan yang paling dipercaya. Di satu sisi, Gabriel yang terkenal tidak pandang bulu pada lawannya juga bukan sosok yang mudah diremehkan. Keduanya terus berjibaku meski sudah kelelahan, saling menendang dan beberapa kali tubuh mereka membentur aspal jalan. Tidak akan ada yang berhenti jika bukan karena mobil patroli yang datang melintas. Beruntung, dua petugas segera turun untuk memisahkan. Tetapi sial, karena beberapa kali petugas itu terkena hantaman Haidar dan Gabriel yang masih ingin menghabisi satu sama lain. . . *** . . Haidar baru saja akan membuka pintu dan berniat masuk ke rumah, namun tangannya segera ditahan. Melihat tatapan dingin nan menusuk dari adik ipar ayahnya, mendadak Haidar merasakan firasat buruk. "Tante," Haidar menggeleng dramatis. "Siapa bilang kamu boleh masuk?" Mimik wajah Haidar memelas. Meski kini kondisinya bonyok sana sini, tetapi tidak ada ringisan yang keluar dari mulut cowok itu, kecuali seribu kata maaf yang tidak henti dia ucapkan selama keluar dari kantor polisi sampai ke rumah —tapi tidak ada yang mendengarkannya. "Tante, tolong untuk sekali ini aja," Haidar meminta dengan sorot kasihan. Tetapi Mama lebih keras lagi. Kali ini tidak ada ampun untuk Haidar. "Bentar, Tante bawakan selimut sama bantal dulu," ujarnya kalem. Dengan tega wanita paruh baya itu menyuruh Haidar agar bergeser lalu kemudian memasuki rumah tanpa ingin basa-basi. Haidar memutar badan. "Kael," Kaella adalah harapan satu-satunya. Sejak tadi wajah cewek itu murung tanpa semangat, dan kalau Haidar tidak salah lihat, Kaella sempat meneteskan air mata yang tadi langsung diseka. Haidar menangkup wajah Kaella, mencoba mengirim ikatan batin yang terjalin di antara mereka berdua. Namun Kaella tampak terlalu lelah untuk meladeni. "Lo tau kan seberapa besar kasih sayang gue ke elo, Kael? Kita selalu saling membantu dalam kesusahan dan kemudahan. Waktu lo jatuh, siapa yang selalu ada buat ngetawain lo? Gue, Kael! Plis, kali ini bisa kan lo bantu gue bukain jendela atas? Gue mau nyari tangga. Eung?" Haidar menguyel-uyel pipi Kaella. Tatapan Kaella yang sejak tadi turun kini terangkat menatapi sepupunya. Dan entah mengapa Kaella malah menjadi berkaca-kaca. "Lo tuh bisa nggak sih jangan berantem terus! Jangan bikin orang lain khawatir! Sebenernya lo nganggap gue apa, hah? Gue tau, gue nggak punya hak buat larang ini itu, tapi seenggaknya lo juga pikirin perasaan gue pas tadi lihat lo babak belur di kantor polisi! Gue khawatir sama lo! Dasar cowok nggak punya hati!" Kaella meninju d**a Haidar. Cewek itu marah. Marah besar. Lalu masuk rumah dengan membanting pintu sampai membuat Haidar terlonjak kaget. Ditinggal sendirian, Haidar berkedip-kedip tanpa ekspresi. Lalu cowok itu menyentuh dadanya merasa terharu. Melihat Kaella begitu marah karena mengkhawatirkannya membuat Haidar jadi mellow. Dia tidak tahu bahwa Kaella sedalam itu menyayanginya sebagai keluarga. Haidar menempelkan punggungnya ke pintu. Hidungnya kembang kempis. "Kael!" serunya. "Gue nggak tau lo sepeduli itu sama gue, Kael. Gue janji, mulai hari ini akan menjadi sepupu yang baik buat lo. Tolong ya Kael, yang barusan gue minta. Jangan lupa." . . *** . . Alezander adalah keluarga terpandang yang disegani karena kekayaan aset dan relasi yang mereka miliki, juga memiliki pengaruh besar dan selalu berhasil mencapai tujuannya dengan cara apapun. Darah ambisius telah melekat dan kini menjadi perangai seorang Gabriel. Sejak dulu ia didoktrin untuk selalu menjadi yang terhebat, apapun caranya. Saat ayahnya tahu bahwa Gabriel menjadi komplotan geng di sekolah, yang ditanyakan adalah "Jadi apa kamu disana?" Dan ketika tahu bahwa Gabriel adalah ketuanya, sang ayah hanya mengangkat bahu dan berkata, "Menjadi yang terkuat adalah identitas Alezander." Sejak itu Gabriel tidak pernah kesulitan ketika masuk kantor polisi. Dia hanya perlu duduk menunggu beberapa jam, lalu keluar setelah orang suruhan ayahnya datang. Biasanya Gabriel tidak ambil pusing, tetapi saat tadi melihat Kaella yang tiba-tiba datang dan menatapnya dengan sorot kecewa, perasaan tidak nyaman sedikit mengusiknya. "Jadi, siapa?" suara Shanin membuat kelopak mata Gabriel mengerjap. Baru sadar kalau cewek itu ternyata sudah selesai mengobati lukanya. "Yang buat lo begini, kali ini siapa?" tanya Shanin lagi. Pertanyaan yang tidak ingin Gabriel jawab. "Melihat muka lo sebabak belur ini, kayaknya dia cukup kuat, ya?" Nada suara Shanin terdengar tertarik. "Tadi lo bilang berantemnya cuma berdua, kan? Coba-coba ceritain detailnya." "Banyak tanya," Gabriel menoyor kepala Shanin lalu membereskan kotak obat, bergegas keluar dari kamar saudara kembarnya. Ini sudah jam tiga, dan Gabriel sengaja membangunkan Shanin cuma untuk mengobati lukanya. "Ish," Shanin cemberut karena Gabriel tidak menjawab pertanyaannya. "Muka lo jelek! Wlee! Kasian deh, lo!" "Jelek yang penting masih bisa jalan." Seketika wajah mengejek Shanin berubah. "Ih!" Ia melempar bantal ke muka Gabriel, tetapi cowok itu tangkas menghindar. "Bercanda lo tuh nggak lucu, tau nggak!" Gabriel mengambil kembali bantal itu dan menaruhnya ke sebelah Shanin. Bercanda? Memang sejak kapan Gabriel suka bercanda? Shanin suka mengada-ngada. "Besok jadwal terapi lo, kan? Jam berapa? Mau gue anter?" tawar Gabriel sebelum pergi. Shanin menyipit sinis. "Nggak usah." Gabriel mendecak, lalu keluar dari kamar itu tanpa menutup pintu. Dia tahu Shanin paling tidak suka kalau ada yang datang ke kamarnya lalu tidak menutup pintu. "Eeel ih! Tutup pintunyaaa!" . . *** . . Kaella tidak membalas pesan Gabriel pagi ini. Bahkan ketika cowok itu sudah menunggunya untuk berangkat sekolah bersama, dengan tanpa dosa Kaella lewat diboncengi Haidar, melewati Gabriel yang sedang menunggu di balik kursi kemudi, tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Gabriel hanya bisa mengepalkan tangan melihat itu, dan terpaksa berangkat sendiri. Saat di sekolah, melihat punggung Kaella yang berjalan di koridor, Gabriel buru-buru mendekat dan menahan kerah belakang cewek itu. "Apaan sih!" Tangan Kaella menepis tangan Gabriel sambil mendelik, lalu berjalan lagi. Terpaksa Gabriel membuntuti di belakang. "Kenapa nggak berangkat bareng gue?" "Males." "Lo juga nggak bales pesan gue." "Gue nggak punya kewajiban buat selalu balesin pesan lo." Gabriel mendengus. Dia tidak bisa lebih sabar dari ini. Ia memepet Kaella ke tembok dan menutup jalan cewek itu dengan tangannya. Tidak peduli siswa-siswi lain yang diam-diam melirik pada mereka berdua. Saat Gabriel menyorot lekat, Kaella malah melarikan pandangannya ke arah lain. Ternyata, Kaella mengkeret juga ditatap seintens itu. "Lo marah?" "Biasa aja. Kenapa gue mesti marah?" "Karena gue berantem sama Haidar." "Nggak. Lagian gue juga nggak punya hak buat marah. Itu terserah lo!" "Lo marah karena gue ingkar janji." "Jaman sekarang kan apapun makanannya, minumnya tetap ludah sendiri." Sepertinya kesabaran Gabriel sedang diuji. Tetapi semua makhluk di dunia ini tahu, kalau Gabriel bukan manusia yang dianugerahi kesabaran tingkat dewa. Mengepalkan tangan, akhirnya pemuda itu memilih pergi. Lalu seolah dunia sedang berkomplot untuk membuatnya kesal, Gabriel malah berpapasan dengan Bu Anih. Guru BK itu sampai menurunkan kacamatanya untuk memastikan bahwa siswa yang berdiri dengan wajah penuh luka sekarang benar-benar Gabriel. "Aduh!" Bu Anih memegang kepalanya. "Masih pagi, masih pagi. Jangan stres," dia memperingati dirinya sendiri. Lalu melihat muka Gabriel lagi. "Astaga, berantem sama anak mana lagi dia? Aduh, pusing." . . *** . . Sepertinya rumah sakit menjadi salah satu tempat yang sering Haidar kunjungi akhir-akhir ini. Setelah kemarin datang untuk menjenguk Braga, hari ini dia berniat mengunjungi Galaksi yang katanya mulai siuman. Sebagai anak buah yang patuh, ada baiknya dia mengunjungi bos besar sesungguhnya. Sibuk banget memang Haidar tuh. Berjalan santai sambil menenteng satu kresek jeruk, Haidar bersiul memasuki lobi rumah sakit. Namun langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis di atas kursi roda yang tampak kesusahan memungut selembar kertas di lantai. Niatan awal untuk langsung menuju ruangan tempat Galaksi dirawat mendadak ia urungkan. Haidar berniat membantu, ia langkahkan kakinya mendekati cewek itu. Belum sempat lebih dekat, roda belakang kursi itu terangkat oleng karena pemiliknya membungkuk terlalu rendah. Haidar buru-buru menahan kursi rodanya supaya tidak jomplang. "Eh," gadis dengan rambut hitam sepunggung itu menoleh ke belakang, menatap terkejut pada kehadiran Haidar. "Kursi roda lo hampir jomplang, tadi," Haidar segera memberi tahu. "A—oh... Iya." Melihat selembar kertas yang masih teronggok di lantai, Haidar segera mengambilkannya. Mungkin ini kedengaran tidak sopan, tapi Haidar sempat lihat sebentar apa isinya. Itu surat hasil pemeriksaan atas nama Shanin. Mungkin nama cewek itu. "Nih." "I—iya, makasih," suaranya terdengar lembut. "Lo nggak mungkin datang ke rumah sakit sendirian, kan?" tanya Haidar skeptis. Dia menggeleng. "Tadi sama bibi, tapi lagi ke toilet." "Bibi lo masih lama?" "Eng, kayaknya bentar lagi dateng." Haidar mengangguk. Entah kenapa rasanya jadi kayak enggak sopan kalau harus meninggalkan cewek ini sendirian. Apa dia tunggu saja bibi cewek ini datang? Sepertinya menunggu beberapa menit tidak terlalu merugikan. Kalau kertasnya jatuh lagi, gimana? Kalau kursi rodanya beneran jomplang, gimana? Memang lebih baik Haidar temani dulu. "Anu, sini bentar deh," cewek itu mengisyaratkan Haidar untuk berpindah ke depannya. Setelah berpindah ke depan, sekarang Haidar disuruh membungkuk karena terlalu tinggi. Dia sudah mirip anak anjing yang nurut nurut aja diperintah majikannya. Setelah merogoh sesuatu, akhirnya keluarlah beberapa plester kuning bermotif hati dari saku gadis itu. "Meski di kursi roda, tapi gue tuh sering jatuh, makanya selalu sedia plester. Dan anu, muka lo sekarang, maaf, tapi nggak enak diliat." Bola mata Haidar bergerak ke kanan ke kiri merenungkan kalimat yang ditujukan untuknya barusan. Maksudnya, Haidar jelek banget gitu? "Luka luka lo kayaknya nggak diobatin dengan benar, ya?" Cewek itu hati-hati menempelkan plester di hidung Haidar yang memiliki luka terbuka. "Ini tuh harus ditutup, biar nggak infeksi." Satu plester lagi tertempel di pelipis kiri. Memperhatikan ekspresi serius dari cewek itu rupanya mampu membuat Haidar tak berkutik. "Non Shanin!" Untung saja seorang mbak-mbak mengembalikan kewarasan Haidar. Pemuda itu menegakkan tubuhnya sambil berdeham beberapa kali. "Eh, bibi gue udah dateng," dia memberi tahu. Haidar mengangguk mengerti. Artinya dia sudah tidak berkepentingan lagi. "Nih," entah refleks dari otak kanan atau otak kiri, tapi Haidar berinisiatif memberi satu jeruk. "Anggap aja barter sama plester," sambung Haidar ketika melihat muka bingung cewek di depannya. Baru dua langkah menjauh, Haidar balik lagi. "Nih, satu lagi buat bibi deh, kan plesternya dua." Haidar tersenyum menunjuk plester di hidung dan dahi kirinya sebelum benar-benar pergi menjenguk, sesuai niat awalnya. Kini Haidar sukses membuat dua wanita itu melongo dengan jeruk di tangan mereka. . . ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD